Dering ponsel yang terus bergetar saat Jean berusaha menghubunginya kerap kali gagal dilakukan. Terhitung hingga sepuluh kali atau lebih panggilan itu tidak pernah dijawab oleh Arum. Desahan napas lelah mengurungkan niat Jean untuk tetap menunggu di dalam mobil yang sekarang terparkir di depan sebuah klub.
“Arum, sebenarnya kamu berada di mana? Sudah pulang atau sesuatu terjadi padamu?”
Jean meletakkan ponsel itu, sejenak ia menghela napas lagi sembari menyandarkan sedikit kepalanya ke stir mobil. Perasaannya sedikit kacau lantaran teman yang tadi menghubungi tiba-tiba hilang kontak lagi, tidak ada kabar setelah satu jam lama menunggu begitu pula dengan keberadaannya di tempat ini.
“Katanya dia ada di tempat ini, dia bilang akan menunggu di depan tapi sekarang sudah tidak ada. Apa perlu aku masuk?” pikir Jean.
Kecemasan yang ada pada diri Jean tidak pernah hi
Hujan lebat menyapu jalanan, tak banyak orang berpergian hari ini kecuali mereka para pekerja luar. Hawa dingin menusuk punggung, cuaca yang telah berubah ini membuat situasi canggung berlangsung lama. Setelah Arum keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa juga karena marah, Julvri mendapat telepon dari seseorang.“Ada apa?” tanya Julvri, yang menjawab panggilan dari sekretarisnya.Sekretaris laki-laki yang sekarang berada di kantor, tampak sedang kesal seraya menatap tajam ke arah kursi di mana atasannya seharusnya sudah duduk di sana.["Pak, bukankah Anda sudah berjanji akan datang setiap hari? Ingat bagaimana kejadian buruk berlangsung, meski baru sehari rumor sudah ditekan tapi kita tidak boleh lengah."]“Hah ... iya. Aku mengerti. Sangat mengerti akan kecemasanmu itu.” Julvri menghela napas bosan.Sesekali ia mengacak-acak rambutnya a
Sekecil apa pun harapan itu maka Arum takkan ragu menerimanya namun jika menoleh ke belakang dan mengingat akan resiko besar menanti maka seketika pikiran buruknya muncul dan emosi pun jadi sulit dikendalikan.“Tidak .... aku tidak mau mati! Aku takut ...,” Harapan langsung lenyap sekejap, dunia menjadi kelabu dan perlahan kehilangan cahayanya. Sinar mata yang redup mengungkapkan keputusasaan terdalam. Sosok lelaki yang berada di hadapannya seolah hilang entah kemana padahal sudah jelas ada di depan mata hanya saja Arum tidak bisa melihatnya.“Aku akan mati. Aku pasti akan mati kalau keluar dari rumah ini, Julvri akan langsung tahu,” ujar Arum sembari memeluk tubuhnya sendiri yang bergetar. Takut, cemas dan panik. Semua hal itu dirasakannya hanya karena satu kalimat Julvri yang terlintas dalam benak. Seolah-olah perkataannya adalah mutlak dan tidak terbantahkan. Melawannya saja sungguh mustahil.“Tenang, Arum!” Jean berusaha menenangkan. “Dia menyelipkan suatu benda yang membuatn
Umpan yang diberikan terpancing, Julvri mengira bahwa detektif yang datang adalah Jean namun kenyatannya bukan. Detektif Arya yang datang tuk membicarakan tentang tuduhan itu beserta dengan kasus Eka. Samar-samar Jean merasakan sebentar lagi akan mencapai ke jalan yang sesungguhnya. Di mana ia akan bisa mendapatkan bukti konkrit terkait pembunuhan itu. Walau hanya dugaan belaka namun dengan adanya Arum maka itu akan memperkuat dugaan tersebut.Di malam, melewati perbatasan kota pusat dan saat ini berada di kota lain. Jalan raya masih sangat ramai hingga saat ini, setelah beberapa lama Jean menunggu seraya memainkan jari di stir mobil, akhirnya kendaraan di depan sudah mulai bergerak.“Aku ingin bertanya karena kamu tidak mengatakan apa-apa sejak tadi. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu sampai disekap meski di dalam rumah sendiri?” tanya Jean.Tidak mendengar jawaban darinya, Jean lantas berpikir mungkin karena Arum masih enggan untuk bercerita. “Begitu ya. Ya sudah kalau kamu
Masalah hati tidak ada yang tahu. Terkadang merasa lega namun juga menyakitkan, perasaan yang seringkali berubah-ubah dan mustahil dikendalikan itu membuat Arum frustasi hingga tidak dapat tertidur kembali. Semalaman bergadang, waktunya dihabiskan hanya untuk memandang langit malam saja.Hingga fajar menyingsing, matahari telah terbit dari arah timur, langit mulai cerah dan para burung mulai beraktivitas begitu pula dengan manusia di sana. Dengan pakaian yang masih sama, Arum keluar dari kamar dan secara kebetulan Jean berada di depan.“Oh.”“Baru saja aku ingin mengetuk pintu,” ucap Jean lantas tersenyum. “Kita ke tempat kenalanku sebentar ya, bagaimana?” imbuhnya mengajak.Arum menganggukkan kepala. Perasaan bersalah masih melekat karena ia terlalu merepotkan bagi Jean, meski Jean berkata tidak tapi Arum tidak merasa begitu.
Senyum telah terukir kembali di wajah manisnya. Seolah beban terangkat ke langit, tiada menyisakan satu debu pun. Terlihat begitu ceria, Arum benar-benar sangat bahagia saat ini.“Ibu, sudah aku katakan berulang kali. Aku tidak apa-apa. Aku sungguh baik-baik saja.”["Ibu merasa ada yang aneh, Arum. Suamimu berwajah sedih saat datang tapi Ibu merasa dia hanya berpura-pura."]“Ibu ... sudahi pembicaraan yang berkaitan dengan Mas Julvri. Aku hanya ingin tahu kabar Ibu tapi belum dijawab juga sampai sekarang.”["Maaf. Ibu baik-baik saja. Tapi Ibu khawatir tentang suamimu itu, kalau bisa segera gugat cerai saja."]Saran Ibu tidak jauh dari sebelumnya. Arum sempat berencana cerai tapi dengan dalih akan ditalak langsung oleh Julvri. Tetapi Julvri tidak pernah mengatakan talak dan tiba-tiba memberikan surat cerai walau semuanya palsu dan Arum mencoba untuk memperc
Perdebatan di antara mereka yang sebetulnya tidaklah berguna. Mereka saling melampiaskan amarah, kecewa namun juga khawatir. Terutama Jean, saking khawatirnya ia marah-marah pada Arum.Tepat setelah kalimat keputusasaan itu terlontar, seketika Jean terdiam di tempat. Situasi di antara mereka jadi canggung dan Dion pun secara tidak sengaja mendengar perdebatan itu karena kerasnya mereka berteriak.“Maafkan aku.”“Tidak. Ini salahku.”Mereka sama-sama keras kepala dan berakhir menyalahkan diri sendiri. Dion yang masih berada di ruang belakang pun lantas sengaja membuka pintu. Suara dari pintu tua mengagetkan mereka berdua, spontan Arum dan Jean melirik ke sumber suara itu.“Apa aku menganggu?” tanya Dion sambil tersenyum.“Dion—”“Maafkan aku, Pak Dion. Bukan bermaksud untuk
Jika saat itu Julvri tidak sadar kalau Arum melihat aksi kejinya di sebuah gang kecil maka apa yang akan dilakukan olehnya?Arum dibuat bungkam. Jean berdiri di hadapannya bukan sebagai seorang teman lama melainkan seorang detektif. Ia berniat menyelidiki perkara kasus misterius yang belakangan terjadi, instingnya seolah berkata ini semua berkaitan dengan Julvri.“Bagaimana? Apa kamu bisa menjawabnya?” tanya Jean serius.Kadang kala pria ini perhatian, dirinya memang menyukai Arum tapi ia mampu mengendalikan diri dan berjaga jarak. Pria yang keras kepala, tegas namun lembut. Setiap penuturannya singkat dan jelas pun terasa seperti dikritik pedas.“Itu ...,”“Kalau tidak bisa menjawab maka ya sudah. Aku tahu kamu takut.”“Lalu apa?” Dahi Arum berkerut, ia mendelikkan mata dan sesaat aura kebencian terlihat
Matahari telah meninggi ke atas kepala, cuaca panas menyeruak tak tertahankan. Rasa pengap ia rasakan di mobil yang tidak ada pendingin ataupun sebuah pengharum. Terlebih melihat Jean yang terus memaki seseorang dari panggilan itu dalam kepanikan, membuat Arum merasa jadi tambah panas.“Aku tidak akan membiarkanmu berhubungan dengannya lagi! Kupastikan itu terjadi, secepatnya akan aku temukan bukti dan menyingkitkanmu yang sudah tidak waras itu!” tutur Jean dengan berani.Ia menoleh ke kanan dan kiri secara bergantian, dahinya berkerut tidak santai. Setelah itu Jean mendadak berlari pergi dan membuat Arum semakin cemas. Banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan pada Jean namun orangnya malah melarikan diri begitu saja.“Sebenarnya apa yang terjadi? Aku tidak mengerti.”Pintu mobil tidaklah terkunci otomatis, sesaat ia berpikir untuk lari dan mengejar Jean akan tetapi
Kehadiran seorang lelaki adalah pendamping bagi seorang wanita dan begitu juga dengan sebaliknya. Akan tetapi pasutri yang terikat pernikahan suci selama setengah tahun ini memiliki persepsi berbeda dari lainnya. Mereka memiliki sisi buruk yang tak terbayangkan serta sisi baik tak terduga. "Aku ... akan mati." Pikiran Arum hanya tertuju pada kematian saja. Dirinya berpikir ini sudah berakhir hingga beberapa petugas kepolisian menerobos masuk ke dalam rumah sembari menodongkan senjata. “Angkat tanganmu!” Luka lecet, lebam, bekas tusukan, darah terus mengalir di bagian lukanya, bahkan bekas luka jeratan tali masih terlihat. Tidak hanya itu, luka di hati pun sudah terpampang jelas di hadapan mereka. Arum sudah lemas dan tak sanggup bergerak di sisa napasnya yang sedikit. “Gawat! Orang ini tidak mau berhenti!”“Biar saya yang melakukannya!” seru seorang lelaki berpakaian jas coklat muda. Lelaki itu bergegas menghampiri lalu mem
“Ah!” Arum terbangun dalam keadaan tubuh basah berkeringat dingin. Wajahnya memucat, pupil matanya pun bergetar kuat dengan mengingat semua hal buruk yang ia pikir sedang terjadi saat ini. Namun ternyata Arum salah, begitu kesadarannya pulih dan mendapati dirinya berada di atas ranjang, ia mulai merasa tenang dan lega.“Syukurlah,” ucap Arum. “Ada apa, Arum?” Sampai melupakan sosok lelaki yang membuat Arum bermimpi buruk itu bertanya. Julvri yang telah membuka mata, lantas meraih wajah Arum dan memberinya kecupan pagi.Perasaan gelisah kembali hadir, seolah kabur hitam mengitari sekeliling tubuh mereka. Merinding tanpa bisa berekspresi lebih selain terdiam merasa takut.“Arum?” Sekali lagi sang suami memanggil dan bertanya apa masalahnya. “Ada apa?”“Julvri ... aku hanya kembali bermimpi buruk.” Perlahan Arum berucap sembari menyentuh punggung tangan kekar itu. “Mimpi buruk? Apakah itu tentang aku?”Awalnya Arum terkejut, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit menganga, nyaris
Semilir angin membawa pergi dedaunan gugur, beterbangan bagai sehelai bulu yang ringan dan entah ke mana perginya mereka kala angin terus menggerakkannya. Sejenak suasana terasa tenang, Arum merasa begitu memejamkan mata maka dirinya akan cepat terlelap. “Julvri, apa kamu benar-benar akan membunuhku?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir tipisnya. Sosok lelaki yang hadir berada di sampingnya itu hanya bisa terdiam dengan mulut setengah terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Setelah beberapa saat lelaki itu melengos dan kembali menghadap arah depan sambil menggandeng tangan sang istri dengan kuat."Ada apa dengan Julvri?" batin Arum bertanya-tanya dalam kebingungan. Sebab tak pernah merasa bahwa Julvri akan bersikap begini karena ini adalah pertama kalinya. Rasa bimbang ataupun bingung, resah dan gelisah. Entah apa yang sebenarnya Julvri pikirkan. “Tidak menjawab itu artinya benar. Lalu kenapa nggak lakukan saja sekarang? Aku
“Lalu kamu akan melakukan apa setelah menemukan sesuatu di laptopku?” Bagai disambar petir di siang bolong, Arum tersentak kaget mendapat pertanyaan yang jelas adalah sebuah sindiran. Arum mengubah posisinya menjadi duduk, sekali lagi terkejut, ia menatap tajam pada Julvri seolah sedang berbalik menghakimi.Julvri lantas bangkit dan berkata, “Ayo katakan sesuatu. Jangan sampai aku dibuat penasaran.” Di lain sisi ia merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Spontan Arum menoleh ke arah pintu yang terdapat celah sedikit. “Julvri, pintunya tidak ditutup?” tanyanya sembari berusaha mengalihkan pembicaraan. “Ah, benar. Aku melupakannya,” ucap Julvri. Di celah pintu terbuka, Arum melihat sosok siluet familiar. Ia pun turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu dan membukanya.“Bibi Elli?” Rasanya tak pernah habis keterkejutan Arum dalam hidupnya. Ia dikagetkan oleh bibinya sendiri yang ternyata mengintip.“Ikut aku sebentar, rum.” Begitulah bibi memanggil, lalu Arum hanya mengi
Bibi Ella dan Elli adalah kembar seiras, yah, meskipun dari sifat mereka berbanding terbalik. Bibi Ella orang yang lembut sedangkan bibi Elli orangnya galak. Lalu sekarang bibi Elli berhadapan dengannya, dan entah kenapa seperti sedang marah. “Aku tidak berharap kamu mengerti ucapanku, Arum. Tapi kupikir sebaiknya ...,”“Bibi membicarakan apa?” Seolah tak ingin membahas sesuatu hal buruk itu, Arum kembali melanjutkan jahitannya yang belum selesai. Mulai dari pakaian hingga ke taplak meja, dengan sangat giat Arum mengerjakannya sepenuh hati hingga kembali sempurna seperti sedia kala. Sementara ia merasakan punggungnya dingin akibat tatapan tajam dari bibi Elli. “Aku belum selesai bicara,” katanya.Arum menelan ludah, bibir bawahnya sedikit tergigit. Setelah selesai menjahit, ia lantas menoleh ke belakang. Arum sangat terkejut akan tatapan yang dirasa semakin tajam dan menakutkan itu. “Iya, baiklah. Aku akan mendengarkannya tapi tentang apa? Bibi Elli selalu bicara setengah-setenga
Suasana di kampung halaman yang terasa lebih sejuk membuat Arum merasa rileks sejenak. Saat ini ia sedang membantu nenek menjahit pakaian yang sedikit rusak dengan cara manual. Nenek tampak sehat dengan kegesitan yang ia gunakan tuk menjahit. Sungguh hebat. “Arum, jujurlah pada nenekmu ini tentang satu hal.”Nenek memulai percakapan yang sejujurnya terdengar seolah Arum menyembunyikan sesuatu. Arum pun menghentikan gerakan tangannya terkejut. “Iya, nek. Kenapa?”“Ibumu sudah tiada dan aku ingin tahu bagaimana keadaan Ayahmu.” Rasa terkejut kembali bertambah, Arum sepenuhnya bungkam karena tak mengira bahwa nenek tidak mengetahui kabar tentang Ayahnya.“Ayahku ...,” Arum menggumam. Pikirannya mulai kalut dalam kebingungan, ia bimbang apakah perlu menceritakan yang sebenarnya atau tidak lantaran ibunya sendiri pun sengaja tidak memberitahukan hal tersebut. "Kenapa Ibu menyembunyikan hal ini? Kejadiannya sudah cukup lama. Apa aku perlu menceritakannya?" batin Arum yang memiliki bany
Arum mencercanya habis-habisan tanpa kenal takut, ia sudah tidak peduli bila suaminya akan marah karena hal ini sebab Arum pun merasa bahwa dirinya sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi. "Aku ingin merekam bagian ini tapi tak aku sangka aku kehabisan cara dan yang aku andalkan sekarang kata-kata meskipun tenggorokanku terasa kering sekarang," batin Arum. Rasa takut adalah hal wajar, ia berpikir sudah tak mungkin menyembunyikan kekesalannya lagi tapi di luar dugaan Julvri merespon seolah ini candaan. “Hahaha! Apa yang kamu bicarakan, Arum?” sahut Julvri yang juga tertawa bahak-bahak.“Sejak tadi kamu sepertinya berusaha membuatku marah ya? Tapi tidak masalah,” imbuhnya. “Kamu lah yang mempermainkan aku, membuatku marah dan jengkel karena terus memperlakukan aku seperti hewan ternak. Kalau kamu kesal seharusnya bunuh saja aku!” Senyum terukir semakin lebar di wajahnya yang tampan. Jemari yang besarnya dua kali lipat itu lantas kembali meraih dan membelai wajahnya dengan penuh
Dengan memanfaatkan paras tampannya, Julvri Vandam selalu mencari kesempatan untuk bermain dengan banyak wanita. Bohong kalau ia sungguhan mencintai mereka, sebab kenyatannya ia hanya mempermainkan para wanita saja. Ia bersenang-senang demi dirinya sendiri. Julvri adalah seorang lelaki tidak waras. “Hei, bagaimana kalau kita kencan besok?” Paras tampan, berduit dan memiliki hati yang baik. Itu semua terlihat di mata para wanita, ketika diajak kencan, siapa yang akan menolak? Tentu saja tidak akan ada kecuali orang buta.“B-boleh saja.” Wanita berambut pendek sebahu menjawab dengan gugup. Namun satu syarat mutlak bagi Julvri, ia memilih wanita yang sama sekali tidak berguna di kemasyarakatan. Julvri akan mengencani setiap wanita yang statusnya kadang tidak jelas, ada yang buron, setengah tidak waras, peminum dan masih banyak lagi. Rata-rata wanitanya tidak bisa dibilang wanita normal sehingga akan mudah bagi Julvri yang akan menghabisi mereka jika sudah bosan. “Julvri, hari ini kit
“Jangan kamu kira aku tidak tahu.”“Kenapa kamu berpikir begitu? Bisa saja bukan aku 'kan?” “Tapi kupikir begitu.”Semenjak perilaku Julvri yang sebenarnya terungkap jelas di depan mata, Arum dengannya selalu berdebat dan beradu kemampuan di samping ada rasa keinginan untuk melenyapkan. Kehidupan yang didambakan oleh Arum selama ini nyatanya takkan pernah terwujud karena orang yang sekarang berada di hadapannya. Apa yang Arum masukan ke dalam makanan Julvri adalah obat pencahar sementara Julvri memasukan obat pelemas otot sehingga dengan kondisi Arum saat ini akan cepat berefek, ia lemas dan sudah tak bertenaga lagi. “Taksi online pesanan kita sudah sampai. Ayo cepat pulang ke kampung halaman rumahmu, Arum.” Sambil tersenyum pria itu kembali menuntunnya masuk ke taksi online, Arum hanya bisa pasrah kala Julvri sepenuhnya mengendalikan dirinya seperti sekarang ini. “Ayo pak, jalan.”“Baik.” Perasaan mual kembali muncul setelah sekian lama, kehamilannya membuat keadaan Arum semaki