Lamunan itu buyar ketika pintu terbuka dan Randika muncul di sana. Arumi berpura-pura merapikan rambutnya, untung saja dia sudah memakai batrobes untuk menutupi tubuhnya kalau tidak, entah apa yang akan terjadi.
Randika mendekatinya dengan senyum yang penuh godaan pria itu menyematkan lehernya pada bahu Arumi. "Apa yang kau lalukan berjam-jam di kamar mandi? Apa kau sedang menghindariku?"
"Ti-tidak."
"Lalu kenapa kau cukup lama."
"Aku .... Aku, aku hanya sedang merapikan rambutku," ucap perempuan itu terbata-bata.
Randika terkekeh. "Apa kau malu denganku?"
"Aku akan keluar," ucapnya menerobos tubuh Randika yang berdiri tepat di hadapannya.
Bukan main, betapa malunya Arumi saat ini. Bagaimana tidak, Pria itu melakukan penyatuan tubuh tanpa seijin darinya, dia bahkan membuka tanktop yang dia pakai tanpa ragu-ragu.
"Aaaa
"Maaf Tuan, hari ini kau ada rapat penting dengan para pemegang saham," ucap Clarisa sekretaris pribadi Randika. "Aku tahu, Rilan sudah mengingatkanku," jawabnya tanpa menoleh ke arah sumber suara. Randika terfokus pada objek di depannya. Dia memegang tablet sambil melihat sebuah titik yang menunjukan di mana Evanya dan Damian berada. Dia duduk sambil memijat pelipisnya yang terasa pening, itu karena sudah 2 jam dia mengamati titiik merah itu. Namun, titik itu tidak bergeser sedikitpun. Wanita itu kembali membuat masalah dengan kabur dari penjara, dia membayar beberapa penjaga untuk membantunya melakukan siasat untuk bisa mengelabui tiga sekawan itu. Dan Damian, pria yang Randika pikir tidak ada pengaruh apapun untuk kehidupannya kini menjadi bencana. Randika kembali fokus pada pekerjaannya, dia membereskan semua yang di perlukan untuk rapat pemegang saham. Terlalu fokus dengan tumpukan kerta
Lampu Mansion sudah padam, memang dirinya pulang dengan sangat larut, Clarisa membuat hari ini dia lewati dengan sangat berat. Akibat sakit hatinya membuat Randika harus menangani semua rapat sendirian, hingga membuat dia lupa bahwa hari ini ada janji bersama kekasihnya. Namun, setidaknya semua urusan kantor sudah dia selesaikan. Karena setelah pernikahan Randika dan Arumi akan berbulan madu ke kuba. Perlahan, dia melangkah ke arah kamar wanita bermanik cokelat itu. Mungkin saja sekarang Arumi sedang marah padanya. Hari ini dia terlalu sibuk hingga tidak sempat membalas pesan bahkan menerima panggilannya. "Nona enggan makan dari tadi siang Tuan. Sedari pagi dia terus menunggumu." ucap Minora yang tiba-tiba muncul di balik punggungnya. Benar saja perempuan itu tidur dengan kening yang berkerut penuh kegelisahan. Bibir manyunnya mendakan bahwa dia memang sedang merajuk. Namun, yang di khawarirkan Randika adalah pernikahan mereka sudah di depan mata, jika Arumi
Ketika mata Arumi terpejam, indera pendengarannya aktif. Arumi mendengar keluh kesah Randika yang dia ungkapkan kepada Minora. Baik pernyataan cinta, juga rasa penasaran tentang seberapa besar amarah kekasihnya. Dan Arumi bersyukur bisa mendengarnya. Dia bisa tahu, seberapa besar cinta dan keseriusan Randika padanya. Musim telah berganti dari musim gugur menjadi musim dingin. Dan musim dingin kali ini berbeda dari tahun sebelumnya. Musim dingin tahun lalu, dia menangis karena kehilangan kedua orang tuanya. Namun, tahun ini, dia tersenyum menyambut kehidupan barunya. "Kau seharusnya makan Sayang pipi mu terlihat kurus." Arumi menampilkan wajah cemberut, dia mengeratkan pelukan kekasihnya. "Aku lapar," ucapnya pelan. Randika menatap jam tangannya, jam menunjukan sudah lewat tengah malam. Dia yakin para pelayan juga sudah tidur. Dia berfikir sejenak, mungkin saja Minora belum tidur. Randika berg
"Kau ingin membuatnya sendiri Tuan?" "Jika bisa, aku tidak akan membangunkanmu bodoh!" "Baiklah, pertama-tama kita akan membuatkan telur." Sejenak dia menoleh ke arah tuannya. "Telur apa yang di inginkan Nona?" "Telur apa? dia hanya mengatakan nasi goreng tidak dengan telurnya." "Jadi intinya kau tidak tahu telur apa yang di sukai calon istrimu?" tanya Minora dengan nada mengejek. Tidak tahu apa yang harus dia katakan, Randika menggunakan kekuasaannya dan menekan Minora agar diam. "Tutup mulutmu dan lanjutkan pekerjaanmu atau gajimu akan aku potong." Minora memelototi Randika. "Dasar penjajah." "Aku akan membantu menggoreng telurnya, tapi kau harus tetap memperhatikannya jangan sampai gosong," ucapnya yang di sanggupi oleh pelayan cerewet itu. Randika memecahkan telur dengan hati-hati ke dalam wajan. D
Malam itu berakhir dengan Arumi yang kembali tertidur setelah makan. Keduanya menghabiskan waktu menonton drama televisi hingga akhirnya mata Arumi lelah dan terlelap di pelukan kekasihnya. Randika memperbaiki posisi tudur kekasihnya lalu menyelimutinya dengan selimut tebal. Yang terakhir, dan selalu tidak terlewatkan. Pria dengan manik hitam itu memberikan kecupan pada bibir kekasihnya, cukup lama hingga membuat Arumi melenguh lalu bertukar posisi membelakangi Randika. "Kita akan melewati sepanjang malam bersama saat sudah menikah nanti. Tetapi, lihatlah. Kau bahkan sudah membelakangiku sekarang. Aaaah, kau sangat tidak Romantis." Pria itu hanya tersenyum melihat tingkah kekasihnya. Randika menahan napas sesaat ketika menutup pintu, dia takut suara pintu yang dia tutup terdengar oleh Arumi. Berhasil menutup pintu tanpa suara, Randika malah di kagetkan dengan suara yang tiba-tiba muncul. "Aku
Seorang pria dengan hoddi hitam dan topi berjalan menelusuri gang-gang kecil yang sempit. Sambil merokok pria itu melangkah dengan waspada tenggelam di antara gedung-gedung pencakar langit menuju sebuah perumahan kumuh yang gelap. Tidak ada cukup matahari yang masuk ke sana, hanya tersinari lampu-lampu juga di ramaikan dengan lalu lalangnya orang-orang dengan tingkat sosial yang cukup. "Evanya." "Hallo Damian." "Apa kau baik-baik saja?" tanya pria bertopi hitam yang duduk sambil menghembuskan asap dari sisa rokok di tangannya. "No! aku sangat menderita di sini, di mana pun ada banyak nyamuk." "Kau harus bisa terbiasa Evanya." "Bisakah kau memindahkanku ke tempat yang lebih baik, atau aku kembali saja ke apartemenku." "Tidak Evanya, jangan melakukan itu, Randika akan menangkap kita berdua jika kau melakukan hal bodoh lagi." "Lantas aku harus bagaimana, tempat kumuh ini membuat ku hampir gila." Damian membuang pun
Akhirnya Evanya keluar dari persembunyian saat gelap mulai pekat. Jarum jam menunjukan pukul 10 malam, perempuan dengan pakian serba hitam itu berjalan dengan sangat hati-hati. Lirikan matanya tajam melihat keadaan agar tetap aman untuknya.Beberapa menit menelusuri lorong gelap akhirnya dia sampai di depan jalan, terlihat ada mobil hitam dengan semua kaca tertutup sedang menunggunya di sana. Evanya melambaikan tangan membuat pria yang ada di dalam mobil menurunkan kaca jendela. Secepat kilat, dia berlari kecil dan masuk ke dalam mobil, berharap jika tidak ada siapapun yang melihat mereka."Ayo jalan.""Apa ada yang melihatmu?" Damian melirik ke arah spion memeriksa sekali lagi bahwa keadaan sekitar aman dari jangkauan Randika dan kawanannya."Ku harap tidak.""Apa yang akan kita lakukan ini akan sangat beresiko Evanya, apa kau siap?""Aku siap!" 
"Apa kau baik-baik saja?""Aku merasakan mual."Tangan Randika mengelus pelan pada punggung Arumi yang terus saja merasa mual. "Apa yang kau makan pagi ini?""Tidak ada, hanya segelas susu."Randika berfikir sejenak, lalu kembali menatap Arumi dengan tatapan serius. "Sayang, jangan-jangan kau ....""Apa? Kau pikir aku hamil?" Arumi melempar serbet yang dia gunakan untuk mengelap mulutnya ke arah Randika. "Jangan konyol, kita tidak pernah melakukannya."Pria bermata hitam itu tertawa dengan keras. "Aku hanya bercanda Sayang. Kau sangat serius dengan wajah tegang mu itu.""Jangan bercanda dengan hal seperti itu, aku tidak menyukainya. Bagaimana kalau ada yang mendengarnya, mereka akan mengira kalau aku benar-benar hamil.""Tenang saja. Bukankah aku akan menikahimu.""Oh God." Arumi memijat keningnya