Menjadi Makcomblang***Aku masih mendengar cerita Rio tentang Alya, bagaimana dia yang saat itu merasa salut dan kagum kepada gadis itu, karena rela menyisihkan waktu luangnya untuk menjaga keponakannya. Juga saat dia melihat Alya begitu telaten merawat Laila ketika sakit.Ingin sekali aku menghentikan Rio agar tidak lagi meneruskan cerita tentang Laila, namun di sisi lain, aku juga ingin tahu apa saja yang dialami Laila di rumah sementara aku sebagai suaminya tidak menyadari apa yang saat itu terjadi pada Laila, karena mengabaikannya dan memilih untuk mengejar kesenangan di luar bersama Sania."Andra, aku pernah mengantar Laila ke klinik. Dia terjatuh di kamar mandi saat itu. Saat aku bertanya padanya, kenapa dia bisa sampai terjatuh, Laila mengatakan kalau saat itu dia sedang mengganti bola lampu yang mati. Kursi tempat dia berpijak jatuh hingga membuat nya jatuh dan kepalanya membentur dinding. Alya menelepon dan memintaku untuk mengantarnya ke klinik, saat itu dia tidak bisa perg
Sania Cemburu*****"Sudah berapa lama kamu mengenal Rio?" tanyaku penasaran, aku ingin tahu apakah jawaban Alya sama seperti yang diceritakan Rio padaku."Sudah lama, mamanya langganan katering ibu. Kenapa Mas Andra bertanya tentang hal itu?" selidiknya, sebelah alisnya naik hingga membuat keningnya sedikit berkerut."Ah ... tidak, hanya sekedar ingin tahu saja," jawabku sekenanya.Suasana kembali hening setelahnya. Alya lebih memilih menyibukkan diri dengan ponselnya, dan aku tidak ingin mengganggunya. Padahal ingin sekali aku mengatakan padanya kalau dia terlihat anggun saat mengenakan kerudung dibanding sebelumnya, namun kalimat itu hanya kubiarkan mengambang begitu saja. "Tante bilang, mbak Suci sekarang sudah bisa masak, ya, Mas?" Alya bertanya tentang Suci. Sepertinya ibu juga sudah memberitahu pada padanya tentang perubahan Sania, dan bukan tidak mungkin, ibu juga menceritakan banyak hal tentang Sania pada Alya.Ah ... kenapa aku harus sibuk memikirkan apa yang mereka bicara
Ketahuan Alya****"Maaf."Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku, aku berdiri lalu membawa bekas piring makananku menuju tempat cuci piring. Aku berinisiatif untuk membantunya, setidaknya mencuci bekas piringku sendiri.Akan tetapi, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Alya justru pergi meninggalkanku dengan setumpuk piring kotor, hal itu membuatku melongo. Apakah dia berpikir kalau aku di sini karena ingin mencuci semua ini? Kuremas spon pencuci piring hingga membuat busanya keluar.Bergegas kuselesaikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh Sania. Ah ... wanita itu, kenapa dia begitu bebal dan seolah tidak merasa takut pada ibu? Apakah dia sengaja melakukan semuanya agar aku marah? Tapi untuk apa? Aku menggelengkan kepala lemah.Kuusap keringat yang membasahi dahi dengan punggung tangan. Hanya mencuci piring saja, sudah cukup membuat tubuhku dibanjiri keringat.Terdengar seseorang mengaduk gelas dengan ritme cepat, sontak aku menoleh. Alya berdiri di ujung meja sambil menga
Kemarahan Ibu****Aku menunggu dengan gusar di luar ruangan saat Hanna yang ditemani ibu dan Alya diperiksa dokter. Untuk mengusir jenuh dan rasa gusar, aku berjalan mondar-mandir sambil sesekali melongok ke dalam ruangan, hingga akhirnya mereka keluar ruangan.Hanna berada di gendongan Alya, wajahnya yang biasa terlihat ceria, kini terlihat kuyu dengan sorot mata redup. Dari sorot matanya, terlihat sekali kalau anakku saat itu sedang menahan rasa sakit di tubuhnya, yang mungkin tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata."Bagaimana kondisi Hanna, Bu, apa yang dikatakan oleh dokter? Apakah dia baik-baik saja?" Aku mencecar ibu dengan beberapa pertanyaan sesaat setelah beliau keluar dari ruangan dokter."Hanna baik-baik saja, hanya kelelahan saja. Dia juga masuk angin, makanya muntah-muntah juga. Itulah kenapa tubuhnya menjadi lemas, karena perutnya kosong akibat makanan yang selalu keluar setiap kali habis makan."Ibu menjawab pertanyaanku, sementara Alya tetap diam tanpa melihat ke
Karmaku****Brak!!Terdengar suara pintu dibanting dengan keras, aku yakin, itu adalah perbuatan Sania.Ingin sekali aku berlari menemui Sania, namun di sisi lain, aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak mempunyai cukup keberanian, terlebih melihat keadaan ibu yang berusaha susah payah untuk meredam emosinya.Ibu duduk di sofa sambil memukul dadanya berkali-kali, napas nya masih tersengal karena amarah yang baru saja dia luapkan ada Sania."Bu, jangan terlalu terbawa emosi. Tenangkan pikiran ibu," kataku mencoba menenangkan ibu."Pergilah, aku tidak ingin berbicara denganmu." Ibu mengusirku saat aku hendak menenangkannya.Aku berdiri, perlahan meninggalkan ibu yang masih duduk di sofa. Sepertinya ibu masih marah padaku. Saat melewati kamar Hanna, kulihat Alya berdiri di pintu sambil menatapku dengan tatapan yang --- entah.Kupercepat langkahku menuju kamar Sania. Saat aku sampai di sana, dia sudah terlihat rapi. Saat melihatku datang, bibirnya yang merah merona terangkat naik, tersen
Nasehat Yang Menohok****Aku bergegas masuk ke dalam rumah, setelah mengeringkan rambut dan wajah dengan handuk yang diberikan Alya. Kulihat Alya bergegas ke dapur, setelah itu, aku tidak sempat melihat apa yang dia lakukan di sana. Di sinilah aku sekarang, membiarkan shower mengguyur tubuhku. Entah sudah berapa lama aku berada di bawah guyuran air, namun nyatanya, tetap tidak bisa menghapus kekecewaan atau menghilangkan bayangan Sania dengan pria itu, apalagi mengurangi rasa sakit hatiku pada Sania. Aku mengepalkan tangan, ketika bayangan dirinya yang bergumul dengan lelaki lain kembali memenuhi pikiran. Ternyata rasanya begitu sakit, seperti ditusuk ribuan belati. Seperti inikah yang dirasakan Laila saat dia mengetahui perselingkuhanku dengan Sania waktu itu? Meski dia merasa hatinya sangat sakit, namun Laila mampu bertahan hingga napas terakhirnya. Kenapa dia melakukan itu? Apakah benar yang dikatakan Alya padaku saat itu, kalau kakaknya, Laila bertahan karena dia mencintaiku. A
Membuka Rahasia****Malam ini sepertinya akan menjadi lebih panjang dan lama dari malam-malam sebelumnya, terlebih ketika sedang berbicara dengan Alya. Obrolan kami semakin serius, aku sama sekali tidak pernah menyangka jika cara berpikir Alya sangat dewasa. Bahkan aku bisa mengatakan kalau dia jauh lebih dewasa dalam berpikir dibanding Laila, kakaknya."Bagiamana dengan Rio, apakah menurutmu dia adalah lelaki yang baik? Maksudku, apakah dia memenuhi kriteriamu untuk menjadi seorang suami?" Tanyaku tidak mau kalah. Selain itu, aku juga ingin tahu sejauh mana dia menyimpan perasaan untuk Rio.Alya mengernyit, lalu menopang dagunya dengan kedua tangannya. Sementara matanya lekat menatapku."Kenapa mas Andra justru membahas tentang diriku? Sementara mas Andralah yang mempunyai masalah dengan sebuah hubungan." Protesnya."Bukan begitu maksudku Alya, meskipun aku bukan lelaki yang baik, namun aku tidak ingin kamu nantinya juga bernasib sama seperti Laila, menikahi pria sepertiku.""Apakah
Putus Dengan Sania***"Kamu bilang apa, Mas?" tanya Sania, wajahnya terlihat syok. Mungkin dia tidak mempercayai dengan ucapanku tadi."Aku ingin mengakhiri hubungan kita. Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan denganmu lagi, karena semakin ke sini, hubungan kita terasa tidak sehat dan melencenga jauh dari apa yang kita rencanakan semula. Selain itu, aku juga tidak bisa menerima kenyataan kalau selain aku, da pria lain yang menjamah tubuhmu. Membayangkan semua itu, membuatku seperti orang gila. Pergilah Sania."Aku mengulangi kalimatku sekaligus meminta Sania agar dia pergi. Karena inilah saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Meskipun aku sendiri tidak yakin, apakah mampu menjalani hidup sendiri tanpa kehadiran Sania.Sania melotot seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia mendekat, mencoba menggapai tanganku. Namun aku segera menepis dan menghindarinya."Kamu pasti bercanda, kan, Mas?" Sania berkata lirih. Kali ini, wajahnya benar-benar terlihat sedih
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid