Kuro melayang di udara, tubuhnya dikelilingi oleh cahaya emas.“Rakuen no Tenshō…” bisiknya.ZWOOSH!!Ledakan cahaya meledak dari tubuhnya, menyapu puluhan prajurit dalam sekejap. Tanah bergetar, pepohonan bergoyang, dan kabut tebal tersapu bersih.Di antara sisa-sisa pertempuran, beberapa prajurit terkuat Bayangan Hitam masih berdiri.Salah satunya adalah pria berambut perak, dengan tato hitam yang menjalar di kedua lengannya.Ia melangkah maju. “Jadi ini kekuatan Rakuen no Tenshō? Menarik.”Gidi menyipitkan mata. “Siapa kau?”Pria itu tersenyum dingin. “Namaku Rei. Aku akan membunuh kalian.”Tanpa aba-aba, Rei bergerak.Kecepatannya luar biasa. Dalam sekejap, ia sudah di depan Gidi.CLANG!Benturan belati Gidi dan pedang Rei memancarkan percikan api. Keduanya bertukar serangan dengan kecepatan yang nyaris tak terlihat.Sementara itu, Kuro berhadapan dengan pemimpin Bayangan Hitam lainnya—seseorang dengan mata merah dan pedang hitam berkilauan.“Aku sudah menunggumu, Kuro,” katanya.
Kuro dan Kaien saling menatap.Kaien menarik napas dalam. “Aku sudah lama menunggu saat ini.”Dalam sekejap, ia menyerang.Kuro menangkis dengan satu tangan, tetapi kekuatan Kaien lebih besar dari dugaannya. Tanah di bawah mereka retak akibat benturan.BOOM!!Gelombang kejut menyebar ke segala arah.Kaien melompat mundur dan tersenyum. “Kau kuat. Tapi aku belum mengeluarkan segalanya.”Kuro memperhatikan aura gelap yang mulai membalut tubuh Kaien.Ia tahu, pertarungan ini akan sulit.Di sisi lain, Gidi masih bertarung melawan Rei.Mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, saling menebas dan menghindar. Tapi Rei semakin unggul.Dengan satu gerakan cepat, Rei menendang perut Gidi.DUGH!!Gidi terpental, menabrak pohon.Rei mendekat, mengangkat pedangnya. “Ini akhirnya.”Namun, sebelum ia sempat menyerang—ZASH!!Sebuah kilatan cahaya emas melesat.Rei terpaksa melompat mundur.Saat debu menghilang, Kuro berdiri di depan Gidi.“Jangan sentuh dia.”Rei menyeringai. “Akhirnya kau datang
Langit di atas Gunung Kiryu dipenuhi cahaya dan bayangan.Kuro berhadapan dengan Kaien.Gidi melawan Rei.Dan pasukan Bayangan Hitam masih bertarung di seluruh penjuru gunung.Kaien tersenyum dingin. “Mari kita akhiri ini.”Dengan satu hentakan kaki, ia melompat ke udara. Pedangnya mulai bergetar, memancarkan aura hitam yang semakin pekat.Kuro mengambil napas dalam.“Aku siap.”Kaien menebas.BOOOM!!Ledakan besar mengguncang Gunung Kiryu.Tapi ketika asap menghilang, Kuro masih berdiri.Ia telah menangkap pedang Kaien dengan tangan kosong.Kaien terbelalak. “Tidak mungkin!!”Kuro menatapnya tajam. “Pertempuran ini sudah berakhir.”Dengan satu dorongan, ia melepaskan energi Rakuen no Tenshō.Cahaya emas menyelimuti segalanya.Kaien menjerit saat tubuhnya terpental ke belakang. Aura hitamnya menghilang.Di sisi lain, Gidi berhasil menebas bahu Rei. Darah menetes, dan Rei jatuh berlutut.Ia mendengus. “Hmph… aku kalah.”Pasukan Bayangan Hitam yang tersisa mulai mundur.Pertempuran di G
Langit di atas Gunung Kiryu berubah menjadi lautan hitam pekat. Mata merah raksasa menatap ke bawah dengan tatapan mengintimidasi, dan tekanan dahsyat merayap ke seluruh tubuh Kuro, Gidi, dan Kaien.“Dia… sudah bangkit.” Kaien bergumam, suaranya nyaris bergetar.Kuro menghunus pedangnya. Ia bisa merasakan aura makhluk itu berbeda dari Bayangan Hitam biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya.Dari awan hitam, sesosok tubuh perlahan terbentuk—seorang pria bertubuh kekar dengan jubah panjang hitam berlapis emas. Rambutnya panjang terurai, dan di belakangnya, sepasang sayap berwarna ungu gelap berkibar."Namaku Zhaitan," suaranya bergema. "Aku telah menunggu momen ini selama berabad-abad."Dengan satu gerakan tangannya, angin badai meledak di sekitar mereka, memporak-porandakan reruntuhan Gunung Kiryu.Kuro langsung melompat ke depan, menebaskan pedangnya ke arah Zhaitan. Tapi sebelum pedangnya bisa menyentuh, kekuatan tak kasatmata menahannya di tempat."Mustahil!" Kuro
Di dalam kegelapan, Kuro berdiri sendirian.Suasana di sekitarnya kosong, hanya ada kehampaan yang tiada batas.Namun, di hadapannya, muncul sesosok bayangan—tinggi, bersinar dengan cahaya keemasan.“Kau akhirnya sampai di sini,” suara itu berkata.Kuro mengerutkan dahi. “Siapa kau?”Bayangan itu tersenyum. “Aku adalah warisan yang telah lama tertanam dalam darahmu. Aku adalah Tenshō no Shinsei.”Tiba-tiba, tubuh Kuro terasa panas. Cahaya keemasan membungkusnya, seakan membakar seluruh jiwanya.“Jika kau ingin melawan Zhaitan,” lanjut Tenshō no Shinsei, “kau harus melewati ujian terakhir ini.”Tiba-tiba, cahaya di sekelilingnya meledak, dan Kuro merasakan dirinya ditarik ke dalam pertempuran baru—melawan dirinya sendiri.Bayangan lain muncul di depannya. Dirinya, tetapi dengan mata berkilauan emas dan energi luar biasa mengelilinginya.“Jika kau tidak bisa mengalahkan aku,” suara bayangan itu berkata, “maka kau tidak layak mendapatkan kekuatan ini.”Kuro mencengkeram pedangnya erat. I
Pertarungan antara Kuro dan bayangannya berlangsung sengit. Setiap tebasan pedang menimbulkan gelombang energi yang menghancurkan ruang di sekitarnya.Kuro berkali-kali mencoba menyerang, tetapi bayangannya selalu lebih cepat, lebih kuat, dan lebih tajam."Aku adalah versi sempurnamu," kata bayangan itu. "Jika kau tidak bisa melampaui aku, maka kau tidak akan pernah mencapai puncak kekuatanmu!"Kuro menggeram, menatap lawannya. Ia tahu ini bukan sekadar ujian fisik. Ini adalah ujian mental."Jika aku ingin menang, aku harus menerima semua kelemahanku."Ia menutup mata Dan di saat berikutnya Sebuah ledakan cahaya menyelimutinya.Tiba-tiba, tubuhnya terasa ringan. Ia bisa merasakan aliran energi baru—kekuatan petir yang mengalir di dalam darahnya.Saat ia membuka mata, bola matanya kini bercahaya biru menyala.Tenshō no Shinsei tersenyum. “Sekarang, kau siap untuk menerima warisan terakhir… Raijin.”Kuro membuka matanya. Cahaya biru berpendar dari bola matanya, berkilauan seperti petir
Dalam sekejap, dunia di sekeliling Kuro berubah lagi.Kini, ia berdiri di atas lautan badai yang bergemuruh. Di langit, petir menyambar tanpa henti.Dan di depannya, berdiri sosok raksasa yang diselimuti petir—Raijin, Dewa Petir.“Kau ingin menerima kekuatanku?” suara Raijin menggelegar.Kuro mengangguk. “Ya.”Raijin mengangkat tangannya, dan seketika itu juga—Kilat menyambar tubuh Kuro.“Buktikan bahwa kau layak!”Tubuh Kuro langsung didera rasa sakit luar biasa. Setiap serat ototnya terasa terbakar, tetapi ia tidak menyerah.Ia menahan semuanya, membiarkan kekuatan itu mengalir ke dalam dirinya.Dan saat ia membuka matanya, sepasang sayap petir muncul di punggungnya. Tangannya kini dipenuhi dengan energi yang lebih besar dari sebelumnya.Ia telah menjadi sesuatu yang lebih dari manusia.Ia telah menjadi Kesatria Petir.Penerimaan Warisan RaijinAngin kencang berputar di sekeliling Kuro, membawa petir yang berkelindan di udara seperti naga yang menari. Lautan badai di bawahnya terus
