William yang masih lemas, terduduk di tanah menyaksikan asap yang masih tersisa. Mengepul membumbung tinggi dan menyebar ke udara sekitar.Pabrik William yang terletak di tengah kota itu tiba-tiba saja terbakar. Api berkobar dengan hebat dan merusak seluruh bangunan pabrik tersebut. Semua mesin dan bahan baku yang ada di dalamnya ikut terbakar dan tak bisa diselamatkan.William, sebagai pemilik pabrik, merasa sangat sedih melihat hasil jerih payahnya selama ini sudah tidak bersisa. Ia telah membangun pabrik tersebut bersama sang mertua, sekaligus ayah angkatnya dari nol dan mengembangkannya menjadi besar.Namun, hari itu semua kebanggaannya pupus dalam sekejap. William yang semula diam lemas segera berjalan mendekati kebakaran untuk memastikan tidak ada korban jiwa dan meminta bantuan kepada petugas pemadam kebakaran.Warga sekitar juga berdatangan untuk membantu memadamkan api, namun sayangnya sudah terlalu besar dan tak terkendali. Asap hitam pekat terlihat menjulang ke langit, dan
Meski William sudah menutup berita besar tentang terjadinya kebakaran pabriknya ini, tetap saja, banyak juga informasi yang lolos dari pengawasannya.Pesan turut prihatin banyak di ucapkan lewat akun media sosialnya. Bukan itu saja, beberapa kolega datang sendiri ke kediaman William untuk mengucapkan keprihatinan mereka pada musibah yang menimpah Willy.Nilam dan William meliburkan karyawan pabriknya selama dua bulan untuk proses renovasi ulang.Hanya bagian kantor saja yang masih tetap bekerja, selain tanggal merah mereka tetap menjalankan pekerjaan rutinitas seperti biasanya.Hari itu, Anita dan Seno mendarat di Surabaya, mereka menghubungi Nilam, saat sudah akan mendarat. Jika ia meminta persetujuan mereka dari awal akan berangkat, pasti tidak akan mengizinkan keduanya membiarkan Anita dan Seno ke Surabaya.Supir pribadi kediaman William menjemput mereka segera ke bandara Juanda Surabaya.Beberapa waktu berlalu sampailah keduanya di kediaman Nilam dan William.Angel yang mengetahu
Nilam mengatur nafas kasarnya. Geli rasanya mendengar orang-orang membicarakan tentang pembuatan adik Angel.'Haish, mereka sama-sama sinting!' gumam Nilam.Lekas ia minum dan melirik William yang tampak tersenyum. 'Dasar, mereka semua sama!'"Ya, Ma. Angel mau punya adik! Buatin ya Ma, apa beli aja. Biar gak lama-lama!" ucap Angel lugu.'Ah ... Apa-apaan sih bocil! Apa kata Angel? Beli? Haha, tidak!!' teriak Nilam tanpa suara."Tuh! Dengerin princesmu! Dia aja mau punya adik!" sambung Anita. "Nilam, bantu suami kamu mengatasi masalah pabrik, kamu jangan diam saja! Gunakan kecerdasan mu! Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika tidak bisa mengatasi soal kecil semacam itu!" Ucapan Seno tiba-tiba membuat Nilam tersentak. Ternyata pria ini adalah pria yang sedikit keras. Bukan hanya dengan William saja terdengar kaku, padanya pun juga."Sudahlah Pah, William bisa atasi semuanya. Papa Seno tidak perlu terlalu memikirkannya. Tunggu saja, tidak sampai dua bulan pabrik akan bisa beroperasi kemb
"Maaf Paman, aku tidak bisa memaafkan-mu!" gertak Willy. Pria itu mengangkat kepala dan menjatuhkan dengan keras ke lantai, Willy tidak perduli dengan siapapun yang berani melawannya, ia akan membalasnya."Tidak ada lagi aku harus sopan atau segan pada Anda, jika Anda menjadi penghambat pekerjaan saya, saya akan memberi perhitungan lebih pada Anda, Paman! Aku tidak perduli, Anda adik papa atau presiden sekalipun!""Beri pelajaran lebih para pria itu!" titah William pada dua pria berbadan kekar tersebut."Setelah itu, aku akan menjebloskannya ke dalam penjara! Aku tidak akan memberi ampun pada orang semacam itu!" teriaknya penuh kemurkaan.Benda pipih William berdering. 'Pasti Nilam!'Ia segera mengambil dari saku celananya, tertera nama kontak pemanggil, 'Nilam'.[Ya, Sayang?] sapanya pada istrinya.[Kenapa tidak memberi kabar? Ada informasi apa hingga kamu sendiri yang turun tangan?][Sebentar! Lihat siapa yang ada bersamaku sekarang!] William merubah panggilan telepon ke via video
Sesampainya di rumah sakit poli umum, Shireen menggandeng tangan Bram dengan mesranya. seolah mereka adalah sepasang suami istri.Bram berhasil mengambil hati Shireen kembali, ia menunjukkan perhatiannya pada wanita itu. Tidak jarang ia memperhatikan gerak dan berjalannya supaya berhati-hati -- kehamilan Shireen masih terlalu muda, untuk pekerjaan yang sedikit melelahkan.Dari arah jauh, Bram melihat sebuah kursi roda berada disudut ruang dekat ruang resepsionis. Ia mengatakan pada Shireen -- untuk menunggunya sebentar di situ, dia akan segera kembali.Shireen patuh, kedua bola matanya mengekor melirik Bram yang berjalan menjauh dan berhenti di depan sebuah kursi roda. Ia menarik lalu mendorong ke arahnya. Shireen terharu mendapatkan perhatian khusus oleh pemuda itu. 'Jika Mas Daffa yang memperlakukan aku secara demikian, pasti hidupku akan sangat bahagia, tapi yang kuharapkan ternyata tidak kudapatkan, hanya raga Mas Daffa tapi tidak cintanya.'"Terima kasih ya, Bram," ucapnya. Seme
Setelah acara makan siang berlangsung, Daffa akan berusaha terus mendekati Nilam.Mumpung ada kesempatan saat perusahaan itu di bawah, Daffa bisa memanfaatkan kesempatannya."Ibu Nilam, jika Anda atau Pak William memerlukan bantuan, jangan sungkan meminta bantuan pada saya," ucap Daffa.Nilam tersenyum dan menganggukkan kepalanya.*****Sementara Willy harus bolak balik ke perusahaan dan pabrik untuk memantau pembangunan yang harus selesai dua bulan ini."Pak! Bekerja dengan baik ya, semua harus diperhitungkan! Awas jangan ada kesalahan!" ucapnya pada semua karyawan yang bekerja di sana."Baik, Pak William!" Ia berjalan- jalan mengitari gudang depan. Melihat semu pekerja bekerja dengan giatnya. William suka pada pekerjaan mereka yang gigih dan bersemangat."Tuan William! Awas!" Seseorang pekerja berteriak keras pada William yang berjalan di atas sebuah balok kayu besar yang akan terjatuh mengenainya.William mendongak ke atas. Sebelum menghindari dari benda besar dan panjang itu jat
"Mas William? Kenapa Mas seperti ini? Ayo Mas, kita berjuang sama-sama, kita mulai lagi. Aku ada bersamamu."Wajah Nilam yang menunjukkan belas kasihnya pada William, mengusap bulir air mata yang tiba-tiba saja tergelincir di pelupuk mata William.Ia tidak menyangka pria sekuat dan setegar suami Nilam ini, bisa menitihkan air mata juga. Membuat hatinya bergejolak, dan ikut bersedih bersamanya. 'Tidak! Aku tidak boleh seperti ini. Menunjukkan kesedihanku di depan Mas Willy. Aku harus kuat, aku berusaha untuk memberikan dia semangat. Untuk kesembuhannya.'Nilam mendorong kepala William untuk bersandar di bahunya sementara. Dengan lirih ia memberikan semangat. "Mas, tunjukkan padaku, Kamu adalah pria yang kuat! Berusahalah untuk sembuh dan kita bangun perusahaan dan pabrik kita sama-sama, sebuah musibah kecil. Tanpa bantuan siapapun kita pasti bisa berdiri!"William segera mengangkat kepalanya, menatap kedua bola mata Nilam dengan serius. Ia berkata dengan memegang kedua pipi Nilam. "T
Dengan hati ketar ketir, akhirnya Nilam akhirnya menyajikan makanan itu di dinner plate. "Tara ... Silahkan di cicipi ... Ini adalah spagehty ala ala Mama Nilam, untuk Marni dan Bibi Kira! Kalian jangan berebut ya, ini adalah karya terbaik saya. Coba di cicipi!"Satu desert plate di berikan pada William yang menunggunya dengan sabar. William mengangkat sudut bibirnya melihat usaha Nilam menyenangkan hatinya."Silahkan, Sayangku ..." ucap Nilam, ia tidak membiarkan suaminya makan sendiri. Ia membantu menyuapinya. "Cie ... Cie ... Mama sama Papa, ehem!" Angel mulai menggoda mereka. Sementara Marni dan Kita duduk di meja pojok, berjauhan dengan majikannya. Mereka ingat kasta mereka berbeda.Meski Nilam tidak seberapa mempermasalahkan nya akhir-akhir ini. Jika yang disana Nilam asli, itu tidak akan terjadi."Nona Angel ... Tidak boleh gitu. Dosa," ingat Marni yang selalu mengajarkan kebaikan.Saat satu suapan masuk ke dalam mulut William, ia merespon. "Sayang ... Duh kamu mau buat aku d
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan