Delisha tahu cepat atau lambat semua ini akan tiba, walau ia berusaha menguatkan diri dan meyakinkan berkali-kali jika ia bisa melewati ini semua, tapi rasanya tetap saja membuat jantungnya nyaris copot.
Komunikasi terakhir dengan Ayden seminggu yang lalu. Sebenarnya Delisha tak terlalu mengharapkan laki-laki itu, buat apa toh Ayden tidak membantu hanya membuat semuanya makin runyam.
Delisha sedang relaksasi mendengarkan musik agar tidak terlalu panik, karena sejujurnya Delisha sudah merasakan keram di perutnya. Gadis itu hanya bolak-balik di kamar takut ketahuan orang rumah karena bagaimanapun, bangkai yang disimpan rapat itu pasti akan tercium.
Delisha sering melihat video melahirkan. Ia cemas, takut, panik, semua perasaan bercampur karena ia benar-benar akan melahirkan sendirian.
Gadis itu terduduk di kamarnya, sekarang ia tak memakai pakaian apa hanya dalaman. Delisha terdiam mematung di depan cermin melihat pantulan dan mengel
Tak perlu berbasa-basi agar diterima oleh orang lain, karena Delisha tahu takkan ada yang menyukai dirinya.Tubuhnya masih merasa gemetaran. Nenek Ayden baik, lembut, layaknya Oma yang ia punya. Sekarang Delisha seperti tak mau lagi mengenal Oma karena terlalu malu. Wanita hebat itu pasti kecewa berat saat tahu dirinya seperti ini, Delisha kesayangan bisa punya anak di usia semuda ini.Delisha baru selesai membersihkan diri, karena Nenek Ayden tahu gadis itu penuh dengan darah. Nenek Ayden langsung mengurusi bayi merah itu dan menyuruh Ayden beli susu untuk bayi baru lahir. Delisha memakai kaos panjang sampai menutupi pahanya dan celana short sebatas paha. Baju itu diberikan Nenek Ayden. Delisha benar-benar merasakan apa itu rumah, namun sadar diri ini rumah orang.Delisha mendekati bayinya yang sedang tertidur, dan sudah dimandikan dibungkus dengan nyaman dengan banyak kain berlapis. Nenek Ayden masih banyak menyimpan pakaian bayi dan semua pe
Terdiam, hanya duduk dan merenungi nasibnya, apa yang sebenarnya terjadi.Delisha terduduk sambil memeluk lututnya dan melihat ke arah bayi merah yang sedang tertidur. Bagaimanapun ia akhirnya belajar dan menerima jika dirinya sudah menjadi seorang ibu sekarang, bukan lagi remaja normal pada umumnya.Gadis itu menekan payudara yang terasa berat dan mulai mengeluarkan air susu. Awalnya enggan untuk menyusui tapi menyadari kewajibannya Delisha akhirnya mau menyusui bayi ini. Delisha menatap keajaiban itu, dan terdiam. Mungkin ia akan diusir dari rumahnya setelah ini tapi Delisha sudah siap dengan segala resiko yang ada.Delisha hanya diam, ketika melihat Ayden masuk ke dalam dan menggosok tubuhnya dengan handuk.Delisha merasa mereka benar-benar sudah menjadi suami-istri hanya saja tak ada status di antara keduanya. Delisha melihat kembali bayi merah tersebut dan tanpa sadar tersenyum, dia adalah malaikat bagiku. Mungkin kehadirannya tidak
"Mau ngapain?" tanya Delisha sambil menggigit kukunya. Ayden menelpon ingin berjumpa, Delisha tak bebas untuk keluar karena ia belum berani menghadapi kenyataan ini. Gadis itu menoleh ke arah anaknya yang sedang tertidur pulas. Kegiatan Baby Cheryl hanya tidur dan terus tertidur.Gadis itu mengelus-elus pipi bayi merah itu dan tersenyum. Dulu ia menganggap ini musibah, tapi sekarang ia bersyukur Cheryl hadir di hidupnya. Delisha akan menyanyangi. Cheryl dengan sepenuh hati."Anak mami." Delisha masih mengelus-elus pipi itu dan kembali menciumnya, bayi satu minggu yang mengemaskan."Ih, Mami masih muda, tapi Mami senang Cheryl hadir di sini." Bahkan Delisha tak canggung untuk menyebut dirinya seorang ibu, dia bangga."Lisha!" Delisha melihat layar ponsel dan laki-laki itu masih menelpon dirinya."Boleh nggak aku ke rumah kamu?""A-aku nggak tahu. Aku belum laporan kalau aku bawa bayi ke rumah. Aku belum sia
"Timang-timang, anakku sayang. Jangan menangis, Mama di sini." Delisha tersenyum sambil tersenyum. Dia sedang bangga menjadi seorang ibu sekarang. Kegiatannya ia habiskan untuk mengurus Cheryl hingga ia tak lagi merasa kesepian atau terus meratapi nasibnya. Delisha hanya perlu menerima semua ini dan mengurus anaknya hingga besar. Walau orang-orang di rumah ini belum tahu tentang status anak ini. Mereka mengira anak pungut sungguhan dan menyarankan Delisha untuk lapor polisi."Kamu udah mau besar. Bentar lagi bisa jalan, bisa nyanyi, bisa ngomong. Tetap jadi anak kesayangan mami." Delisha mengendong Cheryl dan menowel-nowel pipi bayi itu yang sedang menyedot makannya. Saat melihat Cheryl, Delisha otomatis tersenyum dan semua rasa capek, rasa ingin marah, rasa ingin mengeluh menguap."Kamu sumber kekuatan mami."Sekarang hari Minggu, semua orang berkumpul di rumah. Sebelum para penghuni bangun, Delisha sudah bersiap duluan, dia memasak untuk diri
"Ada apa sih, Pa." Delisha merasa seolah langit runtuh dan menimpa dirinya. Tubuhnya langsung terasa lemas, dia kabur dari kandang singa ke kandang macan. Delisha hanya mencengkram gendongan itu dan terdiam. Dari dulu, dia tak pernah percaya dengan orang tua dan orang dewasa. Baginya orang dewasa itu bengis dan begitu egois. Mereka hanya mau dapat bagian enaknya dan tak mau berkorban atau mereka menuntut agar anak yang lebih mengerti mereka, padahal anak tak pernah minta untuk dilahirkan.Sinta yang bergabung langsung terdiam saat melihat yang berdiri di tangga, begitu juga dengan Ayden yang juga berdiri kaku memegang ransel berwarna coklat tersebut."Oh dia yang hamil itu kan?" Mata Delisha mengikuti Ibu Ayden yang melihat gendongan yang ia bawa berisi bayi bukan umbi-umbian."Mama, Lisha, mau tinggal di sini aja." Delisha menunduk, dia tak pernah minta untuk tinggal di sini. Ayden yang memaksanya dan sekarang terlihat jika dia yang menyuruh l
Delisha pura-pura mencium Cheryl, malu bukan kepalang setelah Ibu Ayden menangkap basah mereka yang tengah ketahuan berciuman."Cheryl tidur di sini aja." Delisha berkata dengan malu-malu, walau Ibu Ayden menatapnya tajam."Nanti kalian nggak bisa ciuman lagi. Awas Cheryl punya adik lagi." sindir Sinta. Delisha malu luar biasa. Gadis itu hanya menunduk dan pura-pura mengelus-elus pipi merah Cheryl. Dia mengangkat wajahnya dan Ibu Ayden masih berdiri di sana. Dia sudah merasa tak nyaman dan besok Delisha bisa diusir rasanya."Mama mau nunggu atau biar Cheryl di sini?" tanya Ayden."Ya udah, tidur sama kalian aja." Delisha bernapas lega saat Ibu Ayden keluar kamar. Dia malu, dia adalah tamu tak undang di rumah ini dan bisa diusir kapan saja.Gadis itu meletakan putrinya yang masih merah dan mengelus-elus pipi Cheryl. Delisha tersenyum, tiada hari tanpa senyum jika melihat wajah polos Cheryl. Bayi ini segalanya untuknya,
