"Kok Ibu nggak bilang?" Aku mencoba memelankan suara meski tetap terdengar ngegas juga. Bagaimana tidak, bisa-bisanya Ibu tidak bilang kalau Bang Ayas datang bersama kedua orang tuanya. Acara lamaran yang seharusnya mengundang keluarga besar, memang dibatalkan. Tidak ada acara seserahan sebagaimana mestinya karena kedatangan Bang Ayas, Tante Fatma, dan Om Adnan sejatinya adalah untuk meminta maaf atas perbuatan Bang Ayas kepadaku. Kata Ibu, Bang Ayas mengakui semua kesalahannya. Dia memohon agar dimaafkan dan tetap diizinkan menjalin hubungan denganku. "Bu ….""Ibu tetap menyerahkan semua keputusan ke kamu kok, Va. Memangnya Ibu salah menyambut tamu dengan baik?"Ya, tidak salah. Tapi kan Bang Ayas jadi kegeeran! Level kepercayaan dirinya meningkat berkali-kali lipat. Sebenarnya yang membuat aku kesal bukan tentang esensipertemuan itu, melainkan kenapa tidak bilang terus terang kalau mereka datang? "Ibu tidak membenarkan apa yang Ayas lalukan sama kamu. Tapi, Ibu juga tidak berh
Jumlah uang dalam amplop cokelat ini masih sama seperti ketika aku memberikannya kepada Bang Ayas. Sepuluh juta. Tidak kurang, dan tidak lebih. Bahkan kertas pengikatnya masih dari bank yang sama, artinya Bang Ayas tidak membuka uang itu, apalagi memakainya. Uang ini dikembalikan Bang Ayas sebagai tanda setuju atas hubungan kami yang beristirahat—kalau memang tak mau dikatakan berakhir. "Pantang bagiku menerima uang dari cewek." Begitu katanya ketika aku menolak. Ya, wajar. Ini hanya sepuluh juta. Sangat kecil bagi Bang Ayas. Sedangkan tabungannya yang ratusan juta dihabiskan Diandra saja tidak diminta kembali. Dan sekarang, sepuluh juta ini berada di tanganku. Entah akan kugunakan untuk apa, karena rasanya terlalu sayang jika dihambur-hamburkan. Aku mengambil dua juta, lalu menyimpan sisanya. Sembari menenteng kebab yang kubeli via GoFood, aku berjalan menuju kediaman Tante Elin. Anak laki-laki Tante Elin yang berusia lima tahun jingkrak-jingkrak begitu tahu aku membawakannya k
"Ngerti sekarang?" Ingin kucakar wajah Bang Ezra karena tingkahnya yang pongah itu. Namun, tentu saja yang kulakukan saat ini hanyalah mengangguk setelah semua informasi yang dia berikan, tanpa terkecuali.Aku seperti baru saja ditampar sebuah kenyataan bahwa selama ini aku terlalu larut dalam kabut tebal, bergelung, tanpa pernah mencari jalan keluar yang sesungguhnya. Betapa aku mudah percaya dengan berita di luaran sana bahwa Bang Ayas menganiaya Agam lebih dulu. Padahal kenyataannya, semua itu dilakukan untuk membela diri. Hari itu, Bang Ayas diminta datang ke kampus oleh Agam yang mengatakan sedang bersamaku. Tidak salah. Bang Ayas memang sempat melihat aku bersama Agam. Dari kejauhan dia menyaksikan ketika aku berselisih dan menampar Agam. Awalnya, Bang Ayas berusaha abai. Namun, setelah aku pergi, Agam kembali mengirim pesan bahwa dia akan membuat perhitungan denganku karena sudah berani menamparnya di tempat umum. Bang Ayas meradang. Tanpa pikir panjang, dia mencegat Agam
Mau ngumpet aja, tolong! Tolong! Sumpah, manusia bodoh mana yang tiba-tiba membuka blokiran dan langsung bilang kangen? Sepertinya di dunia ini hanya aku yang melakukan tindakan konyol itu! Asli. Sekolah tinggi-tinggi, giliran chat sama Bang Ayas, otak rasanya langsung jeblok. Resva … Resva …."Katanya kangen. Kok, nggak mau angkat telefon?"Tuh, kan. Bang Ayas tuh nggak bisa dibaikin dikit. Dia langsung video call, dong! Mau di taruh di mana mukaku? Panci mana panci?! "Aku juga kangen." Tuh kan! Kenapa Bang Ayas menonaktifkan fitur baca, sih? Padahal dulu kan tidak! Makanya aku taunya, pesan centang dua abu-abu yang belum terbaca. Ah, ribet! Ponsel kembali bergetar lama. Bang Ayas kembali melakukan panggilan video untuk ketiga kalinya. Dengan ragu-ragu, aku mengusap ikon biru. Dalam hitungan detik, wajah Bang Ayas terpampang di layar. Lelaki itu mengernyit. Mungkin karena hanya melihat meja belajar yang berisi laptop dan beberapa buku. "Oh, bisa curang begitu, ya?" Dia men
"Aku masih bau matahari!" Aku membelot saat Bang Ayas mengajak ke kafe setelah Tante Fatma pamit pulang. Pria itu menyugar rambut. "Jangankan bau matahari, kamu bau lumpur juga aku mau."Gombalan receh itu membuat tawaku memburai, tapi tetap saja tidak mampu meluluhkan aku agar mengikuti ajakannya ke luar. Pasalnya, aku masih kucel, kringetan, dan mungkin juga bau asem! "Kenapa nggak makan di sini aja?" Aku melirik lunch box yang tadi dibawa Tante Fatma, sepertinya cukup untuk makan kami berdua. Bang Ayas menoleh ke arah pintu, di mana ada salah seorang penghuni yang baru saja masuk. "Kamu yakin? Aku kangen kamu, loh."Lagi-lagi aku tertawa, lalu menarik tangan pria itu ke arah dapur. Kalau hanya sebatas sini, sepertinya tidak apa-apa. Toh, ada CCTV yang memantau kami. Lagi pula, kalau kangen memangnya mau apa? Bukankah bertemu saja sudah cukup? Aku membuka lunch box, lalu menghidu aroma daun kemangi yang bercampur dengan cumi sambal hijau. Tante Fatma selalu tahu cara menggugah
Aku baru tahu ternyata Bang Ayas yang selama ini terkesan kaku, judes, dan terkadang menyebalkan bisa semanja itu kepada ibunya. Sehabis makan malam, dia terus mengekori Tante Fatma, mengeluh sakit kepala. "Serius, Ma. Mama tega biarin aku nyetir?" Bang Ayas merebahkan kepalanya ke pangkuan Tante Fatma yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tante Fatma mengusap kepala Bang Ayas, menunduk demi melihat lebih jelas. "Mana. Nggak kelihatan yang sakit""Ya, nggak kelihatan, Ma. Sakitnya dari dalam."Acha yang melihat tingkah kakak sulungnya itu hanya tertawa. Ketika ibunya berpaling, dia memberi kode kepada Bang Ayas. Jari dan telunjuknya bertemu, membentuk huruf O. Isyarat itu disambut baik oleh Bang Ayas. Dibalas dengan kode yang sama pula. "Ya sudah, kamu boleh menginap di sini. Tapi, Resva tidur sama Mama." Bang Ayas dan Acha langsung saling pandang, sebelum akhirnya sama-sama mengembuskan napas lelah. Dengan gontai, Acha naik ke lantai dua. "Ngantuk," ucapnya ketika ditanya ken
"Kapan nikah?""Nggak bosen sendirian terus, Yas?""Cuma kamu lho yang belum nikah."Kalimat seperti itu sudah menjadi santapanku sehari-hari. Tidak hanya datang dari keluarga, tapi juga teman-teman semasa kuliah dan juga SMA. Mereka sangat perhatian sampai statusku saat ini menjadi topik utama setiap pertemuan. Biasanya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu membuat aku malas hadir di acara-acara penting. Dan bisa dipastikan aku akan langsung memberikan jawaban menohok. "Belum move on dari Diandra, Yas?" Nama perempuan itu telah lama hengkang dari hatiku. Tepat setelah mengetahui dia menikah dengan Hanif, anak dari adik sepupu Mama yang sewaktu kecil sering mengambil mainanku di rumah. Mendengar nama Diandra tidak membuat aku kembali tenggelam dalam kidung nostalgia. Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk menangisi pengkhianat sepertinya, yang pernah mengemis-ngemis di kakiku untuk dijadikan kekasih, tapi mengobral selangkangan
Bukan Mama kalau tidak rajin menanyai kabar anaknya. Dalam sehari, beliau bisa menelepon dua sampai tiga kali. Anehnya sejak pagi handphone-ku belum menerima panggilan dari wanita itu. Maka, selepas pulang kerja, aku memutuskan untuk video call. Apron merah muda dengan motif bunga-bunga menjadi pusat perhatianku begitu panggilan video terhubung. Di rumah ada dua asisten rumah tangga yang siap melayani keluarga kami karena Mama yang biasanya ikut sibuk mengurus pabrik, tidak punya waktu memasak. Namun, saat ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu berada di dapur, mengenakan apron, dan menyiapkan makanan. "Lihat, Yas, Mama masak enak!" kata Mama dengan antusias. Bisa dibilang keluarga kami berkecukupan. Jadi, sangat berlebihan jika sebatas olahan ayam dikatakan enak. "Tumben Mama masak." Aku menopang dagu dan tidak protes ketika diabaikan oleh Mama. Sepertinya Mama meletakkan ponselnya di suatu tempat sehingga kamera bisa menyorot ke arah yang sedang terlihat sibuk.