"Bukankah tadi ... Nyonya bermaksud untuk menyampaikan hal ini pada Nona Acasha terlebih dahulu?" tanya sang pria utusan, khawatir salah dengar.
Varra duduk kembali di sofa. "Ya, memang. Tapi, kurasa ... dia pasti akan setuju. Ya. Dia pasti setuju. Apa lagi yang akan dia lakukan selain menikah?" desah Varra menaikkan kedua alis dan tersenyum lebar.
"Begitu rupanya," gumam sang pria utusan, meluruskan punggung. "Jadi, kapan kira-kira Nyonya siap untuk menikahkan putri Nyonya?"
Kelopak Varra berkedip cepat mendengar pertanyaan yang begitu mendadak. Lagi-lagi, bibirnya melengkungkan senyum manis.
"Secepatnya."
Sang pria utusan tersenyum miring. "Bagaimana kalau besok? Bukan. Dua hari lagi?" tanya sang pria tampan membuat Varra dan Gretta kompak terperangah.
"Apa? Hahaha. Anda tidak bercanda, kan? Bagaimana mungkin kita bisa mempersiapkan pernikahan hanya dalam waktu dua hari?" gelak Varra menggelengkan kepala, tak percaya.
"Nyonya tidak perlu khawatir. Tuan Orion sudah mempersiapkan semuanya," tutur sang pria utusan menatap dengan mata gelap kemerahan yang tampak berkilat-kilat.
"Baiklah kalau begitu. Lagi pula, lebih cepat lebih baik," tukas Varra tersenyum puas.
Usai pembicaraan penting tersebut, sang pria utusan yang belum diketahui namanya itu pun undur diri dari kediaman Ignatius. Gretta yang sudah sejak tadi menahan diri di balik dinding pun menghambur menghampiri ibunya untuk menuntut penjelasan.
"Mom, Mom serius menerima lamaran Tuan Orion ... siapa itu? Mom belum tahu orangnya seperti apa, kan? Nama orang tampan tadi saja Mom tidak tahu, kan? Dan lagi, kita belum pernah mendengar nama Tuan Orion dari Dad," berondong Gretta menyejajarkan langkah di samping Varra yang kemudian mengambil air mineral di atas meja makan.
Ia terus mengamati gerak-gerik Varra yang meneguk minumannya hingga tandas.
"Mom? Jawab, dong," desak Gretta tidak sabar.
Terdengar desah panjang Varra. "Duduklah," titah Varra melirik kursi.
"Ya?" tanya Gretta memiringkan kepala, tidak paham.
Sekali lagi Varra mendesahkan napas, lalu mendudukkan Gretta—yang kemudian berkedip-kedip bingung—di kursi.
"Sekarang, kamu dengarkan ucapan Mom."
Gretta mengangguk patuh dan memperhatikan dengan seksama.
"Satu, Mom serius. Dua, Mom tidak peduli siapa dan bagaimana latar belakang orang itu. Tiga, bukankah ini lebih baik daripada harus buang-buang energi mengusir pembunuh itu?" beber Varra menggerakkan tiga jarinya ke kanan dan ke kiri.
"Ah ... ternyata begitu," angguk Gretta mengerti. "Tapi, Mom, kalau ternyata Tuan Orion benar-benar tampan dan seorang 'sultan' bagaimana? Aku 'kan juga mau. Kenapa bukan aku saja yang menikah dengannya, lalu kita yang pergi meninggalkan Penyihir Putih itu sendirian?" protes Gretta kemudian.
"Kau ini ... tidak dengar ucapan pria tampan utusannya tadi? Dia mau si Rambut Putih itu, Sayang. Biarkan saja dia menikahinya. Yang terpenting, kita bisa segera bebas dari kutukan anak tidak tahu diri itu. Toh, putriku ini sangat cantik. Pasti akan ada pria yang lebih tampan dan lebih 'sultan' daripada Tuan Orion ini," tukas Varra mengusap lembut dagu lancip gadis yang memiliki warna rambut cokelat, sama dengannya.
***
Tok tok tok.
"Acasha, bisakah kau buka pintunya?"
Gadis albino yang berhari-hari hanya bergelung di sudut ruangan memeluk pigura dirinya dengan mendiang sang ayah, perlahan membuka kelopak matanya, mengizinkan secercah cahaya menyusup ke dalam retina. Didengarnya samar-samar suara yang tak terdengar asing baginya.
"Acasha, Mom ingin bicara."
Sekali lagi, Acasha menajamkan telinga. Berusaha meyakinkan diri bahwa suara hangat yang didengarnya bukan sekedar imajinasinya saja.
"Baru kali ini Mom memanggil namaku," batin Acasha dalam hati.
Perlahan, ia mulai bangkit dan tertatih menuju pintu dengan pigura masih dalam dekapan. Ia tak peduli bagaimana kondisi tubuhnya, kesehatannya, bahkan penampilannya yang tidak terurus.
Yang ia pedulikan sekarang hanyalah perasaan haru dan gembira karena untuk pertama kalinya Varra menyebut dan memanggil nama Acasha.
Ceklek.
Pintu yang sudah seminggu lebih lamanya tidak pernah terbuka, akhirnya menampakkan wujud sang empu kamar yang sangat memprihatinkan.
"Oh, My God!" pekik Varra terbelalak, sebelah tangannya menutupi mulut yang menganga, tatapan manik cokelatnya memindai setiap sisi tubuh kurus gadis pucat berambut putih di hadapannya yang sangat lusuh dengan gaun yang sudah tak pantas disebut gaun, rambut panjangnya pun kusut dan acak-acakan.
"Apa yang terjadi padamu? Kau ... apa selama ini kau tidak mengurus diri?"
Varra masih terlihat syok melihat sosok menyedihkan di hadapannya.
"Ah, tidak bisa. Ini tidak boleh dibiarkan," gumam wanita berambut cokelat itu menggigit jari.
Sedangkan Acasha yang terpaku di ambang pintu, hanya menatap Varra dengan tatapan lugu. Rasa yang begitu asing, tapi cukup menyenangkan untuknya.
"Apakah Mom khawatir padaku?" batinnya menerka-nerka.
"Acasha, tolong bersiap-bersiap. Setelah ini, kau harus pergi ke salon dan spa bersama Gretta. Okay? Kau tidak boleh seperti ini," tukas Varra setelah beberapa saat berpikir.
Ia pun bergegas turun dan terdengar memanggil Gretta yang saat itu berada di ruang makan.
"Benarkah? Ini ... bukan mimpi, kan?" gumam Acasha seraya mencubit pipinya yang mulai tirus.
"Auw! Sakit!" Mengusap pipi yang memerah.
"Benar, ini bukan mimpi. Ini nyata! Dad, akhirnya Mom menyebut namaku. Nama Acasha, Dad! Dad seharusnya bisa mendengar ini secara langsung. Andai ... Dad masih ada di sini bersamaku, pasti Dad juga akan senang," ujar Acasha mengusap lembut potret mendiang Stephen dengan mata berkaca-kaca.
"Baiklah. Sekarang aku harus bersiap-siap. Aku tidak boleh mengecewakan Mom dan Gretta," tekad Acasha mulai bersemangat.
Akhirnya, dia bisa mengambil satu langkah ke depan dan beranjak dari jurang kesedihan yang selama ini membelenggu.
Hanya dengan disebut namanya saja, Acasha bisa bangkit dan mendapatkan semangat baru? Bagi orang lain memang terlihat sepele, tapi bagi seorang anak yang selalu diacuhkan dan tak pernah disebut namanya oleh sang ibu semasa hidupnya, jelaslah suatu hal yang sangat dinantikan, menyentuh, mengharukan, dan membahagiakan.
Selama di salon dan spa bersama Gretta, Acasha merasakan keanehan di luar kebiasaan. Gretta terlihat tenang dan tak banyak bicara. Tidak ada pertengkaran yang berarti di antara mereka. Tidak ada pula sikap menyebalkan dan kekanak-kanakan seperti yang biasa Gretta lakukan pada Acasha. Ia benar-benar menjaga sikapnya dengan baik.
"Apakah karena di tempat umum?" batin Acasha mengira-ira.
Namun, ternyata sikap Gretta yang aneh itu masih terus berlanjut. Setibanya di rumah, Gretta juga tidak melakukan kebiasaan buruknya yang memperlakukan Acasha dengan semena-mena. Tidak ada umpatan, makian, dan hinaan yang keluar dari mulut tajamnya.
Tak berbeda pula dengan Varra. Varra justru memasakkan steik sapi dengan kematangan rare dan red wine kesukaan Acasha. Mereka pun makan malam bersama di meja makan penuh suka cita.
Suatu pemandangan langka dan baru bagi Acasha yang selama ini hanya makan ditemani mendiang Stephen dan bahkan lebih sering seorang diri karena Stephen sangat sibuk dengan segala urusan bisnisnya.
"Mom, terima kasih untuk makan malamnya. Aku ... sangat suka," ucap Acasha tulus. Ia pun beranjak membereskan piranti makan, kemudian mencuci piring.
"Syukurlah kalau kamu suka. Setelah ini, beristirahatlah," ujar Varra sebelum menjauhi meja makan.
Usai mencuci piring, Acasha kembali ke kamarnya yang tak lagi terkunci. Tapi, ia tak lagi mempermasalahkan hal itu karena hari ini Gretta sudah bersikap baik padanya.
Namun, di luar dugaan, begitu di dalam kamar, Acasha terkejut bukan kepalang! Sebuah gaun pengantin berwarna serba putih sangat cantik dan indah tersemat di tubuh manekin pucat di kamarnya.
"Gaun siapa ini??"
Tubuh Acasha terpaku, manik violetnya bergetar, tak berkedip. Kedua tangannya menutup mulutnya yang sedikit terbuka. Ia pun menelan saliva yang terasa gersang dengan susah payah. "G-gaun siapa ini? Kenapa ... ada gaun pernikahan di sini?" Ia pun memundurkan langkah dan kembali menarik kenop pintu untuk menunjukkan benda asing yang berada di kamarnya pada ibunya. Namun, begitu pintu terbuka ... "Ah! Mom!" Acasha sontak terperanjat dan meloncat ke belakang. "Maaf, Mom .... Aku terkejut," gugup Acasha, menepuk-nepuk jantungnya yang berdegup kencang. Varra yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kamar Acasha pun masuk ke dalam kamar dan melipat tangan di depan dada, memandangi manekin bergaun pengantin putih. "Bagaimana? Kamu suka, kan?" tanya Varra sontak melebarkan kelopak mata Acasha yang baru saja tertunduk. "Apa maksudnya suka, Mom?" Acasha mengerjap tak mengerti. Varra memutar bola mata, lalu menatap gadis yang kebingunga
"Ehem. Kami akan turun. Silakan panggil kami jika kalian butuh sesuatu," deham Varra seraya menarik lengan Gretta yang terpana melihat ketampanan calon kakak ipar. "Ayo, turun!" bisik Varra pada gadis yang masih enggan beranjak. "Mom! Gretta!" panggil Acasha yang tak nyaman ditinggalkan berdua saja dengan calon suami yang tidak dikenalnya. Namun, apa daya? Ibu dan saudarinya sudah lenyap dari pandangan. Mau tidak mau, Acasha harus tetap berada di tempatnya bersama pria rupawan yang menjulang di hadapannya. Tak lama setelah derap langkah tak lagi terdengar, mendadak pintu kamar menutup pelan dengan sendirinya. Tak ada angin ataupun seseorang yang mendorong pintu yang semula terbuka lebar itu. Seketika bulu roma Acasha meremang. Ia pun melempar pandang pada sang calon suami yang kini tersenyum lebar menampakkan gigi taringnya yang tajam. Pupilnya yang merah terlihat semakin menyala terang. "Apa aku salah lihat?" batin Acasha. Ia tersenta
Acasha mendesahkan napas dan refleks tersenyum miring."Masa depanku?" gumamnya sembari menutup tirai.Tanpa keraguan, Acasha melangkah mendekati pintu, membuka kunci dan melebarkannya. Udara dingin berembus tatkala pintu terbuka, menerbangkan setiap helaian rambut putih Acasha yang panjang terurai. Saat itulah sosok pria bermata biru terlihat sangat jelas di hadapannya.Iris birunya secerah langit di musim panas, wajahnya oval dengan rahang yang kuat, kulitnya seputih gading, hidungnya mancung, dan rambutnya berwarna cokelat karamel. Tubuhnya dibalut mantel musim dingin warna hitam yang cukup hangat.Sang pria menatap ramah gadis yang mengenakan dress piyama bermotif bunga mawar."Senang bisa bertemu lagi dengan Nona," sapanya menyunggingkan senyum manis.Selang sedetik, Acasha membalas dengan senyum datar dan tatapan garang. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini? Anda seorang penguntit, ya?" tanya sang gadis penuh selidik."Maaf jika kedatangan saya membuat
"Oh, atau mungkin dia sudah di bawah? Ya, ya. Mungkin saja," cetus Varra beranjak melewati Gretta yang membenarkan posisi handuk di kepala. Belum sempat menginjakkan langkah di anak tangga pertama, Varra memutar tubuh. "Gretta, ikut Mom. Bantu Mom cari anak tidak tahu diri itu!" titahnya kemudian. "Mom, aku belum mengeringkan rambut. Kenapa harus repot-repot mencarinya, sih? Dia tidak mungkin berani kabur dari rumah, Mom. Mungkin dia sedang jalan-jalan di luar," sahut Gretta meruncingkan bibir. "Oh, jalan-jalan di luar, ya? Kalau begitu, sekarang cari dia di luar!" perintah Varra beringsut menuruni anak tangga. "Apa, Mom? Mom tidak salah bicara, kan? Di luar sedang turun salju. Masa iya aku ke luar sekarang? Tidak, aku tidak mau," tolak Gretta menyusul langkah ibunya menyusuri lorong. "Cari sekarang atau tidak ada sarapan!" ancam sang ibu terus melangkah cepat. "Mom ...," rengek Gretta mencebik bibir. Ia pun mengentakkan kaki s
Acasha menggigit bibir dan terus menatap boarding pass di tangan. Sebentar lagi dia akan meninggalkan Ispanika, tempat di mana ia tumbuh bersama keluarga Ignatius karena dia memilih untuk pergi bersama seorang pria yang baru dua kali ditemuinya bernama Demian, demi menghindari pernikahan yang tidak diinginkan. Ya. Acasha memang pengecut. Dia lebih memilih melarikan diri daripada menghadapi masa depan yang sudah ditentukan sepihak oleh ibunya. Tapi, bukankah hal itu wajar dilakukan untuk seseorang yang ingin memperjuangkan impian dan cita-cita yang belum tercapai, sementara pendapatnya tidak didengar? Tapi, apakah ini keputusan yang tepat? Apakah ini sepadan dengan kekecewaan yang harus diterima oleh keluarga dan calon suami yang sudah berharap penuh padanya? Bagaimana jika ibu dan saudarinya semakin membenci Acasha? Tapi, bukankah itu semua adalah konsekuensi yang sudah dipertimbangkan sebelumnya oleh Acasha? Lalu, mengapa baru sekarang ia khawatir? Mengapa sek
Tanpa membuang waktu, Demian meninggalkan toilet wanita dan menyusuri lorong, berharap menemukan jejak aroma Acasha yang tertinggal."Fokus, Demian. Fokus!" gumam Demian sembari terpejam beberapa sesaat.Tepat di ujung lorong, samar-samar perpaduan harum bunga Mawar dan Gardenia menyapa indra penciuman Demian. Secepat mungkin ia meninggalkan terminal dan menuju area parkir, kemudian mengikuti aroma tersebut sebelum benar-benar menguap dan diterbangkan angin."Ternyata kau berguna untuk hal semacam ini," gumamnya sembari terus memacu kecepatan mobil sport berwarna navy miliknya yang semakin menderu, membelah jalanan yang lengang.Hingga di suatu titik, tercium aroma khas bunga Anyelir Putih dari vampir Loyal Blood yang masih kental di udara. Terlebih, saat samar-samar harum bunga Mawar dan Gardenia juga bercampur di sana, otomatis berhasil membangkitkan kecurigaan dalam benak sekaligus mempermudah Demian untuk menelusuri dan menemukan keberadaan Acasha.
Sensasi dingin hingga menusuk tulang menggugah alam bawah sadar Acasha untuk segera kembali ke dunia nyata. Lambat-lambat kelopak mata si gadis albino terbuka. Acasha sontak terkesiap mendapati dirinya mengapung dan terbawa arus sungai yang dikelilingi lebatnya pepohonan pinus. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat ke segala arah seolah ingin menggapai sesuatu. Pada saat itulah, genggaman kuat seorang pria memutar tubuh Acasha. Tampaklah wajah pria berambut cokelat karamel yang basah menatap lekat dengan iris biru jernihnya. "Syukurlah, Nona sudah sadar," ungkap Demian penuh rasa syukur. Belum habis keterkejutan Acasha, pelupuknya kembali terbuka lebar. "D-Demian?? Kenapa kita ada di tengah-tengah sungai?? Apa yang sudah terjadi??" panik Acasha balik mencengkeram kuat lengan Demian. Namun, bukannya menjawab, Demian justru memangkas jarak dengan Acasha. "Demian!" "Sstttt .... Tolong, jangan berteriak," bisik Demian merapatkan tubuh dan m
Aroma lezat daging yang baru saja di panggang membelai lembut indra penciuman Acasha, membangkitkan rasa lapar dan menggetarkan indra pengecapnya yang belum mendapatkan asupan sama sekali sejak kabur dari rumah. Melihat kerutan di pelupuk Acasha, Demian menyentuh kening sang gadis yang tak lagi demam. "Nona ...." Acasha mengerjap beberapa saat sebelum pandangannya tertuju pada selimut tebal yang membalut tubuhnya, kemudian piring berisi potongan daging dengan kepulan asap di atasnya. Ia pun menelan saliva. Demian tersenyum seraya mendekatkan piring dengan daging yang masih hangat itu pada gadis di sampingnya. "Nona mau saya suapi?" tanya Demian menawarkan. "Eum ...." Acasha menggeleng pelan. "Saya bisa sendiri," tolaknya lembut, seraya menyambut piring dari tangan Demian. "Pelan-pelan saja," ujar Demian mengambil piring lain di meja. Sambil meniup-niup daging yang mengepulkan asap, Acasha meneliti setiap sudut ruangan.
"Kurang ajar! Beraninya kau pada Tuan Orion!" teriak Gretta yang sejak tadi bersembunyi di balik bayangan Orion. Ia melesat cepat untuk melayangkan serangan kepada Acasha yang berdiri membelakanginya.Namun, dengan gesit, Acasha berpindah dari sana tanpa berhasil tersentuh barang seujung kuku. "Gretta, berhentilah! Aku tidak ingin menyakitimu."Mendengar ucapan Acasha, tubuh Gretta seketika menjadi kaku, kedua kakinya melekat erat dengan lantai dan anggota tubuhnya benar-benar tidak dapat digerakkan sama sekali."Ugh ... kenapa aku nggak bisa gerak? Apa yang kau lakukan padaku?! Lepaskan aku, jalang! Lepaskan aku!!" teriak Gretta sangat lantang."Gretta, apa tuanmu yang sudah mati itu tidak pernah mengajarimu sopan santun? Aku yakin dia sudah pernah mengajarimu, tapi sepertinya otakmu tidak sanggup menyerap pelajaran dengan baik," ucap Acasha dengan ekspresi dan suara bernada datar."Jaga bicaramu! Kau pikir, aku akan bersopan-santun padamu? Cih, jangan harap! Kau bukan Tuan Orion! Me
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a