Umpan---Om Ridho menoleh dan menatapku lekat. Dia seolah sedang berusaha menebak apa yang akan kukatakan. Meskipun dia berusaha untuk bersikap setenang mungkin, namun dari bahasa tubuhnya, aku yakin kalau dia berharap aku akan merubah pendirianku dengan tadi.“Kamu ingin mengatakan sesuatu?” tanyanya tanpa ekspresi. Ah … pandai sekali pria ini merubah ekspresinya, dari rasa penasaran menjadi seolah tidak tertarik. Tapi untuk kali ini, aku tidak ingin jatuh di lubang yang sama sehingga dia memanfaatkan ketidakberdayaan Rio, seperti yang dilakukannya padaku sebelumnya.“Oh, saya ingin memberi saran, itu pun jika diijinkan,” ucapku setelah aku berhasil mengatur kembali degup jantungku.“Saran … tentang apa?” selidiknya.“Tentang rencana pernikahan putri Om dengan teman saya, Rio. Saya sangat tahu siapa Rio, dia pria yang baik. Tidak mungkin dia akan menelantarkan kedua orang tuanya. Dan soal perjodohan itu, apakah tidak sebaiknya memberi kesempatan mereka berdua untuk saling mengenal
Fakta Yang Terungkap----Aku melajukan mobil menembus padatnya jalan raya, hingga beberapa kali beberapa kendaraan membunyikan klaksonnya dengan kencang yang disertai umpatan ketika aku menyalip mobil mereka secara serampangan, tidak ingin membuat Alya yang tadi terdengar begitu cemas menungguku lebih lama.“Apakah kamu bermaksud untuk membunuhku?!” Seru Rio saat aku menambah laju kecepatan begitu kami memasuki jalan tol.“Jangan konyol! Aku masih ingin hidup lebih lama dan ingin menikahi Alya.”“Brengsek!!” Umpat Rio lagi, yang kutimpali dengan senyum.Aku mengurangi laju kecepatan ketika memasuki sebuah pemukiman, Rio yang duduk di sebelah mencoba membaca alamat dan mencocokkan dengan jalan yang kami lewati.“Kamu yakin ini alamatnya?” tanya Rio ragu.“Iya, ini Alamat yang diberikan Alya tadi. Dan menurut peta, kita sudah berada di tempat yang benar.” Aku menjawab sambil memerhatikan sekali lagi alamat yang tertera di peta. Saat aku sibuk memindai sekitar, ponsel yang kupegang berd
Muslihat Yang Terungkap----Aku dan Rio saling pandang, dia sepertinya sedang memikirkan apa yang sedang kupikirkan saat itu. Kulihat dia menarik kursinya, hingga menjadi lebih dekat kea rah Dini.“Aku tidak tahu apa yang sedang menimpamu dan juga keluargamu, namun aku akan sangat menghargainya jika kamu bersedia menceritakannya secara detail.” Rio berkata penuh penekanan. Gadis itu melihat ke arah Alya, seolah meminta pendapat darinya.“Ceritakanlah pada kami, Dini. Bagaimana pun juga, Mas Rio adalah pria yang akan menikahimu, dia berhak tahu tentangmu,” ucap Alya lembut, Dini memandang Alya dengan tatapan ragu. Aku tahu ini pasti sulit untuknya bercerita pada orang yang baru saja ditemui, namun dia juga tidak memiliki banyak pilihan, karena posisinya saat itu tidak menguntungkan baginya.Dini menunduk sambil meremas kedua tangannya, perlahan, Alya meraih tangannya dan kemudian mengusapnya lembut, memberinya kekuatan untuk menceritakannya pada kami.“Papaku meninggal lima tahun yang
Aku Akan Menikahinya----“Kamu yakin?” tanyaku ragu, mengingat beberapa waktu yang lalu dia mengatakan padaku kalau telah menolak permintaan Vito, bahkan hal itu juga disampaikan oleh om Ridho ketika dia mengundangku makan malam kemarin.“Andra, bisa tinggalkan aku dan Dini sebentar? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya,” pinta Rio dengan suara pelan namun terdengar tegas.“Baiklah, sebaiknya hal itu memang kalian berdua yang memutuskan. Alya, ada sesuatu yang ingin aku katakana padamu juga,” Kataku sambil meminta Alya mengikutiku. Alya menoleh ke arah Dini, tersenyum lembut dan memastikan kalau semua akan baik-baik saja.Kutinggalkan Rio dan Dini, agar mereka bisa lebih leluasa membahas tentang masalah mereka berdua, yang kebetulan memang berkaitan antara satu sama lainnya. Sementara aku sendiri, membawa Alya ke ruang tamu. Selain memberi kesempata Rio berbicara dengan ini, aku juga ingin membahas sesuatu dengan Alya, sesuatu yang harus kuselesaikan secepatnya agar tidak men
Ini Tugasku----Rio memintaku untuk mengikutinya dengan bahasa isyarat, aku bangkit dan mengikutinya yang berjalan menuju teras. Sebelum keluar, aku meminta Alya untuk menemani Dini yang masih berada di dalam. Berjalan pelan keluar menuju teras, di sana, Rio sudah duduk di kursi rotan sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya. Kemudian melempar sisanya ke atas meja setelah menyalakan sebatang. Kuperhatikan Rio dari tempatku berdiri, hingga dia mendorong satu kursi dengan kakinya dan memintaku untuk duduk.“Aku sudah berbicara dengan Dini, dan kami sepakat untuk menikah,” ucapnya saat aku sudah duduk di sebelahnya.“Kamu serius? Bukannya kemarin kamu bilang telah menolak tawaran Vito dan ayahnya untuk menikah dengannya?” kataku sedikit protes. Aku tahu ini bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat dengannya tentang hal itu, namun aku juga tidak mau jika sahabatku menjadi plin-plan dalam mengambil sebuah keputusan, terlebih aka nada hati yang nantinya terluka jika dia sala
Memainkan Peran***Wanita bermata cekung itu masih menatapku penuh tanya, mungkin saat itu dia berusaha menebak, apa yang sebenarnya ingin kutunjukkan padanya. Lalu, perlahan dia memutar tubuhnya hingga kini kami berhadapan, meskipun dia masih tetap duduk di tempat semua.Kedua sudut bibirnya terangkat hingga membentuk senyum tipis, matanya yang cekung, kini berbinar, seolah dia telah menemukan jawaban dari rasa penasarannya."Mas ... jangan katakan kalau kamu akan membawaku kembali ke rumah itu?" Ucapnya tanpa mengalihkan pandanganya."Iya, benar. Aku akan membawamu ke rumah itu lagi, rumah kita.""Tapi, bukankah rumah kita sudah kamu jual untuk biaya pengobatanku selama ini?" Tanya Sania ragu."Hal itu juga benar. Aku memang sudah menjual rumah itu, dan uangnya juga sudah digunakan untuk biaya pengobatanmu selama ini. Namun pemilik baru yang membeli rumah itu, mengijinkanku untuk tetap tinggal di sana jika aku mau." Aku berkata sambil tersenyum, hal itu kulakukan agar Sania yakin d
Anak Selingkuhan****Buru-buru kuambil ponsel Alya dan menekan tombol hijau untuk menerim panggilan dari Rio.Siapa tahu dia memang sengaja mencariku, setelah tidak bisa menghubungi nomor ponselku karena baterai habis sejak tadi."Rio, kamu di mana?" Tanyaku begitu panggilan telepon terhubung."Ah, akhirnya bisa juga aku menghubungimu. Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kamu menjawab panggilan ini?" Selidik Rio, sepertinya dia terkejut karena aku yang menjawab panggilannya."Aku sudah pulang, makanya aku bisa menjawab telepon ini," kataku sedikit kesal. Seharusnya dia tahu kalau aku pasti berada di rumah, kalau tidak, bagaimana bisa berbicara dengannya di telepon Alya.Rio terdengar mendesah, entah karena merasa lega, atau justru sedang berusaha menekan sesuatu yang mengganjal di dadanya."Andra, aku sudah bertemu dengan Vito dan om Ridho," ucapnya setelah diam beberapa saat."Benarkah ... lalu, bagaimana hasilnya, apakah mereka setuju? Maksudku, apakah mereka merestui rencana pernikaha
Mencari Rohman****"Kamu serius, Alya?" Tanyaku sekali lagi, mencoba meyakinkan kalau yang dikatakan Alya benar."Aku serius, Mas. Reni sendiri yang menceritakan padaku." Alya menjawab, mencoba meyakinkanku kalau informasi yang dia dapat itu benar."Reni, siapa dia?" Selidikku. Karena baru kali ini dia menyebut nama temannya itu."Reni, temannya Cantika, kebetulan mereka satu kos. Nah, waktu itu kebetulan aku main ke kosan Cantika, dia menanyakan kabar mbak Laila. Kemudian aku ceritakan secara singkat, kalau mbak Laila telah tiada, juga ... penyebab kematiannya." Alya terlihat ragu saat mengatakan penyebab kematian Laila, dia melirikku sekilas, memastikan kalau aku baik-baik saja dan tidak tersinggung dengan apa yang dia ceritakan. Dengan bahasa isyarat, aku mengatakan padanya kalau aku baik-baik saja."Tidak apa-apa, Alya, lanjutkan saja ceritamu," kataku kemudian."Aku juga sedikit menceritakan tentang Sania. Saat aku menyebut nama Sania, Reni terlihat kaget, dia beberapa kali ber
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid