Karena tahu kalau Acha akan ada acara keluarga malam ini, jadi aku tidak berani mengajaknya hangout sepulang kuliah. Dia juga sepertinya buru-buru sekali ketika berjalan ke parkiran. "Bang Ayas udah nunggu. Duluan ya, Va!"Aku hanya mengangguk saja ketika gadis itu melambaikan tangan sembari berlari. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah notifikasi di ponsel. Ada sebuah pesan balasan dari Agam untuk Acha. Belakangan ini Acha memang sering meminjam ponselku untuk berkomunikasi dengan pacarnya. Itu adalah cara teraman bagi Acha agar hubungan mereka bisa langgeng karena Bang Ayas masih saja menyadap handphone-nya. Dengan sangat terpaksa, aku membalas pesan Agam dan mengatakan kalau Acha baru saja pulang. Seharusnya, pemuda itu tak perlu mengirim chat lagi, tapi anehnya dia malah bertanya, "Bisa ketemuan?""Aku Resva," balasku agar dia tidak lupa bahwa aku bukanlah Acha. Selang beberapa detik kemudian, Agam kembali mengirim pesan. "Iya, tau. Gue mau minta tolong. Bisa ketemuan?"
Bab 12Menikah bukanlah tujuan utamaku saat ini. Masih banyak impian yang ingin aku wujudkan agar bisa membahagiakan Ibu. Jadi, kalau ditanya kapan menikah, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Namun, aku berkeinginan akan menikah jika sudah berumur dua puluh lima tahun, bahkan bisa lebih dari itu. Setidaknya masih ada waktu tiga tahun bagiku untuk meraih mimpi; lulus kuliah, berbisnis, dan tentunya meningkatkan value diriku sendiri sebagai perempuan. Kata Ibu, perempuan harus punya value agar tidak diremehkan laki-laki. Perempuan harus mandiri agar tetap bisa berdikari jika sewaktu-waktu ditinggal suami. Perempuan harus bisa membahagiakan dirinya sendiri agar tidak mencuri kebahagiaan orang lain. Dua tahun menjanda rupanya membuat Ibu mendapatkan banyak sekali pembelajaran penting tentang hidup. Beliau yang dulunya sangat bergantung pada Ayah, akhirnya sadar bahwa perempuan harus mandiri meski bersuami. Aku pernah mendapati Ibu menangis, meraung-raung sambil memeluk baju Ayah.
"Va, beneran nggak papa?" Untuk kesekian kalinya, Acha memastikan aku baik-baik saja setelah turun dari mobil Tante Windi. "Nggak papa." Aku berkata seceria mungkin, berusaha melupakan kata-kata Tante Windi yang rasanya nylekit sampai ke tulang-tulang. Kami sedang dalam perjalanan ke gedung fakultas Ekonomi karena sebentar lagi akan ada kelas. Dan sepanjang itu pula, Acha menjelaskan peran Tante Windi di dalam keluarganya kenapa terlalu banyak ikut campur dalam perjodohan Bang Ayas. Tante Windi adalah adik bungsu Om Adnan. Sebagai alpha female, dia lebih suka mengatur dan tak terima bila mendapat penolakan, termasuk dalam urusan keluarga besar. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu tidak dikaruniai anak. Oleh karenanya, dia menganggap anak-anak kakaknya sebagai anaknya juga. Keluarga besar tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Namun, semakin ke sini Tante Windi mulai melampaui batas, mengatur perjodohan untuk Bang Ayas. Bagi Tante Windi, Clarisa adalah perempuan yang di
Aku bersumpah kalau betulan salah orang, mulai besok tidak akan beli nasi goreng di sini lagi. Penjual nasi gorengnya pasti akan mengingat wajahku dan mengenang sepanjang perjalanannya berdagang sampai akhir hayat. Beruntungnya, sebelum aku pura-pura pingsan, laki-laki di depanku berujar, "Kenapa keluyuran?"Walaupun ketus, tapi kalimat itu sudah cukup menginformasikan kalau aku tidak salah orang. Di depanku benar-benar Bang Ayas yang masih lengkap dengan setelan pabrik; jutek dan menyebalkan. Tidak apa-apa. Kali ini aku ampuni. Serius. Anggap saja aku sedang berbaik hati memberikan senyum semanis gula untuk Bang Ayas. Walaupun ya … terkesan kecentilan sih karena tadi sempat jingkrak-jingkrak. "Ikut saya," kata Bang Ayas. Aku yang sudah kembali ke mode kalem, mengatakan kalau aku masih harus menunggu nasi goreng. Tidak enak kalau dibatalkan, apalagi aku memang belum makan. "Bang, tolong pesenan istri saya diduluin, ya."Mengalahkan dosis minum obat, aku harus menanggung malu seban
