"Pak Bowo! Ibu Tina! Ada apa ini?!" teriak salah satu tetangga, mencoba membuka pintu.Namun, pintu terkunci rapat, dan di dalam rumah, suasana semakin kacau. Suara tawa Alya yang menggema membuat beberapa tetangga mundur, wajah mereka pucat."Kang Suhadi mana?!" salah satu tetangga bertanya panik.Seorang pria tua yang baru tiba, Suhadi, tampak berlari tergesa-gesa ke arah rumah sambil membawa lampu minyak. "Saya sudah panggil Mbah Karso! Beliau dalam perjalanan bersama anak buah saya."Sementara itu, di dalam kamar, Alya mulai memanjat dinding dengan cara yang tidak masuk akal, tangannya mencengkeram tembok seperti seekor laba-laba. Ia bergerak ke sudut atap kamar, menatap kedua orang tuanya dari atas."Kalian takut, ya?" bisiknya, suaranya seperti berlapis. "Sebentar lagi, kalian akan tahu apa itu ketakutan yang sesungguhnya!"Tiba-tiba, Alya menjatuhkan dirinya dari atas, langsung menyerang Pak Bowo. Ia menjerit histeris, mencakar dan memukul tanpa ampun. Tina berteriak, mencoba m
Tina duduk di kursi tunggu, menggenggam tangan Suhadi erat-erat sambil terus menangis. Bowo berdiri dengan gelisah, mondar-mandir di koridor tanpa henti. Setiap suara langkah perawat yang melintas membuatnya berharap pintu ruang gawat darurat akan terbuka dan dokter memberi kabar baik.Namun, waktu terus berlalu, dan tidak ada seorang pun yang keluar."Mbah Karso bilang apa tadi, Kang?" tanya Tina dengan suara serak, memecah keheningan.Suhadi menghela napas berat. "Beliau bilang ini belum selesai. Mahluk-mahluk itu hanya pergi sementara, tapi akar masalahnya masih ada. Kita harus mencari cara untuk memutuskan kutukan ini sepenuhnya."Bowo berhenti berjalan, menoleh dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Kutukan? Apa maksudnya, Kang?""Kalian tahu sendiri kalau Alya ... dia terhubung dengan sesuatu dari masa lalu. Ada kaitannya dengan keluarga kita, atau ... mungkin dengan tempat itu."Mendengar kata tempat itu, wajah Bowo berubah tegang. Ia tahu apa yang dimaksud Suhadi. Rumah tua kelu
"Akhirnya istirahat juga setelah konsul terkahir."Narendra terbaring di atas kasur, matanya perlahan terpejam setelah seharian bekerja. Ia juga berusaha mengosongkan pikiran dari kekhawatiran tentang Alya, tetapi bayangan sahabatnya itu terus menghantui pikirannya. Entah kenapa, sejak siang tadi, ada firasat aneh yang mengganggu hatinya.Ketika akhirnya ia terlelap, tidurnya tidak nyenyak. Di dalam mimpinya, ia berada di sebuah hutan yang gelap. Pepohonan menjulang tinggi dengan ranting-ranting yang seperti tangan-tangan kurus merayap. Suara angin berdesir seperti bisikan mengerikan.Tidak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri yang memantul di tengah kesunyian. Ia berjalan semakin jauh, sampai tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu yang licin dan dingin. Ia menunduk, dan matanya membelalak melihat seekor ular besar melingkar di atas tanah, menghalangi jalannya.Tubuh ular itu hitam legam, dengan sisik yang berkilau di bawah cahaya samar. Mata ular itu merah menyala, menatap Narendr
Matahari mulai merangkak naik ketika Narendra tiba di kediaman Alya. Meski mentari pagi mencoba menghangatkan udara, hawa dingin ganjil masih menyelimuti rumah besar itu. Ia memarkir motornya di depan gerbang yang sudah setengah terbuka. Langkahnya terasa berat, seperti ada yang menahan, tetapi rasa penasaran dan kekhawatiran mendorongnya maju.Pintu utama rumah itu terbuka sedikit, menampakkan bayangan seseorang yang berdiri di dalam. Narendra mengetuk pelan, berharap ada yang menjawab.“Mbah Karso?” tanyanya, agak ragu saat melihat lelaki tua itu muncul dari balik pintu.Mbah Karso mengangguk sambil membuka pintu lebih lebar. Wajahnya tampak letih, seperti tidak tidur semalaman. “Masuklah, Naren. Kau pasti mencari kabar Alya.”Narendra mengangguk. Ia melangkah masuk, langsung disambut aroma dupa yang masih menyelimuti ruangan. Seperti biasa, rumah itu terasa sunyi, tetapi hari ini ada aura yang lebih seram dan menyesakkan.“Kenapa rumah ini terasa aneh, Mbah? Di mana Alya?” tanyany
Narendra duduk bersila di lantai depan kamar Bibi Nayu, bersama Mbah Karso dan beberapa orang-orang kepercayaan pria sepuh itu. Mereka adalah orang-orang sepuh yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual untuk membantu ritual. Udara di rumah itu terasa berat, seolah dinding-dindingnya menyimpan rahasia gelap yang siap meledak kapan saja.Mbah Karso menyiapkan dupa dan mangkuk air putih yang sudah diberi daun-daun tertentu. Di depannya, sebuah kitab tua terbuka, memuat doa-doa dalam aksara Jawa kuno yang hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang.“Semua sudah siap?” tanya Mbah Karso dengan suara rendah dan tegas, matanya menyapu wajah-wajah di sekitarnya.“Siap, Mbah,” jawab seorang lelaki tua dengan kain sarung yang melilit tubuhnya.Narendra hanya bisa mengangguk pelan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain mengikuti arahan. Pikirannya terus tertuju pada Alya yang masih terbaring di rumah sakit.“Baik,” kata Mbah Karso. “Kita akan memulai dengan doa penolakan. Doa ini harus
Mbah Karso duduk bersila di depan peti, tangannya menggenggam segenggam bunga setaman yang ia taburkan di atas tutup peti. Lalu, ia mulai melantunkan mantra dalam bahasa Jawa kuno, suaranya pelan, tapi mengalun seperti gelombang yang menembus udara.Narendra memperhatikan dengan saksama, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut Mbah Karso. Namun, sebagian besar terdengar asing. Beberapa kalimat seperti terucap dari zaman yang sudah lama terkubur: “Ojo nganti suwe, ojo nganti gawe petaka. Sira sing ndhelik ing peti iki, bali marang papanmu. Kowe dudu panguwasa ing jagad iki.”Mantra itu terasa menggetarkan, seolah memanggil sesuatu dari dimensi lain. Hawa di dalam kamar semakin berat, dan Narendra merasa sulit bernapas. Tiba-tiba, peti itu bergetar sendiri, menimbulkan suara gemeretak kayu yang membuat jantung Narendra berdetak lebih cepat.“Mbah, apa yang terjadi?” tanya Narendra panik, melangkah mundur sedikit.“Peti ini tidak mau melepaskan isinya begitu saja,” jawab Mba
Mbah Karso tampak tidak terganggu. Ia malah semakin menajamkan pegangannya pada kitab itu dan melanjutkan mantranya. Namun, getaran itu semakin kuat, membuat beberapa murid terlihat mulai gelisah."Mbah, apa ini normal?" tanya salah satu murid yang berdiri di sebelah kanan Mbah Karso."Tetap tenang," jawab Mbah Karso sambil melanjutkan doanya. "Kita harus menyelesaikan ini."Akhirnya, setelah hampir setengah jam memantrai kitab itu, Mbah Karso memberi aba-aba. "Siapkan api!"Narendra memperhatikan salah satu murid menuangkan cairan minyak tanah ke dalam tong tempat kitab itu akan dibakar. Semua orang terlihat tegang.Mbah Karso mengangkat kitab itu tinggi-tinggi, lalu dengan hati-hati menempatkannya di dalam tong. "Mulai bakar ...!"Salah seorang murid menyalakan korek dan melemparkannya ke dalam tong. Api segera menyala besar, menjilat-jilat ke arah kitab yang berada di tengahnya. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat semua orang terkejut.Api itu seolah menolak menyentuh kitab te
Langit berwarna jingga mulai bergeser menuju gelap, dan suasana di halaman belakang rumah Alya semakin tegang. Mbah Karso tampak semakin serius, peluh mengalir di dahinya, tapi ia tetap duduk tegap. Hawa di sekitar terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menekan seluruh tubuh mereka.“Kita harus menyelesaikan ini sebelum tengah malam,” ujar Mbah Karso dengan suara parau, tatapannya menyapu orang-orang yang duduk melingkar. “Nanti malam bulan purnama, dan entitas gaib akan mendapatkan kekuatan penuh. Kalau kita tidak menyelesaikan ini sebelum itu, kita semua akan dalam bahaya besar.”Narendra yang duduk di dekat lingkaran menggigit bibirnya. Kata-kata Mbah Karso menambah tekanan yang sudah ia rasakan. Ia memandangi tong besar di tengah lingkaran yang berisi kitab terkutuk itu, masih utuh meskipun sudah dicoba dibakar.“Mbah, apa kita bisa mengatasi ini tepat waktu?” tanya Narendra dengan nada ragu.“Kalau kalian tetap fokus dan tidak ada yang keluar dari lingkaran ini, kita bis
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban
Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.
Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga
“Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram
Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me
Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah
Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul
Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga
Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan