Tubuh itu terus bergerak gelisah, tidak ada posisi tidur yang membuatnya nyaman. Arumi kembali membuka matanya. Memikirkan Randika yang belum juga kembali membuat dia tidak tenang.
"Di mana kau sekarang, apa kau tidur bersama wanita itu?"Mansion terasa sunyi saat Arumi membuka jendela. Biasanya di pagi musim gugur, Mom Jenny akan berdiri di taman belakang untuk bersantai dengan secangkir kopi panas. Tentu saja wanita setengah abad itu duduk di temani suami tercinta. Sesaat Arumi memanjatkan doa untuk bisa mendapatkan kebahagiaan seperti kedua orang tua angkatnya. Mereka adalah pasangan serasi. Gadis itu terus berdiri sambil memejamkan mata hingga suara seorang pria membuatnya membuka mata.
"Kau akan masuk angin jika terus berada di situ."
Arumi tidak ingin menoleh, dia hafal betul dengan suara itu. Itu adalah suara pria yang yang membuat sakit di hatinya.
"Pembohong!"
Arumi menoleh dan memberikan tatapan tajam yang berhasil membuat Randika te
"Dia menjadi berbeda," ujar Evanya menepuk sisi sofa yang masih kosong.Brian menggeleng, dia memilih duduk di kursi lain depan bartender. "Kau membawanya semalam.""Yah, dia tidur denganku.""Kau seperti pemangsa!"Bukannya marah Evanya malah tertawa terbahak-bahak merasa senang dengan sebutan itu. Tawa itu mengundang banyak perhatian, beberapa mata pengunjung klub tampak melihat ke arah mereka.Berbeda dengan Brian yang menggeleng pelan. Dia merasa kasihan kepada gadis yang tertawa keras tapi terdengar hambar. Sungguh pemandangan yang menyeramkan."Berhenti tertawa Evanya kau menyeramkan!"Wanita itu tidak berhenti, dia tetap tertawa sampai gelas wiski menyentuh bibir merahnya."Perempuan aneh.""Apa kau tahu dimana gadis itu tinggal?" tanya Evanya saat wiski yang di teguknya tertelan habis."Siapa?""Arumi.""Kau tidak tahu di mana dia tinggal?""Jika aku tahu, untuk apa bertanya padamu."
"Rumi," sapa Randika canggung."Aku akan ke dapur.""Rumi dengarkan aku." Randika menahan tangan Arumi menatap sesaat kedua sahabatnya yang terlihat pura-pura sibuk berbincang."Ada yang ingin kau katakan?""Aku minta maaf," ucapnya tulus.Arumi menatap datar meski sebenarnya dia tahu kalau Randika sudah sangat menyesal dengan kejadian tadi malam, hanya saja, adegan ciuman antara Randika dan Evanya yang ada di dalam ingatannya masih terlalu jelas. Itu alasan kenapa dia begitu marah dan memilih bersikap diam."Apa kau tidak lelah terus meminta maaf seperti ini."Randika menggelengkan kepalanya. "Tidak sampai aku mendapatkan maaf darimu.""Kalau begitu tinggalkan Evanya.""Aku tidak bisa melakukannya sekarang.""Whay?""Kau tahu, aku mencari Evanya selama beberapa tahun ini. Ada banyak hal yang harus aku pastikan dengannya. Aku janji, setelah itu selesai aku tidak akan menemuinya lagi."Randika terus m
Tidak ada yang bisa menghancurkan keterdiaman Randika dan tatapan tajamnya. Bahkan keberanian Arumi tidak cukup untuk sekedar menyapanya.Randia menghubungi kedua orang tuanya, menanyakan tentang kondisi ayahnya. Jenny sang ibu mwnjelaskan demgan baik hingga membuat pria itu sedikit tenang. Merasa cukup santai, Arumi lalu mendekat saat Randika menutup teleponnya. " Bagaimana keadaan Dady.""Bukankah kau lebih tahu."Raut wajah Arumi berubah sedih seketika. "Jadi lau masih marah padaku.""Kau pikirkan sendiri."Wanita itu terdiam cukup lama. Tidak terfikir olehnya Randika akan semarah ini. Dia bahkan belum memberi maaf untuk pria bermata hitam itu. Namun, kini dia yang harus meminta maaf atas kesalahannya."Maaf merahasiakan-nya, tapi aku hanya menuruti ucapan Mom. Dia hanya tidak ingin kau khawatir.""Tinggalkan aku sendiri!'"Ran?""Berhenti memanggil nama ku!"Teriakan keras Randika membuat Arumi tersentak hingg
"Quebec, Kanada...Brian yang berada di sekitar kafe miliknya memutuskan untuk melihat keadaan pria itu. Dia cukup tahu ke mana tempat yang akan di datangi sahabatnya jika sedang ada masalah. Di dalam hati dia berharap tidak menemukan-nya sedang berduaan dengan Evanya."Ran?"Pria itu memanggil-manggil mengingat tempat ini privasi dan hanya ada dua orang bartender yang selalu berjaga."Apa Randika kemari?""Di sana."Brian melangkah menuju arah yang di tunjuk salah saru bartender. Dia mencari di balik kursi-kursi yang tersusun rapih, hingga matanya melihat pria yang sedang merokok di lantai dengan botol alkohol yang berhamburan di mana-mana."Kau minum sebanyak ini?""Sedang apa kau di sini.""Mungkin kau butuh teman.""Aku tidak but
"Jam berapa kau kembali.""Baru saja."Arumi terdiam jawaban singkat Randika membuatnya bertanya-tanya di dalam hati apa yang harus dia katakan lagi agar memancing pembicaraan.Melihat Arumi yang sedang berfikir, Randika mengira wanita itu salah paham karena dia terbangun dengan dirinya yang tertidur di sampingnya."Aku hanya tertidur, tidak ada yang terjadi.""Maaf, tapi pikiranku tidak sampai ke situ."Jleb ....Kini balik Randika yang salah mengira. Pria itu menelan luda kasar karena gugup. "Aku hanya menjelaskan agar kau tidak salah paham," ujarnya untuk menutupi rasa gugupnya."Apa hari ini kau akan makan malam di rumah?""Entahlah.""Jika kau kembali, aku bisa memasak makanan untuk---""Jangan menunggu ku.""Baiklah, aku mengerti." Suara Arumi mengecil sampai akhir kalimat."Aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku, jadi mengertilah."Arumi langsung terdiam. Baru sehari merek
"Bagaimana, kau berhasil?""Biarkan aku mengambil napas."Keduanya pun terdiam. Pria bermanik biru itu menyalakan mesin mobil dan melaju sebelum Randika menemukan mereka."Kau berkeringat Nona.""Aku sangat gugup tadi" Arumi menarik napas panjang dan mengembuskan-nya kembali. "Apa pakaian ku pantas?"Pria yang sedang menyetir itu terkekeh "Kau terlihat sangat seksi."Arumi menatap tajam sesaat "Dasar pria mesum.""Hei, santai. Jangan terlalu marah, itu akan membuatmu semakin seksi."Bugh ... plak ... bugh ...."Auh, sakit Arumi. Hentikan!"Bugh ... plak ... bugh ...."Hentikan, atau kita akan menabrak.""Baiklah." Arumi kembali menghembuskan napas panjang, menetralkan detak jantungnya yang berpacu cepat sebelum lanjut berkata."Antar aku ke tempat di mana aku bisa mengganti pakaian ku, ini sangat tidak nyaman.""Bisakah kau gunakan itu sebentar lagi, kau terlihat sanga
Mobil yang di tumpangi Arumi dan Brian sudah melaju berjam-jam namun Arumi masih belum mengatakan berhenti."Rumi, apa kita tidak salah jalan?""Tidak jalurnya benar.""Bukankah di sekitar sini tidak ada bukit?.""Jalan saja. Sebentar lagi kita akan sampai""Sebenarnya kita akan ke bukit mana?""Gros morne.""What?"Apa kau gila. butuh 1 hari perjalanan untuk sampai di sana Arumi. Aku tidak mau kita terlambat kembali. Randika dan Rilan bisa membunuhku.""Kau cukup mengantar, kedua pria itu biar aku yang urus.""Wanita keras kepala. memangnya untuk apa kita ke sana," teriaknya dengan wajah kesal.Arumi memilih diam sejenak, lalu menarik dalam-dalam napasnya dan mulai berkata."Itu adalah tempat di mana kedua orang tuaku mengalami kecelakaan. aku tidak tahu persis di jalanan mana mereka meregang nyawa. Jalanan Gros morne cukup panjang jadi aku memilih bukit untuk melepaskan rasa rinduku.Brian h
"Kau menyukai bukit?""Tidak.""Lalu kenapa Kau memilih bukit sebagai tempatmu melepas Rindu?""Biar aku selalu ingat, seberapa benci aku terhadapnya."Arumi menghapus air matanya yang jatuh. Kehilangan kedua orang tua membuatnya hampa, tidak ada lagi seseorang yang akan meneriakinya ketika telat bangun, tidak ada lagi pria tampan yang selalu membela saat omelan ibu menggema. Mereka pergi begitu saja tanpa berkata apapun."Jangan menatap ku seperti itu Brian.""Owh, kau melihatnya," ujarnya terkekeh."Apa kau punya kekasih?""Semua wanita yang mendekati ku hanya menginginkan kekayaan. Dan kau tahu bukan, aku tidak se-kaya kekasih mu.""Bolehkah aku mencium mu?Uhuk ... uhuk ....Mendadak Pria yang sedang menatap matahari terbenam itu terbatuk, mendapati te
Randika mengerutkan keningnya melihat tingkah Arumi yang sedari tadi terus gelisah. "Nikmati sarapanmu dengan benar kenapa kau terus bergerak. Apa kursinya tidak nyaman.""Ti-tidak!""Lalu?"Randika mendorong pelan kursinya mendekat pada Arumi yang sepertinya tidak nyaman dengan dudukannya. "Ada apa Sayang? Apa tempat dudukmu tidak nyaman?""I-itu. Aku ...."Randika mengerutkan dahinya mencoba mengerti dengan ucapan istrinya. Sedangkan Amirta dan Jenny hanya tersenyum kecil melihat bagaimana Arumi malu-malu mengatakan akibat dari ulah anaknya. Untuk itu dia mengambil inisiatif untuk menyudahinya, agar Randika tidak terus bertanya dan membuat Arumi terus merasa malu."Sayang, istrimu hanya merasa tidak nyaman karena ulahmu semalam. Nukan begitu Sayang." Jenny menatap ke arah Arumi yang mulai tertunduk malu."Maksud mommy aku?" Randika menu
Fajar belum menunjukan dirinya, tetapi Randika sudah terjaga. Tatapannya terpaku pada wanita yang tidur di sampinganya. Punggung putih mulus Arumi membuat Randika tidak tahan untuk mengelusnya, yang kemudian membuat Arumi bergerak dengan mata yang masih terpejam."Sayang ...."Arumi terjaga, dia mengucak kedua matanya pelan agar penglihatannya tidak kabur. Perempuan yang baru saja melewatkan malam pertama bersama suaminya itu berusaha duduk. Namun, karena tubuh mungilnya tidak berbalutkan apapun, dia kembali ke posinya dengan kebih manikan selimutnya."Kau sudah bangun?" tanya Arumi saat mendapati pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan ternyum."Aku tidak bisa tidur jika keadaanmu seperti ini Sayang."Arumi mengerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan Randika. "Apa maksudmu dengan jeadaan sepert,i ini, Sayang. Memangnya apa yang terjad
"Kau sudah selesai membuka bajumu Sayang?"Randika keluar dari kaca pembatas antara bagian shower dan buthup dengan handuk yang melilit di pinggangnya, dada kekarnya membuat dia terlihat jantan dengan kulit yang basah.Cukup lama wanita itu mengagumi suaminya hingga tidak sadar pria itu kini sudah berdiri tetap di hadapannya. "Sayang?""Huh?"Randika tergelak melihat ekspresi istrinya yang malu-malu. "Berhenti merada malu, dan singkirkan tanganmu itu. Apa yang ingin kau tutupi, bukankah kita sudah sah."Arumi tidak bisa apa-apa, dia membiarkan Randika membersihkan dirinya, dan membuka sisa pakian dari tubuhnya. Sambil mandi, dia melihat bayangan Randika pada cermin besar yang sedang serius membersihkan bagian belakang tubuhnya. Tanpa sadar dia tersenyum dan bergumam. "Suami ku ternyata sangat tampan."Setelah selesai membersihkan tubuh, dan memakai handuk Ran
Meninggalkan keramaian pada Ballroom hotel, Randika dan Arumi memilih untuk lebih dulu beristirahat. Perempuan itu kelelahan karena lama berdansa bergantian dengan 3 pria. Randika, lalu Amirta, kemudian saudara laki-laki semata wayangnya, Mr Cool, Rilan Harrper. Dan Brian, dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berdansa dengan Arumi, karena sibuk menenangkan Aurela yang sedang merajuk.Randika menggendong Istri tercintanya ala-ala bridal. ( Biar kaya pengantin yang lain gengs 😆.)Arumi menyembunyikan kepalanya di dada Randika karena malu, beberapa orang yang berada di lobi memperhatikan keduanya karena Arumi yang masih memakai gaun pengantin."Sayang, turunkan aku. Banyak orang di sini.""Memangnya kenapa kalau banyak orang.""Aku malu," bisik Arumi."Tidak perlu malu, kita sudah sah.""Tetap saja, ini memalukan Randika." Arumi sedikit meront
Ballroom hotel di penuhi dengan orang-orang berdansa. Dan Evanya, dia hanya bisa menahan kesalnya melihat dari jauh bagaimana Randika begitu lembut memperlakukan Arumi. Adegan ciuman keduanya bahkan membuat perempuan berdarah Jepang itu merasa jijik hingga meninggalkan titik di mana dia dan Damian bersembunyi untuk memantau keadaan.Kalimat janji suci yang di ucapkan Randika bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya. Bagaimana pria itu kini menjadi milik orang lain, mengucapkan janji dengan sempurnah tanpa ada keraguan. Sedangkan dia, kini harus hancur dengan pata hati yang luar biasa. Kehancurannya itu semakin menjadi saat Damian mengatakan semua rencana mereka untuk menghancurkan pernikahan Randika dan Arumi telah gagal.Semua ranjau yang mereka siapkan ternyata sudah di bersihkan tetapi Evanya dan Damian tidak sadar akan hal itu, Detik setelah Arumi memasuki gedung, seharusnya perempuan itu jatuh pingsan karena terkena gas beracun di da
Cantiknya Arumi membisukan dunia Randika, wanita itu muncul dengan begitu anggun. Gaun putih yang melekat pada tubuh rampingnya, membuat dia semakin terlihat cantik. Gaun yang di gunakan Arumi memang terlihat polos. Namun, sangat memukau. Bagian dadanya terlihat sedikit terbuka, tetapi itu yang membuat Arumi terlihat mempesona karena terdapat beberapa swaroski yang menempel di bagian itu.Arumi datang di temani Daddy Amirtha sebagai pendampingnya. Mereka mendekat dan Daddy Amirta menyetahkan Arumi kepada Randika. Hal pertama yang di lakukan wanita itu adalahpp menatap manik Randika yang seperti kebingungan, lalu menggenggam jemarinya erat, agar pria yang memiliki manik mata hitam itu bisa meredahkan ketegangannya.Randika mulai tersadar ketika terdengar seseorang memberikan pertanyaan. "Apa kalian siap?"Keduanya pun menjawab secara bersamaan. "Ya, kami siap.""Baiklah! ... Randika Garrett, ête
Malam itu berakhir begitu kelam untuk Aurela dan Rilan. Gelapnya malam menemani kekecewaan Keduanya dengan angin dingin yang berhembus halus masuk ke dalam sela-sela jendela. Aurela menaikan selimutnya menghirup dalam-dalam aroma tubuh Rilan yang melekat di sana. Membayangkan jika sekarang dia sedang berada di pelukan pria itu, menghabiskan malam bersama hingga matahari terbit."I really miss you, my cold man." Dokter hewan itu menarik dalam-dalam napasnya, lalu membuangnya dengan pelan. "Aku tidak ingin hubungan kita kembali seperti dulu lagi. Please, mengertilah. Aku hanya takut kau melupakanku."Sedang di sisi lain, Rilan tengah gelisah dalam tidurnya, membalikan badan ke kiri lalu ke kanan. Sesekali, dia akan mendesah kemudian duduk lalu kembali mencoba menutup mata lagi. Namun, sekuat apapun usaha nya untuk bisa tertidur, tetap tidak bisa. Pikirannya melayang memikirkan permintaan Aurela untuk menjauhi Arumi.
"Apa kau sudah makan?"Aurela menengada, menggeleng menatap kekasihnya dengan wajah cemberut. "Bisakah kau tidak terlalu lama bekerja, aku tidak bisa terus menunggumu seperti ini, itu membosankan.""Maaf," ujar Rilan lalu mencium pada puncak kepala kekasihnya."Kau tidak ingin berhenti bekerja pada Randika?""Aku tidak bisa," jawab Rilan."Karena Arumi?"Rilan hanya diam, tidak ada satu katapun yang ia keluarkan saat mendengar ucapan Aurela."Jawablah!"Pria bermata elang itu mengeles dagu wanita di depannya. "Kau sangat tahu untuk apa aku tetap berada di dekat Randika, Aurela.""Aku tahu, karena ingin tetap menjaga Arumi.""Jadi untuk apa aku harus menjawab jika kau tahu alasannya.""Randika, bisa menjaganya, dia kekasih yang sebentar lagi akan menjadi su
"Berapa tamu yang akan hadir Tuan?""Entahlah, aku lupa. Bukankah semua undangan kau yang sebarkan?""Semua undangan di atur oleh Nyonya Jenny, Tuan.""Begitukah.""Oui monsieur."Randika mengangguk-ngangguk, dia duduk di salah satu kursi tamu yang di sediakan. "Aku sangat gelisah.""Evanya?""Aku takut Arumi akan tahu jika wanita itu masih berkeliaran, entah apa yang harus aku katakan padanya jika Evanya tiba-tiba muncul besok.""Apa aku perlu melakukan sesuatu padanya?""Jangan! Biarkan saja. Bukankah dia hanya ingin mengatakan selamat tinggal. Jika kita mengusiknya sekarang, dia akan kabur dan bersembunyi lagi.""Tapi Tuan, dia bersama Damian. Apa kau tidak takut jika mereka melukai Arumi atau menghancurkan acara pernikahanmu?""Itu bagianmu."&n