"Please, aku nggak mau mati sekarang." Delisha memohon pada Ayden sambil mencengkram tangan laki-laki itu."Astaga serius amat. Nggak kok, tapi kamu nggak bisa pergi malam-malam dengan bayi." Ayden menurunkan gas dan berjalan pelan. Delisha hanya menunduk, hatinya sedih dan seperti tak punya tujuan hidup sekarang. Kamu tidak pernah disukai siapapun Lisha."Ini udah larut. Pulang! Besok aku antarin serius." Delisha menggeleng, bagaimana pun dia harus keluar dari lingkungan toxic yang membuat hidupnya makin kacau. Walau terkadang merasa dia tak punya tujuan tapi Delisha perlu menata hidupnya kembali."Kasian, Cheryl. Kamu jangan keras kepala, Lisha." Delisha tahu dia keras kepala dan mungkin egois tapi keadaan yang membuat dirinya seperti itu. Delisha merasa itu adalah salah satu bentuk pertahanan diri."Nggak mau. Kalau mau, kamu bisa turunkan aku di sini." Ayden hanya menggeleng. Gadis bodoh ini tak tahu bahaya apa yang menimpa dir
"Lihat! Papa datang kan?" ujar Ayden dengan semangat walau di mata Delisha terlihat norak. Tapi gadis itu senang, dia mulai menata hidupnya dan sekarang sedikit membaik.Saat ini pagi hari, akhir-akhir ini Delisha suka sekali menjemur Cheryl di matahari pagi bayi berusia 3 minggu itu makin mengemaskan dan terlihat gemuk. Delisha merasa semakin geram terhadapnya."Orang udah mulai sibuk daftar sekolah. Kamu mau sekolah di mana?" tanya Ayden. Delisha jadi tersadar jika dia belum memikirkan tentang masa depannya yang lain."Nanti bicara sama, Oma." Setiap pagi Delisha bangun dan sarapan setelah itu dia membawa Cheryl untuk berjemur seperti sekarang. Di rumah Oma semuanya tersedia dan dilayani, Delisha bisa melihat dan merasakan hidup yang lebih baik sekarang. Benar kata Ayden dia harus memikirkan tentang sekolah. Delisha boleh punya anak sekarang tapi bukan berarti dunianya berhenti dan kiamat. Hidup terus berjalan sekejam apapun dunia, roda kehid
"Cheryl, jangan cekik adiknya!" Delisha sudah berteriak, melihat Cheryl yang ternyata sangat nakal walau dia perempuan. Hobby manjat, merusak barang, dan membuat adiknya menangis.Delisha mendekat ke arah kedua anaknya dan memisahkan Cheryl dari Auden. Bayi mungil yang nengerjap-ngerjap lucu dan memasukan tangan ke mulut."Mami, makan." Delisha akhirnya mengendong Cheryl dan membawa ke dapur. Putrinya hanya bersandar di bahunya dan terus bergerak-gerak tak nyaman. Delisha merasa Cheryl ini lebih nakal dari Cheryl dan akan jadi preman ketika besar nanti."Mami masak spaghetti. Suka?" Cheryl mengangguk. Di usianya yang yang tiga tahun, Cheryl sudah lancar berbicara dan sangat cerewet."Duduk di meja, atau bantu Mami ngaduk pastanya." Cheryl membantu ibunya mengaduk dengan tangan mungilnya. Bocah itu duduk dekat tungku.Delisha menyiapkan saus untuk pasta mereka. Bayi Auden berusia lima bulan dan harus ekstra menjaganya,
Delisha memperhatikan perut buncitnya. Dengan terusan berwarna abu-abu dia duduk di sofa sambil nonton TV.Sejujurnya, untuk bernapas saja dia kesusahan sekarang. Wanita itu menunduk melihat kakinya yang membengkak."Mami, Sayang." Delisha berbalik melihat suaminya dan tersenyum, Ayden membawa susu di tangannya.Laki-laki itu meletakan gelas berisi susu di atas meja dan menarik kaki Delisha dan memijitnya."Capek bangat, ya?" Delisha hanya mengangguk. Sebenarnya sekarang masih pagi, dia sudah berjalan keliling komplek, disarankan berjalan atau melakukan olahraga kecil agar membantu proses kelahiran. Sedikit takut dan was-was. Saat kehamilan Cheryl dulu, Delisha tidak pernah merasa se was-was seperti ini. Mungkin karena kehamilan dulu tidak dia harapkan dan ketakutan."Kamu ngapaian?" pekik Delisha, ketika merasakan Ayden membuka dress miliknya. Terlihat gumpalan bulat dengan ujung perut yang terlihat memerah, urat-urat
Pesawat lepas landas dari Bandara Leonardo da Vinci di Fiumicino Roma menuju Bandara Punta Raisi di Palermo, ibu kota Sisilia. Cuaca pagi itu sangat cerah.Perjalanan satu jam menuju pulau Sisilia, membuat Mawar menggenggam tangan Juna norak, dia selalu terbayang tempat itu banyak mafia di sepanjang gang dan memegang senjata, salah melangkah, maka kamu akan tewas."Tuh kan, Yang." Mawar berbisik ketika tiba di bandara dan diperiksa langsung oleh seekor anjing herder besar berwarna coklat. Gadis itu mengintip melihat gigi-gigi anjing yang panjang dan tajam, bisa dipastikan semua kulit dan dagingnya koyak.Anjing itu mengendus-endus, jangan sampai ada barang haram yang terbawa masuk ke pulau ini.Setelah mengintip lagi, Mawar melihat banyak turis yang tersenyum cerah sama seperti cuaca di Sisilia pagi ini. Mawar sedikit bernapas lega, tampak tak ada polisi atau tentara bersenjata seperti bayangannya.Sisilia menawarkan keindah
Papergbag berisi banyak makanan, berada di tangannya.Keduanya berjalan sambil tersenyum, dan akan mengumumkan kehamilan Delisha ke orang tua Ayden. Usia yang tak lagi muda untuk mereka semua, tapi, Delisha dan Ayden menyambut antusias kehadiran Cheryl.Dulu sekali, saat masih remaja, bodoh dan naif, mereka merasa kehamilan itu awal bencana, teringat saat keduanya bolos sekolah demi mengugurkan anak walau gagal, berkali-kali menelan pil untuk mengugurkan anak, makan nanas mudah soda seperti yang orang-orang bilang, nyatanya tak berhasil."Mama." Delisha langsung bersorak norak, ketika memasuki ruang tamu.Ibu Ayden yang sudah tua dengan kulit keriput walau masih cantik tersenyum ke arahnya."Mama." Delisha memeluk Ibu Ayden, sosok ibu itu bisa dia rasakan, ketika dia hidup tidak pernah merasakan bagaimana punya ibu yang sayang dan peduli padanya."Papa." Delisha juga memeluk Papa mertua."Mama
"Di antara banyaknya kejadian, di antara semua kejadian yang entah sengaja atau tidak, pertemuan bersama kamu adalah sebuah pertemuan yang selalu membuatku bersyukur di antara semua embusan napas ini.Terima kasih, telah hadir dalam hidupku, terima kasih telah mengisi hari-hariku yang terasa suram dan seolah tak masa depan yang menjanjikan di sana, tapi, kehadiran kamu mencerahkan semuanya." Delisha tersenyum pada Ayden memegangi wajah laki-laki itu. Saat mengingat kisah hidupnya, dan juga perjalanan panjang ini rasanya air matanya terus saja meleleh, Ayden sengaja Tuhan ciptakan untuknya.Ayden menyeka air mata wanita cantik itu. Rumah tangga mereka terasa damai, usia yang matang membuat sama-sama mengerti dan mengalah. Telah saling mengenal nyaris seumur hidup, membuat Delisha dan Ayden sama-sama memahami."Terkadang, kalau dipikir-pikir, semuanya sudah Tuhan atur. Ya, dulu, aku merasa Tuhan kejam dan Tuhan tidak adil, tapi, ketika aku menari
Delisha tidak menyangka, ketika orang lain menikah di usia 20-an, maka, dia akan merasakan jadi pengantin baru di usia 36 tahun. Bukan lagi usia yang muda.Tidak ada acara mewah, tidak ada pesta di gedung seperti menikah banyakan wanita seperti seorang Princess. Cukup, dia terus bersama laki-laki itu.Kerasnya hidup membuat Delisha terus belajar, tak perlu banyak menuntut, asal bersyukur dengan apa yang kamu punya sekarang, maka, semuanya terasa lebih dari cukup.Wanita itu mematut dirinya di cermin. Gaun velvet brokat simple warna putih tulang yang Delisha pilih. Dia akan menambahkan mahkota kecil di kepalanya."Ah, sudah tua." Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri dan menggeleng, takdir menuntun hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya ketika berusia 36 tahun, setelah melewati banyak hal bersama.Tak terasa, bulir bening setitik merembes melewati pipi kiri. Tidak ada yang dia punya di dunia kecuali Ayden. Wanita
"Anak Mami yang cantik, setahun itu rasanya cepat, lambat, menyiksa, kelam, terpendam. Tidak menyangka, kamu pergi untuk selamanya. Setahun berlalu, tapi, Mami tak pernah lihat senyuman kamu kecuali hanya dalam mimpi. Bahkan, udah jarang mami mimpi. Kenapa? Udah nggak rindu Mami, lagi? Udah bahagia di sana?" Delisha masih bersungut sambil curhat, di kuburan Cheryl."Ah, Mami masih belum ikhlas. Tapi ... Hari ini, dengan segala kelemahan, Mami datang untuk pertama kalinya ke sini. Ini bukan hal yang mudah, Nak. Tapi, perlahan Mami bisa bangkit. Kamu pergi, tapi, penyesalan terdalam dari kami semua takkan pernah kami lupa sama kami menyusulmu. Mami tahu, kamu pernah menyebut, Mami sebagai Mami yang kejam di muka bumi ini." air mata itu tak berhenti mengalir, bahkan semakin deras seperti air terjun Niagara. Padahal, Delisha sudah berjanji untuk melupakan semuanya, tapi kembali lagi ke kuburan, sama seperti kembali mengingat memori lama yang tersimpan, dan luka itu kembali
Enam bulan kemudian.Tidak mudah bagi Delisha untuk melewati ini semua. Dia terus saja menangis seperti orang gila, bahkan Delisha memilih resign dari pekerjaannya. Harusnya dia menyibukkan diri dengan bekerja agar tidak mengingat Cheryl terus-terusan, tapi Delisha tahu dia tidak akan bisa bekerja dengan tenang, daripada dia terus menangis saat bekerja, lebih baik Delisha mengurus anak-anaknya—berbagai macam bunga.Mulai menata diri, dan memperhatikan asupan.Bersama Ayden, Delisha bisa sampai sejauh ini. Jika tidak, mungkin dia sudah tinggal nama. Cheryl adalah alasan dia bertahan hidup, tapi saat putrinya pergi, dia tidak punya alasan lagi.Delisha menyisir rambutnya yang terus saja rontok, tapi dia sudah menata hidupnya, makan dengan teratur dan memberi vitamin rambut.Delisha sekarang jadi pengrajin bunga, dia menanam berbagai tanaman di samping rumahnya, yang ada gazebo. Delisha belum berani untuk mengunjung
Detik ini Delisha tahu hidupnya berubah, menit ini dia tahu putrinya yang cantik hanya tinggal nama. Berkali-kali dia pingsan, terbangun dan kembali pingsan, jika dia belum siap menerima kenyataan yang ada.Wanita itu terbaring lemah di atas kasur, jiwanya dibawa pergi, Cheryl pergi! Cheryl meninggalkan dirinya untuk selamanya, putri yang dia rawat dari kecil, putri cantik yang Delisha cinta sepenuh hati. Hatinya begitu sakit, tidak bersemangat untuk melakukan apa-apa."Lisha!" Delisha tak ingin mendengar apa-apa. Rasanya dia hanya ingin menangis, atau ikut meloncat ke kuburan Cheryl.Tubuhnya lemah. Saat merasakan sapuan itu Delisha semakin menutup matanya, jiwanya serasa ikut terbang, tidak ikhlas sama sekali!"Sayang." Delisha memekakan telinga dan mengunci semua indranya.Ini berat! Sangat berat!Ayden tahu, semuanya berubah dan tak lagi sama. Mungkin seumur hidupnya akan dia habiskan untuk penyesalan.