Para tetangga yang diundang ke acara sederhana itu telah hadir di dalam rumah Nara. Begitu juga dengan Pak Penghulu dan para saksi sudah duduk bersila mengobrol dengan Surya, menunggu sang mempelai pria datang."Kenapa kok nggak ngadain pesta besar ya, padahal Pak Surya kan orang kaya, calon mantunya juga bukan orang sembarangan," bisik para tetangga, kumpulan ibu-ibu gosip itu."Sstttt ... jangan keras-keras bicaranya Buk, nanti kedengaran orangnya bisa berabe kita," desis salah seorang di antara mereka seraya meletakkan jari telunjuk di bibir."Eh Ibuk-Ibuk, belum tentu juga mereka nggak ngadin resepsi bisa aja kan setelah ini ada pesta yang besar," ungkap yang lain."Iya bener juga sih," sahut salah seorang di antara mereka.Pak Penghulu yang sedang memakai jas hitam itu, sedari tadi bolak-balik melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia tampak tak nyaman dan sedikit gelisah."Maaf, Pak, ada apa ya kok sepertinya Bapak terlihat tidak tenang?" tanya Surya dengan k
"Saudara Fahri!""Saya, Pak!""Saya nikah dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Nara Aninta dengan mahar cincin emas 224 gram, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Nara Aninta binti Surya Abidin dengan mahar tersebut dibayar tunai!""Saaahhh!" teriak para saksi yang ada di dalam ruangan itu."Alhamdulillah, sekarang kalian telah resmi menjadi pasangan suami istri," terang sang penghulu.Fahri menghembuskan napas lega, karena telah berhasil mengucapkannya dengan benar, hanya dengan satu kali saja tanpa pengulangan.Para tamu pun dipersilahkan untuk memakan makanan yang tersedia di atas meja. Meski acaranya terbilang sangat sederhana, tapi tidak dengan menu makanan yang ada di situ.Semua makanannya di pesan dari hotel yang ternama. Harganya juga cukup fantastis. Bedanya acaranya tidak besar, karena terbilang mendadak.Mereka hanya menyediakan dekorasi tempat untuk foto saja."Senyum dong, Mbak," ucap sang lelaki yang berprofesi sebagai fotografer itu. Ia
Sudah hampir satu jam berlalu. Nara baru saja keluar dari dapur, setelah selesai mencuci piring bekas masak dan sarapannya tadi pagi.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari depan."Permisi ..." ujar suara seorang pria yang terdengar asing di telinganya.Kening Nara mengernyit, dan bertanya siapa dia? Sebelum membuka pintu, ia menyibakkan gorden jendela dan melirik untuk melihat siapa yang datang itu.Tampak seorang pria berjaket serta memakai topi sedang membawa kotak kardus yang sudah dilapisi dengan lakban."Paket ..." teriaknya lagi.Karena tak ingin kurir itu menunggu lama, akhirnya Nara pun gegas berjalan ke depan untuk membuka pintu."Atas nama Ibu Nara?" tanya pria itu sopan setelah pintu terbuka."Benar, Pak, ada apa ya?" Nara balik bertanya."Saya cuma ingin mengantar paket ini, Bu, silahkan ditandatangani ya," Pria yang usianya sekitar tiga puluh tahunan itu menyerahkan secarik kertas beserta sebuah pena.Tanpa basa-basi lagi Nara segera mencoret kertas itu dengan as
"Apa pun yang Ibu inginkan, Fahri akan ikuti semuanya Bu, maafkan Fahri karena selama ini belum bisa menjadi anak yang berbakti untuk Ibuuu ..." rengeknya di sisi ranjang rumah sakit itu, tangisnya pecah tanpa peduli banyak orang yang memperhatikannya."Ada satu hal yang Ibu inginkan dari dulu, Nak, Ibu sangat ingin menyaksikan semua itu,""Katakan, Bu ..."Ada suasana hening sejenak.Yang terdengar hanya suara jarum detik di sudut ruangan.Fahri masih menunggu jawaban, begitu juga dengan Riyanti. Mereka saling pandang, entah apa yang akan dikatakan oleh wanita yang sudah sekarat itu."Permintaan Ibu cuma satu, dan mungkin ini akan menjadi permintaan yang terakhir bagi Ibu," lirihnya lagi dengan suara pelan namum masih terdengar jelas kata-kata yang disebutkannya."Ibu ingin melihat kamu menikahi Riyanti, dia adalah wanita yang baik, selama ini dia yang menjaga dan mengurus Ibu. Dia pasti akan menjadi istri yang tepat untukmu," jelas sang ibu yang membuatnya terkejut bagai petir yang
Pemakaman telah selesai dilaksanakan. Rumahnya masih dipenuhi oleh para pelayat yang mengucapkan belasungkawa atas kepergian ibu dari pemilik perusahaan ternama di kota itu.Fahri masih dalam keadaan berkabung. Ia masih sangat syok dengan kejadian ini. Hingga ada yang ia lupakan, Nara.Ia belum memberitahu istrinya itu bahwa ibunya telah berpulang ke rahmatullah.Cahaya matahari mulai redup.Karena hari sudah sore.Ia segera mengambil ponsel di saku celana yang ia pakai sejak tadi pagi, belum sempat ia berganti pakaian karena kejadian menyedihkan itu terasa amat singkat.Mencari nama kontak Nara yang ia beri sebutan bidadariku. Lalu menekan tombol hijau di layarnya untuk menghubungkan sambungan teleponnya.Nomornya tidak aktif. Hanya suara operator wanita yang terdengar di sebalik telepon yang menjelaskan bahwa nomor di luar jangkauan.Pikirannya panik dan gelisah, apakah ada sesuatu yang terjadi pada Nara, mengapa ponselnya bisa sampai tak aktif seperti ini?Apa ia masih marah kepada
"Besok pagi tolong bawa aku ke makam ibu, Mas ..." pintanya sedih, ia tak menyangka mertuanya pergi secepat ini. Perasaannya baru kemarin mereka bertemu.Fahri yang mendengar permintaan Nara itu menjadi bingung. Haruskah ia menuruti kemauan Nara? Ia khawatir istrinya itu akan bertemu dengan Riyanti, wanita yang tak sengaja ia nikahi, bagaimana kalau sampai itu terjadi?Hatinya sangat gelisah, pikirannya sibuk mencari alasan."Sayang, kamu kan lagi hamil, sebaiknya tak perlu kemana-mana, apa lagi jalan menuju rumahku banyak batunya, nanti perutmu bisa sakit kalau kena guncangan," dalihnya, agar wanita itu membatalkan niatnya untuk datang berziarah ke makam sang ibu mertua."Nggak pa-pa Mas, pokoknya aku mau kesana!" pungkasnya, tanpa bisa dibantah lagi.Fahri hanya bisa mengiyakan saja, jika dirinya berani membantah maka bersiaplah wanita itu akan ngambek bagai patung yang tak bisa diajak bicara.Dirinya yakin, pasti Riyanti tak akan membuka mulut dan mengatakan yang sesungguhnya bahw
"Mas mau manggil siapa?" Nara mengernyit."Tetangga sebelah, dia pasti mau kalau aku suruh, karena dia juga sering dulunya bantuin almarhumah ibu di rumah," jelas Fahri."Nah itu dia!" unjuknya kepada seorang wanita yang memakai baju daster namun sangat indah untuk dipandang. Penampilannya tidak semodis Nara, tapi kecantikannya tidak kalah."Riyanti, sini!" teriaknya memanggil wanita yang sedang menyiram bunga itu.Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya, dan setelah tau ternyata Fahri sedang membutuhkannya, ia pun dengan sigap datang menghampiri."A-ada apa, Mas?" ucapnya tergagap saat berhadapan dengan suami dan madunya itu. Perasaanya campur aduk. Ia merasa rendah diri saat melihat wanita yang dicintai oleh suaminya. Ternyata sangat cantik. Seketika dia merasa tidak pantas. Dia membandingkan dirinya sendiri, dan merasa nyampah di rumah tangga mereka.Pasangan itu sudah tampak sangat serasi, seharusnya dia tidak perlu masuk untuk menjadi duri di antara mereka.Ia menundukkan
"Makanan selesai ..." ujar Fahri yang meletakkan udang goreng serta saus asam manis sesuai permintaan istrinya itu ."Wahh ... sepertinya enak banget, Mas," serunya dengan mata yang berbinar."Ayo dicicipi, Sayang," Nara pun mulai mengambil satu ekor udang yang digoreng dengah tepung bumbu crispy lalu mencocolnya ke saus yang terletak di mangkuk kecil. Terbuat dari bahan tomat serta cabai, dan di tambah sedikit gula hingga menimbulkan rasa manis dan sedikit asam."Eummm ... luar biasa, ini makanan terenak yang pernah kumakan, Mas," pujinya kepada sang suami, yang membuat pria itu terasa terbang ke bintang tertinggi."Ah, jangan berlebihan gitu dong Sayang," ucapnya terkekeh."Aku serius Mas, ini enak banget," serunya lagi sambil menyantap lahap udang itu."Syukurlah kalau kamu suka masakan aku, Sayang. Jadi aku nggak merasa sia-sia masak tadi, dihabisin ya, Sayang,"Hari itu terlewati begitu saja. Karena rasa bahagianya bisa menjadi suami dari wanita yang selama ini ia idamkan membua
Beberapa waktu kemudian, Pras melenggang penuh semangat berjalan ke dalam rumah seraya menenteng surat cerai dari kantor pengadilan agama yang didapatnya tadi siang. Ia begitu lega bisa lepas dari wanita jahat itu. Kalau sampai berlama-lagi ia bersama perempuan itu bisa-bisa ia kehilangan ibunya. Beruntung semua itu cepat ketahuan, hingga kejadian buruk bisa diminimalisir.Ia berniat akan mendatangi buah hatinya. Sudah tak ada lagi yang ia takuti. Biasanya dia selalu bergerak secara sembunyi-sembunyi. Yang membuat ia sangat merasa tidak nyaman dan terkungkung.Ia sudah mendapatkan seorang suster baru untuk ibunya. Yang kali ini pasti berbeda, bukan perawat abal-abal. Karena ia memesannya dari suatu yayasan terkenal di daerahnya.Ia pun pamit kepada Dinta untuk pergi menemui Rio, cucu yang selama ini tak pernah dia akui. Wanita itu lantas memanggut saja bagai seeokor ayam yang sedang memakan butiran beras. Lalu dia harus bagaimana lagi? Mau mencegah sang anak pergi, itu juga sangat t
“Lisa, jadi kau sudah mengetahui se-semuanya?” ucapnya terbata. Ia bingung akan menjelaskan apa kepada wanita yang duduk di hadapannya itu.“Serapat-rapatnya kau menyimpan bangkai, pasti suatu saat akan terbongkar juga, Mas. Seperti sekarang ini. Kau sudah berhasil membohongiku selama sepuluh tahun lamanya, kau sangat hebat dan luar biasa.” sarkasnya menyindir.“Aku bisa jelaskan ini semua sama kamu, Lisa. Aku sengaja tidak mem-”“Sudah, cukup, Mas. Aku tak mau mendengar alasan apapun yang keluar dari mulutmu.” potongnya dengan cepat, sebelum pria itu menyelesaikan perkataannya. Sudah tak ada lagi yang perlu dibahas. Sampai jumpa di pengadilan Mas,” tutupnya, lalu beranjak pergi menuju pintu keluar cafe itu.Pras hanya bisa menatap punggung wanita yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan istrinya itu. Ia merasa sedikit kehilangan, meski bapak hakim pengadilan belum mengetuk palunya.Dia sedih. Semua tak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkannya ketika di rumah tadi. Perlahan
“Sudah Mas, jangan kau lanjutkan lagi ucapanmu. Aku sudah paham, maksud dari perkataanmu itu apa. Tak perlu kau bicara panjang lebar lagi. Intinya kau memang tak pernah mencintaiku.” pungkasnya kecewa.Sepuluh tahun lamanya ia mendampingi pria itu. Namun setitik cinta pun sama sekali tak ia dapatkan. Wanita mana yang tak akan bersedih jika berada di posisi seperti dirinya?“Jadi, kapan kamu akan pulang? Ingat ya, aku ini suamimu, kau harus mengurus segala yang aku perlukan, jadilah istri yang baik,” tukasnya tanpa memperdulikan perasaan istrinya yang sedang kesal kepadanya.“Jangan ditunggu, Mas. Karena aku tidak akan pernah kembali!” tegasnya.“Hah? Maksud kamu gimana? Jangan aneh-aneh, deh!” cetusnya dengan jantung yang sedikit berdebar, karena suara wanita itu terdengar sangat serius. Tangannya sedikit bergetar saat menggenggam benda pintar yang biasa disebut smartphone itu.“Aku ingin kita cerai, Mas.”Deg!Jantung Pras seketika lepas dari tempatnya, saat mendengar penuturan d
“Kamu melupakan istrimu yang ada di rumah. Jangan suka menyakiti hati wanita lah!” ucapnya nyelekit.“Iya, kamu benar. Aku tidak lupa kok, aku hanya merindukan anakku, itu saja. Tak ada maksud lain.” tutupnya.Melihat Rio yang baru selesai berganti pakaian, Nara langsung mengajaknya pulang. Tanpa menoleh lagi ke belakang untuk memperhatikan pria yang pernah berarti di masa lalunya itu.“Kita kok pulang duluan, Ma? Terus ayah sendirian dong, di sini?” “Sudahlah, Rio. Tak perlu kamu pikirkan dia. Ayahmu sudah dewasa, dia tau mana yang baik dan buruk untuk hidupnya.” jelas wanita yang memakai baju kaos hitam itu.“Tapi besok, ayah datang lagi kan, Ma?” Dia bertanya pada sang ibu dan berharap ia akan mendapatkan jawaban iya. Namun ternyata sebaliknya.Wanita itu malah menjawab lain, yang sama sekali tak sesuai dengan harapan bocah itu.“Rumah ayahmu itu jauh Nak, dia tidak bisa setiap hari datang ke sini.”“Ya sudah, kita aja yang datang kesana, Ma.” serunya antusias, karena ia juga ingi
“Kenapa diam Om? Tolong jawab pertanyaan Rio tadi?” Rio merengek setengah memaksa. Ia ingin sebuah penjelasan yang sebenarnya.“Bukan apa-apa kok, Sayang, Om Pras tadi hanya salah sebut.” ucap Nara menyela diantara percakapan mereka.“Nggak! Aku mau dengar dari Om Pras sendiri.” Rio menolak alasan ibunya, ia yakin pria itu tak mungkin berkata sembarangan. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu yang menyebut dirinya sebagai ‘ayah’.“M-jadi begini, Rio, sebenarnya-”“Kamu jangan percaya ucapan laki-laki ini, Nak. Dia orang jahat.” potong Nara di saat Pras sedang berbicara untuk menjelaskan segalanya.“Stop, Ma! Aku tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Mama. Aku ingin mengetahui yang sebenarnya, Om tolong bicara Om, katakan yang sejujurnya.” Anak itu terus memaksa Pras untuk berterus terang. Seketika pria berusia matang itu pun menghela napasnya dengan berat.“Baiklah, Nak. Kali ini Om akan bicara yang sebenarnya sama Rio. Tapi sebelum itu Om mau tanya dulu, seandainya meman
“Om, Rio boleh minta sesuatu nggak?” lirihnya seraya menggenggam pergelangan tangan pria berbadan sedikit berisi itu.“Mau minta apa, Sayang. Kalau Om mampu, maka Om akan turutin.” sahutnya yang membelai rambut anak itu. Begitu indah yang ia rasakan. Saat menyentuh sang anak hatinya menjadi bergetar.“Rio pengen jalan-jalan sama Om, dan juga mama.” pintanya, kini kedua tangannya memegang tangan kedua orang tuanya, di kiri dan kanannya.“Tapi, Mama belum ada waktu libur, Rio!”Mendengar kata penolakan itu yang keluar dari mulut ibu kandungnya membuatnya emosi dan menghempaskan tangan wanita itu.“Mama memang selalu sibuk sama pekerjaan! Mama nggak pernah punya waktu buat aku!” sergahnya, kemudian dia berlari entah kemana.“Rio … tunggu Nak!” Pras berusaha mengejar, mengikuti setiap jejak langkah kaki anak itu.Betapa sedih hatinya. Bahkan di saat sedang sakit seperti ini pun wanita itu masih tidak mau meluangkan waktu untuknya. Anak mana yang tidak akan merasa kecewa jika berada di pos
Ikatan batin yang kuat antara seorang ayah dan anak seakan tak dapat dipisahkan. Ia merasa gelisah sejak jauh dari Rio. Pikirannya selalu berputar-putar pada anak itu.“Apa yang terjadi dengannya, di sana? Mengapa hatiku menjadi tidak tenang begini?” batinnya.Untuk memastikan yang lebih jelasnya ia akan datang lagi untuk menemui anak itu, esok hari. Tak peduli apakah mereka akan bertengkar lagi, karena Lisa yang mulai mencurigai tindak tanduknya yang aneh.Sudah sepuluh tahun ia berpisah dengan sang anak. Ia tak ingin hal ini terjadi lagi.**Setelah tiga hari di rumah …“Kamu mau pergi lagi, Mas?” Alis Lisa mengusut tatkala melihat sang suami kembali menyusun pakaian ke dalam koper hitam miliknya.“Iya, masih ada urusan di sana!” pungkasnya, lalu langsung menghilang dari ruangan itu. Berjalan menuju mobilnya dan … tancap gas.Lisa berdecak kesal, lagi-lagi suaminya pergi meninggalkannya untuk urusan yang sama sekali tidak jelas.Di sisi lain, Rio masih berada di tempat tidur. Su
Rio kembali murung. Dikarenakan Om kesayangannya sudah pergi pulang ke kotanya. Tak ada lagi yang membuatnya bersemangat dalam menjalani hari-hari yang sangat membosankan.Tapi ia teringat akan janji pria itu. Bahwa dia akan kembali, kepergiannya hanya sesaat saja.Ia sangat berharap agar lelaki bertubuh tinggi itu datang lagi untuk menepati janjinya.Setiap hari ia selalu memikirkan pria itu, hingga membuatnya demam, badannya panas tinggi. Mulutnya tak henti-hentinya mengigau.Nara yang sedang mendampinginya dibuat tercengang atas apa yang dikatakan oleh sang anak.“Om, kapan datang lagi? Aku kangen Om …” serunya dengan mata yang tertutup. Tubuhnya menggil kedinginan sedangkan suhu tubuhnya panas bagai api.“Om siapa Nak?” tanya Nara yang kebingungan. “Om Pras, aku kangen, kenapa Om harus pergi …” racaunya lagi. Yang membuat Nara benar-benar terkejut hebat.Jantungnya berdetak lebih kencang. Apakah orang yang dimaksud anaknya itu adalah Pras, pria bajing4n itu?Nara berharap, sem
Nara mengintip dari jendela. Tampak Rio turun dari sebuah mobil putih dari merk terkenal di negara ini. Seketika wanita itu langsung melipat kening.‘Siapa orang yang mengantar anakku itu?’ batinnya di dalam hati sambil terus meneliti dengan seksama tanpa berkedip.Tampak Rio melambaikan tangan ke kaca pintu depan mobil. Sebuah tangan keluar, membalas lambaian itu. Melihat itu, Nara tau, kalau yang ada di dalam mobil itu adalah seorang pria. Terlihat dari bentuk tangannya.Rio telah sampai di teras, dan perlahan mobil itu pun menjauh pergi.“Kenapa pulang terlambat?” serang Nara yang menyilangkan tangan di dada.“Abis main,” sahutnya singkat.“Main sama siapa?” Nara terus mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan.“Sejak kapan Mama peduli sama aku? Mama biasanya sibuk ngurusin kerjaan.” balasnya kesal.“Mama itu kerja buat kamu, untuk biayain sekolah kamu, kenapa kamu malah marah sama Mama?”“Aku nggak marah, ya udah aku kan nggak ganggu Mama kalau pulang terlambat.”“Mama tany