Kalau boleh memilih, aku tidak ingin terjebak dalam situasi sulit seperti ini, pura-pura tidak tahu tentang Bang Ayas padahal kemarin malam kami bertemu. Aku merasa jahat sekali karena diam saja ketika Acha terus-terusan mengeluhkan kerinduannya pada kakak sulungnya itu. "Bang Ayas kan udah gede, Cha. Dia pasti tau mana yang terbaik buat dirinya." Hanya kalimat bernada seperti itu yang aku ucapkan untuk menenangkan Acha. Gadis bermata belo itu menghela napasnya dalam-dalam. "Kamu nggak tau rasanya punya abang sih, Va."Aku tersenyum getir. Sekeras apa pun aku berusaha menyelami hati Acha, aku tak akan pernah merasakan sedalam apa kesedihannya saat ini. Tapi, kalau tentang rindu, aku juga rindu ingin punya kakak yang bisa mengayomi dan menasehatiku layaknya teman sebaya. Aku adalah anak pertama yang dilahirkan Ibu, meski bukan pertama yang hadir di rahimnya. Ibu pernah mengalami keguguran sebanyak dua kali sebelum akhirnya aku hadir melengkapi kebahagiaannya. Dan setelah itu, karena
Aku pikir, Bang Ayas hanya bercanda. Dia tidak mungkin pulang ke rumah orang tuanya hanya karena kusuruh. Tapi, kenyataannya, lelaki itu memang tidak bohong. Pagi ini, dia mengantar Acha ke kos-kosanku untuk berangkat ke kampus bersama. "Memangnya Bang Ayas pulang kapan?" tanyaku sesaat setelah Acha memberitahu kalau dia ke sini diantar oleh Bang Ayas. "Semalam," jawab Acha dengan entengnya. Dia duduk di kasur, menungguku yang sedang memakai parfum. Aku yang tadinya menghadap cermin, refleks menoleh, "Semalam?" Dengan entengnya, Acha mengangguk. "Iya. Jam sebelas kalo nggak salah."Aku meletakkan botol parfum ke meja sembari mengingat-ingat kejadian semalam. Kalau tidak salah, Bang Ayas mengakhiri video call sekitar pukul setengah sebelas, tepat setelah aku pamit tidur. Apa itu artinya Bang Ayas langsung pulang ke rumah orang tuanya? Aku tidak GR. Aku hanya ikut senang melihat wajah Acha pagi ini berseri-seri. Senyumnya mengembang sepanjang jalan, bahkan saat menuruni tangga kos-
Kata Pak Kyai, bohong itu dosa. Bisa membuat kita masuk neraka. Aku juga takut berbohong karena kalau ketahuan, Ibu akan mencubit lenganku sampai memar. Eits … tapi hal itu tidak berlaku kalau sedang dalam keadaan kepepet. Seperti sekarang ini, jujur sama saja hancur. Maka, dengan sangat terpaksa aku berdusta kepada Acha. Janji, besok nggak lagi-lagi ya Allah ….Aku tahu, aku bukan pembohong ulung. Jadi alasan yang kuberikan kepada Acha terkesan tidak masuk akal. "Bang Ayas cuma mau lihat kuteksku kok. Iya kan, Bang?"Acha memicing, menatap penuh curiga. Sialnya, Bang Ayas hanya diam saja. Boro-boro menimpali, dia malah sibuk mengemudi seolah-olah tidak mendengar apa yang tadi kukatakan. Tentu saja Acha tidak percaya begitu saja. Tapi, setelah melihat aku menggunakan warna cat kuku yang berbeda dari biasanya, dia ikut berkomentar, "Oh, iya. Cakep."Huh! Tidak sia-sia aku ganti warna cat kuku dari yang biasanya nude atau kuning muda, sekarang putih. Meski Acha sepertinya masih puny
Menurutku, kekhawatiran Bang Ayas mungkin sama seperti apa yang dirasakan Tante Fatma. Wanita itu pun mengatakan selalu mencemaskan aku yang hidup sendirian di Jakarta. Makanya, beliau sering mengirim makanan agar aku tidak kelaparan. Seperti sore ini, Tante Fatma pun repot-repot mampir ke kosan hanya untuk mengantar bittersweet dari sebuah toko kue kenamaan. Wanita itu mengaku ingat padaku ketika membelikannya untuk Acha. "Wah, repot-repot, Tante." Aku menerima paper bag dari tangan Tante Fatma dengan canggung. "Enggak. Kebetulan Tante ada arisan di dekat sini, jadi sekalian mampir sambil nengok kamu. Sudah lama lho kita nggak ketemu," kata wanita itu dengan ramah, kemudian menyentuh lenganku. "Kok, nggak pernah main ke rumah?"Di lobi kos-kosan ini cukup lengang. Hanya dilintasi beberapa penghuni yang baru pulang kuliah dan langsung naik ke lantai atas. Bukan suatu hal yang aneh kalau ada tamu di lobi karena sudah terbiasa bagi kami. Jadi, kehadiran Tante Fatma tidak menyedot per
Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji
Bukan Mama kalau tidak rajin menanyai kabar anaknya. Dalam sehari, beliau bisa menelepon dua sampai tiga kali. Anehnya sejak pagi handphone-ku belum menerima panggilan dari wanita itu. Maka, selepas pulang kerja, aku memutuskan untuk video call. Apron merah muda dengan motif bunga-bunga menjadi pusat perhatianku begitu panggilan video terhubung. Di rumah ada dua asisten rumah tangga yang siap melayani keluarga kami karena Mama yang biasanya ikut sibuk mengurus pabrik, tidak punya waktu memasak. Namun, saat ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu berada di dapur, mengenakan apron, dan menyiapkan makanan. "Lihat, Yas, Mama masak enak!" kata Mama dengan antusias. Bisa dibilang keluarga kami berkecukupan. Jadi, sangat berlebihan jika sebatas olahan ayam dikatakan enak. "Tumben Mama masak." Aku menopang dagu dan tidak protes ketika diabaikan oleh Mama. Sepertinya Mama meletakkan ponselnya di suatu tempat sehingga kamera bisa menyorot ke arah yang sedang terlihat sibuk.
"Kapan nikah?""Nggak bosen sendirian terus, Yas?""Cuma kamu lho yang belum nikah."Kalimat seperti itu sudah menjadi santapanku sehari-hari. Tidak hanya datang dari keluarga, tapi juga teman-teman semasa kuliah dan juga SMA. Mereka sangat perhatian sampai statusku saat ini menjadi topik utama setiap pertemuan. Biasanya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu membuat aku malas hadir di acara-acara penting. Dan bisa dipastikan aku akan langsung memberikan jawaban menohok. "Belum move on dari Diandra, Yas?" Nama perempuan itu telah lama hengkang dari hatiku. Tepat setelah mengetahui dia menikah dengan Hanif, anak dari adik sepupu Mama yang sewaktu kecil sering mengambil mainanku di rumah. Mendengar nama Diandra tidak membuat aku kembali tenggelam dalam kidung nostalgia. Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk menangisi pengkhianat sepertinya, yang pernah mengemis-ngemis di kakiku untuk dijadikan kekasih, tapi mengobral selangkangan
Aku baru tahu ternyata Bang Ayas yang selama ini terkesan kaku, judes, dan terkadang menyebalkan bisa semanja itu kepada ibunya. Sehabis makan malam, dia terus mengekori Tante Fatma, mengeluh sakit kepala. "Serius, Ma. Mama tega biarin aku nyetir?" Bang Ayas merebahkan kepalanya ke pangkuan Tante Fatma yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tante Fatma mengusap kepala Bang Ayas, menunduk demi melihat lebih jelas. "Mana. Nggak kelihatan yang sakit""Ya, nggak kelihatan, Ma. Sakitnya dari dalam."Acha yang melihat tingkah kakak sulungnya itu hanya tertawa. Ketika ibunya berpaling, dia memberi kode kepada Bang Ayas. Jari dan telunjuknya bertemu, membentuk huruf O. Isyarat itu disambut baik oleh Bang Ayas. Dibalas dengan kode yang sama pula. "Ya sudah, kamu boleh menginap di sini. Tapi, Resva tidur sama Mama." Bang Ayas dan Acha langsung saling pandang, sebelum akhirnya sama-sama mengembuskan napas lelah. Dengan gontai, Acha naik ke lantai dua. "Ngantuk," ucapnya ketika ditanya ken