Richard's
Aku langsung buru - buru keluar dan mencari penjaga, di saat yang sama, aku sudah mengeluarkan ponselku dan terus menghubungi Abe Villich.
"Monsieur Berrardi."
"Di mana Abe Villich?" Tanyaku tanpa basa basi. Di telingaku nada dering masih terus berbunyi, belum diangkat.
Ketakutan dan kekhawatiran mulai melandaku. Dan membuat akal sehatku sedikit demi sedikit tersingkir.
"Tadi sore beliau membawa Nona muda yang pingsan dengan terburu - buru. Pergi bersama Brigitte. Tapi beliau tak mengatakan apapun pada kami."
Aku meninggalkan mereka dan segera berjalan ke mobilku.
"Angkat, s*alan!" Makiku saat panggilanku ta
Richard’sKarena belum diperbolehkan menjenguk Mira, akhirnya kami semua menunggu di lorong rumah sakit. Aku dan Brigitte di satu sisi, dan Abe Villich di sisi lain. Bagus karena dia tak berusaha mendekatiku. Aku tak akan bisa menahan diriku untuk tak menghajarnya jika itu terjadi.Mira tak mungkin collapse tanpa alasan. Pasti ada pemicunya. Memang keadaannya semalam cukup mengkhawatirkan, tapi tadi pagi dia sudah baik - baik saja. Aku seakan tak terima pada kenyataan bahwa collapse nya Mira adalah lanjutan dari episodenya semalam.Brigitte bersandar di bahuku dan merangkul lenganku. Selain untuk menenangkanku, dirinya juga memang butuh seseorang untuk bersandar bukan dalam arti kiasan.“Apa yang terjadi Brigitte?” Aku bertanya pelan.
Lagi - lagi aku terbangun dengan semua hal berwarna putih mengambang di sekitarku. Ini seperti familiar. Tapi aku tak bisa mengingat apapun. Hanya terasa seperti Deja Vu untukku. Aku bangun dan berdiri. Kulihat diriku memakai terusan putih polos dengan kaki telanjang. Elemen yang terinjak di bawah kakiku terasa lembut seperti campuran kapas dan belaian ombak laut yang berbuih. “Ini di mana?” Aku bertanya, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku memegang tenggorokanku agak panik. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku melihat banyak darah di atas selimutku. Apakah itu darahku? Apa artinya aku sudah…. Sungguh, ini terasa amat familiar. Tapi aku tak bisa mengingat kapan, di mana dan dengan siapa aku mengalami semua ini.
Kesadaranku mulai pulih samar - samar. Mataku masih ingin menutup. Di sini terlalu silau dan bising. Tapi mereka belum membiarkanku tertidur lagi. Setiap kali aku memejamkan mata, selalu ada orang yang memanggil dan menepuk pelan pipiku. “Mademoiselle, jangan tidur dulu. Sebentar lagi, Okay?” Suara feminin itu memerintahkan dengan lembut sekaligus tegas di saat yang bersamaan. Aku ingin menjawab. Tapi sesuatu tertanam di mulutku, membuatku susah untuk melakukan hal yang lain selain bernafas dengan teratur dari sana. Mereka masih membicarakan sesuatu, yang aku yakin pasti tentang diriku, tapi aku tak dapat menangkap apapun untuk kupahami. Otakku masih amat berkabut. Yang kuinginkan saat ini hanyalah tidur. Karena badanku terasa luar biasa lelah. Sete
Richard's Gaung sepi menyambutku setelah amarahku sedikit reda. Semua mata yang ada di lorong menatapku dengan tatapan kaget dan menegur. Lalu ada Corrine yang duduk tegak mematung di tempatnya tadi, dengan wajah tertunduk dan tangan mengait satu sama lain di atas pangkuannya. Aku tahu perkataanku tadi pasti menyinggungnya, tapi, daipub harus tahu bahwa dia melakukan hal yang sama padaku. Tak mudah bagiku untuk tak menyalahkan diriku sendiri saat sesuatu terjadi pada Mira. Saat mendengar bisik - bisik para tenaga medis tadi bahwa mereka sempat kehilangan Mira dan setelah kembali, dia terjebak lagi dalam keadaan kritis, semua ketakutan yang paling menakutkan yang tak pernah aku alami dalam hidupku seperti diperlihatkan di depan mataku. Hari - hari tanoa Mira, tanpa mendengar suaranya, tanpa melihat sosoknya, semua itu seoerti mencengkeram jantungku dan seakan
Richard’s Selama Mira dirawat di dalam sana, aku belum pernah menemuinya. Selain melihat keadaannya dari bingkai kaca kotak yang ada di dekat pintu kamar rawatnya, aku tak pernah masuk sendiri ke dalam sana. Baru Madame Louisa, Pak Tua dan Madame Milguetta yang menjenguk Mira ke dalam. Melihat keadaannya di dalam sana membuat hatiku terasa amat sakit. Tubuh kurusnya terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Tubuhnya tersambung banyak kabel untuk menunjang kehidupannya. Selang oksigen di hidungnya, respirator dari mulutnya, oximeter di ujung jarinya dan bahkan kateter untuk menampung metabolismenya. Di samping ranjangnya beberapa suster dan dokter Giuseppe berdiri. Berdiskusi mengenai sesuatu yang tak bisa kami dengar ataupun kami mengerti. Hari ini Mereka bilang Mira akan dioperasi. Tindakan ini ta
Richard's Operasi Mira sudah selesai. Mereka bilang, itu berhasil. Tapi Mira belum sadarkan diri hingga sekarang. Mereka bilang, Mira kembali memasuki fase koma. Keadaannya tersebut membuat suasana sunyi dan tegang yang kami rasakan sejak Mira datang ke sini semakin terasa. Terlebih bagiku. Sudah tiga atau empat hari yang lalu terhitung sejak aku terakhir kali melihat wajahnya. Aku bahkan tak bisa menghitung hari. Rasanya sudah seperti satu abad saja sejak mimpi buruk ini dimulai, dan aku masih belum bisa melihat titik terang yang menjadi akhir dari semua ini. Rasanya mengerikan menjalani hari - hari tanpa Mira. Aku merasa, dia yang memusuhi dan marah - marah padaku terasa lebih baik daripada dia yang tak bergerak di atas brankar rumah sakit begini.
Richard’s Cedric harus cuti dan pulang ke rumah karena istrinya akan melahirkan. Aku pernah ingat dia bilang kalau istrinya hamil lagi, tapi karena banyak hal yang terjadi akhir - akhir ini, semuanya jadi terasa kabur bagiku selain Mira. Terasa lucu, tapi itu yang sebenarnya terjadi. Kepalaku penuh dengan Mira, Mira dan Mira saja. Perasaan yang timbul pun beragam saat aku mengingatnya. Tapi kebanyakan adalah putus asa. Terlebih karena sekarang Cedric cuti, maka aku harus menggantikan tugasnya untuk mengawal Pak Tua melakukan tugas kerajaannya. Bukan hal yang susah. Aku beberapa kali melakukannya dulu bergantian dengan Cedric. Tapi karena Mira sedang dalam keadaan yang tak pasti antara hidup dan mati, hal ini jadi dua kali lebih sulit bagiku. Aku harus memaksa diriku untuk amat fokus agar pekerjaanku tak ada
Richard's "Apa kau mengira bahwa aku akan melarangmu mendekati Mira jika tahu perasaanmu padanya?" Aku sedikit tergagap, tak menyangka akan langsung ditanya seperti ini oleh Pak Tua. Meskipun jika memang demikian yang dia inginkan, sudah pasti aku tak dapat berbuat apa - apa. Aku tak suka, membayangkan saja rasanya mengerikan, tapi aku tak bisa berbuat apapun untuk itu. "Apakah aku pernah menjauhkanmu dari Arlaine meskipun aku tahu sejak awal bahwa perasaanmu padanya bukanlah perasaan sayang seorang sahabat seperti yang kau kira?" Wajahku memerah. Tak tahu lagi harus berkata apa. Rasanya seperti tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang memalukan. Karena tak bisa berkata apapun lagi, akhirnya aku hanya menunduk sambil menggumamkan kata maaf dengan pelan. Bersama Pak Tua Gouireille, rasanya aku seperti kembali menjadi Richard yang berumur 8 tahun, saat pe
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."