Saat Kuro kembali ke dunia nyata, ia melihat Zhaitan masih berdiri di sana, dikelilingi oleh kegelapan.Tapi kali ini, Kuro sudah berbeda.Ia berdiri, tubuhnya kini bersinar dengan dua energi sekaligus—cahaya Tenshō no Shinsei dan kilatan Raijin.Zhaitan menyipitkan mata. “Apa ini?”Kuro tersenyum. “Inilah akhir dari era kegelapanmu.”Ia mengangkat tangannya—dan petir menyambar dari langit, menyelimuti pedangnya.Zhaitan menggeram. “Kau pikir hanya karena kau mendapatkan kekuatan baru, kau bisa melawanku?”Kuro tidak menjawab.Ia hanya melangkah maju, dan dalam sekejap—BOOOM!Ledakan cahaya dan petir mengguncang Gunung Kiryu.Gunung Kiryu berguncang hebat saat petir dan kegelapan bertabrakan. Angin badai berputar liar, mencabik-cabik tanah dan bebatuan di sekitarnya. Langit berubah kelam, seakan menanti kehancuran.Kuro berdiri tegap, tubuhnya berpendar dengan dua energi luar biasa—Tenshō no Shinsei, cahaya suci yang menandakan pencerahan, dan Raijin no Kaminari, kekuatan petir yang
Debu mulai mengendap. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan kehidupan baru. Dunia telah selamat. Pertempuran dahsyat melawan Sang Penenun dan ancaman yang lebih besar telah berakhir. Namun, jejaknya tetap terukir dalam setiap sudut dunia. Bekas luka menganga di permukaan bumi, mengingatkan akan kekuatan dahsyat yang hampir menghancurkan segalanya. Kota-kota hancur, desa-desa porak-poranda, dan jutaan jiwa telah hilang. Namun, di tengah kehancuran itu, tumbuh tunas-tunas kehidupan baru. Tanaman-tanaman mulai tumbuh kembali, menunjukkan kekuatan regenerasi alam yang luar biasa. Manusia, yang telah kehilangan begitu banyak, mulai membangun kembali kehidupan mereka, mencari harapan di tengah keputusasaan. Kuro, pahlawan yang telah menyelamatkan dunia, tidak ada di sana untuk menyaksikannya. Pengorbanannya telah menyelamatkan alam semesta, tetapi dengan harga yang sangat mahal—kehidupannya sendiri. Ia telah lenyap, menjadi bagian dari alam semesta. Namun, kisahnya tetap hid
Kuro terhuyung, tubuhnya hancur lebur, luka menganga di sekujur tubuhnya seperti peta bintang yang mengerikan. Darah segar membasahi tanah yang sudah retak dan terbakar, mencampur dengan debu dan abu yang beterbangan. Namun, di tengah kehancuran itu, cahaya emas Kekuatan Naga Emas masih menyala, suatu suar harapan yang gigih melawan kegelapan yang hampir membenamkan segalanya. Ia telah menggunakan hampir semua kekuatannya, mengeluarkan seluruh kemampuannya hingga ke titik kering. Namun, Sang Penenun, entitas kekacauan itu, masih berdiri teguh, pusaran energi gelapnya semakin besar, semakin ganas, menelan segalanya dalam cengkeramannya yang tak kenal ampun. Harmoni yang Kuro coba ciptakan, harmoninya yang merupakan benteng terakhir melawan kekacauan, terasa rapuh, seperti kaca yang siap hancur berkeping-keping. Ia merasakan kelelahan yang luar biasa, tubuhnya terasa seperti akan runtuh, namun tekadnya tetap membara. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus menang.Pandan
Bab 149: Harmoni yang Hilang – Pertempuran SengitAlam semesta bergetar. Bukan getaran lembut, namun guncangan dahsyat yang mengguncang realitas itu sendiri. Kekuatan tiga naga – Muzunoryu, Tsuchiryu, dan Arashiryu – berbenturan dengan kekuatan Sang Penenun, menciptakan gelombang energi yang tak terbayangkan. Air, tanah, dan angin beradu dengan kegelapan, menciptakan pusaran yang mengerikan, pusaran yang mengancam untuk menghancurkan segalanya. Kuro, di tengah badai itu, merasakan kekuatan dahsyat yang mengguncang jiwanya.Tubuhnya, yang sudah penuh luka, terasa seperti akan hancur. Setiap inci kulitnya terasa perih, setiap tulang terasa remuk. Ia telah menggunakan hampir semua kekuatannya, namun Sang Penenun masih berdiri teguh, pusaran energi gelapnya semakin besar dan semakin ganas. Harmoni yang ia coba ciptakan, harmoninya yang merupakan benteng terakhir melawan kekacauan, terasa rapuh, hampir hancur.Kuro tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu, dan cepat.
Kelelahan mencengkeram Kuro. Tubuhnya, yang biasanya dipenuhi dengan energi kosmik yang tak terbatas, kini terasa lemah dan remuk. Luka-luka yang ia derita dalam pertempuran sebelumnya masih terasa perih, ditambah dengan luka-luka baru yang ia dapatkan dari serangan Sang Penenun. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya, menodai jubahnya yang sudah compang-camping. Ia merasakan kekuatannya terkuras, semakin menipis, seperti lilin yang hampir padam.Sang Penenun, entitas kosmik yang mengerikan itu, mengeluarkan kekuatannya yang sebenarnya. Ia melepaskan serangan yang mampu memanipulasi realitas itu sendiri. Waktu dan ruang menjadi terdistorsi, berputar-putar seperti pusaran air yang tak berujung. Ilusi-ilusi yang membingungkan muncul di mana-mana, menciptakan pemandangan yang surealis dan mengerikan. Kuro merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung, di mana realitas dan ilusi bercampur aduk, di mana ia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana y
Kekalahan di awal pertempuran telah meninggalkan jejak yang dalam pada Kuro. Tubuhnya terasa remuk, namun tekadnya tetap membara. Darah masih mengalir dari sudut bibirnya, menodai jubahnya yang sudah compang-camping. Ia menatap Sang Penenun, pusaran energi gelap yang tak berujung itu, dengan mata yang dipenuhi dengan campuran rasa sakit, kemarahan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa ia harus menggunakan semua kekuatannya, semua kemampuannya, untuk melawan entitas kosmik yang mengerikan ini. Ia harus menciptakan harmoni yang sempurna, keseimbangan yang mutlak, untuk melawan kekacauan yang mengancam untuk menelan segalanya.Dengan napas yang tersengal-sengal, Kuro memanggil Kuchiyose Kinpika Ryu (Naga Emas). Api emas berkilauan menerangi kegelapan yang mencekam, menciptakan kontras yang dramatis antara cahaya dan bayangan. Kinpika Ryu, naga emas yang megah dan perkasa, muncul dari dimensi lain, sisiknya berkilauan seperti emas murni yang dilebur oleh mat
Langit bukan lagi langit. Ia adalah kanvas gelap yang tercabik-cabik, dirobek oleh tentakel-tentakel energi hitam yang tak terhitung jumlahnya. Tentakel-tentakel itu, tebal seperti gunung dan hitam pekat seperti jurang maut, menari-nari dengan kejam di antara bintang-bintang yang meredup. Mereka bukan sekadar energi; mereka adalah manifestasi dari kekacauan itu sendiri, perpanjangan dari kehendak Sang Penenun, entitas kosmik yang haus akan jiwa. Jiwa-jiwa manusia, terhisap oleh tentakel-tentakel itu, menghasilkan jeritan yang menyayat hati, simfoni kematian yang mengerikan yang bergema di seluruh dunia. Di tengah badai ini, Kuro berdiri tegak, sebuah patung marmer yang tak tergoyahkan di tengah badai yang mengerikan.Rambut putihnya yang panjang berkibar ditiup angin yang berputar-putar, menyerupai api yang siap menyala. Wajahnya, yang biasanya dipenuhi dengan ketenangan, kini dikerutkan oleh tekad yang tak tergoyahkan. Ia bukanlah manusia biasa lagi; ia adalah m
Kuro, yang telah mencapai usia lanjut namun tetap teguh dalam semangatnya, merasakan sebuah panggilan yang kuat dari dalam dirinya. Bukan panggilan untuk bertempur, melainkan panggilan untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam. Selama beberapa dekade terakhir, ia telah memimpin dunia menuju perdamaian dan kemakmuran, namun sebuah pertanyaan besar tetap terngiang dalam pikirannya: apakah perdamaian ini akan bertahan selamanya? Apakah ancaman kegelapan benar-benar telah musnah? Ataukah masih ada misteri yang tersembunyi, mengintai di balik kedamaian yang tampak sempurna ini?Pertanyaan-pertanyaan ini telah menghantuinya selama bertahun-tahun. Ia telah berkonsultasi dengan para bijak, para pendeta, dan para ilmuwan, namun tak satu pun dari mereka mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Ia merasa ada sesuatu yang masih tersembunyi, sesuatu yang hanya dapat ditemukan di tempat yang terdalam dan terjauh—dunia roh.Ia telah mendengar legenda tentang dunia roh, dunia di m
Debu pertempuran masih menyelimuti lembah, mengingatkan akan pertarungan sengit yang baru saja berakhir. Aroma tanah basah bercampur dengan bau darah—bau yang tak akan pernah hilang dari ingatan Kuro, Sylva, dan Kaien. Kemenangan atas entitas kegelapan terasa pahit, dibumbui oleh kehilangan dan kelelahan yang mendalam. Banyak sekutu mereka telah gugur, korban dari pertempuran yang hampir menghancurkan dunia. Keheningan yang menyelimuti mereka dipenuhi oleh kesedihan yang dalam, namun juga oleh rasa syukur yang tak terhingga. Mereka telah berhasil. Mereka telah menyelamatkan dunia.Kuro, dengan luka-luka yang masih menganga di tubuhnya, duduk bersila di tengah reruntuhan. Ia menatap langit yang mulai dipenuhi bintang, merasakan beban tanggung jawab yang luar biasa di pundaknya. Ia bukan hanya seorang pemimpin bagi pasukan mereka, tetapi juga seorang pemimpin bagi dunia yang baru saja mereka selamatkan—dunia yang hancur, dunia yang membutuhkan pemulihan yang panjang dan
Setelah berhasil mengendalikan kekuatan Naga Bumi dan menyeimbangkan energi di dalam dirinya melalui ritual purba, Kuro merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, kedamaian itu hanyalah sementara. Ia tahu bahwa entitas kegelapan yang telah merasukinya belum sepenuhnya hilang. Ia masih merasakan bisikan-bisikan jahat di dalam pikirannya, dan ia masih melihat kilasan-kilasan gambar yang mengerikan. Ia tahu bahwa ancaman itu masih mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang kembali.Ia menghabiskan beberapa bulan berikutnya untuk berlatih dan bermeditasi, menjaga keseimbangan antara kekuatan cahaya dan kegelapan di dalam dirinya. Ia juga menghabiskan waktu bersama Sylva dan Kaien, menikmati kedamaian dan kebersamaan yang telah lama dirindukannya. Namun, ia selalu waspada, selalu siap untuk menghadapi ancaman yang mungkin datang kapan saja.Suatu hari, saat ia sedang berlatih di hutan, ia merasakan perubahan di udara. Udara terasa dingin da