Aku bergegas mengusap air mata dan mengatur napasku, agar sesak karena tangisan yang tertahan bisa berkurang. Dengan bismillah aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar, melihat apa yang sedang terjadi."Bu, ada apa?" tanyaku dengan pandangan aneh ke arah Mas Attar yang terkapar di lantai."Sebentar, aku telepon Pak Ustadz Idris!" ujar Mbak Naura sembari mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, sedangkan mengangkat kepala Mas Attar ke atas pangkuannya.Aku bingung harus apa, rasa sakit masih sangat berdarah, tapi melihat Mas Attar seperti itu aku tetap tidak tega. Ibu menggenggam tanganku erat sekali, terpancar ke khawatiran seorang ibu dari reaksinya. Sekilas kulirik ibu, dia menggigit bibir bawahnya, dan menatap sayu ke wajah Mas Attar. Bagaimana pun, darah lebih kental dari pada Air.Tidak lama, sekitar 15 menit terdengar salam dari beberapa orang. Mbak Naura langsung menemui mereka dan mengajak masuk ke dalam rumah."Sejak tadi," tanya Usatadz Idris.Mbak Naura mengangguk d
"Dukun?" tanyaku tidak percaya, apa iya dukun masih ada di zaman sekarang.Ustadz Idris mengangguk dan mengatakan hal itu bisa saja terjadi pada siapapun, dikala pikirannya sedang kosong dan saat sedang tergoda. Apalagi Mas Attar memang orang yang tidak enakkan, jika disodorkan makanan. Pasti dia makan walaupun hanya sedikitAku menatap Mas Attar miris, ingin kasihan, tapi hatiku terlanjur hancur dan sakit sekali, ketika dia mengatakan masalah anaknya yang sedang dikandung oleh gadis itu yang saat ini resmi menjadi istri keduanya,"Sepertinya, guna-guna itu sudah mendarah daging. Hingga Attar harus sesering mungkin di ruqyah dan dari dalam dirinya berniat ingin lepas dari wanita itu. Percuma ruqyah juga, jika dalam hatinya tidak ingin lepas," lirih Ustadz Idris yang sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan.Ibu dan Mbak Naura tidak lagi bersuara, mereka diam sambil memandangi isi di dalam baskom yang kemudian di bawa salah satu teman Ustadz idris ke belakang untuk di buang. Ustad
Ibu mertuaku menyeret wanita hamil itu menjauh dariku, tapi dihalangi oleh orang bawaan Shanum. Ibu meminta padanya untuk menjauh dariku, juga suamiku. Namun, dia menolaknya dengan pongah dan dengan lantang dia mengatakan, jika Mas Attar akan tetap memilihnya dari pada aku. Melihatnya yang tetap cantik meski hamil, membuatku insecure sendiri. Bagaimana bisa dia menjaga bentuk tubuhnya dikala sedang berbadan dua. Aku sampai melihat tubuhku sendiri, yang terlihat sangat tidak menarik. Sumpah serapah yang terlontar dari tetangga-tetangga ibu mertua, tidak dipedulikannya. Dia fokus beradu argument dengan ibu mertua. "Shanum, kenapa kamu ke sini?" tanya Mas Attar yang membuat ibu terperanjat, karena baru menyadari keberadaan Mas Attar. "Oooo! Kamu pura-pura sakit untuk mendapatkan simpati kami?"tanya ibu mertua dengan wajah yang merah padam. Mas Attar diam saja, malah berjalan mendekati Shanum yang menampakkan wajah sedih dan tidak berdaya. Hebat sekali actingnya. Aku hanya mematung d
Shanum terlihat sangat manja pada Mas Attar dan sesekali mengusap perutnya, dia seperti ingin memperlihatkan, jika dirinya sangat bahagia dan bangga dengan apa yang dia lakukan.Mbak Naura semakin emosi mendengar ucapan Shanum, dan aku hanya bisa diam saja. Tidak ingin menjatuhkan harga diriku, untuk mempertahankan rumah tangga yang memang sudah tidak sehat ini."Aku hanya meminta kembali apa yang menjadi milikku, jika kalian ingin mengeluarkan aku dari hidup kalian!" Mas Attar kini yang bicara dengan suara yang berapi-api. "Termasuk uang dan lainnya yang ada di kamu!" imbuh Mas Attar dengan menunjuk diriku.Sempat aku terkejut dengan ucapan Mas Attar, enggak menyangka dia akan mengeluarkan kata-kata itu. Bahkan, para tetangga melontarkan makian pada Mas Attar karena ucapannya tadi."Berapa uang yang kamu keluarkan untukku dan ibumu, kita buat perhitungan di sini. Agar kelak tidak ada masalah lagi setelah kita bercerai, karena di sini banyak saksinya!" Tiba-tiba, aku mengatakan hal ya
Mbak Naura masuk, karena mendengar suaraku yang sedikit berteriak di tambah lagi Shanum memaksa untuk segera mengakhiri drama yang membosankan ini."Aku titip ibu, ya, Mbak," Mbak Naura mengangguk, dan mengusap air matanya yang jatuh saat melihatku dan ibu yang sepertinya syok berat.Aku keluar dari kamar dengan mengucap Bismillah, agar hatiku kuat menghadapi kegeoisan lelaki yang baru saja mengucapkan talak untukku di depan banyak orang atas permintaanku sendiri."Aduh cepatan dong, kami mau ke Jogja!" ketus Shanum.Bu Rt memintaku duduk di sampingnya, dan dengan pelan dia menepuk pundakku. Seakan-akan mengatakan, kamu bisa, kami bersamamu!"Kamu sudah meminta hakmu selama ini untuk aku kembalikan, sekarang aku memintamu untuk mengembalikan semua hakku yang kamu ambil!" ujarku dengan menahan air mata yang siap menerobos keluar.Semua diam, ingin mendengar tuntutan yang aku lontarkan untuk Mas Attar. Dengan menarik napas panjang tiga kali dan menghembuskannya secara perlahan, aku meng
Satu pukulan tepat mengenai wajah Mas Attar, dan lelaki yang bernama Wahyu itu terus memberikan pukulan pada lelaki yang pernah membersamai hari-hariku.Shanum berteriak dan mencoba melerai Wahyu yang tidak lelah menghajar Mas Attar, kemudian dia mencoba memohon agar Mas Attar dilepaskan."Kamu menceraikan istrimu, itu tidak masalah. tapi kamu menghina seorang wanita dan ibu yang melahirkanmu. Lebih baik kamu mati, untuk membayar semuanya!" geram Wahyu yang masih berusaha memukuli Mas Attar.Wahyu terkenal sangat menyayangi ibunya, bahkan sangat membanggakan dan memuliakan ibunya, dari dirinya yang bukan siapa-siapa hingga menjadi seorang pejabat negara. Wahyu juga terkenal, sebagai pembela orang-orang lemah, apalagi seorang wanita dan ibu-ibu. Dia tidak bisa tinggal diam, jika sudah menyangkut air mata ibu.Para tetangga dulunya sangat salut pada Mas Attar dan Wahyu, yang bisa sukses dari nol, karena perjuangan ibu mereka. Jika Mas Attar, ditinggalkan oleh ayahnya karena berselingkuh
Sungguh, aku dibuat ketar-ketir oleh sikap ibu yang mendadak berubah. Tidak pernah terbersit, jika ibu akan membelaku. Akan tetapi, saat ini pemandangan di depanku membuat darahku mendidih."Apa kamu tidak menganggap aku sebagai orang tuamu lagi?" ketus ibu mertua dan membuatku bernapas lega."Bu!" Aku memeluknya erat, dan menangis di pundaknya yang mulai rapuh.Ibu mengurai pelukan kami, dan mengecup ubun-ubunku lembut. Lalu mengusap lenganku dengan mata yang sudah sangat mendung."Aku adalah ibumu! Itu yang perlu kamu ingat!" ujar ibu dengan penekanan di setiap kata-katanya.Rasanya, kaki ini tidak sanggup melangkah untuk pergi, saat bapak kembali berpamitan untuk yang kesekian kalinya, karena Radit sudah datang untuk menjemputku dan Aqila. Mereka berdua benar-benar menganggapku sebagai anak dan adik.Saat aku sudah naik ke atas motor Radit, beberapa tetangga datang dan memelukku yang tetap pada posisi. Mereka tidak menyangka, jika pernikahanku berakhir tragis seperti ini. Para tet
"Loh, bukannya kamu di luar kota?" tanyaku pada Hilman, yang ternyata bukan halusinasi saat melihatnya tadi.Hilman tertawa dengan tangan menggaruk leher belakangnya, yang aku yakin tidak gatal. Senyumnya sangat menawan, sayangnya dia masih menjomblo hingga saat ini. Entah apa yang dia cari."Kamu masih sedih dan galau?" tanya Hilman, dan langsung dijawab oleh Radit yang sangat menyebalkan."Mbak Yumna itu masih terkenang masa-masa manis bersama si brengsek itu, sampai logikanya tertutup dan hatinya belum bisa menerima keadaan!" kesahnya dan aku langsung memukulnya. "Aw! Sakit, Mbak!" keluhnya kemudian, dengan memegangi lengannya yang baru saja kupukul.Aku hanya bisa tersenyum kesal ke arah Hilman yang bisa tertawa lepas, jika saja ada Mas Attar di sini dan sikapnya seperti dulu, ah, semua hanya khayalan belaka dan aku tidak ingin dia memasuki kehidupan seperti dulu lagi."Bagai mana dengan tawaranku?" tanya Hilman dengan memasang wajah serius."Uangku tidak banyak, Man. Untuk memban
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli