Sepeninggal Tarno, Lastri segera mendekati Dinda dengan membawa keranjang yang ditaruh Dila di lantai.
“Dinda mau beli apa lagi? Ayo kita pilih, Tante temenin,” ajak Lastri pada Dinda yang masih diam memandang keluar toko.
“Ayah dan kak Dila ke mana, Tante?” tanya Dinda dengan wajah polosnya.
“Ayah lagi nganterin Kak Dila pipis.” Lastri sengaja berbohong agar Dinda tidak cemas. “Dinda mau beli apa lagi? Kita bayar ini sekarang atau mau memilih lagi?”
Dinda terlihat berpikir agak lama
Lastri segera paham kalau masih ada sesuatu yang ingin dibeli oleh gadis kecil itu.
“Ayo, Tante antar. Mau beli yang mana?” tawar Lastri pada Dinda yang masih terlihat bingung.
Dengan ragu gadis kecil itu mendekati rak barang berisi pensil warna yang berbentuk lucu. Tadi ia sudah menimang-nimang benda itu tapi segera dikembalikannya saat melihat ayahnya marah pada kakaknya.
“Dinda ma
Dinda mengajak ayahnya berkeliling mall lagi setelah makan piza. Ia ingin melihat seluruh isi mall. Seperti sebelumnya, komentar lucu dan menggemaskan tak pernah berhenti keluar dari bibir mungilnya. Tarno dengan sabar menjawab setiap perkataan atau pertanyaan putri bungsunya tersebut.Dila berjalan berdampingan dengan Lastri kali ini. Tarno sengaja menggandeng Dinda untuk memberikan kesempatan pada Lastri agar lebih dekat dengan Dila dan berbicara lebih banyak dengannya.Namun sepertinya usahanya masih belum membuahkan hasil. Dila lebih banyak membuang wajahnya ke arah lain. Ia selalu mengalihkan pandangannya agar tidak bertatap muka dengan wanita yang akan menjadi calon istri ayahnya.Lastri tidak putus asa dan tetap mengajak Dila untuk berbicara agar ia mau memandangnya. Namun jawaban yang diberikan hanya singkat dan ia tetap menolak untuk memandangnya.Saat melihat toko perlengkapan sekolah, Dila mengajak Tarno untuk masuk. Matanya terlihat berbinar-b
“Apa itu, Dil?” tanya Susanti yang baru keluar dari kamar Dinda saat melihat Dila menenteng sesuatu.“Oh, ini dibeliin Tante Lastri tadi,” jawab Dila seraya menaruh tas plastik yang dibawanya ke atas meja lalu duduk di sofa.Susanti duduk di depan Dila, sambil mengamati tas plastik yang dibawa Dila tadi. Ia lalu mengambil tas plastik yang paling besar dan membukanya dengan cepat karena penasaran. Saat melihat nominal yang tertulis setruknya, ia membelalak kaget.“Ini beneran harganya segini?” tanya Susanti tidak percaya.“Nggak tahu, Bu,” jawab Dila acuh. Ia mulai memencet tombol remote dan menyalakan televisi sambil bersandar pada sofa.“Dil, ini mahal banget loh. Senilai jatah ayahmu setengah bulan. Beneran dibelikan sama wanita yang sama ayahmu tadi?” desak Susanti yang masih tidak percaya.“Iya, Tante Lastri yang bayarin tadi. Malah tadi sama ayah disuruh milih tas yang la
Malam itu Lastri tidak bisa tidur meskipun jam di dinding sudah menunjuk pada angka dua belas malam. Ia masih terbayang dengan kejadian di mobil tadi saat Tarno hampir saja menciumnya.Benarkah lelaki itu mau menciumnya atau hanya kesalahpahamannya saja. Mengapa dia menghentikannya di detik-detik terakhir?Bukannya merasa kecewa karena Tarno membatalkan niatnya. Namun Lastri hanya merasa penasaran apa yang dipikirkan oleh Tarno tadi.Lastri akhirnya baru bisa tidur pada pukul 02.00 dini hari setelah mendengarkan musik klasik untuk mengundang rasa kantuk. Alhasil ia jadi bangun kesiangan paginya.Ia terbangun saat sinar matahari menerobos masuk ke kamarnya lewat sela-sela jendela. Begitu melihat jam dinding, Lastri langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan pergi ke kamar mandi dengan terburu-buru.Setelah mandi dan salat subuh yang sudah lewat waktunya, ia segera ke dapur untuk membuat teh hangat. Rutinitas yang biasa ia lakukan setiap
Lastri menaiki tangga dengan semangat karena ingin menunjukkan pada Dila dan Dinda ruangan yang ada di lantai atas. Baru kali ini ia menunjukkan ruangan di lantai atas kepada orang lain selain mertuanya dan keluarganya. Ia belum pernah mengajak orang lain untuk ke lantai atas sebelumnya. Tarno pun baru kali ini naik ke lantai atas.Sebenarnya Lastri sangat jarang, bahkan hampir bisa dikatakan tidak pernah naik ke lantai atas setahun terakhir ini. Selain karena langkah kakinya yang cukup menyulitkan untuk menaiki tangga, kesibukannya selama setahun terakhir membuatnya tidak sempat untuk melakukannya. Biasanya ia sudah lelah saat pulang dan langsung beristirahat di kamar setelah mandi dan makan malam. Atau menghabiskan waktunya dengan menonton televisi di ruang tamu jika masih belum mengantuk.Selain itu Lastri memang menghindar untuk ke atas karena akan mengingatkan pada rasa kehilangan besar yang pernah dirasakannya. Di lantai atas ada sebuah kamar yang berisi barang-b
Dila sebenarnya masih belum terlalu lapar karena ia biasanya makan siang diatas jam satu siang setelah pulang sekolah. Sedangkan saat ini bahkan masih belum jam dua belas. Apalagi ia banyak makan makanan kecil saat dalam perjalanan kesini tadi. Lastri memang menyediakan makanan kecil di mobil yang disiapkan khusus untuk anak-anak saat dalam perjalanan.Dengan langkah malas, Dila berjalan mengikuti ayahnya dan Dinda yang sudah berjalan terlebih dulu bersama Lastri ke dapur. Sesampainya di dapur mereka semua sudah duduk di kursi. Dinda duduk di samping Tarno. Sedangkan Lastri duduk di depan Tarno. Ada 3 kursi lagi yang masih kosong.Dila hendak duduk di kursi kosong sebelah Dinda, tapi ia urung saat melihat ayahnya memberikan isyarat padanya agar duduk di kursi kosong sebelah Lastri. Dengan perasaan sedikit kesal ia akhirnya duduk di samping wanita yang akan dinikahi ayahnya sambil memasang wajah masam.Lastri menyambutnya dengan senyuman sesaat setelah Dila menda
“Rumah Tante Lastri besar ya, Kak. Mirip rumah di sinetron yang biasanya ditonton ibu,” komentar Dinda saat ayahnya mulai menjalankan mobil dan keluar dari pintu gerbang.Dila hanya mengangguk sambil memandangi rumah Lastri yang memang terlihat megah dan mewah. Bahkan pagar besi dan pintu gerbangnya terlihat kokoh dan mahal. Dalam hatinya ia merasa takjub dan kagum dengan kemewahan rumah Lastri. Ia tidak menyangka kalau wanita yang akan dinikahi ayahnya ternyata adalah wanita yang kaya. Pantas saja ia tidak keberatan saat membelikannya tas yang cukup mahal saat di mall kemarin.Dinda dan Dila terus memandang rumah Lastri saat mobil bergerak menjauh. Mereka bahkan baru menoleh setelah rumah mewah itu sudah tidak terlihat lagi. Tarno melirik dari kaca depan sambil mengamati ekspresi wajah Dila yang masih terlihat masam.“Kita sekarang mau kemana, Yah?” tanya Dinda pada Tarno yang sudah fokus memandang ke depan sekarang. Mobil sudah sampai d
Susanti berpikir keras mencoba mencari cara agar pernikahan Tarno dan Lastri tidak jadi dilaksanakan. Ia masih tidak rela melihat kehidupan Tarno yang akan berubah menjadi lebih baik setelah berpisah dengannya.“Aku harus mencari cara agar rencana pernikahan mereka dibatalkan, tapi apa yang bisa kulakukan? Apakah Aku harus mempengaruhi Dila dan Dinda agar tidak menyetujui rencana pernikahan ayahnya?” batin Lastri dengan pandangan lurus ke depan.“Bu, Aku lapar,” ucap Dila sambil memegang perutnya.Susanti yang tengah melamun tidak mendengar perkataan Dila. Ia masih sibuk memikirkan berbagai rencana untuk menghancurkan hubungan Tarno dan Lastri agar pernikahan mereka tidak jadi dilaksanakan.“Bu ...,” panggil Dila agak keras.“Eh, iya Dil. Ada apa?” Susanti tersentak dari lamunannya saat Dila memanggilnya cukup keras. Diremasnya tas plastik berisi camilan pemberian Lastri tadi lalu diletakkan di atas m
Tarno duduk di kursi teras dengan ditemani secangkir kopi panas yang mulai dingin. Ia baru saja menutup teleponnya setelah menelepon Dila dan Dinda cukup lama. Ditaruh ponselnya di meja lalu menyeruput kopinya yang sudah tidak panas lagi.Tadi ia menghubungi kedua putrinya untuk menanyakan jadwal mereka hari minggu besok. Rencananya ia akan mengajak mereka jalan-jalan bersama Lastri lagi. Usahanya untuk mendekatkan kedua putrinya dengan Lastri sepertinya masih belum membuahkan hasil.Dila sepertinya masih enggan menerima kehadiran Lastri dalam hidupnya sehingga ia menunjukkan rasa tidak sukanya secara terang-terangan dan sering kali bersikap tidak sopan padanya.Tarno menghembuskan nafas kasar. Ia merasa bingung harus menasihati Dila seperti apa lagi. Putri sulungnya yang mulai beranjak dewasa itu semakin sulit untuk dikendalikan. Tidak seperti dulu, saat masih kecil Dila adalah gadis manis yang penurut dan selalu mendengarkan perkataannya.“Kamu la