Mendengar jawaban memuaskan, Orion langsung bangkit dan mendorong tubuh Gretta hingga ia tenggelam ke dasar bathub.
Gretta menggapai tepian bathub dengan kelabakan setelah mendapatkan serangan mendadak. Tanpa sadar, ia melayangkan tatapan sinis pada Orion setelah wajahnya kembali muncul ke permukaan."Ah, kau berani memelototiku sekarang? Kau benar-benar ingin kuhabisi di saat terakhirmu nanti?" ancam Orion, balas menatap garang."T-tidak, Tuan. Saya tidak sengaja," jawab Gretta, menundukkan wajah.Orion kembali memasang tampang licik. "Kau beruntung, aku masih ada agenda lain setelah ini. Jika tidak, kau akan merasakan ganjaran yang luar biasa sekarang." Orion keluar dari bathub dan mengambil handuk kimono, lalu mengenakannya. "Kau ... nikmati saja hari terakhirmu sebagai manusia. Apa pun itu, kau boleh lakukan sesukamu. Makanlah yang banyak dan bersenang-senanglah. Aku akan meminta Bedros menemanimu besok setelah matahari terbit," ucap Orion sebelum akhirnya meCeklek. "Oh, Acasha, maaf sudah meninggalkanmu sendirian. Kamu pasti bosan, ya?" tanya Demian ketika masuk dan melihat posisi Acasha yang tergeletak melintang di atas ranjang. Buru-buru Acasha duduk dan menyahut, "Ah, kamu sudah kembali, Demian? Di mana Tuan Athan?" Demian mengernyit. Baru kali ini, Acasha terang-terangan menanyakan Tuan Athan setelah sekian lama. "Tuan Athan ... aku kurang tahu. Kami berpisah di aula depan dan aku langsung ke sini. Kalau kamu ada perlu, aku bisa menemanimu mencarinya." "Oh, tidak, tidak perlu. Aku hanya bertanya saja." Acasha berpikir, mungkin dia berpisah dengan Demian untuk bertemu dengan Tarissa. Tanpa sadar, Acasha tersenyum sendiri. "Kenapa, Acasha? Adakah sesuatu yang menarik ketika aku pergi?" Demian mendekat ke sisi ranjang dan melihat botol minuman di atas nakas. "Oh, botol ini ...." "Ah, itu—" "Ini dari Tarissa, kan? Kapan kamu bertemu dengannya? Apa dia datang kemari?" potong Demian
Acasha terpaku di tempatnya sampai Demian menghabiskan cairan merah dari dalam gelas hingga tetes terakhir. Tepat saat gelas kosong itu diletakkan, Acasha melihat warna mata Demian yang tak lagi biru langit, melainkan merah menyala.Tanpa sadar, Acasha memundurkan langkah dan berlari menjauh dari sana. Kepalanya terasa panas, otaknya mendadak penuh oleh berbagai pertanyaan dan kekecewaan menyelimuti hati."Jadi, selama ini Demian vampir? Bukan hanya Athan? Tapi, kenapa mereka berbeda? Kenapa Demian bisa makan makanan manusia, sedangkan Athan tidak? Kenapa Athan tidak memberitahuku hal sepenting ini? Apa karena itu Demian selalu menjagaku? Tapi, ini tidak mungkin. Aku yakin dia manusia. Dia ramah. Dia baik. Dia berbaur dengan manusia. Dia seorang Presiden Direktur. Dia teman sekamarku. Dia penolongku!"Brak!Acasha membanting pintu kamar dengan sangat keras setibanya di kamar. Napasnya terengah-engah, degup jantungnya memburu. Diusapnya kening yang mulai basah ole
"Demian, apa kamu yakin, sarapanmu itu cukup membuatmu kenyang? Toh, semalam kamu minum darah yang kudonorkan. Apa kamu tidak tertarik meminum darahku pagi ini secara langsung?" celoteh Acasha sembari menyantap sandwich isi daging panggang.Demian mendesah pelan. Ia menyahut setelah menelan sandwich di dalam mulut. "Tentu. Karena aku sudah minum darah semalam, aku tak perlu minum lagi pagi ini. Aku juga masih punya satu kantong di tempat penyimpanan Tarissa. Jadi, terima kasih. Aku tidak tertarik."Acasha mencebikkan bibir. "Baiklah. Tapi, katakan saja kapan pun kamu ingin," balas Acasha lanjut mengunyah sandwich potongan terakhir.Sudah sejak bangun tidur, Acasha menawarkan darahnya kepada Demian. Dia tak lagi merasa takut karena dia sudah sangat yakin bahwa para vampir penghuni mansion ini adalah vampir-vampir yang baik.Meskipun mereka vampir, mereka selalu memperlakukan Acasha selayaknya manusia pada umumnya. Mereka menghargai keberadaan Acasha. Mereka tidak pe
Dalam sekejap, tubuh Acasha ditarik ke belakang dan Demian menutup kaca mobil."Kamu kenapa, sih?!" protes Acasha sembari menepis tangan Demian dari pundaknya. Alisnya berkerut tidak senang dan menatap garang. Namun, ekspresinya berubah saat melihat warna merah menyala di lensa Demian.Demian memalingkan wajah sambil menelan saliva. "Sepertinya, terjadi kecelakaan parah di luar sana," gumamnya pelan.Acasha berkedip cepat setelah tersadar. "Ah, maaf," ucapnya lirih. Ternyata, Demian mencium aroma darah yang terbawa angin, sehingga naluri vampirnya terpanggil. Apalagi di jam-jam rawan seperti ini, pasti Demian sudah sangat kehausan.Dan dugaan Acasha terbukti benar. Tak berselang lama, Demian mengeluarkan tablet merah dari tabung kecilnya. Ia mengeluarkan beberapa butir, kemudian menelannya begitu saja."Apa itu cukup?" tanya Acasha tiba-tiba.Namun, Demian hanya diam dan memandang ke luar jendela. Mobil-mobil masih belum menunjukkan pergerakan. Harus berapa l
Tanpa melepaskan genggaman, Acasha melihat satu-satunya meja makan dengan dua buah kursi di tengah sana. Ia pun mengedarkan pandangan ke setiap penjuru. Rooftop tersebut sudah dihias sedemikian rupa dengan dekorasi bunga-bunga mawar di setiap sisinya. Ia juga melihat ke atas. Puluhan atau mungkin ratusan balon berwarna merah polos dan balon bertabur gliter menghiasi atap kaca yang melengkung mirip setengah bola."Apa ini, Demian?" tanya Acasha terheran-heran."Janjiku dan ... hadiah dariku," jawab Demian menuntun Acasha hingga duduk di kursi."Bukankah ini terlalu berlebihan? Maksudku, kamu pasti menyewa tempat ini hanya untuk kita berdua?" ucap Acasha setelah mereka duduk saling berhadapan."Memangnya kenapa, Acasha? Menurutku, ini pantas untukmu," sahut Demian dengan tenang.Acasha menggeleng pelan. "Bagaimana dengan semua dekorasi ini? Ini ... terlalu ....""Kamu tidak menyukainya?" timpal Demian dengan wajah tegang."Bukan ... Aku sangat sangat menyukainya,
"Mau kuambilkan lagi? Masih ada satu kantong lagi di kulkas. Aku sudah membaginya ke kantong lain," ucap Tarissa disambut anggukan cepat Demian."Tolong ...." Demian mendorong gelas kosongnya ke arah Tarissa.Sambil menunggu Tarissa kembali dengan segelas cairan merah yang manis, semanis Acasha, Demian meletakkan tangannya di depan rusuknya. Degupan jantungnya terdengar keras dan cepat bersamaan dengan perasaan tidak nyaman yang bergelayut di hati."Kenapa aku merasa kesal?" gumam Demian tanpa sadar terus mengingat kejadian malam mencekam itu."Tidak mungkin kamu merasa kesal tanpa ada penyebabnya. Pasti ada, kan?" timpal Tarissa seraya meletakkan gelas berisi cairan merah yang menggiurkan di atas meja, di depan Demian.Demian mengangkat kepala, menatap Tarissa."Nah, sekarang coba ceritakan," pinta Tarissa sembari menyandarkan punggung di sandaran sofa dengan kaki menyilang dan sebelah tangannya menggoyang-goyangkan gelas miliknya yang baru diminum sedikit.Dem
"Apa yang kalian bicarakan sampai jam segini? Aku sudah sangat merindukanmu," bisik sang pria, menghujani kecupan mesra di bibir tebal Tarissa."Oh, apa kau percaya? Demi sudah besar sekarang. Dia bertanya padaku, apa itu cinta? Padahal, rasanya baru kemarin dia tersenyum dengan gusi ompongnya yang imut. Ah, waktu cepat sekali berlalu," balas Tarissa, melingkarkan lengan di pinggang sang pria.Sang pria menaikkan kedua alis tinggi-tinggi. "Apa dia sudah berhasil?"Tarissa mengangguk cepat. "Ya, dia berhasil. Apa kamu tidak mencium aroma manisnya? Masih tercium, lho!" sahut Tarissa sangat antusias.Sang pria menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh pada gelas kaca kosong di atas meja. "Ah, kau benar. Dia berhasil.""Jadi, tidak lama lagi, kan?" ucap Tarissa dengan perubahan intonasi yang terdengar lebih dalam dan serius, tatapan tajamnya tertuju pada lensa merah di hadapannya."Benar. Persiapan juga hampir selesai. Semuanya akan beres lebih cepat, sebelum hari
"Kenapa aku di sini? Sebenarnya, aku sedang bersama siapa? Aku ... tidak bisa melihat wajahnya sama sekali. Tapi, kenapa ... rasanya ... mhh ...."Pikiran dan batinnya terus beradu untuk memenangkan, siapa yang harus ia ikuti? Gairah yang terasa semakin nyata ataukah akal sehat yang terus meneriakkan kata-kata, "Bukankah seharusnya kau bersama Orion?"Dalam sekejap, Gretta mendorong tubuh di atasnya dengan sangat kuat. Namun, ia justru merasakan sakit menghantam kedua tangannya hingga spontan berteriak dan mengaduh."Sampai kapan kamu akan tidur Gadis Malas?" Suara yang tidak asing terdengar jelas di telinga, seketika membangkitkan seluruh kesadaran Gretta.Menatap lurus dengan mata tercengang. "Orion?"Orang yang dipanggil pun tersenyum miring dengan tatapan licik. "Kau sudah berani memanggil namaku? Hanya namaku?"Tubuh Gretta sontak gemetar tatkala menyadari kecerobohan yang telah dilakukannya. Dia tidak berpikir bahwa sosok di hadapannya adalah Orion yang sesungguhnya karena dia y
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a
"Kenapa aku di sini? Sebenarnya, aku sedang bersama siapa? Aku ... tidak bisa melihat wajahnya sama sekali. Tapi, kenapa ... rasanya ... mhh ...."Pikiran dan batinnya terus beradu untuk memenangkan, siapa yang harus ia ikuti? Gairah yang terasa semakin nyata ataukah akal sehat yang terus meneriakkan kata-kata, "Bukankah seharusnya kau bersama Orion?"Dalam sekejap, Gretta mendorong tubuh di atasnya dengan sangat kuat. Namun, ia justru merasakan sakit menghantam kedua tangannya hingga spontan berteriak dan mengaduh."Sampai kapan kamu akan tidur Gadis Malas?" Suara yang tidak asing terdengar jelas di telinga, seketika membangkitkan seluruh kesadaran Gretta.Menatap lurus dengan mata tercengang. "Orion?"Orang yang dipanggil pun tersenyum miring dengan tatapan licik. "Kau sudah berani memanggil namaku? Hanya namaku?"Tubuh Gretta sontak gemetar tatkala menyadari kecerobohan yang telah dilakukannya. Dia tidak berpikir bahwa sosok di hadapannya adalah Orion yang sesungguhnya karena dia y