GISELLE
‘Dengarkan Damar dengan hati terbuka.’
Begitu saran Akira kepada dirinya. Giselle tentu saja ingin sekali memiliki hubungan baik dengan kakak satu-satunya tersebut.
Tapi terkadang dia merasa jurang di antara mereka terlalu lebar. Sebelumnya, tak ada yang ingin susah-susah menyebrangi sungai pembatas yang tercipta karena minimnya interaksi di antara mereka.
“Kenapa Mas Damar tiba-tiba nawarin ini ke aku?” tanya Giselle dengan gamblang.
Kakaknya menghela napas panjang.
“Aku sadar kalau kamu masih curiga dan punya prasangka denganku,” tambal Damar.
Gise
Mereka akhirnya tiba di rumah orang tua Akira. Rumah dua lantai yang kental dengan aksen interior Jawa. Ukiran-ukiran khas pengrajin dari Jepara, kota kelahiran ayahnya Akira juga mendominasi pintu hingga beberapa furniture rumah. Di halaman depannya, banyak pot-pot yang berisi tanaman bunga beraneka warna dan jenis. Di dekat pagar, terdapat pohon mangga yang begitu kokoh tertambat di taman kecil rumah ini. Terakhir kali Giselle ke sini, dia diliputi dengan grogi dan kekikukan karena baru pertama kali bertemu dengan keluarga inti Akira. Maka dari itu dia tak terlalu memperhatikan sekelilingnya. “Nanti kita mau diapain?” bisik Giselle dengan diselimuti kegugupan. “Paling disidang sama mama dan ayah,” ujar Akira santai. Sebagai bentuk kepedulian, Akira meremas genggaman tangan Giselle yang semakin lama semakin berkeringat, tak bisa menutupi perasaannya yang kini campur aduk seperti roller coaster sejak dia membuka matanya pagi tadi. “Akira! Serius dong!” pekik Giselle masih denga
AKIRA Setelah Akira berbicara dengan lantang seperti itu, raut wajah mama berubah menjadi penuh kekhawatiran, sedangkan ayah tetap diam meskipun sesekali dia mengangguk hingga akhirnya menghela napas berat. Mama melihat tingkah ayah, dan secara refleks menenangkan suaminya tersebut. Mengusap punggungnya penuh dengan cinta kasih. Satu hal yang ingin Akira rasakan saat mengarungi bahtera rumah tangga bersama Giselle kelak. “Nak Giselle, apa kamu sudah mantap menerima permintaan Akira untuk mempersuntingmu?” tanya ayah dengan nada serius namun penuh perhatian kepada kekasih yang duduk di sampingnya itu dengan tegap dan gugup. Giselle mengangguk berkali-kali. “Iya, Om. Saya sudah yakin, Akira adalah pria terbaik yang pernah saya temui, dan… saya bahagia sekali waktu Akira menyampaikan keinginannya untuk menikahi saya,” jawab Giselle sungguh-sungguh. Mama diam-diam menyeka air matanya, sedangkan ayah terlihat puas dengan jawaban Giselle. Akina tersenyum lebar, sedangkan Damar terli
“Nanti aku ceritakan di tempatmu saja, sekalian kita matangkan informasi mengenai pengunduran dirimu untuk Diraja Sudibyo dan Kelana Sastrowilogo.” Akira akhirnya menyutujui untuk buka-bukaan terhadap Giselle. “Tapi jujur aja, sekarang aku cuma mau rebahan di lantai sambil istirahat sejenak, sepertinya kita dari pagi tuh full battle mode, Sayang. Mulai dari kantor, sampai waktu kita diskusi sama orangtuaku,” tutur Akira seraya menghela napas panjangnya. Giselle akhirnya luluh dan memutuskan untuk kembali berjalan di sisi Akira. “Iya sih, aku juga ngerasa capek tiba-tiba, sepertinya energiku tersedot habis setelah diinterogasi sama Tante Miyaki dan Om Aryanto,” ujar Giselle seraya terkekeh geli. Mereka kembali bergandengan tangan berdua, dan melintasi halaman parkir The Morning Mist, tempat mobil Pajero-nya terparkir dari tadi pagi. Semoga saja Leo nggak nyap-nyap ngomel karena mengambil tempat parkir untuk para pengguna kedai. Saat mereka berdua tiba di depan mobil, mereka be
GISELLE Kemarin setelah mereka rebahan dan ternyata tidur hingga satu jam, mereka bangun dengan perasaan lebih refreshed dan lebih tenang. Akira sempat mengeluh kalau punggungnya terasa sakit karena tidur di lantai, lalu bahu dan lengannya terasa sedikit kram karena menjadi bantal dadakan untuk kepala Giselle yang ikut rebahan di samping Akira. Tapi setelah mereka ‘tersadar’ dari power nap, Akira dan dirinya kembali bersama menyusun rencana dan menelepon tiga raksasa konglomerat muda generasi ketiga yang saat ini berhubungan dengan mereka. Danudihardjo Enterprise yang digawangi oleh Darius Danudihardjo dengan proyek mergernya. Diraja Sudibyo dengan proyek real estate yang saat ini dipegang oleh dirinya, dan yang terakhir adalah Kelana Sastrowilogo yang sedang dalam tahap penandatanganan kontrak untuk proyek energinya. Semuanya adalah konglomerat kelas paus yang memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Dan kini mereka akan membujuk mereka untuk pindah haluan dar
“Sejujurnya ini berita yang buruk bagi kami, Giselle,” ucap Diraja Sudibyo sambil menggelengkan kepalanya penuh kekecewaan.“Saya mengerti dengan keputusanmu sepenuhnya. Tapi di sisi lain, saya juga orang yang bertanggung jawab pada proyek ini. Kami sudah teken kontrak dengan The Converge untuk proyek marketing real estate yang sedang berjalan.” Diraja menghembuskan napasnya dengan berat.Tak lama dia berdecak kesal, “Teddy pengacau!” rutuknya tiba-tiba yang sontak membuat Giselle sedikit terperanjat dari kursinya.“Saya tahu kalau ini berita yang cukup mengejutkan untuk Pak Diraja, tapi saya tidak bisa bertahan dalam situasi seperti itu di kantor.” Giselle sekali lagi mencoba memberikan pengertian kepada sang konglomerat muda.
AKIRA Terakhir, mereka menunggu kedatangan Darius di Vong Kitchen. Hari ini dia datang sendiri tanpa Nero dan Raka yang ternyata sedang terbang untuk perjalanan bisnis ke Bali lalu bertolak ke Jepang untuk proyek real estate Joint Venture dengan Danudihardjo Enterprise. Giselle terlihat lebih rileks setelah kedua pertemuan sebelumnya yang memberikan sinyal positif untuk karir gadis itu untuk kedepannya. Dan yang Akira sukai dari para konglomerat muda yang mereka temui hari ini, semuanya sangat tepat waktu dan begitu menghargai waktu yang telah dijanjikan. Salah satu resep menjadi orang berhasil mungkin salah satunya terletak dengan bagaimana mereka menghargai waktunya dan juga waktu rekan bisnisnya. “Hei Akira, Giselle, apa kabar?” Darius tiba di meja mereka seorang diri sambil membawa satu buket bunga besar penuh yang terlihat begitu elegan dan mahal pastinya. Sepertinya bukan kelas Pasar Rawa Belong yang biasa dibeli untuk pemanis rumahnya atau sebagai buah tangan ketika berku
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.