Tiara menundukkan kepala karena malu, dalam hati ia menggerutu tidak menentu. Rasanya aliran darah wanita itu ikut mendidih melihat bosnya bermesraan di hadapannya."Selamat pagi Tiara ..." sapa Nilam, ia sengaja membuat Tiara naik darah."Selamat pagi juga Ibu Nilam, baiklah Pak Willy, karena sudah tidak ada yang Bapak bahas lagi saya permisi.""Oke, silahkan!"Belum Tiara keluar dari ruangan, mereka malah seperti perangko.Tiara yang merasa ingin tahu, melirik ke belakang mengelus dada dan bergumam, "Dasar ulat bulu!"Sementara saat Nilam melihat Tiara tidak terlihat lagi, ia gegas berdiri dari pangkuan Willy. "Mau kemana?"Tangan Willy yang nakal, menarik tubuh Nilam, dan terjatuh lagi kepangkuan-nya."Astaga, Mas! Please ya! Aku cuma mau membuat Tiara panas saja, karena aku tidak suka kepada perempuan itu ..."Ucapan Nilam seperti anak kecil saja, pagi itu Willy melihat istrinya lebih manja dari biasanya. YIa sampai harus mencubit pipinya beberapa kali karena gemas."Sakit tahu,
Hari perencanaan liburan ke puncak Bogor telah tiba...Nilam bersama Angel memasuki villa keluarga yang di bangun Seno saat Nilam berusia lima tahun.Kaki wanita itu berhenti melangkah. Ia terdiam di tengah ambang pintu. Melihat bangunan megah, di segala sisi vila.Bangunan unik yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya, melangkahkan kaki pelan, dan berhenti di sebuah dinding berwarna coklat.Disana terpampang lukisan besar, seorang wanita. Ia hampir tidak berkedip. Seluruh bola mata menatap wajah ayu yang mirip dirinya. 'Siapa wanita ini? Aku tidak pernah menjumpainya?' Hanya batin yang bisa bergumam, ia masih takut menanyakannya. Dari kejauhan Angel berteriak, "Mama! Ayo cepat masuk Ma!" "Ya, Sayang!" teriak Nilam mengangguk."Selamat pagi Nyonya!"Nilam terkejut, saat seseorang wanita menyapanya secara tiba-tiba, suaranya empuk dan ia melihat wanita paruh baya menundukkan kepala di belakannya. Nilam hanya berani menjawab sapaannya, dan diikuti oleh lengkung sudut bibir yang menge
"Kamar ini?" Nilam menutup mulutnya setelah merasa kagum.William menutup pintu cepat-cepat. Nilam yang terkejut menoleh dengan perasaan aneh."Kenapa pintunya ditutup?" tanya Nilam, tubuhnya gemetar. Keringat dingin mulai tergelincir bergantian."Haha ...!" William tertawa terbahak-bahak melihat respon Nilam.Berjalan mendekati istrinya dan memeluknya erat. Ia berbisik di telinga Nilam, "Nanti malam, aku minta jatah pokoknya!"Degup jantung Nilam seakan terhenti. Seberapa pun ia berusaha kabur, ia tidak akan bisa menghindar pria itu."Kenapa kamu tertawa?" tanya Nilam dengan bingung."Ya lucu saja, karena setiap aku menggoda kamu seperti ini, respon kamu berlebihan. Bukankah itu hal wajar untuk kita?" tanya Willy dengan menarik gemas dagu istrinya."Gak. Biasa saja, Mas!" ucap Nilam menutupi Gelagat tubuhnya merespon berlebihan.Kedua tangan William meremas dada Nilam, hingga ia memekik ketakutan."Tolong!" teriak Nilam responsive. Dengan cepat Willy menutup mulutnya. "Hust, diam! D
"Bibi masak banyak sekali? Kita cuma bertiga saja 'kan?" tanya Nilam dalam kebingungan."Ya tidak masalah kan, Sayang? Lagian ini kan masakan kesukaan kita?" jawab Willy sembari melihat-lihat banyaknya hidangan tersaji di meja."Ya kalau tidak habis mubazir." Nilam menyanggah, wajahnya sedikit cemberut.Ia tetap mengambilkan beberapa masakan dan menuangkan di atas piring William."Sayangku Angel mau masakan yang mana? Ini ada yang dipisahkan kok dari cabe buat kamu mau tidak?" tanya Nilam sebelum mengambilkannya untuk Angel."Terserah saja, Ma. Asal tidak pedas. Angel 'kan suka menghargai pekerjaan orang lain. Seperti yang mama ajarkan pada Angel beberapa hari ini."Willy terus memantau beberapa keanehan terjadi. Itu bukan sifat Nilam. Tidak pernah ada kata mubazir dalam hidupnya. Dan kali ini makin lama, makin jelas jika dia bukan istrinya.Beberapa kali ia mengatakan itu selama pasca kecelakaan. Mau percaya jika ini istrinya, tapi masih sangat sulit."Sayang, kamu cepat segera makan
Sebuah perbincangan kembali terjadi antara William dengan seseorang wanita. [Bagaimana, apa kamu sudah pastikan jika wanita yang bersamamu sekarang, bukanlah istrimu?][Ya, apa yang kau katakan semuanya memang benar. Pasca kecelakaan besar dulu, semuanya memang sudah berubah!][Untuk kedua kalinya, apa dia mau mengadakan pendakian?][Dia menolaknya. Dengan alasan Angel tidak memiliki teman di villa.][Halah! Alasan besar! Dia sudah menunjukkan jika dia phobia ketinggian. Dia tidak berani mendaki gunung. Karena dia bukan Nilam istrimu yang pemberani. Dia hanya memaksakan diri untuk menjadi Nilam.][Jika seperti itu adanya, lantas Nilam dimana?][Semuanya akan terbongkar, setelah kamu bisa membuka siapa topeng dibalik wajah Nilam yang dicuri wanita itu.][Aku belum memiliki bukti apapun. Hanya beberapa dugaanku saja. Dan atas informasi darimu yang belum ada kejelasannya.][Berikan malam indah bersama wanita itu, yakinlah jika ia akan menolak keseribu kalinya.]Tut Tut Tut!Panggilan te
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Nilam di kamar itu masih sendiri. Menunggu dengan cemas, kehadiran Willy yang akan menghabisinya. Bukan habis dibunuh, melainkan mengemban tanggung jawab Nilam sebagai istri William. 'Ah, tidak! Ini tidak benar! Apa aku bisa melayaninya? Sadar Luna, kamu Luna! Bukan Nilam! Saat ini mungkin pria itu sudah persiapkan segala sesuatunya demi malam ini. Demi malam yang indah baginya bersamaku. Wanita asing dalam kehidupannya. Oh Tuhan... Jalan mana yang harus ditempuh?'Terdengar derap langkah kaki, yang semakin lama semakin terdengar keras dan jelas. Langkah kaki itu kian mendekat.Sementara ia melihat tubuhnya yang sudah siap dijamah oleh pria asing itu. Sesuai permintaan Willy. Ia mengenakan lingerie berwarna merah.Sedikit menutupi tubuhnya karena malu. Menutupi dengan selimut tebal sampai dada. Tak terelakkan tubuhnya yang mulai meremang sendiri.Kriet ....Suara pintu terbuka pelan. 'Astaga ... Astaga ... Dia masuk!' gemetaran rasanya tubuh
Nilam masih mencoba mengingat nama Widya itu. Beberapa saat baru ingat, jika Widya adalah wanita yang menyukai Willy dan pernah menyekapnya.'Apa benar jika Widya yang sama? Mengapa Willy masih berhubungan dengannya? Secepat itu dia keluar dari penjara? Ah! Sekarang semua serba uang. Bodoh sekali aku!' pikirnya pendek.Ingin membangunkan Willy tapi ia tidak tega. Terlihat diwajahnya sangat lelah dan mengantuk. Disisi lain rasanya ingin membuka chat wanita itu. Dan menyerangnya. Ia yakin wanita itu juga biang Willy meragukan identitasnya.Dengan pelan Nilam mencoba membuka layar ponselnya. Dengan satu gerakan tarikan dari bawah keatas.'Sial. Ada sandinya juga!' pikir Nilam dengan mencoba mencari ide, berapa 6 digit angka untuk membuka layar.Pertama ia mencoba memasukan angka dari tanggal lahir Willy. Setelah angka itu di ketik dan menekan enter, ternyata salah.Kedua tanggal lahir Angel, namun itu juga salah. Ke tiga ia memasukkan digit tanggal lahir Nilam.'Yes! Benar!' gumamnya b
"Pesan dari siapa Shireen? Hah?"Shireen tidak kunjung menjawab. Ia masih terperangah terkejut dan segera membenarkan posisi wajahnya.Tidak menunggu wanita itu menjawab, ia segera membaca pesannya.'Bram'.[Selamat malam Sayang ...-]Baru membaca pesan teratas, ia sudah akan naik pitam. Darahnya hampir mendidih membaca sapaan sayang.Mata yang sebelumnya melihat layar ponsel, beralih melihat kearah Shireen. Ia menatap tajam istrinya itu.Wanita yang sudah ketahuan busuknya itu hanya menundukkan kepala. Plak!Dengan cepat ia menampar wajah Shireen hingga membekas merah. Terlihat jelas jari tangan Daffa disana."Sakit, Mas!" rintih Shireen dengan memegang pipinya yang terasa panas."Rasakan kamu wanita binal! Aku sudah yakin jika perbuatan kamu di belakang ku seperti ini! Sudah dengan berapa pria kamu tidur? Hem?" tanya Shireen.Shireen hanya menggelengkan kepalanya takut. Karena memang bukan hanya dengan dirinya saja ia melakukannya. Juga dengan Bram. Bahkan bayi dalam kandungan ini
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan