Sejak Kapan?****Aku masih terpaku di tempatku, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan masih logikaku pun, masih belum bisa mencerna seutuhnya.Untuk beberapa saat, kubiarkan pikiran melayang, hingga kurasakan tubuhku limbung, bahkan seandainya harus tersungkur, aku tidak peduli. Kutekan pelan dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri, bukan karena merasa sakit hati atas ucapan Rio tadi. Bukan itu. Dan rasa nyeri itu semakin terasa ketika bersamaan dengan hadirnya bayang-bayang Laila yang seolah berlarian di depan pelupuk mata, disusul dengan sosok Alya yang mengejar dari belakang.Mereka berkejaran seperti ombak di pantai, datang silih berganti dan tidak ada habisnya.Aku memegang kepala yang berdenyut, apakah aku sudah gila?Setelah beberapa saat terombang-ambing dalam bayangan Laila dan Alya, aku kembali mendapatkan kesadaranku secara utuh. Rio sudah tidak lagi terlihat, mungkin dia pergi karena merasa marah sekaligus kecewa padaku.Tidak kuhiraukan tatapan dari or
Buku Diari (1)***"Alya, apa yang baru saja kamu katakan? Mas tidak mengerti ...." Kataku bingung."Haruskah aku mengulanginya lagi, Mas?" Alya balik bertanya."Apakah itu artinya, kamu tidak lagi membenciku?" Aku mengulangi pertanyaan yang belum sempat dijawab Alya."Aku harus pulang sekarang," ucap Alya. Dia berdiri dengan cepat dan keluar dengan tergesa."Apa artinya semua ini Alya, bisakah kamu menjelaskannya padaku? Semua ini membuatku bingung," kataku hingga membuat Alya menghentikan langkahnya. Dia menoleh sejenak, lalu kembali melangkah."Alya!" Panggilku. Dan sekali lagi dia berhenti dan menoleh. "Mas Andra pikir saja sendiri, tidak ada yang harus kukatakan padamu," ucapnya. Setelah itu dia berlari keluar rumah tanpa menoleh lagi ke arahku.Tertatih aku mencoba mengejar langkahnya, sementara Alya sudah tidak kelihatan. Kupandangi jalanan yang sepi dan mulai temaram karena mentari perlahan telah kembali ke peraduannya.Apa yang baru saja terjadi padaku? Apa maksud semua ini,
Buku Diari (2)****Apa yang sebenarnya sedang ditulis Laila dalam dirinya? Apakah wanita yang dimaksud dalam tulisannya itu adalah Sania? Aku tidak ingat pasti, kapan aku bertemu dengan Sania kembali setelah aku menikah dengan Laila. Namun aku tidak memungkiri, kalau aku memang pernah bertemu dan keluar makan bersamanya beberapa kali. Dan dari sanalah hubungan kami yang sempat putus saat itu, kembali terjalin setelah aku mengakhiri hubunganku dengan Sania. Jika memang seperti itu, haruskah aku meneruskan membaca coretan usang milik Laila yang hanya akan mengingatkanku atas semua kezaliman yang telah kulakukan padanya? Sementara di sisi lain, aku sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, meski harus menanggung kebencian dari Alya.Aku kembali membuka lembar usang yang mengisahkan curahan hati Laila sejak dia bertemu denganku untuk pertama kalinya. Ingin sekali aku berhenti membaca dan mengembalikan buku ini ke tempat semula, namun tanganku justru kembali membuka lembaran berikutnya.
Surat Untuk Alya (1)****Buku yang sedang kupegang terjatuh, dada terasa seperti diiris sembilu---perih. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Laila saat itu, ketika mengetahui perselingkuhanku dengan Sania. Dia pasti begitu terpukul sekaligus sakit hati, namun begitu, dia masih bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa padanya dan lebih memilih untuk memendamnya seorang diri.Aku mengambil kembali diari yang sempat terjatuh dari tanganku. Sebelum kembali membaca coretan Laila, kutarik napas dalam sambil memukul pelan dada. Meskipun tahu kenyataan pahit yang akan kurasakan nanti, namun tetap saja aku tidak bisa menghentikan rasa penasaranku untuk segera membaca diari milik Laila hingga tuntas.---Wanita itu akhirnya datang juga. Dia memakai kaca mata hitam, celana jins biru dan kaos ketat yang dipadu blazer warna hitam. Membuat dirinya seperti manequin hidup, sangat cantik. Pastas saja mas Andra berpaling dariku."Kamu pasti Laila," tanyanya saat dia melihatku.Senyum
Surat rat Untuk Alya (2)***Kubuka pelan surat tersebut, kertas berwarna biru muda terlipat rapi.Dengan dada yang berdegup kencang, saya mulai menekuri kata demi kata yang tergores di atas kertas tersebut.---"Alya adikku.Mbak minta maaf, karena selalu membuatmu repot. Bahkan setelah kepergianku.Aku tahu, kamu marah dengan keputusan mbak saat itu, yang memilih untuk tetap bertahan di samping mas Andra. Namun kamu juga harus tahu, kenapa Mbak melakukan itu semua.""Kamu pernah bilang, kalau mbak menyia-nyiakan sisa hidup mbak dengan mencintai orang yang tidak mencintai kita. Namun, kamu tidak akan pernah tahu, kalau apa yang mbak pertahankan bukan sekadar cinta, tapi sebuah keluarga.""Dan kamu akan tahu apa yang mbak rasakan, jika sudah merasakan jatuh cinta. Hatiku berada di posisiku, Alya. Mungkin kamu akan berubah pikiran.Bukan berarti mbak ingin kamu sengsara, bukan.""Satu lagi, mbak titipkan Hanna dan Haikal dulu. Karena kamu yang sudah membantu merawat mereka sejak masih
Beri Aku Jawaban, Mas!****"Apakah kamu tidak menyukaiku?" Tanya Alya.Darahku berdesir ketika pertanyaan demi pertanyaan menyentuh gendang telingaku. Aku mencoba memandang wajah Alya sambil membayangkan kalau yang saat ini yang berdiri di depanku adalah seorang gadis yang baru menginjak dewasa dan dia adalah adik dari mendiang istriku.Akan tetapi, yang tampak di pelupuk mata, justru seorang gadis cantik dengan tatapan sayu yang menghujam jantung. Dia sama sekali tidak terlihat seperti bocah ingusan, namun gadis yang beranjak dewasa. Hal itu membuat dadaku semakin berdegup kencang. Dan sebagai laki-laki, aku tahu perasaan apa yang saat ini menghinggapiku hingga mampu membuatku kehilangan kata-kata."Alya, aku akan mengantarmu pulang. Tidak baik jika kamu berada di sini terlalu lama. Besok aku akan menjemput anak-anak setelah mobilku keluar dari bengkel," kataku berusaha agar Alya segera pulang."Mas ... jawab dulu pertanyaanku," ucapnya kukuh."Apa yang ingin kamu dengar dariku, Al
Seutas Rindu****Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat mereka yang duduk di ruang tamu dengan jelas melalui jendela kaca. Alya tampak anggun dalam balutan gamis warna jingga, dia duduk sambil menundukkan wajah di sebelah ibunya, bu Ima, yang juga mantan ibu mertuaku. Sementara Rio duduk di depannya, aku hanya bisa melihatnya dari samping sehingga tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. Mas Ilham? Dia terlihat santai sambil sesekali melempar senyum, pasti mereka sedang membicarakan sesuatu yang lucu dan menarik."Mas Andra, mari masuk," ucap mang Ujang, yang tanpa sadar membuatku tergagap karena kaget.Aku yang tergagap karena kaget, buru-buru melempar senyum pada lelaki paruh baya tersebut."Tidak usah Mang, saya akan datang lagi besok. Sepertinya mereka sedang ada acara keluarga," jawabku setelah berhasil menetralkan perasaan."Loh, Mas Andra kan, juga bagian keluarga," ujar mang Ujang.Aku tersenyum menanggapi ucapan lelaki setengah baya itu yang sudah bekerja di keluarga Laila cuk
Turun Ranjang ***Ibu masih berdiri di depanku, wajahnya masih terlihat syok. Aku tahu, mungkin beliau terlalu menyayangi Laila sebagai menantunya, sehingga tidak rela jika ada sosok wanita yang yang mungkin akan bernasib sama saat menikah denganku nantinya. Ibu pernah bilang padaku saat aku pertama kali menyampaikan keinginanku untuk menikahi Laila waktu itu. Keputusanku yang begitu cepat untuk segera menikah setelah tiga bulan berkenalan, membuatnya tidak percaya dengan niat baikku saat itu. Meski akhirnya aku harus menyakiti hati Laila dalam waktu yang lama, namun saat memutuskan untuk menikah dengannya kala itu, aku benar-benar tulus mencintainya. Aku jatuh cinta dengannya pada pandangan pertama, saat dia menatapku dengan bola matanya yang bulat ketika aku hampir menyerempetnya saat itu. Meski sebentar, namun bayangan wajahnya selalu hadir dalam ingatan, membuatku melupakan lara ketika harus kehilangan Sania. Akan tetapi, siapa yang akan menduga jika kemudian Sania kembali hadi
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid