Tidak mendengar sahutan, Acasha kembali berucap, "Apa ada seseorang di sana?" Namun, selang beberapa saat menunggu, Acasha tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Hmm. Apa aku salah lihat, ya?" gumam Acasha, menajamkan penglihatan. Ia pun melangkah pelan mendekati pintu kamar yang sempat dilewati sekelebatan hitam.Kurang beberapa langkah saat Acasha hampir sampai di depan pintu, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Sontak Acasha terkesiap. Ia berbalik sekaligus melompat dan menjaga jarak sebagai sikap perlindungan diri."Pfft. Hahaha. Maaf, sudah membuatmu terkejut!""Ahh ... Ternyata kau, Chesy," lega Acasha melihat wajah wanita cantik yang dikenalnya seraya mengelus dada."Apa yang kamu lakukan malam-malam di sini? Kenapa jalan mengendap-endap begitu?" tanya Chesy, berhasil memergoki seekor kucing pemberani tengah gagal mengintai mangsa dalam kegelapan."Aku melihat bayangan hitam di sini. Kupikir itu seseorang, jadi aku mencoba mendekatinya. Tapi, kauAcasha menggeliat di atas ranjang, merenggangkan setiap sendi tubuhnya yang terasa kaku setelah berpetualang di alam mimpi. Ia menoleh ke samping, menatap sofa yang sudah kosong bersama bantal dan lipatan selimut tertata rapi."Dia sudah pergi?" batin Acasha, melirik jam dinding masih menunjuk pukul tujuh. "Tapi, ini masih terlalu pagi. Ah, mungkin dia sedang sarapan. Lebih baik aku segera menyusulnya," lanjutnya kemudian bergegas menuju ruang makan.Benar saja. Setibanya di ruang makan, Acasha melihat Demian dan Chesy tengah sibuk membereskan piring dan gelas kotor dari meja makan."Ah, sepertinya aku terlambat," gumam Acasha seketika menarik perhatian Chesy."Oh, Acasha! Sepertinya tidurmu sangat nyenyak," celetuk Chesy sebelum beranjak menuju wastafel."Sepertinya begitu," sahut Acasha melirik pria yang sedang mengelap meja."Pagi, Acasha! Duduklah!" sapa sang pria tampan yang merasa diperhatikan. Ia menarik satu kursi dan mempersilakan Acasha."Eum, aku mau
Namun, harapan Acasha tidak berjalan sesuai keinginan. Ketika di kamar, Demian tidak banyak bicara, menatap saja pun tidak. Ketika di mobil, Demian duduk sangat tenang di samping sopir. Hanya Chesy saja yang sesekali berbincang dengan Acasha. Lalu ketika di kantor, Demian yang lebih senang memberikan instruksi langsung pada Acasha justru mengirim surel mengenai pekerjaan dengan kalimat sangat singkat, jelas, dan padat. Ia juga hanya berkomunikasi langsung dengan sekretaris umum beserta staf lainnya."Ughh ... sabar, Acasha. Sabar .... Orang sabar disayang Tuhan," gumam Acasha ketika menyiapkan setumpuk laporan yang diminta Presdir tampan yang sedang dalam mode dingin itu."Dia memang sengaja membuatku bekerja tanpa henti rupanya," batinnya sambil terus sibuk di depan layar komputer.Tanpa sadar, manik violet Acasha melirik jam di ujung layar. "Ah, sebentar lagi jam makan siang. Aku akan menanyakan tempat di mana dia ingin makan," batinnya lagi.Acasha pun bangkit dari du
Sebuah kotak makan berukuran besar, sebotol air mineral, dan segelas cappucino panas. Oh, terselip secarik kertas di sana. Acasha mengambil dan membuka kertas tersebut."Selamat lembur dan menikmati makan malam Anda. Catatan : harus dihabiskan," gumam Acasha membaca tulisan tangan dalam kertas tersebut. Sontak Acasha meluncurkan tatapan tajam pada Demian sambil meremas kertas dalam genggaman hingga lumat membentuk gumpalan kecil."Setelah pergi seharian, dia kembali dengan memberiku makan malam untuk lembur? Sangat perhatian," batin Acasha, melemparkan gumpalan kertas yang sangat kecil tepat ke tempat sampah.Kekesalan memenuhi ruang hati sang sekretaris sampai ingin memberondong Demian dengan berbagai pertanyaan dalam benak. Namun, keinginan Acasha terpaksa harus ditunda saat ia merasakan lambung kosongnya yang mulai meronta."Hah ... baiklah. Daripada merasa kesal, bukankah lebih baik bila aku berterima kasih dan memakannya?" batin Acasha setelah mengurungkan niat buru
"Apa? Kenapa kulkasnya kosong?" Acasha berpindah membuka setiap bagian kabinet atas. "Dikunci?? Bagaimana aku bisa sarapan jika tidak ada apa pun di sini?"Acasha menggigit bibir dengan gelisah. Ia lantas memindai seluruh area dapur hingga perhatiannya tertuju pada tudung saji berwarna merah di tengah-tengah meja makan. Dengan langkah cepat dan alis berkerut, ia mendekati meja untuk membuka tudung saji tersebut.Benar saja. Setelah tudung saji itu dibuka, dua potong sandwich dan segelas jus apel terhidang di sana. Acasha mendesah pelan sambil menarik sebuah kursi."Bukankah sudah kubilang, aku akan menyiapkan makananku sendiri?" tanyanya pada udara.Mau tak mau, Acasha mulai menggigit sandwich tersebut sambil membayangkan sosok Demian dan Chesy mengenakan apron, menyiapkan sarapan bersama di dapur."Menyebalkan," gerutunya kemudian.***Setibanya di kantor, Acasha langsung disambut Ela, salah seorang sekretaris umum yang tampak sengaja menunggu kedatangan Acasha
Ketiga sekretaris itu keluar dari lift."Ada keperluan apa dia datang ke sini?" celetuk Ela memelankan suara."Aku tidak tahu. Apakah dia ada janji dengan Presdir, Nona Acasha?" tanya Lieke setengah berbisik pada rekan di sampingnya."Tidak ada. Presdir hanya memintaku untuk menyelesaikan laporan sampai beliau kembali," jawab Acasha refleks ikut berbisik.Sejak saat itu, suasana berubah canggung. Ketiga wanita tersebut melangkah dengan kaku menuju arah yang sama bersama. Namun, situasi itu tidak berlangsung lama ketika Ela dan Lieke berbelok menuju meja kerja mereka, sedangkan Acasha harus tetap berjalan lurus menuju ruang eksklusif atasannya yang sekaligus ruang kerjanya."Ah, akhirnya ...." celetuk sang model cantik memindahkan tumpuan ketika melihat sosok sang sekretaris pribadi presdir."Maaf, ada yang bisa saya bantu, Nona?" sapa Acasha bersikap sopan."Saya ingin bertemu dengan Presdir. Bisakah Anda membukakan pintu?" pinta sang model tanpa basa basi."
"Kalau kau bukan salah satu aset perusahaan ini, kau pasti sudah mati."Setelah mendengar kalimat tersebut, cengkeraman tak kasat mata itu terlepas. Tanpa menyeka air mata darah di pipi dan sedikit terbatuk, Zelika langsung bersimpuh di hadapan pria tersebut."Maafkan saya, Tuan. Saya sudah melakukan kesalahan. Saya sangat ceroboh. Mohon ampuni saya, Tuan. Mohon ampuni saya," rintih Zelika menyatakan penyesalannya sambil menatap titik-titik merah di lantai yang berasal dari tetesan air mata darahnya."Bukan hanya kesalahan. Ini kesalahan fatal!" berang sang pria masih menatap sinis."Mohon ampun. Saya sudah sangat ceroboh dan melakukan kesalahan fatal. Mohon maafkan saya, Tuan. Saya berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Mohon ampuni saya, Tuanku Athan Agathias," sesal Zelika sang vampir cantik terus memohon pengampunan dan terus menitikkan tangisan berdarah-darah.Ruangan senyap untuk beberapa saat. Athan Agathias, sang pemimpin dan pemilik klan Agathias,
Sontak Ela terkesiap dan menoleh ke belakang, kedua netranya membelalak lebar melihat wajah cemas pria di hadapannya. "Presdir?? Presdir sudah kembali??"Tanpa menjawab pertanyaan sang sekretaris umum, Demian menatap sensor yang langsung mendeteksi retina matanya dan pintu pun terbuka. Seketika ia berlari ke dalam ruangan dan melihat tubuh Acasha meringkuk di lantai, di ujung sofa.Demian merengkuh tubuh lemah tersebut dalam dekapannya. "Nona ...."Wajah sang gadis terlihat sangat pucat, kulitnya terasa dingin seolah-olah membeku, dan ranumnya tak lagi merah. Keceriaan dari sorot matanya hilang bersamaan dengan sebaris senyuman hambar. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada satu kata pun terlontar dari sana."Permisi, Presdir," ucap Lieke sang sekretaris umum sudah berdiri di belakang Demian. Desah napas cepat tertahan di kerongkongan ketika melihat situasi di hadapannya."No—na A—ca ...." susul Ela, mewakili isi hati Lieke. Lagi-lagi kedua netra Ela bergetar dan mele
"Bagaimana, Demian? Apakah ada bekas gigitan serangga di sana?" celetuk Acasha sontak membuyarkan konsentrasi Demian."Tidak ada. Sebaiknya, kau makan. Kau harus mengisi kembali tenagamu yang payah itu," ucap Demian seketika berbalik dan mengambil baki yang ia letakkan di atas nakas."Apa kau tahu yang sebenarnya terjadi padaku?" tanya Acasha menghentikan pergerakan Demian.Demian mengeratkan rahang dan menarik napas cepat sebelum kembali ke sisi Acasha. "Maafkan aku. Aku sudah memberimu terlalu banyak tekanan dan laporan yang tidak masuk akal jumlahnya," ucapnya sembari meletakkan baki di atas meja.Kening Acasha berkerut. "Maksudnya?"Demian menarik bangku kecil untuk duduk di samping Acasha. "Kamu kelelahan. Itu salahku," dusta Demian."Apa? Itu tidak mungkin. Aku tidak selemah itu," bantah Acasha. Tentu saja ia lebih tahu kondisi tubuhnya dibandingkan siapa pun karena Acasha sangat yakin bahwa selama ini dirinya dalam kondisi sehat dan sangat jarang merasakan s
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a
"Kenapa aku di sini? Sebenarnya, aku sedang bersama siapa? Aku ... tidak bisa melihat wajahnya sama sekali. Tapi, kenapa ... rasanya ... mhh ...."Pikiran dan batinnya terus beradu untuk memenangkan, siapa yang harus ia ikuti? Gairah yang terasa semakin nyata ataukah akal sehat yang terus meneriakkan kata-kata, "Bukankah seharusnya kau bersama Orion?"Dalam sekejap, Gretta mendorong tubuh di atasnya dengan sangat kuat. Namun, ia justru merasakan sakit menghantam kedua tangannya hingga spontan berteriak dan mengaduh."Sampai kapan kamu akan tidur Gadis Malas?" Suara yang tidak asing terdengar jelas di telinga, seketika membangkitkan seluruh kesadaran Gretta.Menatap lurus dengan mata tercengang. "Orion?"Orang yang dipanggil pun tersenyum miring dengan tatapan licik. "Kau sudah berani memanggil namaku? Hanya namaku?"Tubuh Gretta sontak gemetar tatkala menyadari kecerobohan yang telah dilakukannya. Dia tidak berpikir bahwa sosok di hadapannya adalah Orion yang sesungguhnya karena dia y