Bab 7
Tolong jangan membayangkan akan ada adegan romantis atau apa pun itu yang membuat kesan bahwa aku dan Bang Ayas sudah akur. Tidak. Suara lembutnya adalah awal dari perseteruan kami yang berujung pada saling menyalahkan satu sama lain. Sudah tahu aku ini pemula dan sedang belajar menyetir, eh Bang Ayas malah mengganggu konsentrasiku. "Bukan begitu. Yang benar begini." Sebenarnya tidak apa-apa kalau hanya berkata demikian, tapi tolong itu tangan dikondisikan! Tidak perlu pegang-pegang tanganku! Memang ya, laki-laki itu makhluk yang membahayakan. Ada kesempatan sedikit saja langsung beraksi. Pegang tangan, pundak, dan …. "Dipangku aja apa gimana?"Kontan saja aku melotot. Mana ada sih orang latihan mobil dipangku? Dikira aku ini anak kecil? Kukira kalem. Ternyata mesum! Bang Ayas menghela napas. "Jangan kaku, jadi nggak gugup injek gas atau remnya.""Bodo, ah!" Karena pada dasarnya keinginan untuk bisa mengemudi sudah hilang, maka aku sama sekali tidak antusias. Kalau bukan karena Acha, aku juga pasti memilih turun dan pulang ke kos-kosan menggunakan ojek. "Niat belajar nggak, sih?" tanya Bang Ayas.Tentu saja suaranya tidak selembut satu jam lalu. Dia sudah kembali ke setelan pabrik; menyebalkan! "Enggak! Ogah saya—"Aku langsung kicep karena menyadari satu hal. Bisa jadi Acha masih ketemuan dengan Agam, dan aku harus mengulur waktu untuk menahan Bang Ayas lebih lama lagi. "Saya …." Aku melirik Bang Ayas takut-takut. "Saya nggak mau dipegang-pegang.""Astaga … saya nggak niat macam-macam," ucapnya dengan geram. "Tetep aja nyari kesempatan!""Saya nggak selera," ujar lelaki itu sembari memalingkan wajah ke jendela. "Kecil," imbuhnya lagi setengah bergumam. Kemudian dia mengaduh setelah mendapat satu pukulan dariku. Enak saja bilang kecil. Situ yang ketuaan! Karena situasi sudah telanjur tidak kondusif, aku dan Bang Ayas saling diam. Aku yang masih duduk di bangku kemudi memilih bersedekap sembari melengos, sementara Bang Ayas memejam sembari memijit kening. Cukup lama kami terjebak dalam kebisuan itu. Memuakkan, tapi aku tidak punya pilihan selain bertahan sampai nanti Acha menelepon untuk memberitahu kalau dirinya sudah pulang. "Pulang?" tanya Bang Ayas tiba-tiba. Aku menggeleng lesu tanpa menoleh. "Latihan lagi?"Sekali lagi aku menggeleng. Aku sudah kapok diajari Bang Ayas. Lebih baik mengeluarkan uang untuk membayar kursus menyetir ketimbang harus dipegang-pegang Bang Ayas. Lagian ini latihan mobil, bukan latihan motor yang butuh keseimbangan dan perlu dijaga oleh pelatihnya. "Maunya apa?" Aku pun sebenarnya tidak tahu harus mengulur waktu seperti apa lagi. Kalau hanya berdiam seperti ini, lama-lama Bang Ayas pasti akan curiga. Di tengah kebingungan, tiba-tiba perutku berbunyi. Ini sangat memalukan, tapi sepertinya akan menjadi alasan yang logis agar aku bisa lebih lama lagi menahan Bang Ayas. Dengan tidak tahu diri, aku nyengir dan berkata, "Makan."Ya Allah, demi Acha aku menggadaikan rasa malu dan harga diriku di depan manusia yang belakangan ini kuhindari. Aku yakin, Bang Ayas mentertawakanku habis-habisan. Dia pasti menganggap aku cewek kere yang memanfaatkan keadaan. Untuk menyelamatkan sisa harga diri, aku buru-buru berujar, "Saya yang traktir."Walau setipis benang, tapi aku masih bisa melihat kalau Bang Ayas mengulum senyum. Laki-laki itu kemudian ke luar dan mengitari kap mobil. Aku masih bergeming di bangku kemudi ketika Bang Ayas mengetuk kaca jendela. Begitu pintu terbuka, Bang Ayas berdiri setengah membungkuk. Tangan kanannya memegangi pintu, sementara tangan kiri menapak pada body mobil. "Nggak mau turun?" Aku yang sedang beringsut turun langsung mendongak. Bang Ayas menaikkan sebelah alis, seperti menantang. Karena dia menghalangi jalanku untuk ke luar, maka aku menyingkirkan tangannya dari pintu dengan kasar. "Minggir!"Bang Ayas terhuyung. Dia terkekeh, kemudian berkata, "Kirain mau dipangku.""Najis!" Ini sumpah, ya. Semakin ke sini, Bang Ayas semakin menyebalkan. Sudah berani macam-macam. Atau dia pikir, aku menyukainya gara-gara tadi sempat menggombal? Lagian, Resva … bisa-bisanya kamu merayu bujang lapuk. Pasti dia GR. Merasa di atas awan makanya ngelunjak. Setelah bertukar posisi denganku, Bang Ayas melajukan mobil. Dia tidak bertanya aku mau makan apa. Lelaki berkaus putih itu juga tidak menginformasikan kafe atau restoran mana yang hendak dituju. Sekitar lima menit setelah mobil kembali melaju, Bang Ayas mendapat telepon dari seseorang. Karena tidak ingin dianggap lancang mencuri dengar, aku sedikit menyerong dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Rasanya, hari ini letih sekali. Padahal jadwal kuliah tidak terlalu padat, tapi entah kenapa energiku mendadak seperti terkuras habis. Bang Ayas masih berbicara dengan lawan bicaranya via telepon ketika aku memejamkan mata. Lama kelamaan suara lelaki itu mulai mengabur dan ….***Tidak ada lagi suara Bang Ayas yang sedang menerima telepon. Ketika mengerjap, yang aku dapati adalah senyap. Aku buru-buru menoleh ke bangku kemudi. Bang Ayas sedang menopang kepala sembari menatap ke arahku. Ekspresinya yang sedatar papan gilesan tampak memendam kekesalan. "Ini …." Aku celingukan, kemudian menyadari bahwa sekarang kami berada di sebuah pom bensin. "Maaf, ketiduran."Bang Ayas tidak menyahut. Dia malah mengambil sesuatu dari bangku belakang, lalu menyerahkan kantong kertas dengan label sebuah tempat makan yang cukup familier. Rupanya hampir setengah jam aku tertidur sampai tidak menyadari Bang Ayas mampir ke tempat makan. Tapi, kenapa dia tidak membangunkanku? "Makan." Bang Ayas mengambil satu burger dari kantong kertas itu untuk dirinya sendiri. "Tadi sedang ada promo."Bang Ayas makan dengan lahap. Sedangkan aku yang baru bangun masih sedikit ngelag. Ini serius seorang Ayas beli Burger King karena ada promo? Setahuku, keluarga Acha itu tajir. Tidak ada yang terlalu perhitungan untuk urusan makan. Acha saja yang cewek jarang sekali beli sesuatu karena diskon, tapi ini Bang Ayas yang notabene … ah, pantes dia belum laku-laku. Bukannya matre, tapi cewek juga tidak betah kalau pasangannya pelit. Sebelum memakan burger, aku membuka tas dan mengambil uang. Ketika menyerahkan kepada Bang Ayas, lelaki itu berhenti mengunyah dan menatapku. "Buat ganti burgernya." Karena tidak disambut, aku meletakkan uang di dashboard, lalu mengambil burger dan memakannya. Dari ekor mata, aku bisa melihat kalau Bang Ayas masih menatapku. Burger di tangannya yang tinggal separuh diletakkan begitu saja. Wajah lelaki itu semasam belimbing wuluh. "Kurang, ya?" tanyaku ragu-ragu. Padahal setahuku, seratus ribu sudah cukup untuk membayar dua burger dan dua air mineral. Bang Ayas buru-buru menyalakan mesin dan melajukan mobil, meninggalkan pom bensin.Padahal dia tidak perlu begitu. Kalau memang uang dariku kurang, aku bisa menambahnya lagi. Kebetulan kiriman dari Ibu masih cukup untuk jajan dua minggu ke depan. Sekitar lima ratusan meter dari pom bensin, mobil yang dikemudikan Bang Ayas berbelok memasuki pelataran sebuah bangunan yang didominasi warna hijau. "Bang, ini kita …." Aku celingukan, berusaha mencari petunjuk tempat apa yang kami datangi ini. Bang Ayas lebih dulu turun dan mencegat salah satu orang yang baru ke luar dari gedung itu. Tak lama kemudian, dia menghampiri mobil dan membukakan pintu untukku. "Turun.""Ngapain?" "Buruan, keburu tutup."Aku yang masih belum tau apa-apa, akhirnya memasukkan sisa burger ke paper bag dengan asal dan menuruti perintah Bang Ayas. Tanpa kuduga, Bang Ayas menggandeng tanganku sewaktu menuju pintu masuk. Langkahnya yang lebar membuat aku terseok-seok di belakangnya. Aku masih celingukan, jelalatan melihat ke sana kemari. Sampai akhirnya, pandanganku terhenti di sebuah tulisan "KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN TANAH ABANG"."Bang!" Aku menyentak tangan Bang Ayas, tapi gagal terlepas. "Kita ngapain ke KUA?!"Bang Ayas melirik sembari menyunggingkan senyum licik. "Nikah. Biar saya bisa nafkahin kamu lahir batin."***Bab 8Sekarang giliran aku yang ngambek kepada Acha. Pokoknya aku kapok membantunya jika harus mengalihkan perhatian Bang Ayas. Pria itu terlalu buas untuk dijinakkan. Sayangnya, begitu aku cerita kalau Bang Ayas membawa aku masuk ke KUA, Acha malah tergelak. "Jangan baper, Va. Bang Ayas emang bercandanya suka kelewatan."Aku menghela napas. Kalau memang kemarin hanya bercanda, sumpah itu tidak lucu sama sekali. Coba kalian bayangkan, bagaimana malunya aku saat diseret ke KUA, dipegangi erat-erat, dan diakui sebagai calon istri. Tidak hanya itu, Bang Ayas juga menanyakan persyaratan apa saja jika hendak menikah dengan perempuan yang berasal dari luar daerah. Dengan seksama lelaki itu menyimak penjelasan petugas KUA, sama sekali tidak menghiraukan aku yang menginjak kakinya berkali-kali. Itu yang dinamakan bercanda? Atau Bang Ayas sedang menguji apakah aku baper atau tidak diperlakukan seperti itu? Mohon maaf. Aku tidak baper. Kalau jengkel setengah mati sih, iya. "Tenang aja, Va.
Bab 9Kehangatan di ruang makan seketika lenyap tepat setelah Bang Ayas memujiku di depan keluarga dan perempuan yang dijodohkan dengannya. Aku yang tak menduga akan dipuji oleh Bang Ayas, rasa-rasanya ingin sekali menghilang, tenggelam ke dasar bumi dan tak pernah muncul lagi. Denting sendok yang dihempaskan ke piring membuat aku menggigit bibir kuat-kuat. Tante Windi menatapku lebih tajam dari siapa pun. Sorot matanya berkilat-kilat seakan hendak mengulitiku hidup-hidup. Aku menahan napas ketika perempuan itu berdiri dan meninggalkan meja makan tanpa permisi. Kemudian, diikuti oleh Clarisa dan kedua orang tuanya yang sempat berpamitan dengan terburu-buru. Sepeninggal tamu-tamu itu, aku masih belum berani untuk mendongak. Kedua tanganku yang sedingin es kini hanya bisa saling bertaut di bawah meja. "Ayas." Baru kali ini aku mendengar suara Tante Fatma jauh dari kata lembut dan ramah. "Iya, Ma?"Sahutan itu sama sekali tidak mencerminkan rasa bersalah dari seseorang yang telah m
Lemas, mual, menggigil, sakit kepala, dan berhalusinasi adalah beberapa gejala dari penyakit rabies. Sialnya, sekarang aku merasakan itu semua setelah digigit Bang Ayas. Aku curiga, di kehidupan sebelumnya, Bang Ayas adalah seekor anjing gila. Buktinya aku langsung demam begitu diantar dia pulang malam itu. Entahlah. Ini efek digigit Bang Ayas atau efek diajak memutari Kota Jakarta hingga pagi buta. Iya. Laki-laki itu tidak langsung mengantar aku pulang, melainkan jalan tanpa tujuan. Tolong kalian jangan membayangkan kalau aku dan Bang Ayas menghabiskan perjalanan dengan gelak tawa atau minimal senyum malu-malu. Tidak. Kami justru saling membisu dan duduk dengan kaku. Ketika aku protes untuk segera diantar ke kos-kosan, dia hanya bergumam tak jelas. Gara-gara kejadian itu pula, aku sampai diinterogasi satpam kos-kosan. Bang Ayas yang pada akhirnya menjelaskan. Aku tidak tahu bagaimana dia pada akhirnya meyakinkan petugas keamanan karena aku lebih dulu disuruh masuk ke kamar. "Resv
Karena tahu kalau Acha akan ada acara keluarga malam ini, jadi aku tidak berani mengajaknya hangout sepulang kuliah. Dia juga sepertinya buru-buru sekali ketika berjalan ke parkiran. "Bang Ayas udah nunggu. Duluan ya, Va!"Aku hanya mengangguk saja ketika gadis itu melambaikan tangan sembari berlari. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah notifikasi di ponsel. Ada sebuah pesan balasan dari Agam untuk Acha. Belakangan ini Acha memang sering meminjam ponselku untuk berkomunikasi dengan pacarnya. Itu adalah cara teraman bagi Acha agar hubungan mereka bisa langgeng karena Bang Ayas masih saja menyadap handphone-nya. Dengan sangat terpaksa, aku membalas pesan Agam dan mengatakan kalau Acha baru saja pulang. Seharusnya, pemuda itu tak perlu mengirim chat lagi, tapi anehnya dia malah bertanya, "Bisa ketemuan?""Aku Resva," balasku agar dia tidak lupa bahwa aku bukanlah Acha. Selang beberapa detik kemudian, Agam kembali mengirim pesan. "Iya, tau. Gue mau minta tolong. Bisa ketemuan?"
Bab 12Menikah bukanlah tujuan utamaku saat ini. Masih banyak impian yang ingin aku wujudkan agar bisa membahagiakan Ibu. Jadi, kalau ditanya kapan menikah, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Namun, aku berkeinginan akan menikah jika sudah berumur dua puluh lima tahun, bahkan bisa lebih dari itu. Setidaknya masih ada waktu tiga tahun bagiku untuk meraih mimpi; lulus kuliah, berbisnis, dan tentunya meningkatkan value diriku sendiri sebagai perempuan. Kata Ibu, perempuan harus punya value agar tidak diremehkan laki-laki. Perempuan harus mandiri agar tetap bisa berdikari jika sewaktu-waktu ditinggal suami. Perempuan harus bisa membahagiakan dirinya sendiri agar tidak mencuri kebahagiaan orang lain. Dua tahun menjanda rupanya membuat Ibu mendapatkan banyak sekali pembelajaran penting tentang hidup. Beliau yang dulunya sangat bergantung pada Ayah, akhirnya sadar bahwa perempuan harus mandiri meski bersuami. Aku pernah mendapati Ibu menangis, meraung-raung sambil memeluk baju Ayah.
"Va, beneran nggak papa?" Untuk kesekian kalinya, Acha memastikan aku baik-baik saja setelah turun dari mobil Tante Windi. "Nggak papa." Aku berkata seceria mungkin, berusaha melupakan kata-kata Tante Windi yang rasanya nylekit sampai ke tulang-tulang. Kami sedang dalam perjalanan ke gedung fakultas Ekonomi karena sebentar lagi akan ada kelas. Dan sepanjang itu pula, Acha menjelaskan peran Tante Windi di dalam keluarganya kenapa terlalu banyak ikut campur dalam perjodohan Bang Ayas. Tante Windi adalah adik bungsu Om Adnan. Sebagai alpha female, dia lebih suka mengatur dan tak terima bila mendapat penolakan, termasuk dalam urusan keluarga besar. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu tidak dikaruniai anak. Oleh karenanya, dia menganggap anak-anak kakaknya sebagai anaknya juga. Keluarga besar tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Namun, semakin ke sini Tante Windi mulai melampaui batas, mengatur perjodohan untuk Bang Ayas. Bagi Tante Windi, Clarisa adalah perempuan yang di
Aku bersumpah kalau betulan salah orang, mulai besok tidak akan beli nasi goreng di sini lagi. Penjual nasi gorengnya pasti akan mengingat wajahku dan mengenang sepanjang perjalanannya berdagang sampai akhir hayat. Beruntungnya, sebelum aku pura-pura pingsan, laki-laki di depanku berujar, "Kenapa keluyuran?"Walaupun ketus, tapi kalimat itu sudah cukup menginformasikan kalau aku tidak salah orang. Di depanku benar-benar Bang Ayas yang masih lengkap dengan setelan pabrik; jutek dan menyebalkan. Tidak apa-apa. Kali ini aku ampuni. Serius. Anggap saja aku sedang berbaik hati memberikan senyum semanis gula untuk Bang Ayas. Walaupun ya … terkesan kecentilan sih karena tadi sempat jingkrak-jingkrak. "Ikut saya," kata Bang Ayas. Aku yang sudah kembali ke mode kalem, mengatakan kalau aku masih harus menunggu nasi goreng. Tidak enak kalau dibatalkan, apalagi aku memang belum makan. "Bang, tolong pesenan istri saya diduluin, ya."Mengalahkan dosis minum obat, aku harus menanggung malu seban
Kalau boleh memilih, aku tidak ingin terjebak dalam situasi sulit seperti ini, pura-pura tidak tahu tentang Bang Ayas padahal kemarin malam kami bertemu. Aku merasa jahat sekali karena diam saja ketika Acha terus-terusan mengeluhkan kerinduannya pada kakak sulungnya itu. "Bang Ayas kan udah gede, Cha. Dia pasti tau mana yang terbaik buat dirinya." Hanya kalimat bernada seperti itu yang aku ucapkan untuk menenangkan Acha. Gadis bermata belo itu menghela napasnya dalam-dalam. "Kamu nggak tau rasanya punya abang sih, Va."Aku tersenyum getir. Sekeras apa pun aku berusaha menyelami hati Acha, aku tak akan pernah merasakan sedalam apa kesedihannya saat ini. Tapi, kalau tentang rindu, aku juga rindu ingin punya kakak yang bisa mengayomi dan menasehatiku layaknya teman sebaya. Aku adalah anak pertama yang dilahirkan Ibu, meski bukan pertama yang hadir di rahimnya. Ibu pernah mengalami keguguran sebanyak dua kali sebelum akhirnya aku hadir melengkapi kebahagiaannya. Dan setelah itu, karena
Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji
Bukan Mama kalau tidak rajin menanyai kabar anaknya. Dalam sehari, beliau bisa menelepon dua sampai tiga kali. Anehnya sejak pagi handphone-ku belum menerima panggilan dari wanita itu. Maka, selepas pulang kerja, aku memutuskan untuk video call. Apron merah muda dengan motif bunga-bunga menjadi pusat perhatianku begitu panggilan video terhubung. Di rumah ada dua asisten rumah tangga yang siap melayani keluarga kami karena Mama yang biasanya ikut sibuk mengurus pabrik, tidak punya waktu memasak. Namun, saat ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu berada di dapur, mengenakan apron, dan menyiapkan makanan. "Lihat, Yas, Mama masak enak!" kata Mama dengan antusias. Bisa dibilang keluarga kami berkecukupan. Jadi, sangat berlebihan jika sebatas olahan ayam dikatakan enak. "Tumben Mama masak." Aku menopang dagu dan tidak protes ketika diabaikan oleh Mama. Sepertinya Mama meletakkan ponselnya di suatu tempat sehingga kamera bisa menyorot ke arah yang sedang terlihat sibuk.
"Kapan nikah?""Nggak bosen sendirian terus, Yas?""Cuma kamu lho yang belum nikah."Kalimat seperti itu sudah menjadi santapanku sehari-hari. Tidak hanya datang dari keluarga, tapi juga teman-teman semasa kuliah dan juga SMA. Mereka sangat perhatian sampai statusku saat ini menjadi topik utama setiap pertemuan. Biasanya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu membuat aku malas hadir di acara-acara penting. Dan bisa dipastikan aku akan langsung memberikan jawaban menohok. "Belum move on dari Diandra, Yas?" Nama perempuan itu telah lama hengkang dari hatiku. Tepat setelah mengetahui dia menikah dengan Hanif, anak dari adik sepupu Mama yang sewaktu kecil sering mengambil mainanku di rumah. Mendengar nama Diandra tidak membuat aku kembali tenggelam dalam kidung nostalgia. Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk menangisi pengkhianat sepertinya, yang pernah mengemis-ngemis di kakiku untuk dijadikan kekasih, tapi mengobral selangkangan
Aku baru tahu ternyata Bang Ayas yang selama ini terkesan kaku, judes, dan terkadang menyebalkan bisa semanja itu kepada ibunya. Sehabis makan malam, dia terus mengekori Tante Fatma, mengeluh sakit kepala. "Serius, Ma. Mama tega biarin aku nyetir?" Bang Ayas merebahkan kepalanya ke pangkuan Tante Fatma yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tante Fatma mengusap kepala Bang Ayas, menunduk demi melihat lebih jelas. "Mana. Nggak kelihatan yang sakit""Ya, nggak kelihatan, Ma. Sakitnya dari dalam."Acha yang melihat tingkah kakak sulungnya itu hanya tertawa. Ketika ibunya berpaling, dia memberi kode kepada Bang Ayas. Jari dan telunjuknya bertemu, membentuk huruf O. Isyarat itu disambut baik oleh Bang Ayas. Dibalas dengan kode yang sama pula. "Ya sudah, kamu boleh menginap di sini. Tapi, Resva tidur sama Mama." Bang Ayas dan Acha langsung saling pandang, sebelum akhirnya sama-sama mengembuskan napas lelah. Dengan gontai, Acha naik ke lantai dua. "Ngantuk," ucapnya ketika ditanya ken