Suara deheman dari bapak, membuat Hilman melepaskan pandangannya padaku dan menatap ke asal suara. Bapak sudah berdiri di belakangku dengan kedua tangan berada di belakang, dan ibu yang membawa 4 gelas teh hangat. juga ada camilan yang tadi sore ibu buat. "Eh, ada Hilman, gimana kabarnya, Nak?" sapa ibu dengan sangat lembut. "Baik, Bu. Mama dan papa titip salam untuk ibu dan bapak," Hilman langsung meraih tangan ibu untuk salim takzim, begitu juga dengan bapak. Bapak duduk di dekat Radit, dan ibu meletakan nampan yang berisi makanan dan teh hangat. Iu kemudian menyodorkan satu gelas teh ke hadapan, Hilman. Lelaki di depanku ini, menolak secara haalus, ya, aku tahu karena minuman itu hanya ada 4, Pasti ibu membuatnya sebelum dirinya datang. "Kamu ini!" Ibu tentu meradang dengan aksi penolakkan dari Hilman, dan kembali memaksanya. "Aku sudah hampir ngantuk. Kalau minum teh, bakalan begadang," Aku mengambil satu persatu dan meletakkannya di depan orang yang seharusnya menikmati dan
Sudah dua bulan sejak pertemuan yang membahas masakah usaha membuka cafe, seperti perkiraanku, ibu dan bapak terlalu antusian dengan hasil pemikiran Hilman. Padahl aku masih ada keraguan dan ketakutan, akankah bisa menjalaninya, atau akankah Hilman berbuat curang."Kamu kenapa?" tanya ibu, yang membuyarkan lamunanku. "Enggak usah dipikirin terlalu berat, jalani saja apa adanya. Biar Allah yang menuntun kita," Sepertinya ibu tau apa yang sedang aku pikirkan."Tapi, Bu. Modalnya cukup besar, bagaimana kalau kita ditipu, atau kita tidak bisa menjalankannya?" Aku mengutarakan kekhawatiranku.Ibu mengusap kepalaku, lalu merangkul pundak. Mengatakan, jika aku hanya terlalu paranoid dengan keadaan. "Bukannya lebih baik kita jaga-jaga, Bu?" Aku hanya tidak ingin uang Aqila akan habis begitu saja, dengan cara menginvestasikan ke dalam bisnis yang tidak aku kuasai. jangankan menguasainya, mengerti saja tidak."Jaga-jaga boleh, tapi yang ibu lihat selama ini, Hilman lelaki yang baik dan sayang
Hari begitu cepat berganti, dan kini masa iddahku selesai. Meski urusan cerai resmi belum juga beres, karena Mas Attar kekeh meminta kembali uang yang ada padaku. Berakhir dengan gugatanku dan ibu yang meminta hak kami, seperti saat kami berada di rumah Pak RT."Hai, Assalamualaikum," sapa Hilman, ketika aku sampai di depan rumah."Eh," Aku terkejut melihatnya yang duduk manis di temani oleh ibu. Ibu memang tidak ke kebun, karena harus menjaga Aqila, saat aku harus menghadiri sidang. "Waalaikumusalam, Man," Aku sampai lupa membalas salamnya."Bagaimana sidangnya?" tanya Hilman dengan wajah serius."Masih alot, sepertinya Mas Attar sengaja. Untung saja aku dapat pengacara handal tanpa harus membayar," ujarku dengan senyuman lebar.Obrolan pun berlanjut, aku bertanya padanya kenapa menghilang setelah menawarkan kerja sama. Hilman pun menjelaskan secara detail ke mana dirinya selama ini, dan itu membuatku melongok. Padahal, aku hanya bertanya sekedar basa-basi, bukan ingin mencari tahu t
"Ibu, Mbak Naura, Adam!" pekikku kegirangan. Karena baru hari ini aku bisa berjumpa dengan mereka, selama masa iddah aku tidak pernah ke mana pun, tapi mereka berdua selalu menyemangatiku dengan mengirim pesan atau pun paket. Aku memeluk mereka dengan erat, dan juga dengan tetesan air mata. Ibu dan Mbak Naura, sepertinya sama denganku, menahan rindu. "Maaf, kami baru bisa berkunjung," Mbak naura terdengar sangat lesu. "Ada apa, Mbak?" tanyaku. "Ah, iya, ayo masuk," Aku sampai melupakan, jika kami masih ada di luar rumah. "Aku ajak mereka dulu, ya, Man. Ibu keluar, karena mendengar di ruang tamu berisik. Tentunya dari suara kami yang menggema memenuhi ruangan. Ibu pun memeluk mantan ibu mertuaku dan juga Mbak Naura. Bertanya kabar dan bersenda gurau, seperti biasa saat sebelum perpisahanku dan Mas Attar. "Nak, masa iddahmu sudah selesai, kamu sudah memikirkan mau usaha apa?" tanya ibu mertua, tepatnya mantan ibu mertua. "Hilman dan Radit, mengajakku untuk membuka cafe, tapi aku
"Rumah siapa yang mau dijual, Mbak?" tanyaku, saat keluar dari dapur dengan membawa minuman. "Diminum dulu, Bu," Aku mengulurkan satu gelas air putih untuk ibu, agar beliau bisa melepaskan dahaga. Nampak sekali keterkejutan Mbak Naura, yang melihat kedatanganku. kemudian dia membenarkan posisi duduknya dan berdehem. Aku kembali mengulurkan segelas air putih untuknya dan di sambut hingga tandas. "Mbak Naura kenapa?" tanyaku selidik, sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu dariku. "Eee ... enggak apa-apa," elaknya, tapi aku rasa dia sedang bingung, karena melirik ke arah mantan Ibu mertuaku. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, menatap mantan ibu mertua yang terlihat sangat kurus. "Ibu sehat?" tanyaku lirih. "Bagaimana ibu bisa sehat, jika anak, menantu dan cucu semua pergi dariku!" Dom! Seperti ledakan yang sangat besar di hatiku. Ibu terdengar sangat kecewa. "Ibu masih mempunyai anak dan menantu, sebentar lagi mereka juga memiliki anak." Aku hanya bi
"Iya, itu uang!" jawab mantan mertuaku dengan santai. "Kamu carikan ibu rumah kecil yang sederhana dan nyaman di sekitar sini," imbuhnya, dengan memandang kosong ke arah lain."Ini uang dari mana, Bu?" Bukan curiga, tapi aku tahu mantan mertuaku memiliki berapa uang di rekeningnya. "Apa ibu menjual rumah ibu?" Aku baru sadar dengan apa yang ditanyakaan oleh Mbak Naura tadi."Sepertinya, ibu akan lebih baik tinggal di sini. Aku pun bisa setiap saat ke sini!" Mbak Naura yang menjawab kebingunganku.Entah ada apa dengannya sehingga ingin tinggal di dekatku, tapi aku rasa ada hubungannya dengan Mas Attar dan istri barunya. Ingin bertanya lebih, sepertinya tidak mungkin karena ibu sejak tadi memilih diam."Mbak," Aku menatap Mbak Naura, dan bertanya dengan menaikkan alis."Kamu keberatan enggak, kalau ibu berada di sekitarmu?" tanya Mbak Naura, yang sepertinya tahu aku sedang bingung dan gelisah.Aku diam, sedang sangat bingung dengan permintaan dari mantan mertuaku. Aku tidak ingin lagi b
Tubuhku gemetar, melihat banyak dara yang mengalir dari hidung mantan mertuaku. Rasanya tubuhku kaku, saat meliat tubuhnya melayang di bawa oleh Radit yang baru saja sampai, ke kamar."Na, sadar!" ibu mengguncang tubuhku, dan memapah untuk masuk mengikuti langkah ibu."Bu, ada apa dengan dia?" tanyaku pada ibu."Sudah ... sudah, jangan dipikirkan dulu. Kita bawa ibu mertuamu ke rumah sakit," ujar bapak yang tadi sempat mengurungkan niatnya ke kebun. "Bapak mau pinjam mobil Pak Rt dulu," Bapak meninggalkanku yang masih bingung.'Dia sakit? Sejak kapan?' ocehku.Suara mobil terdengar di depan rumah, akau berpikir, jika bapak sudah mendapatkan pinjaman kendaraan itu. Namun, suara seseorang membuatku ragu, "Apa yang terjadi?" Mbak Naura bertanya padaku, matanya penuh selidik dan tangannya mencengkram lenganku erat.Aku hanya menggelengkan kepalaku, karena aku pun tidak tahu apa yang terjadi pada wanita yang menyayangiku, meskipun hubunganku dan anaknya sudah berakhir.Mbak Naura mengempa
Rombongan itu mendekat, dan terlihat kaget dengan pemandangan yang ada di depan mereka. Lelaki yang tidak kukenal mendekat dan bertanya nama seseorang, betapa lemasnya lututku ketika pertanyaan itu meluncur."Rumahnya masih dua kilometer lagi dari sini, Pak," Radit yang menjawabnya.Tadi, aku dan Mbak Naura yang sedang bersedih, mendadak menjadi terpana dan jantung berdetak kencang. Telinga kami seperti menangkap perkataan yang sama, yaitu 'Di mana rumah Attar'. ternyata yang ditanyakan, 'Di mana rumah Ratar!'Setelah rombongan yang salah tempat, pergi. Aku kembali menatap Mbak Naura yang sempat tersenyum kikuk, kemudian menajaknya bicara dari hati ke hati."Biarkan di sisa umur ibu mendapatkan kebahagian yang sangat dia inginkan, Mbak mohon bantu mbak untuk memenuhin apa yang ibu harapkan," Mbak Naura mengatupkan kedua tangannya, dengan mata yang berkaca-kaca."Mbak," lirihku dengan mengenggam tangannya erat. "Ibu pasti akan sembuh," Aku mencoba meyakinkan Mbak Naura, jika mukjizat i
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli