Mayang menyisir rambutnya perlahan. Mengurai gelombang-gelomang ikal yang terbentuk karena gelungan rambutnya. Resepsi pernikahan Seruni dan Antonio telah usai. Kini ia telah berada di kamarnya. Iseng Mayang membuka ponsel. Ia ingin melihat sekali lagi photo-photonya dengan Seruni. Khusus hari ini hingga seminggu ke depan, ia mempunyai banyak waktu sendiri di malam hari. Pak Candra telah kembali dari luar kota. Dengan begitu ia tidak perlu terus mengecek keadaan Bu Mitha dari pintu penghubung. Ada Pak Candra yang menjaganya. Pintu penghubung telah ditutup oleh Pak Candra.
Mayang membuka galeri. Ia memperhatikan sekali lagi ekspresi kebahagiaan Seruni, saat berphoto dengannya. Senyum Seruni merekah secerah mentari pagi. Ia juga tersenyum tak kalah lebar. Bibir bahkan nyaris membelah wajahnya menjadi dua bagian. Tetapi jelas terlihat perbedaan dalam senyum lebar mereka. Seruni tersenyum sepenuh hati. Sementara dirinya sendiri tersenyum menutupi kegundahan hati. Li
Sehari sebelumnya."Gue bukannya nggak mau memprospek lo, Dam. Walaupun udah berkecukupan, tapi mata gue masih tetep ijo kalo ngeliat duit. Cuma masalahnya, gue kesian ngeliat nasib anak buah gue. Gue terus terang aja sama lo. Anak buah gue ini dulunya mantan PSK. Tapi dia jadi PSK karena terjebak keadaan. Lo bayangin aja anak 17 taon dari Banjarnegara sono nyari-nyari orang ke Jakarta. Ujung-ujungnya ia malah terjebak di dunia hitam. Sekarang dia mau mencoba merubah diri. Makanya gue support dia habis-habisan. Dia mengingatkan gue pada diri gue sendiri bertahun lalu. Lo bersedia kan membuka jalan baginya untuk pekerjaan halal?""Gue sih mau-mau aja, Fir. Cuma masalahnya dia ini mantan PSK. Gawat ini, Fir. Mana Dewi besok ikut lagi. Lo tahu sendiri 'kan kalo bini gue itu cemburuan. Bakalan ngamuk dia kalo liat cewek seksi jalan tek tok tek tok pake high heels ketemuan sama gue. Bubar jalan ntar acara prospekannya, Fir."
Mayang membiarkan Bu Zainab menjambak rambutnya. Sungguh ia rela diperlakukan seperti ini, jika itu membuat Bu Zainab lega. Dengan Bu Zainab mengenalinya saja, itu merupakan satu pertanda baik.Artinya ingatan Bu Zainab tidak semuanya hilang. Saat Sena ingin mendekat, Mayang menggeleng cepat. Isyarat kalau ia tidak ingin diganggu."Apa Ibu mengenal saya?" Walau Mayang merasa kulit kepalanya seakan-akan terlepas, tapi ia berusaha terlihat santai saja. Ia ingin membuat Bu Zainab berbicara lebih banyak."Tentu saja saya kenal! Kamu adalah penyebab utama kekalahan saya. Kalau saja kamu tidak hadir dalam kehidupan anak saya, saya tidak akan kalah darinya. Makanya rasakan pembalasanku setan betina muda. Rasakan!" Kuatnya jambakan pada rambutnya, membuat Mayang terhuyung-huyung. Detik berikutnya ia tersungkur ke tanah lapang, karena Bu Zainab mendorongnya."Hahahaha... bagaimana rasanya? Sakit tidak? Sakit 'kan? Sakitmu in
Mayang mondar mandir di taman belakang. Tidak jauh dari tempatnya mondar mandir, Bu Mitha tengah menikmati paparan sinar matahari pagi. Mayang gelisah. Sesungguhnya ia mempunyai janji dengan Pak Adam hari ini. Janjinya tentu saja berhubungan dengan prospekannya kemarin. Pak Adam setuju untuk membeli asuransinya. Dan hari ini jadwalnya closing dengan Pak Adam. Itu artinya ia harus menemui Pak Adam untuk menandatangani perjanjian asuransi, sebagai bentuk persetujuan perjanjian pertanggungan.Masalahnya, kemarin ia baru saja libur. Dan ia segan untuk meminta izin keluar. Ia takut kalau Bu Mitha tidak mengizinkannya. Namun ia harus bukan? Sayang sekali komisinya kalau ia melewatkan kesempatan baik ini."Kamu kenapa, Mayang? Dari tadi saya perhatikan kamu gelisah sekali. Mondar-mandir terus. Ada hal yang ingin kamu bicarakan pada saya atau bagaimana? Bilang saja. Saya pusing melihatmu berputar-putar saja seperti gasing di sini."
"Untuk apa Mas mau tau saja semua urusan saya?""Saya 'kan cuma bertanya. Kalau kamu tidak mau menjawab, ya sudah.""Baik. Sebelum saya menjawab pertanyaan Mas, bolehkan saya mengajukan satu pertanyaan dulu?""Silakan,""Untuk apa Mas ingin tau segala hal tentang saya? Padahal Mas bilang, Mas sangat membenci saya bukan?"Saya penasaran saja.""Penasaran soal apa?""Soal jati diri laki-laki dari masa lalumu. Saya ingin tahu seperti apa dirinya. Dan kalau memungkinkan saya juga ingin menemuinya.""Menemuinya untuk apa, Mas?""Untuk bertanya apakah ia sudah bahagia karena melepasmu dengan keji dulu."Sembari menyusun pakaian-pakaian Bu Mitha yang sudah disetrika rapi ke dalam lemari, pikiran Mayang terus mengembara. Sungguh, ia sulit untuk memahami
"Kenapa lo diem, Sa? Jawab dong pertanyaan gue? Ngapain lo mau ngurusin hidup Mayang?" Nada suara Sena mulai naik beberapa oktaf. Mayang mengernyit putus asa. Suara Sena semenggelegar ini. Mustahil rasanya kalau penghuni rumah tidak mendengarnya.Mayang gugup. Ia takut kalau keadaan jadi tidak terkendali. Sepertinya Sena marah sekali. Posisi tubuhnya menegang. Kedua kakinya sedikitterbuka dan lengan bersedekap. Mayang curiga, kalau Sena telah mendengar sebagian besar pertengkarannya dengan Mahesa. Karena sorot mata Sena tampak lain. Sena terlihat seperti ingin mencabik-cabik sesuatu.Mahesa tidak menjawab. Tetapi gestur tubuhnya tidak kalah tegang dengan Sena. Kedua telapak tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Aura permusuhan juga terang-terangan diperlihatkan Mahesa. Ia sengaja menghadirkan smirk tipis penuh penghinaan pada Sena. Kedua laki-laki di depannya ini seakan lupa kalau sesungguhnya mereka berdua adalah ipar.
Mayang mengumpulkan barang-barang pribadinya ke atas ranjang. Menumpuknya hingga menjadi gundukan kecil. Sebenarnya barang-barang pribadinya hanya sedikit. Tetapi karena Bu Mitha selalu memberikannya ini dan itu, kini barang-barangnya tiga kali lipat dari yang seharusnya. Koper kecilnya sudah pasti tidak muat menampungnya.Tidak kehilangan akal, Mayang teringat pada kantongan serba guna yang pernah diberikan Bu Mitha padanya. Kantongan seperti itu dulu kerap Bu Mitha bawa ke luar negeri untuk berbelanja. Dari Indonesia kantongan itu kosong dan dilipat di dalam koper. Dan saat tiba di luar negeri, kantongan itu diisi dengan berbagai barang belanjaan.Mayang membuka sisi lemari. Mengeluarkan satu kantongan besar dan mulai mengisinya dengan barang-barang pribadinya. Mayang memindai jam dinding. Sudah pukul empat pagi. Ia memang tidak bisa memejamkan mata lagi setelah kejadian di ruang kerja Pak Candra selesai. Sesuai dengan perminta
"Om polisi dedemit? Maksud kamu kamu apa, Dek? Mbak nggak ngerti?" Mayang bingung melihat Kiran yang panik luar biasa, saat melihat satu mobil pribadi terbuka. Ada seorang polisi gagah yang baru saja turun dari mobil, dan langsung meneriakkan perintah-perintah."Ck! Bukan dedemit, Mbak. Tapi AKBP Demitrio Atmanegara. Itu... tuh... perwira polisi yang sedang marah-marah itu." Kiran menunjuk seorang perwira polisi gagah dengan dagunya. Setelahnya Kiran menyembunyikan wajahnya lagi."Oh, nama pak polisinya Demitrio. Kok kamu manggilnya om polisi Demit? Rio rasanya lebih bagus, Dek." Walau terjaring razia, Mayang kasihan juga mendengar nama sang perwira yang sebenarnya bagus, dipanggil Demit oleh Kiran. Sepertinya Kiran dan Demitrio ini cukup akrab. Makanya Kiran berani menjulukinya seperti itu."Kalau temennya memang manggil si om polisi itu Rio, Mbak. Tapi kalau musuh, manggilnya Demit." Kiran tiba-tiba menghen
"Ngapain Mas Sena kemari?" Mayang yang masih dalam posisi duduk di sudut ruangan, menengadah. Sena berdiri menjulang di hadapannya."Kok ngapain? Ya buat ngebuktiin kalo lo bukan PSK lah. Kapan lo yang nyuruh gue nelpon si Citra. Si Citra ngasih nomor telepon Pak Sena ini."Alih-alih mendapat jawaban dari Sena, Firdha lah yang menjawab pertanyaannya. Firdha muncul dari balik punggung Sena. Sosoknya yang mungil tertutupi oleh tubuh tinggi besar Sena."Kamu membawa KTP 'kan?" Sena tidak menjawab pertanyaannya. Mungkin ia merasa kalau jawabannya sudah lebih dulu diwakilkan oleh Firdha. Mayang mengangguk. Ia sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk bermanis-manis dengan Sena."Kalau begitu, ikut saya. Kita akan menyelesaikan masalah ini secepatnya." Tertular pada sikapnya yang irit berbicara, Sena juga berbicara seperlunya.Mayang menepuk lembut bahu Kiran ya