Wanita Dewasa*** Perasaan campur aduk ketika Alya memintaku untuk ikut liburan bersama keluarganya akhir pekan nanti. Meski aku pernah pergi bersama keluarganya, namun aku yakin suasananya tidak akan sama seperti saat Laila masih ada, terlebih setelah rangkaian peristiwa yang telah terjadi di dalam keluarga kami. Akan tetapi, aku tidak bisa menolaknya begitu saja, karena ibu juga memintaku untuk membawa Hanna berlibur. Bukankah ini waktu yang tepat untuk membangun hubungan baik antara dua keluarga yang sempat renggang?"Baiklah, aku akan ikut bersama kalian dan tentu saja dengan Hanna juga pengasuhnya," jawabku setelah mempertimbangkannya secara matang.Dan dalam beberapa detik, balasan pesanku sudah dibaca oleh Alya. Setelah itu, tidak ada pesan lagi, padahal aku berharap dia akan membalas pesanku lagi.Kuhela napas dalam, lalu mengembuskannya pelan, bersama rasa kecewa karena dia tidak membalas pesanku lagi. Ah ... mungkin dia menghubungiku hanya ingin memberitahu hal itu saja, ja
Apakah Itu Aku?***"Mas Andra bareng mobilnya mas Ilham?" Tanyanya, seolah ingin memastikan kalau aku memilih satu mobil dengan mas Ilham."Iya," jawabku singkat. "Titip anak-anak,ya?" Aku kembali berkata sambil berusaha menghindari tatapan matanya."Iya, baiklah. Ada mbak Suci yang akan membantuku," ujar Alya kemudian.Setelah itu, Alya mengajak anak-anak masuk ke dalam mobil.Bapak dan ibu mertua sudah duduk di jok belakang, menungguku dan mas Ilham masuk. Rasanya sedikit aneh dan canggung berada dalam satu mobil dengan keluarga Laila. Meski pernah menjadi menantu mereka selama enam tahun, namun baru kali ini aku melakukan perjalanan bersama dan berada dalam satu mobil. Karena selama ini, jika ada kegiatan keluarga, mereka bersama mas Ilham sementara aku berada dalam satu mobil bersama Laila dan anak-anak. Namun kini, saat aku tidak lagi menjadi menantu mereka, aku justru berada satu mobil dengan mereka. Dan ini membuatku merasa begitu canggung dan tidak nyaman.Kami sudah cukup ja
Apakah Itu Aku? (2)***Ini gila, benar-benar gila!Ada apa dengan pikiranku? Kenapa aku justru membuat kesimpulan kalau lelaki yang dimaksud Alya adalah diriku. Ini konyol, dan aku harus membuang jauh-jauh pikiran gilaku itu.Akan tetapi, semakin aku mencoba untuk melupakan pikiranku semakin liar. "Oh, shit!" Umpatku.Aku mengacak rambut kasar dan bergegas bangkit dari tempat tidur. Aku harus melakukan sesuatu agar pikiran gila itu keluar dari dalam kepalaku.Alya memang pernah mengatakan padaku kalau dia membenciku, bahkan dia juga ingin membalas sakit hati karena perbuatanku terhadap Laila. Dia mengatakan padaku bukan hanya sekali, namun berkali-kali di setiap kesempatan dia selalu mengatakan hal itu. Jadi, ketika dia bilang kalau menyukai seseorang yang seharusnya dia benci, maka tidak salah jika aku berpikir kalau itu adalah aku. Tapi ... apakah aku adalah satu-satunya orang yang dibencinya?Aarrgghh!!!Kusambar jaket yang tergeletak di atas tempat tidur, bergegas aku keluar kam
Kemarahan Rio***Aku memandangi wajah putri kecilku dengan perasaan tidak menentu, haru dan sedih bercampur jadi satu. Sisa air mata masih menggenang di pelupuk matanya. Melihat hal itu, sungguh tidak mungkin jika aku harus menolak keinginannya."Tapi nanti di rumah nenek, ditemani mbak Suci saja, ya? Karena papa masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan," kataku kemudian.Hanna mengangguk cepat, tangan mungilnya mengusap sisa air matanya. Hingga menampakkan binar dari bola matanya dengan jelas."Iya, Hanna mau," jawabnya cepat sambil menganggukkan kepala."Ternyata Hanna di sini sama pak Pak Andra, saya sampai panik mencari ke mana-mana karena dia tidak ada di kamar." Suci datang sambil berkata di antara napasnya yang ngos-ngosan. Sepertinya dia baru saja mencari keberadaan Hanna."Ayo Hanna, sama mbak Suci dulu," ucap Suci sambil meminta agar Hanna turun dari gendonganku. Namun sepertinya Hanna enggan untuk turun dari gendonganku, dia bahkan makin merapatkan pelukannya."Hanna s
Sejak Kapan?****Aku masih terpaku di tempatku, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan masih logikaku pun, masih belum bisa mencerna seutuhnya.Untuk beberapa saat, kubiarkan pikiran melayang, hingga kurasakan tubuhku limbung, bahkan seandainya harus tersungkur, aku tidak peduli. Kutekan pelan dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri, bukan karena merasa sakit hati atas ucapan Rio tadi. Bukan itu. Dan rasa nyeri itu semakin terasa ketika bersamaan dengan hadirnya bayang-bayang Laila yang seolah berlarian di depan pelupuk mata, disusul dengan sosok Alya yang mengejar dari belakang.Mereka berkejaran seperti ombak di pantai, datang silih berganti dan tidak ada habisnya.Aku memegang kepala yang berdenyut, apakah aku sudah gila?Setelah beberapa saat terombang-ambing dalam bayangan Laila dan Alya, aku kembali mendapatkan kesadaranku secara utuh. Rio sudah tidak lagi terlihat, mungkin dia pergi karena merasa marah sekaligus kecewa padaku.Tidak kuhiraukan tatapan dari or
Buku Diari (1)***"Alya, apa yang baru saja kamu katakan? Mas tidak mengerti ...." Kataku bingung."Haruskah aku mengulanginya lagi, Mas?" Alya balik bertanya."Apakah itu artinya, kamu tidak lagi membenciku?" Aku mengulangi pertanyaan yang belum sempat dijawab Alya."Aku harus pulang sekarang," ucap Alya. Dia berdiri dengan cepat dan keluar dengan tergesa."Apa artinya semua ini Alya, bisakah kamu menjelaskannya padaku? Semua ini membuatku bingung," kataku hingga membuat Alya menghentikan langkahnya. Dia menoleh sejenak, lalu kembali melangkah."Alya!" Panggilku. Dan sekali lagi dia berhenti dan menoleh. "Mas Andra pikir saja sendiri, tidak ada yang harus kukatakan padamu," ucapnya. Setelah itu dia berlari keluar rumah tanpa menoleh lagi ke arahku.Tertatih aku mencoba mengejar langkahnya, sementara Alya sudah tidak kelihatan. Kupandangi jalanan yang sepi dan mulai temaram karena mentari perlahan telah kembali ke peraduannya.Apa yang baru saja terjadi padaku? Apa maksud semua ini,
Buku Diari (2)****Apa yang sebenarnya sedang ditulis Laila dalam dirinya? Apakah wanita yang dimaksud dalam tulisannya itu adalah Sania? Aku tidak ingat pasti, kapan aku bertemu dengan Sania kembali setelah aku menikah dengan Laila. Namun aku tidak memungkiri, kalau aku memang pernah bertemu dan keluar makan bersamanya beberapa kali. Dan dari sanalah hubungan kami yang sempat putus saat itu, kembali terjalin setelah aku mengakhiri hubunganku dengan Sania. Jika memang seperti itu, haruskah aku meneruskan membaca coretan usang milik Laila yang hanya akan mengingatkanku atas semua kezaliman yang telah kulakukan padanya? Sementara di sisi lain, aku sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, meski harus menanggung kebencian dari Alya.Aku kembali membuka lembar usang yang mengisahkan curahan hati Laila sejak dia bertemu denganku untuk pertama kalinya. Ingin sekali aku berhenti membaca dan mengembalikan buku ini ke tempat semula, namun tanganku justru kembali membuka lembaran berikutnya.
Surat Untuk Alya (1)****Buku yang sedang kupegang terjatuh, dada terasa seperti diiris sembilu---perih. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Laila saat itu, ketika mengetahui perselingkuhanku dengan Sania. Dia pasti begitu terpukul sekaligus sakit hati, namun begitu, dia masih bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa padanya dan lebih memilih untuk memendamnya seorang diri.Aku mengambil kembali diari yang sempat terjatuh dari tanganku. Sebelum kembali membaca coretan Laila, kutarik napas dalam sambil memukul pelan dada. Meskipun tahu kenyataan pahit yang akan kurasakan nanti, namun tetap saja aku tidak bisa menghentikan rasa penasaranku untuk segera membaca diari milik Laila hingga tuntas.---Wanita itu akhirnya datang juga. Dia memakai kaca mata hitam, celana jins biru dan kaos ketat yang dipadu blazer warna hitam. Membuat dirinya seperti manequin hidup, sangat cantik. Pastas saja mas Andra berpaling dariku."Kamu pasti Laila," tanyanya saat dia melihatku.Senyum
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid