Yuna tertatih-tatih meninggalkan rumah sakit. Seharusnya ia masih harus diopname sampai besok. Biaya rawat inap pun telah dibayar. Tapi Eric tiba-tiba menyuruhnya pulang.
Di parkiran rumah sakit, Yuna mencari-cari mobil yang biasa digunakan Pak Hendri untuk menjemputnya. Tapi mobil mewah itu tidak tampak di mana pun.[Tuan, aku udah di parkiran. Pak Hendri belum datang.][Tidak ada yang menjemput. Pulang sendiri.]Jawaban kejam itu berasal dari Emilia yang membalas pesan Yuna.Yuna menuju ATM untuk mencairkan uang dari kartu hitam milik Eric. Niatnya hanya meminjam seratus ribu untuk membayar taksi. Tapi permintaannya ditolak mesin."Diblokir?" Yuna mengerutkan kening. "Terus gimana caranya aku pulang?"[Tuan, kartunya diblokir. Aku nggak bawa apa-apa waktu ke mari.][Pulang sendiri pakai uangmu. Jangan manja! Kalau nggak ada uang, jalan pakai kaki!]Yuna tidak merasa ada keanehan dalam pesan yang dibalas Emilia. Memang Eric sebelumnya selalu keja"Tuan, aku udah pulang."Yuna menemukan Eric di ruang tamu. Jarang sekali sang tuan muda itu duduk-duduk di depan.'Apa dia menungguku?'"Siapa yang mengantarmu?""Teman. Aku nggak bawa dompet. Kartu Tuan juga nggak bisa dipakai.""Berikan padaku.""Apanya?""Kartu."Yuna mengeluarkan kartu hitam dari kantong celana. Ia menyerahkan kartu itu kepada Eric."Tuan, apa aku boleh langsung istirahat sekarang?""Masuk ke kamar sekarang," kata Eric dengan nada yang sangat dingin.Ketika Yuna sampai di depan pintu kamar, Emilia tiba-tiba muncul dari samping. Yuna tersenyum senang bertemu dengan Emilia."Apa kabar, Kak? Kenapa belum tidur?"Emilia mengerutkan kening tidak suka. Namun Emilia bersikap seolah tidak ada apa-apa."Dari mana kamu malam-malam?" tanya Emilia."Dari rumah sakit, Kak. Aku permisi dulu mau istirahat. Badanku sakit semua.""Yuna, mulai hari ini kamu tidur di kamar belakang. Papa dan mamaku sudah tahu kalau k
Hari berganti, Yuna masih tertidur pulas. Seseorang mengetuk pintu gudang dengan keras.Yuna terkejut dan melompat dari tempat tidur. Ketukan pintu lebih mirip gebrakan seperti orang marah.Masih setengah sadar Yuna membuka pintu. "Siapa?"Perempuan muda berseragam rapi berkacak pinggang di ambang pintu. Ia melipat tangan di depan dada setelah kemunculan Yuna. Kepalanya sedikit mendongak dan ekspresinya mengintimidasi."Aku Sandra. Kamu pelayan baru di sini, bukan? Kenapa belum siap-siap jam segini?""Maaf?" Yuna tidak begitu memperhatikan. Matanya belum terbuka sepenuhnya dan masih mengantuk.Sandra mendorong kepala Yuna dengan telunjuk. "Cepat siap-siap! Ganti baju yang rapi dan segera ke tempat cuci."Yuna datang ke tempat yang dimaksud Sandra. Tiga pelayan wanita termasuk Sandra menghentikan aktivitas dan menatap Yuna dengan pandangan tidak suka."Kamu pikir ini rumahmu, satu jam baru datang? Cepat selesaikan ini semua!" bentak Sandra.Ketiga
Eric menarik belakang kepala Yuna lalu mengecup bibirnya. Mereka saling berpandangan sesaat kemudian mulai berciuman dengan hebat.Yuna lebih berani melingkarkan tangan di leher Eric. Dan tangan Eric telah menjelajah seluruh isi baju Yuna.Yuna melepas ciuman itu, sedangkan Eric masih maju dan berusaha mendapatkan bibirnya. Ibu jari Yuna menghentikan usaha bibir Eric."Tuan, aku baru dari dapur dan berkeringat.""Aku suka aroma tubuhmu, Sayang." Suara Eric serak dan napasnya tidak beraturan.Yuna membuka kedua kaki yang masih duduk di pangkuan Eric agar dapat melihat pria itu lebih dekat. Tangan kanannya mengusap dada berotot Eric dengan gerakan erotis.Entah mengapa, Yuna ingin mencium Eric lebih dulu. Namun, ketika ia memajukan wajahnya, pintu kamar Eric terbuka kencang sampai membentur dinding."Astaga! Apa yang kamu lakukan, Yuna?! Aku nggak nyangka kamu serendah ini menggoda adikku!" bentak Emilia."Kakak jangan seenaknya masuk ka-""Diam kam
"Di negara mana kamu belajar memasak?" tanya Yudha."Saya?""Ya, kamu! Siapa lagi?!" bentak Yudha."Saya dulu sekolah di jurusan tata boga, Tuan.""Nggak belajar di luar negeri?" Yudha mengerutkan kening keheranan."Tidak, Tuan. Mana mampu saya sekolah ke luar negeri.""Siapa namamu?""Yuna, Tuan.""Yuna, apa kamu tahu kalau Bi Minah dan Rini dulu pernah menimba ilmu di Prancis untuk belajar masak?"Kedua alis Yuna terangkat. "Sungguh?""Ya, Thomas Volker, ayah mertuaku yang membiayai pendidikan para asisten rumah tangga pilihan. Karena itu, mereka bisa bekerja sebagai koki di rumah ini. Kami tidak bisa makan sembarangan."Yuna mengangguk-angguk. Tidak tahu arah pembicaraan sang tuan besar."Masakanmu jauh lebih nikmat dari masakan buatan mereka berdua, Yuna. Aku saja sampai kaget," sambung Diana."Aku belum pernah makan masakan ini," ucap Yudha seraya menyuap makanan."Itu saya sendiri yang mengombinasikan beberapa jenis masak
Yuna berlari ke ruang perawatan di belakang pria tadi yang bernama Dedi. Setelah bertanya nomor kamar Eric, mereka bergegas menuju kamar VVIP.Eric terbaring di tempat tidur dengan selang infus dan kanula hidung. Wajahnya pucat pasi dan belum sadarkan diri.Dua dokter muncul setelah kedatangan mereka. Profesor Darian mengenalkan diri kepada Dedi kemudian mulai menjelaskan keadaan Eric."Kenapa bisa keracunan, Dok?" tanya Dedi."Saya juga tidak tahu. Nanti bisa kami tanyakan setelah tuan muda sadar. Saya sendiri yang akan merawatnya. Jadi Anda tidak perlu khawatir.""Baik. Terima kasih banyak."Yuna kehilangan keseimbangan. Ia jatuh terduduk di atas sofa.Bayangan-bayangan mengerikan terlintas dalam benaknya. Dari sikap Emilia yang tiba-tiba berubah pada Yuna. Bahkan berbohong dengan menggunakan nama kedua orang tuanya. Sampai menyuruh Yuna memberikan makan siang untuk Eric.'Nggak mungkin kalau masakanku yang membuat Eric jadi seperti ini. Jelas-jelas
Eric membuka mata lalu bersandar di kepala tempat tidur sambil memegang perut. Mendapati Yuna yang berbaring tidak nyaman di kursi dengan kepala menempel di tepi ranjang. Eric pun mengerang keras agar Yuna terbangun.Yuna yang beberapa jam terlelap itu akhirnya terbangun setelah Eric sengaja menyenggol bahunya. Setelah melihat Eric kesakitan, Yuna memanggil perawat dengan mata setengah terbuka."Kak, pasien di kamar VVIP 1 barusan bangun kesakitan," kata Yuna kepada perawat jaga."Baik, saya ke sana. Dokternya tiga puluh menit lagi baru sampai."Yuna melihat jam di ponsel. Banyak panggilan tak terjawab dari Emilia. Kemudian memasukkan lagi ke saku celana tanpa membalas atau balik menghubungi.Sebenarnya Yuna sedikit kesal pada Emilia. Meskipun Yuna masih ragu jika Emilia merupakan pelaku yang meracuni Eric. Tetap saja, yang tahu Yuna membawa makan siang dan yang menyuruhnya hanya Emilia. Tidak ada tersangka lain."Sudah selesai, Kak. Silakan masuk," kata salah satu perawat."Gimana k
"Sakit kok. Tadi kamu juga dengar sendiri penjelasan dari dokter, kan?"Yuna memicingkan sebelah mata. "Dari mana Kak Eric tahu apa yang dikatakan dokter tadi? Apa Kak Eric menguping?""N-Nggak lah! Badanku kan lemah! Mana bisa jalan sampai pintu!" Eric gelagapan.Namun, Yuna dapat merasakan kerasnya benda pusaka milik Eric mengganjal di perut."Apa orang sakit parah masih bisa merasa bergairah?" tanya Yuna semakin curiga."B-Bisa lah! Kecuali kalau orang itu nggak normal!"Yuna jadi ingin menggoda Eric. Lama-lama sang tuan muda itu terlihat sekali sedang bohong padanya."Kalau begitu, apa Kak Eric mau bermain di sini sekarang? Seperti kemarin waktu aku sakit," goda Yuna sembari melihat perubahan ekspresi Eric.Eric menatap Yuna dalam. Kemudian meluncurkan kecupan di bibir Yuna.Biasanya Yuna hanya menerima perlakuan dan suruhan Eric, tapi kali ini berbeda. Ia merasa lebih dekat dengan Eric dan mulai berani menuntut ciuman.Eric membalas kecupan-kecupan singkat yang berubah jadi lumat
Di ranjang, Eric tengah memeluk intim dengan tangan yang menghilang di balik rok si pembantu baru. Dan pembantu baru itu nyaris telanjang dengan bekas-bekas merah yang tercetak sempurna di atas dada polosnya."B-Bos!""Keluar," hardik Eric.Tanpa disuruh pun Dina tidak mau melihat adegan panas pria yang ditaksirnya sejak lama. Dina tidak menyangka, bos dingin itu bisa berwajah sayu penuh nafsu."Masuk," perintah Eric setengah berteriak.Dina sungguh tidak mau mempercayai matanya sendiri. Perempuan yang pernah mencari Eric dan mengaku sebagai pembantu itu sangat tidak tahu malu dan masih duduk menempel manja dekat bos dingin kesayangan Dina."Kenapa? Mana berkasku?"Melihat kekalutan Dina, Eric tidak mau diam saja. Ia ingin sekaligus menunjukkan pada si sekretaris jika ia sudah ada yang punya dan agar Dina berhenti menggoda di kantor.Ketika Dina menaruh berkas dan menjelaskan beberapa hal yang terjadi di perusahaan, Eric sengaja memasukkan tangannya k
"Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga
Emilia membawa Yuriana ke praktik dokter terdekat. Dokter mengatakan jika Yuriana harus dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan penunjang."Sakit apa anak saya, Dok?" tanya Emilia panik. Emilia khawatir jika dokter itu akan membawa Yuriana ke rumah sakit. Keberadaan mereka bisa langsung ditemukan oleh keluarganya."Dari gejala yang Ibu sebutkan, putri Ibu kemungkinan mengalami intolerasi laktosa. Jadi, sebaiknya Ibu memeriksakan putri Ibu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap," kata sang dokter."Apa tidak bisa di sini saja, Dok?""Maaf, Bu. Seperti yang bisa Anda lihat, kami hanya datang sesekali melakukan pemeriksaan umum gratis dan tidak memiliki peralatan memadai untuk pemeriksaan lengkap. Tetapi, kami bisa membantu Ibu untuk merujuk putri Ibu ke rumah sakit."Emilia melihat sekeliling ruangan. Hanya ada dua kamar saja di tempat itu. Satu untuk mendaftar, kamar lain untuk memeriksa. Hanya ada beberapa alat medis minim di sana."Saya ke rumah sakit sendiri saja, Dok. Ter
"Bukankah Mas Eric nggak peduli dengan kami lagi? Urusi saja pekerjaan dan sekretaris Mas Eric itu," ujar Yuna dengan suara lirih.'Yuna! Pulang sekarang! Kamu benar-benar nggak bisa mematuhi aku, hah?!' bentak Eric."Nggak, aku mau mencari Yuriana!" Yuna balas membentak Eric.Yuna mematikan ponsel Hilman supaya Eric tidak dapat menghubungi. Ia juga tidak mau Eric melacak lokasinya saat ini. Ia hanya ingin Eric melihat, dirinya tidak butuh bantuan Eric untuk menemukan Yuriana."Nyonya ... Bagaimana kalau kita kembali dulu? Saya takut ...."Yuna memotong ucapan Hilman, "Kalau kamu nggak mau mengantar aku, biar aku pergi ke sana dengan orang ini."Hilman tidak berani memprotes lagi. Lebih baik ia menurut daripada meninggalkan Yuna sendirian. Pulang-pulang, ia pasti akan kehilangan kepala jika sampai terjadi sesuatu pada Yuna.Aldo yang tadinya juga ingin membujuk Yuna agar mereka memutar mobil untuk kembali, urung mengatakannya. Aldo juga ingin segera menemukan anak Yuna. Jika terjadi ap
"Mas Eric ... malas denganku?" Air mata mulai menetes di wajah cantik Yuna. "Karena itu, Mas Eric cuma sibuk di sini, bukan malah mencari Yuriana ....""Aku juga mencari Yuriana, Yuna! Jangan sembarangan bicara! Pulanglah! Di sini kantor, bukan untuk bicara masalah pribadi," tegas Eric.Yuna menggeleng-geleng pelan. Ia tidak percaya jika Eric tega membentak dan mengusirnya. Prasangka buruk Yuna bertambah ketika melihat kehadiran Dina tadi. Dan sekarang makin menjadi-jadi.Karena Yuna tak kunjung pergi, Eric yang memilih keluar dari ruangan, meninggalkan Yuna seorang diri. Eric harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan supaya bisa menyusul Rendra untuk mencari Yuriana.Eric sepenuhnya mengabaikan Yuna yang terluka oleh kata-katanya. Yuna mengusap air mata, lalu berbalik pergi. Langkah Yuna terhenti ketika melihat sosok Dina. Yuna mendatangi Dina, tetapi Dina cepat-cepat memalingkan muka dan pergi menjauh. "Mbak Dina!!"Namun, Yuna malah memanggil Dina dengan suara lantang. Seperti k