Bab. 6
Perempuan bodoh mana yang mau sama bujang lapuk seperti Bang Ayas? Aku yakin sepuluh dari sepuluh wanita yang ditawari pun akan serempak menolak jika ditawari untuk menjadi istri Bang Ayas. Dan aku adalah orang yang tentu saja menolak paling keras tanpa berpikir dua kali, walaupun pada akhirnya Acha ngambek tiga hari tiga malam karena rahasianya kubongkar. Ya, bagaimana, daripada aku harus menjadi istri Bang Ayas. Akibat dari kejujuranku, Acha dimarahi habis-habisan oleh Bang Ayas. Gadis itu dilarang membawa mobil sendiri ke kampus dan ke mana-mana harus diantar. Penjagaannya lebih ketat ketimbang tahanan korupsi kasus proyek E-KTP. Aku sudah meminta maaf ribuan kali, tapi Acha belum juga mau bicara. Dia masih diam seribu bahasa walaupun kami bersama selama di kampus. "Sumpah, Cha. Bang Ayas pinter banget jebaknya biar aku jujur." Entah tampangku seperti apa di depan Acha. Mungkin mirip dengan emak-emak yang membujuk anaknya untuk makan siang. "Cha …." Aku mengguncang bahu Acha. Tapi, seperti mannequin, Acha tetap bergeming. Bibirnya mengerucut, siap dikuncir menggunakan karet nasi bungkus. "Besok-besok kalo mau bohong, bilang dulu ya, Cha, biar aku ngilang." Kalau perlu aku akan semedi di kos-kosan agar tidak bisa ditemukan Bang Ayas. Tiba-tiba saja Acha menoleh ke arahku secepat kilat. Wajah yang masih merengut itu perlahan menatapku penuh selidik. "Jangan bilang kalo kamu udah naksir Bang Ayas.""Ya ampun, Cha!" Aku mengetuk lantai gazebo sebanyak tiga kali sambil berkata, "Amit-amit jabang bayi."Mumpung Acha sudah mulai bicara, maka aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku memegangi kedua bahu Acha, lalu berkata, "Pokoknya, kejadian kayak gini nggak akan keulang lagi. Oke?"Sayangnya, Acha menggeleng lemah. Dia berdecak dengan lesu. "Bang Ayas tuh …."Mungkin sebenarnya Acha juga makan hati menjadi adik Bang Ayas. Aku yang jarang bertemu saja gedek setengah mati, apalagi dia yang setiap hari bertemu, beuh … tidak terbayangkan, deh! "Nomor Agam sampe diblokir sama Bang Ayas." Ada helaan napas lelah yang Acha embuskan setelah berujar barusan. "Tapi, kamu kan bisa hubungin Agam, bisa buka blokirannya kalo di kampus, Cha."Acha memejam. Dia menggeleng. Sudut matanya basah. Ada air mata yang merembes dan pada akhirnya jatuh ke pipi. "Hapeku disadap." Gadis itu menyeka air matanya. "Serius?" Aku tidak menyangka Bang Ayas seposesif itu. Apa ini alasan dia masih melajang? Mungkin pacar-pacarnya juga dikekang sehingga memilih hengkang. Ya, siapa juga yang mau diperlakukan seperti itu? Bukankah setiap manusia punya hak atas kebebasan dirinya sendiri? Serius, manusia seperti Bang Ayas itu mengerikan sekali. Orang lain juga protektif ke keluarga, tapi aku yakin mereka tidak sekejam Bang Ayas. Ini sih sudah keterlaluan.Jujur, aku cukup kaget karena ternyata Bang Ayas terlalu mengekang Acha. Padahal, dulu Acha selalu membanggakan abang sulungnya itu. Dia sampai mengatakan kalau Bang Ayas adalah pria idaman. Makanya, waktu belum bertemu Bang Ayas, aku berekspektasi tinggi dan membayangkan laki-laki itu adalah orang yang menyenangkan. Ekspektasiku semakin tinggi ketika Acha mewanti-wanti agar aku tidak menyukai Bang Ayas. Secara, dia tahu betul seleraku terhadap lelaki. Ganteng itu relatif, tapi kepribadian yang baik adalah nomor satu. "Va …," panggil Acha. "Ya?"Dia menghela napas. "Kamu mau bantuin aku buat ketemuan sama Agam, kan?"***Memang benar adanya bahwa terkadang sifat kakak beradik bisa sebelas dua belas. Seperti halnya Bang Ayas dan Acha. Mereka sama-sama suka sekali menjebak diriku ke dalam situasi yang sulit. Demi bisa bertemu dengan Agam tanpa sepengetahuan kakak sulungnya, Acha memintaku untuk menjinakkan Bang Ayas. Ini bukan gila lagi, tapi keterlaluan. Memangnya tidak ada cara lain untuk main kucing-kucingan? Seperti loncat dari jendela kamar waktu malam hari misalnya. Ups! Aku lupa kamar Acha ada di lantai dua. Loncat dari sana sama saja bunuh diri. Siapa pun akan berpikir ulang sebelum melakukannya. Tapi, ya, Acha sama sekali tidak memikirkan perasaanku yang tertekan setengah mati setiap kali bertemu dengan Bang Ayas. Selain itu, harga diriku juga anjlok karena tiba-tiba minta tolong Bang Ayas untuk diajari menyetir mobil. Iya. Belajar nyertir mobil. Ide gila itu muncul setelah perdebatan panjangku dengan Acha yang tak kunjung menemukan alasan untuk menahan Bang Ayas agar tetap bersamaku selama beberapa jam ke depan.Telanjur berjanji akan membantu dan untuk menebus rasa bersalahku karena sudah membocorkan rahasianya kepada Bang Ayas, aku pun dengan sangat terpaksa akhirnya menuruti perintah Acha. Begitu Bang Ayas menjemput, Acha langsung mengajakku ikut masuk mobil. Dalam perjalanan pulang, barulah Acha menyampaikan maksud dan tujuannya mengapa aku turut serta dengan mereka. Bang Ayas sempat menoleh ke belakang sesaat setelah mendengar ucapan Acha. Dia seperti ingin memastikan dan mengonfirmasi hal itu kepadaku. Sembari mengulas senyum kaku, aku pun mengangguk ragu. "Abang sibuk," kata Bang Ayas beberapa saat kemudian. Dia tetap mengemudi meski sesekali melirikku. "Kasian Resva, Bang." Acha merengek, menjual harga diriku hingga terkesan nelangsa sekali. Aku memang tidak bisa menyetir. Ayah lebih dulu meninggal sebelum sempat mengajari putri semata wayangnya ini mengemudi. Padahal, dulu beliau pernah berjanji akan memperbolehkan aku membawa mobil sendiri kalau sudah dua puluh tahun. Sepeninggal Ayah, keinginanku untuk bisa menyetir perlahan menguap karena mobil satu-satunya milik Ayah dijual untuk modal usaha Ibu. Dan sepertinya kami belum bisa membelinya lagi dalam waktu dekat. "Emangnya Abang nggak kasian sama Resva?" Acha berjuang untuk membujuk Bang Ayas. Karena pendirian Bang Ayas sepertinya tidak tergoyahkan, maka aku pun mengeluarkan jurus andalan, "Nggak apa-apa, Cha. Aku ke tempat kursus aja.""Va …." Acha menoleh dengan wajah memberengut. Pasti dia mengira kalau aku ingkar janji. Gadis itu mengernyit ketika aku mengedipkan mata. Beruntungnya, Acha bisa menangkap kode yang aku berikan. Masih menoleh ke belakang, dia berkata, "Mahal, Va. Mending duitnya buat bayar kos-kosan."Tiba-tiba saja Bang Ayas menyeletuk, "Nanti habis ini.""Beneran, Bang?" Wajah Acha langsung sumringah. Dia memegangi lengan kiri kakaknya yang sedang mengemudi. "Abang baik, deh!" Acha kegirangan, sedangkan aku mulai siap-siap uji kesabaran.Setelah berhasil membujuk Bang Ayas agar mau mengajari aku menyetir, Acha kemudian berakting sakit perut lantaran tamu bulanan. Dia meringkuk di jok depan dan minta diantar ke rumah, mengaku ingin beristirahat sehingga tidak bisa ikut menemani aku dan Bang Ayas. Agar tidak mencurigakan, aku pun pura-pura keberatan kalau harus berdua saja dengan Bang Ayas. Aku berkata ingin membatalkan rencana latihan mengemudi. "Udah pergi aja, Va. Lagian Bang Ayas juga telanjur izin sama Papa," kata Acha. Untuk melancarkan skenario, aku pun tidak beradu argumen dengan Acha. Sikap Bang Ayas yang lebih banyak diam, sedikit memberi keuntungan. Dia seakan-akan manut saja atas titah dari adik tersayang. Maka, di sinilah aku sekarang. Duduk di bangku depan, bersebelahan dengan Bang Ayas yang mengemudikan mobil, meninggalkan komplek perumahan tempat tinggalnya setelah tadi menurunkan Acha. Ada hening yang menjebak aku dan Bang Ayas dalam satu kabin. Sampai akhirnya mobil berhenti di pertigaan lampu merah dan Bang Ayas mengecek ponselnya. "Kalian merencanakan apa?" tanya Bang Ayas tanpa menoleh. "Hah?" Aku yang sebelumnya menatap ke luar jendela mobil, refleks menoleh. "Kalian membohongi saya, kan?"Wah, ini orang ternyata cenayang. Bisa-bisanya dia tahu telah dibohongi."Enggak, kok." Aku mengangkat kedua jari, membentuk huruf V. "Sumpah."Lampu merah telah berganti hijau. Mobil kembali melaju. Bang Ayas menggerutu, tapi aku bisa mendengarnya meski lamat-lamat. Intinya, dia curiga karena aku tiba-tiba minta diajari menyetir."Saya emang udah niat dari lama, kok," kilahku. "Kalau Bang Ayas keberatan, nggak apa-apa. Saya turun di sini aja."Mati aku kalau Bang Ayas benar-benar menurunkan aku di pinggir jalan. Sekarang kami sudah jauh, baik dari rumah Acha maupun kos-kosanku. Mobil terus melaju, bertambah cepat dari sebelumnya. Sampai akhirnya memelan dan berhenti di sebuah jalan yang lengang. "Saya cuma ingin tau alasan kamu.""Alasan apa?" Aku melirik ke bangku pengemudi. "Kenapa minta diajari saya?"Aku rasa itu adalah pertanyaan jebakan. Bang Ayas sudah curiga, dan aku tidak boleh menyerah lagi seperti waktu itu. Mengesampingkan ego dan gengsi, aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Yakin mau tau alasannya?"Bang Ayas diam saja sehingga aku menyimpulkannya sebagai tanda setuju. Jadi, walaupun dia tak merespons, aku tetap memberitahu. "Biar nanti bisa antar jemput anak kalo mereka sekolah." Setelahnya, aku menggigit ujung lidah. Penasaran dengan reaksinya. "Anak siapa?" tanya Bang Ayas dengan dingin. Kedua tangannya masih memegangi kemudi meski mobil sudah berhenti. Aku mengulum bibir sejenak sebelum nekat berkata, "Anak kita."Bang Ayas memalingkan wajah sembari mengepalkan tangan kanan ke bibir. Walau begitu, aku bisa melihat dengan jelas bahwa telinga lelaki itu memerah. "Tapi, kalo Bang Ayas nggak mau, ya udah." Aku melepas sabuk pengaman, pura-pura ingin turun. Ketika aku beringsut, tiba-tiba Bang Ayas menahan tanganku. Tentu saja aku kaget dan menoleh ke arahnya. Kami sempat bertatapan sekian detik. Dan aku menjadi pihak pertama yang memutus kontak mata. Bang Ayas melepaskan tanganku. Dia berdehem, lalu berkata, "Ayo."Tunggu! Kenapa suara Bang Ayas terdengar lebih lembut? ***Bab 7Tolong jangan membayangkan akan ada adegan romantis atau apa pun itu yang membuat kesan bahwa aku dan Bang Ayas sudah akur. Tidak. Suara lembutnya adalah awal dari perseteruan kami yang berujung pada saling menyalahkan satu sama lain. Sudah tahu aku ini pemula dan sedang belajar menyetir, eh Bang Ayas malah mengganggu konsentrasiku. "Bukan begitu. Yang benar begini." Sebenarnya tidak apa-apa kalau hanya berkata demikian, tapi tolong itu tangan dikondisikan! Tidak perlu pegang-pegang tanganku! Memang ya, laki-laki itu makhluk yang membahayakan. Ada kesempatan sedikit saja langsung beraksi. Pegang tangan, pundak, dan …. "Dipangku aja apa gimana?"Kontan saja aku melotot. Mana ada sih orang latihan mobil dipangku? Dikira aku ini anak kecil? Kukira kalem. Ternyata mesum! Bang Ayas menghela napas. "Jangan kaku, jadi nggak gugup injek gas atau remnya.""Bodo, ah!" Karena pada dasarnya keinginan untuk bisa mengemudi sudah hilang, maka aku sama sekali tidak antusias. Kalau bukan
Bab 8Sekarang giliran aku yang ngambek kepada Acha. Pokoknya aku kapok membantunya jika harus mengalihkan perhatian Bang Ayas. Pria itu terlalu buas untuk dijinakkan. Sayangnya, begitu aku cerita kalau Bang Ayas membawa aku masuk ke KUA, Acha malah tergelak. "Jangan baper, Va. Bang Ayas emang bercandanya suka kelewatan."Aku menghela napas. Kalau memang kemarin hanya bercanda, sumpah itu tidak lucu sama sekali. Coba kalian bayangkan, bagaimana malunya aku saat diseret ke KUA, dipegangi erat-erat, dan diakui sebagai calon istri. Tidak hanya itu, Bang Ayas juga menanyakan persyaratan apa saja jika hendak menikah dengan perempuan yang berasal dari luar daerah. Dengan seksama lelaki itu menyimak penjelasan petugas KUA, sama sekali tidak menghiraukan aku yang menginjak kakinya berkali-kali. Itu yang dinamakan bercanda? Atau Bang Ayas sedang menguji apakah aku baper atau tidak diperlakukan seperti itu? Mohon maaf. Aku tidak baper. Kalau jengkel setengah mati sih, iya. "Tenang aja, Va.
Bab 9Kehangatan di ruang makan seketika lenyap tepat setelah Bang Ayas memujiku di depan keluarga dan perempuan yang dijodohkan dengannya. Aku yang tak menduga akan dipuji oleh Bang Ayas, rasa-rasanya ingin sekali menghilang, tenggelam ke dasar bumi dan tak pernah muncul lagi. Denting sendok yang dihempaskan ke piring membuat aku menggigit bibir kuat-kuat. Tante Windi menatapku lebih tajam dari siapa pun. Sorot matanya berkilat-kilat seakan hendak mengulitiku hidup-hidup. Aku menahan napas ketika perempuan itu berdiri dan meninggalkan meja makan tanpa permisi. Kemudian, diikuti oleh Clarisa dan kedua orang tuanya yang sempat berpamitan dengan terburu-buru. Sepeninggal tamu-tamu itu, aku masih belum berani untuk mendongak. Kedua tanganku yang sedingin es kini hanya bisa saling bertaut di bawah meja. "Ayas." Baru kali ini aku mendengar suara Tante Fatma jauh dari kata lembut dan ramah. "Iya, Ma?"Sahutan itu sama sekali tidak mencerminkan rasa bersalah dari seseorang yang telah m
Lemas, mual, menggigil, sakit kepala, dan berhalusinasi adalah beberapa gejala dari penyakit rabies. Sialnya, sekarang aku merasakan itu semua setelah digigit Bang Ayas. Aku curiga, di kehidupan sebelumnya, Bang Ayas adalah seekor anjing gila. Buktinya aku langsung demam begitu diantar dia pulang malam itu. Entahlah. Ini efek digigit Bang Ayas atau efek diajak memutari Kota Jakarta hingga pagi buta. Iya. Laki-laki itu tidak langsung mengantar aku pulang, melainkan jalan tanpa tujuan. Tolong kalian jangan membayangkan kalau aku dan Bang Ayas menghabiskan perjalanan dengan gelak tawa atau minimal senyum malu-malu. Tidak. Kami justru saling membisu dan duduk dengan kaku. Ketika aku protes untuk segera diantar ke kos-kosan, dia hanya bergumam tak jelas. Gara-gara kejadian itu pula, aku sampai diinterogasi satpam kos-kosan. Bang Ayas yang pada akhirnya menjelaskan. Aku tidak tahu bagaimana dia pada akhirnya meyakinkan petugas keamanan karena aku lebih dulu disuruh masuk ke kamar. "Resv
Karena tahu kalau Acha akan ada acara keluarga malam ini, jadi aku tidak berani mengajaknya hangout sepulang kuliah. Dia juga sepertinya buru-buru sekali ketika berjalan ke parkiran. "Bang Ayas udah nunggu. Duluan ya, Va!"Aku hanya mengangguk saja ketika gadis itu melambaikan tangan sembari berlari. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah notifikasi di ponsel. Ada sebuah pesan balasan dari Agam untuk Acha. Belakangan ini Acha memang sering meminjam ponselku untuk berkomunikasi dengan pacarnya. Itu adalah cara teraman bagi Acha agar hubungan mereka bisa langgeng karena Bang Ayas masih saja menyadap handphone-nya. Dengan sangat terpaksa, aku membalas pesan Agam dan mengatakan kalau Acha baru saja pulang. Seharusnya, pemuda itu tak perlu mengirim chat lagi, tapi anehnya dia malah bertanya, "Bisa ketemuan?""Aku Resva," balasku agar dia tidak lupa bahwa aku bukanlah Acha. Selang beberapa detik kemudian, Agam kembali mengirim pesan. "Iya, tau. Gue mau minta tolong. Bisa ketemuan?"
Bab 12Menikah bukanlah tujuan utamaku saat ini. Masih banyak impian yang ingin aku wujudkan agar bisa membahagiakan Ibu. Jadi, kalau ditanya kapan menikah, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Namun, aku berkeinginan akan menikah jika sudah berumur dua puluh lima tahun, bahkan bisa lebih dari itu. Setidaknya masih ada waktu tiga tahun bagiku untuk meraih mimpi; lulus kuliah, berbisnis, dan tentunya meningkatkan value diriku sendiri sebagai perempuan. Kata Ibu, perempuan harus punya value agar tidak diremehkan laki-laki. Perempuan harus mandiri agar tetap bisa berdikari jika sewaktu-waktu ditinggal suami. Perempuan harus bisa membahagiakan dirinya sendiri agar tidak mencuri kebahagiaan orang lain. Dua tahun menjanda rupanya membuat Ibu mendapatkan banyak sekali pembelajaran penting tentang hidup. Beliau yang dulunya sangat bergantung pada Ayah, akhirnya sadar bahwa perempuan harus mandiri meski bersuami. Aku pernah mendapati Ibu menangis, meraung-raung sambil memeluk baju Ayah.
"Va, beneran nggak papa?" Untuk kesekian kalinya, Acha memastikan aku baik-baik saja setelah turun dari mobil Tante Windi. "Nggak papa." Aku berkata seceria mungkin, berusaha melupakan kata-kata Tante Windi yang rasanya nylekit sampai ke tulang-tulang. Kami sedang dalam perjalanan ke gedung fakultas Ekonomi karena sebentar lagi akan ada kelas. Dan sepanjang itu pula, Acha menjelaskan peran Tante Windi di dalam keluarganya kenapa terlalu banyak ikut campur dalam perjodohan Bang Ayas. Tante Windi adalah adik bungsu Om Adnan. Sebagai alpha female, dia lebih suka mengatur dan tak terima bila mendapat penolakan, termasuk dalam urusan keluarga besar. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu tidak dikaruniai anak. Oleh karenanya, dia menganggap anak-anak kakaknya sebagai anaknya juga. Keluarga besar tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Namun, semakin ke sini Tante Windi mulai melampaui batas, mengatur perjodohan untuk Bang Ayas. Bagi Tante Windi, Clarisa adalah perempuan yang di
Aku bersumpah kalau betulan salah orang, mulai besok tidak akan beli nasi goreng di sini lagi. Penjual nasi gorengnya pasti akan mengingat wajahku dan mengenang sepanjang perjalanannya berdagang sampai akhir hayat. Beruntungnya, sebelum aku pura-pura pingsan, laki-laki di depanku berujar, "Kenapa keluyuran?"Walaupun ketus, tapi kalimat itu sudah cukup menginformasikan kalau aku tidak salah orang. Di depanku benar-benar Bang Ayas yang masih lengkap dengan setelan pabrik; jutek dan menyebalkan. Tidak apa-apa. Kali ini aku ampuni. Serius. Anggap saja aku sedang berbaik hati memberikan senyum semanis gula untuk Bang Ayas. Walaupun ya … terkesan kecentilan sih karena tadi sempat jingkrak-jingkrak. "Ikut saya," kata Bang Ayas. Aku yang sudah kembali ke mode kalem, mengatakan kalau aku masih harus menunggu nasi goreng. Tidak enak kalau dibatalkan, apalagi aku memang belum makan. "Bang, tolong pesenan istri saya diduluin, ya."Mengalahkan dosis minum obat, aku harus menanggung malu seban
Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji
Bukan Mama kalau tidak rajin menanyai kabar anaknya. Dalam sehari, beliau bisa menelepon dua sampai tiga kali. Anehnya sejak pagi handphone-ku belum menerima panggilan dari wanita itu. Maka, selepas pulang kerja, aku memutuskan untuk video call. Apron merah muda dengan motif bunga-bunga menjadi pusat perhatianku begitu panggilan video terhubung. Di rumah ada dua asisten rumah tangga yang siap melayani keluarga kami karena Mama yang biasanya ikut sibuk mengurus pabrik, tidak punya waktu memasak. Namun, saat ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu berada di dapur, mengenakan apron, dan menyiapkan makanan. "Lihat, Yas, Mama masak enak!" kata Mama dengan antusias. Bisa dibilang keluarga kami berkecukupan. Jadi, sangat berlebihan jika sebatas olahan ayam dikatakan enak. "Tumben Mama masak." Aku menopang dagu dan tidak protes ketika diabaikan oleh Mama. Sepertinya Mama meletakkan ponselnya di suatu tempat sehingga kamera bisa menyorot ke arah yang sedang terlihat sibuk.
"Kapan nikah?""Nggak bosen sendirian terus, Yas?""Cuma kamu lho yang belum nikah."Kalimat seperti itu sudah menjadi santapanku sehari-hari. Tidak hanya datang dari keluarga, tapi juga teman-teman semasa kuliah dan juga SMA. Mereka sangat perhatian sampai statusku saat ini menjadi topik utama setiap pertemuan. Biasanya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu membuat aku malas hadir di acara-acara penting. Dan bisa dipastikan aku akan langsung memberikan jawaban menohok. "Belum move on dari Diandra, Yas?" Nama perempuan itu telah lama hengkang dari hatiku. Tepat setelah mengetahui dia menikah dengan Hanif, anak dari adik sepupu Mama yang sewaktu kecil sering mengambil mainanku di rumah. Mendengar nama Diandra tidak membuat aku kembali tenggelam dalam kidung nostalgia. Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk menangisi pengkhianat sepertinya, yang pernah mengemis-ngemis di kakiku untuk dijadikan kekasih, tapi mengobral selangkangan
Aku baru tahu ternyata Bang Ayas yang selama ini terkesan kaku, judes, dan terkadang menyebalkan bisa semanja itu kepada ibunya. Sehabis makan malam, dia terus mengekori Tante Fatma, mengeluh sakit kepala. "Serius, Ma. Mama tega biarin aku nyetir?" Bang Ayas merebahkan kepalanya ke pangkuan Tante Fatma yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tante Fatma mengusap kepala Bang Ayas, menunduk demi melihat lebih jelas. "Mana. Nggak kelihatan yang sakit""Ya, nggak kelihatan, Ma. Sakitnya dari dalam."Acha yang melihat tingkah kakak sulungnya itu hanya tertawa. Ketika ibunya berpaling, dia memberi kode kepada Bang Ayas. Jari dan telunjuknya bertemu, membentuk huruf O. Isyarat itu disambut baik oleh Bang Ayas. Dibalas dengan kode yang sama pula. "Ya sudah, kamu boleh menginap di sini. Tapi, Resva tidur sama Mama." Bang Ayas dan Acha langsung saling pandang, sebelum akhirnya sama-sama mengembuskan napas lelah. Dengan gontai, Acha naik ke lantai dua. "Ngantuk," ucapnya ketika ditanya ken