Setelah selesai mandi, Yuna merasa segar. Pikirannya yang kusut pun semakin lurus. Yuna masih ketakutan oleh kejadian semalam. Akan tetapi, Rini dan Minah menjaga Yuna dengan baik."Aku kembali menjaga Nyonya Emilia dulu ya," kata Minah lalu beranjak pergi."Memangnya apa yang terjadi pada Nyonya Emilia, Bi?" tanya Yuna kepada Rini yang sedang menyisir rambutnya."Semalam, Nyonya keracunan makanan yang kamu bawa.""Astaga! Aku nggak menaruh apa-apa di kuenya, Bi!""Semua orang tahu. Aku dan Minah udah bilang ke Tuan Besar kalau kami berdua yang membuat kue itu. Dan di rekaman CCTV juga mereka melihat kamu cuma berjalan sampai ke kamar Nyonya Emilia tanpa menyentuh kue-kue itu."Yuna mengembuskan napas lega. "Kenapa Nyonya Emilia sangat membenciku, Bibi? Dulu dia baik sekali padaku. Apa gara-gara aku nggak sengaja memakai gaun kesayangannya waktu itu ya?""Aku juga nggak tahu, Yuna. Lebih baik kamu tanyakan sama pacarmu.""Pacar apa? Aku nggak punya...
Tanpa sadar Eric telah malajukan mobil sampai di depan toko perhiasan ternama. Ia tidak ragu melangkah masuk dan langsung menuju etalase yang menunjukkan berbagai cincin mahal."Mau model seperti apa, Tuan?" tanya seorang karyawan."Yang paling bagus dan mahal yang mana?"Melihat penampilan Eric, karyawan itu langsung menunjuk deretan cincin berhiaskan berlian dengan kualitas terbaik. Eric menimbang-nimbang lalu menunjuk salah satu model cincin bermata berlian besar yang sangat mahal harganya."Nggak. Dia pasti menolaknya. Yuna suka sesuatu yang sederhana.""Kalau begitu, bagaimana dengan ini, Tuan?" Karyawan itu mengeluarkan cincin yang menarik perhatian Eric."Cocok sekali."Setelah membeli cincin, Eric tidak langsung beranjak pergi. Ia masih duduk termenung di dalam mobil. Sambil memutar-mutar kotak perhiasan kecil itu, ia kembali berpikir tentang rencana pernikahan.Ada setitik rasa ragu yang mengganjal hati. Apakah ia sudah siap untuk menikah? Ap
Yuna menatap Eric yang masih tertidur pulas. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa pria tampan itu berbuat sejauh ini demi balas dendam semata? Bahkan sampai rela mengorbankan tubuhnya.Apa itu kalimat yang benar? Belum tentu Eric hanya tidur dengan Yuna. Kalau benar apa yang dilakukan Eric selama ini hanya pura-pura, berarti Eric memang lihai bermain dan mengambil hati wanita. Bisa jadi Eric memang sudah biasa tidur dengan para wanita. Dan bukan Yuna satu-satunya yang merasakan tubuh hangat Eric dalam pelukannya.Banyak praduga yang terus terlintas dalam benak Yuna. Dan semua itu membuat hati Yuna semakin nyeri. Yang paling ingin Yuna ketahui dari semua pertanyaan dan dugaan itu, apakah Eric pernah sekali saja tertarik pada dirinya?Yuna sudah tidak menyesal lagi karena melepas kegadisannya untuk Eric. Yuna hanya menyesal karena bermain hati dengan seorang pelanggan yang tidak mungkin mencintai pelacur seperti dirinya.Setelah terluka Yuna justru jadi semakin ta
Minah terkejut sampai melotot kepada Rini dan Eric bergantian. "Apa itu benar, Tuan Muda?"Eric tidak menjawab dan meninggalkan mereka berdua di dapur. Diamnya Eric justru menjelaskan jika apa yang Yuna dan Rini dengar tidaklah salah.Di koridor yang menghubungkan ruangan dalam ke ruang tamu, Eric berpapasan dengan Diana. Melihat anaknya yang terlihat kacau, Diana pun bertanya, "Ada masalah?""Yuna pergi. Mama puas kan sekarang?!"Diana mengerutkan kening. "Bukankah kemarin kamu setuju menikahi Yuna? Dia nggak mau menikah denganmu?"Eric melengos pergi tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Diana terus memanggil tapi Eric tidak berhenti.Eric mulai melajukan mobil menuju rumah sakit. Ia mengemudi sangat cepat dan menyalip kendaraan lain. Tidak peduli dengan keselamatannya.Sampai di rumah sakit, Eric langsung melangkah cepat ke kamar perawatan Yuni. Ia pikir Yuna tidak mungkin meninggalkan adiknya. Demi adiknya juga Yuna sampai menyerahkan dirinya sendiri.
Emilia mengelus perutnya. Terasa kosong dan dingin. Bayi mungilnya sudah tidak ada lagi di dalam sana.Awalnya Emilia membenci bayi itu. Setelah Aldo muncul dan bersikeras ingin kembali padanya, ia mulai mencintai buah hati mereka. Tapi kini ia telah keguguran. 'Semua ini gara-gara Yuna. Kalau dia nggak pernah hadir dalam kehidupan rumah tanggaku, semua ini nggak akan terjadi."Air mata meleleh dari pelupuk mata Emilia. Rasa hangat tangisan kesedihan memenuhi wajahnya.Diana menyeka pipi putrinya penuh kasih sayang. Ia terus menghela napas karena Emilia tidak mau berhenti menangis."Kenapa Mas Aldo belum kembali, Ma? Apa dia sudah tahu kalau anak kami nggak ada lagi di dunia ini?""Aldo belum pulang sejak kemarin. Dia menghilang tanpa kabar." Diana menghindari tatapan Emilia yang penuh harap."Jangan-jangan Yuna menggodanya lagi supaya Mas Aldo meninggalkanku!" pekik Emilia."Itu nggak mungkin, Emil.""Aku sudah dengar dari Bi Minah kalau Yuna ju
"Ayah tahu." Herman membelai-belai rambut Yuna. "Maaf, Yuna. Semua karena kesalahan Ayah."Selama sisa perjalanan Yuna tidak lagi bicara. Ia malu sekaligus merasa bersalah kepada ayahnya. Sejak kecil, Herman selalu mewanti-wanti Yuna dan Yuni agar dapat menjaga kehormatan sebagai perempuan. Tapi ia membuang kehormatan itu hanya karena uang.Yuna seharusnya bisa berpikir ulang saat itu. Ia bisa melakukan hal lain selain menjual diri untuk membantu Yuni. Tapi apa daya, semua sudah terjadi dan waktu tidak dapat terulang kembali.Beberapa jam kemudian, mereka sampai di Kota Sukamaya. Herman langsung membawa anaknya ke rumah besar yang belum lama dibelinya.Yuna tertegun sejenak. Kalau ayahnya bisa membeli rumah semewah itu, mengapa Yuna dan Yuni harus kesulitan selama ini?'Setidaknya Ayah bisa mengirimi uang bulanan untuk Yuni barang sedikit saja. Rumah besar itu bisa untuk biaya rumah sakit Yuni.'Yuna ingin memprotes tapi ia tidak pernah tega mengucap ses
"Yuni ditinggal sendirian nggak apa-apa, Yah?""Kan sudah ada perawat di rumah. Jangan khawatir," jawab ayahnya.Herman kembali bercakap-cakap dengan Darwis di bangku depan. Mereka membicarakan proyek mega mal yang akan segera dibangun untuk menyaingi mal milik Volker.Yuna keringat dingin mendengar mereka bicara. Ia pikir setelah keluar dari Kota Jawara, ia tidak akan bersinggungan lagi dengan Eric atau keluarganya. Rupanya, memang benar apa kata berita, Volker memiliki banyak usaha di setiap kota."Yuna... Kita sudah sampai." Darwis membukakan pintu di samping Yuna."Oh, maaf. Aku melamun.""Kamu suka masakan barat?" tanya Darwis selagi mereka berjalan memasuki restoran mewah."Um, aku nggak punya pantangan makanan.""Dia itu rakus dan bisa makan apa saja." Herman menimpali."Ayah!" Wajah Yuna merona.Darwis tertawa singkat. "Bagus kalau begitu. Aku suka dengan orang yang nggak pilih-pilih makanan."Yuna memutar bola mata. Apa hubunganny
"Jangan terlalu serius, Yuna. Kamu nggak perlu tegang begitu." Darwis tertawa, diikuti oleh Herman."Lakukan apa pun yang kamu inginkan mulai sekarang. Kamu jangan khawatir masalah uang lagi," kata Herman, "tapi ayah nggak melarang kalau kamu mau menikah. Ayah juga ingin cepat-cepat punya cucu."Yuna tidak tahu harus menanggapi apa. Untungnya, pelayan restoran menyela mereka dengan hidangan yang dipesan."I-ini...."Mata Yuna terbelalak mendapati hidangan yang mirip sekali dengan apa yang ia buat untuk Diana. Setelah mencicipi sedikit, ia semakin yakin jika makanan itu sungguh ciptaannya.'Seharusnya restoran Nyonya Diana belum dibuka, bukan?'"Ada apa, Yuna? Apa kamu nggak suka makanannya?" tanya Darwis."N-nggak. Suka sekali.""Katanya, ini resep turun-temurun milik keluarga Volker. Kamu tahu mereka, bukan? Mereka yang punya restoran ini."Yuna semakin tidak mengerti. Diana tidak pernah mengatakan akan membuka restoran di kota lain. Ia sendiri p
"Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga
Emilia membawa Yuriana ke praktik dokter terdekat. Dokter mengatakan jika Yuriana harus dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan penunjang."Sakit apa anak saya, Dok?" tanya Emilia panik. Emilia khawatir jika dokter itu akan membawa Yuriana ke rumah sakit. Keberadaan mereka bisa langsung ditemukan oleh keluarganya."Dari gejala yang Ibu sebutkan, putri Ibu kemungkinan mengalami intolerasi laktosa. Jadi, sebaiknya Ibu memeriksakan putri Ibu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap," kata sang dokter."Apa tidak bisa di sini saja, Dok?""Maaf, Bu. Seperti yang bisa Anda lihat, kami hanya datang sesekali melakukan pemeriksaan umum gratis dan tidak memiliki peralatan memadai untuk pemeriksaan lengkap. Tetapi, kami bisa membantu Ibu untuk merujuk putri Ibu ke rumah sakit."Emilia melihat sekeliling ruangan. Hanya ada dua kamar saja di tempat itu. Satu untuk mendaftar, kamar lain untuk memeriksa. Hanya ada beberapa alat medis minim di sana."Saya ke rumah sakit sendiri saja, Dok. Ter
"Bukankah Mas Eric nggak peduli dengan kami lagi? Urusi saja pekerjaan dan sekretaris Mas Eric itu," ujar Yuna dengan suara lirih.'Yuna! Pulang sekarang! Kamu benar-benar nggak bisa mematuhi aku, hah?!' bentak Eric."Nggak, aku mau mencari Yuriana!" Yuna balas membentak Eric.Yuna mematikan ponsel Hilman supaya Eric tidak dapat menghubungi. Ia juga tidak mau Eric melacak lokasinya saat ini. Ia hanya ingin Eric melihat, dirinya tidak butuh bantuan Eric untuk menemukan Yuriana."Nyonya ... Bagaimana kalau kita kembali dulu? Saya takut ...."Yuna memotong ucapan Hilman, "Kalau kamu nggak mau mengantar aku, biar aku pergi ke sana dengan orang ini."Hilman tidak berani memprotes lagi. Lebih baik ia menurut daripada meninggalkan Yuna sendirian. Pulang-pulang, ia pasti akan kehilangan kepala jika sampai terjadi sesuatu pada Yuna.Aldo yang tadinya juga ingin membujuk Yuna agar mereka memutar mobil untuk kembali, urung mengatakannya. Aldo juga ingin segera menemukan anak Yuna. Jika terjadi ap
"Mas Eric ... malas denganku?" Air mata mulai menetes di wajah cantik Yuna. "Karena itu, Mas Eric cuma sibuk di sini, bukan malah mencari Yuriana ....""Aku juga mencari Yuriana, Yuna! Jangan sembarangan bicara! Pulanglah! Di sini kantor, bukan untuk bicara masalah pribadi," tegas Eric.Yuna menggeleng-geleng pelan. Ia tidak percaya jika Eric tega membentak dan mengusirnya. Prasangka buruk Yuna bertambah ketika melihat kehadiran Dina tadi. Dan sekarang makin menjadi-jadi.Karena Yuna tak kunjung pergi, Eric yang memilih keluar dari ruangan, meninggalkan Yuna seorang diri. Eric harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan supaya bisa menyusul Rendra untuk mencari Yuriana.Eric sepenuhnya mengabaikan Yuna yang terluka oleh kata-katanya. Yuna mengusap air mata, lalu berbalik pergi. Langkah Yuna terhenti ketika melihat sosok Dina. Yuna mendatangi Dina, tetapi Dina cepat-cepat memalingkan muka dan pergi menjauh. "Mbak Dina!!"Namun, Yuna malah memanggil Dina dengan suara lantang. Seperti k