Tidak adil. Satu kata yang paling pantas bagi Arum untuk dirinya sendiri ketika menghadapi kenyataan akan perasaan Julvri yang sebenarnya. Sosok pria yang seharusnya tidak punya hati, bahkan membunuh orang dengan mudah. Wajah yang tidak memperhatikan siapa yang dibunuh dan dengan apa.
"Bagaimana kamu bisa mengatakannya semudah itu?" Arum bertanya-tanya dalam hatinya saat ini.
Tidak memahami dengan jelas apa maksud ucapan Julvri, Arum hanya bisa diam di sana. Air laut yang dingin membuat tubuh mereka gemetar kedinginan. Didekap di dada serta merasakan embusan napas darinya. Aneh tapi Arum merasa nyaman.
“Aku sudah berbohong. Justru aku sudah siap jika kamu akan membunuhku karena itu jangan pernah menyakiti orang lain,” ucap Arum.
“Tidak. Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal. Aku 'kan hanya sekadar mendorong kita berdua ke laut agar kamu tahu bahwa kemat
Mulut senjata api diarahkan langsung pada Julvri. Percuma saja hal seperti ini disembunyikan dan Julvri melepas pelukannya agar Arum mengerti situasi yang terjadi saat ini. “Semua wanita mengatakan hal yang sama. Kau itu sampah dan penipu ulung yang hanya bisa mempermainkan mereka,” sindir Jean sembari menatapnya tajam. “Jahat sekali. Mengatakan aku seperti itu, tapi itu hanya setengah benar saja.” Julvri sedikit tertawa. Arum mengernyitkan dahi, mendengar suara seseorang selain Julvri dan ia sadar suara siapa itu. Perlahan menoleh ke belakang dengan perasaan ragu, Arum berharap ini bukan seperti yang dipikirkannya. “Astaga ...,” Sayang seribu sayang, hal yang tak diinginkan ternyata sudah terjadi. Jean berada persis di belakang mereka dan mengetahui pertemuan ini secara langsung, namun yang membuatnya heran adalah untuk apa Jean menodongkan pistol?“Jean?” “Arum, cepat menyingkirlah dari sana!” pinta Jean setengah berteriak.Arum terdiam kebingungan, tidak begitu memahami apa m
Tidak ada yang tahu suatu insiden itu terjadi, seolah lenyap seketika. Malam berlalu tanpa halangan. Benedetta pun tidak tahu kejadian itu.Di ambang kematian, Arum bermimpi hal indah, saat-saat ia bertemu dengan Julvri untuk yang pertama kalinya.Tap! Tap! Tap!Berlari cepat menuju ke luar halaman, sesosok wanita bergegas dengan wajah panik luar biasa. Ada sesuatu yang terlupa sebab itulah ia hendak pulang dan mengambilnya. Niatnya hanya begitu tapi seorang pria berjaket hitam dan baru saja turun dari motornya membuat pandangan Arum terpaku sejenak.“Eh?”Keduanya saling bertukar tatap dengan ekspresi datar tapi juga dibaluti dengan rasa penasaran. Tentang siapakah ia, apa yang sedang dilakukan dan lain sebagainya. Tiba-tiba mereka saling menaruh rasa penasaran yang sama, seolah takdir dari langit telah mempertemukan mereka. 
“Dia tidak pantas! Aku menjaminnya dia itu sampah! Sampah masyarakat!” cerocos Jean panjang lebar tanpa berpikir panjang.“Hei, jangan bersikap kasar begitu!” seru Eka, memperingatinya.“Sudahlah, kau lebih baik diam saja. Bukankah kau juga tidak rela kalau Arum akan berpacaran dengan dia?!”“Apa maksudmu bilang begitu? Dia anak yang baik.”“Matamu buta!” pekik Jean semakin kesal. “Kau tidak tahu bagaimana sifat aslinya, jadi diam saja!” lanjutnya berteriak.Jean berpikir lelaki ini tidaklah pantas bersanding dengan Arum Kusuma Pramesti. Jean setengah berteriak saat mengatakan hal itu dan tentu saja itu mengundang perhatian banyak orang yang secara kebetulan mendengarnya.***Menjelang siang hari, di perpustakaan. Julvri bersama dengan seorang perempuan cantik berkaca
Cincin yang pernah digunakan Jean untuk melamar Arum tapi ditolak secara halus. Meskipun Arum saat itu tidak mengatakan apa-apa, Jean sudah tahu bahwa itu adalah tanda penolakan.Dengan kuat ia mengenggam kotak merah miliknya sembari berpikir dalam batin, "Tidak mungkin. Dia tidak memiliki rasa apa-apa padaku jadi buat apa dipaksa?"Jean memutuskan untuk menyerah, ia berpikir dirinya tidak akan pernah diterima oleh Arum. Lantas pria itu pun segera pergi dari perpustakaan lalu menemui Eka yang kebetulan sedang senggang dan sendirian sekarang.“Hei, Eka!” serunya memanggil.Eka menoleh ke samping, sedikit terkejut karena Jean yang datang.“Memanggilku begitu, apa ada masalah?” duga Eka sembari menatapnya serius.“Tidak. Aku hanya ingin memintamu berkencan dengan Arum.”Seketika Eka terdi
Ruang kelas yang sepi menjadi saksi bisu akan kedekatan mereka, terlebih Julvri yang ternyata memiliki sikap agresif. Arum tidak mampu berkata apa-apa selain diam dan memandang paras tampan itu dari dekat. “Arum?” Julvri memanggil sembari menepuk kedua pundaknya pelan, Arum tersentak kaget dan membuyarkan lamunannya. “Eh, iya. Maafkan aku. Bisakah aku tahu namamu?” tanya Arum malu-malu, ia memalingkan wajah agar bisa menjaga kewarasannya.Mengulas senyum kecil nan manis, pria itu justru sengaja menggodanya, ia mengangkat dagu Arum dengan jari telunjuk dan secara otomatis pandangan Arum terpaku padanya.“Jika benar-benar ingin berbicara sesuatu, maka biasakanlah untuk tetap menatap lawan bicaramu,” tutur Julvri. Arum menganggukkan kepala, Julvri pun menurunkan jarinya. Sejenak Arum berpikir tentang kalimat apa yang akan ia sampaikan tapi tetap saja ini sulit diputuskan. “Banyak orang yang suka padamu, tapi aku tidak pernah mendengar kamu berpacaran. Bisakah aku memastikan namamu it
Kelas mereka sudah selesai pada hari ini, Julvri pun kembali bertemu dengan sosok wanita yang telah mengungkapkan perasaannya sewaktu ruang kelas kosong melompong. “Maaf menunggu lama,” ucap Arum. Raut wajahnya tidak terlihat tenang, tergesa-gesa seolah diburu oleh waktu. “Tidak masalah.” Mereka belum memutuskan untuk pulang, hanya saja mereka berencana untuk berjalan-jalan sebentar di area luar dari gedung universitas. “Aku sebenarnya sangat bingung dan ragu tentang perasaanku. Julvri sendiri bagaimana? Kenapa saat itu menerimaku dan sekarang mengajakku berjalan-jalan?”Pertanyaan Arum terbilang cukup banyak lantaran keraguan akan perasannya sendiri sudah cukup mengagetkan Julvri yang saat itu sedang berjalan dengan tenang tanpa memikirkan apa pun lagi. Berkat pertanyaannya itu, Julvri kembali fokus. Ia menjawab sembari menolehkan kepalanya ke kiri, “Ragu atau tidak seharusnya kamu mulai merasakannya, Arum.”“Apa?”“Semua orang yang sedang jatuh cinta akan merasakan debaran jant
Pagi terasa begitu luar biasa setiap detiknya, belaian, bisikan dan wajah yang kerap kali ia sentuh membuat Arum semakin larut dalam permainannya. “Sudah aku putuskan,” kata Julvri. “Putuskan apa?”“Hei kalian berdua!” seru mereka berempat secara bersamaan, kedua sejoli yang asik bermesraan diam-diam itu lantas terkejut dan menoleh pada teman-temannya.“Lia, ini ... aku, sebenarnya—”“Iya, iya. Kami sudah sangat paham. Di saat kami bernyanyi bergantian, ternyata kalian malah bermesraan.”“Maaf jika menganggu,” ucap Julvri. Arum kembali duduk dengan wajah tertunduk dan tersipu malu. Julvri dan lainnya hanya bisa tersenyum sebab merasa ekspresinya itu lucu. Arum yang tidak tahu alasan mereka tertawa pun semakin tidak ingin menghadap mereka.“Jadi bagaimana? Apa kalian merasa cocok satu sama lain? Kalau begitu sekarang pacaran, nih?” tanya Lia beruntun. Pertanyaan itu seperti interogasi saja, sedikitn
Di tengah malam yang sepi itu, Arum menikmatinya dengan pelan. Setiap ujung bibir yang basah terasa melekat padanya hingga ia terbangun. Julvri membuka kedua matanya tapi tidak terlihat terkejut justru melanjutkan apa yang mereka lakukan saat ini. Dalam ketenangan, Julvri meraih pinggul dan mendekatkan tubuh mungil itu pada dirinya sendiri. Dekapannya yang hangat dan jari-jemari yang besar meraba bagian pinggul hingga ke atas. Sesekali mereka menarik diri tuk bernapas, keduanya saling bertukar tatap penuh tanda tanya.“Bangun-bangun sudah melakukan ini ... siapa yang mengajarimu?” Julvri menyindir. “Eh, bukankah itu kamu?” balas Arum sambil tersenyum. Pundak yang Arum sentuh juga besar, tangan mungilnya tidak sebanding bahkan sudah tak mungkin untuk melawan dirinya. Awal ia sangat ketakutan setengah mati karena ramalan kematiannya tapi sekarang dirinya sudah berpasrah diri. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Julvri sembari mengecup leherny
Kehadiran seorang lelaki adalah pendamping bagi seorang wanita dan begitu juga dengan sebaliknya. Akan tetapi pasutri yang terikat pernikahan suci selama setengah tahun ini memiliki persepsi berbeda dari lainnya. Mereka memiliki sisi buruk yang tak terbayangkan serta sisi baik tak terduga. "Aku ... akan mati." Pikiran Arum hanya tertuju pada kematian saja. Dirinya berpikir ini sudah berakhir hingga beberapa petugas kepolisian menerobos masuk ke dalam rumah sembari menodongkan senjata. “Angkat tanganmu!” Luka lecet, lebam, bekas tusukan, darah terus mengalir di bagian lukanya, bahkan bekas luka jeratan tali masih terlihat. Tidak hanya itu, luka di hati pun sudah terpampang jelas di hadapan mereka. Arum sudah lemas dan tak sanggup bergerak di sisa napasnya yang sedikit. “Gawat! Orang ini tidak mau berhenti!”“Biar saya yang melakukannya!” seru seorang lelaki berpakaian jas coklat muda. Lelaki itu bergegas menghampiri lalu mem
“Ah!” Arum terbangun dalam keadaan tubuh basah berkeringat dingin. Wajahnya memucat, pupil matanya pun bergetar kuat dengan mengingat semua hal buruk yang ia pikir sedang terjadi saat ini. Namun ternyata Arum salah, begitu kesadarannya pulih dan mendapati dirinya berada di atas ranjang, ia mulai merasa tenang dan lega.“Syukurlah,” ucap Arum. “Ada apa, Arum?” Sampai melupakan sosok lelaki yang membuat Arum bermimpi buruk itu bertanya. Julvri yang telah membuka mata, lantas meraih wajah Arum dan memberinya kecupan pagi.Perasaan gelisah kembali hadir, seolah kabur hitam mengitari sekeliling tubuh mereka. Merinding tanpa bisa berekspresi lebih selain terdiam merasa takut.“Arum?” Sekali lagi sang suami memanggil dan bertanya apa masalahnya. “Ada apa?”“Julvri ... aku hanya kembali bermimpi buruk.” Perlahan Arum berucap sembari menyentuh punggung tangan kekar itu. “Mimpi buruk? Apakah itu tentang aku?”Awalnya Arum terkejut, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit menganga, nyaris
Semilir angin membawa pergi dedaunan gugur, beterbangan bagai sehelai bulu yang ringan dan entah ke mana perginya mereka kala angin terus menggerakkannya. Sejenak suasana terasa tenang, Arum merasa begitu memejamkan mata maka dirinya akan cepat terlelap. “Julvri, apa kamu benar-benar akan membunuhku?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir tipisnya. Sosok lelaki yang hadir berada di sampingnya itu hanya bisa terdiam dengan mulut setengah terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Setelah beberapa saat lelaki itu melengos dan kembali menghadap arah depan sambil menggandeng tangan sang istri dengan kuat."Ada apa dengan Julvri?" batin Arum bertanya-tanya dalam kebingungan. Sebab tak pernah merasa bahwa Julvri akan bersikap begini karena ini adalah pertama kalinya. Rasa bimbang ataupun bingung, resah dan gelisah. Entah apa yang sebenarnya Julvri pikirkan. “Tidak menjawab itu artinya benar. Lalu kenapa nggak lakukan saja sekarang? Aku
“Lalu kamu akan melakukan apa setelah menemukan sesuatu di laptopku?” Bagai disambar petir di siang bolong, Arum tersentak kaget mendapat pertanyaan yang jelas adalah sebuah sindiran. Arum mengubah posisinya menjadi duduk, sekali lagi terkejut, ia menatap tajam pada Julvri seolah sedang berbalik menghakimi.Julvri lantas bangkit dan berkata, “Ayo katakan sesuatu. Jangan sampai aku dibuat penasaran.” Di lain sisi ia merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Spontan Arum menoleh ke arah pintu yang terdapat celah sedikit. “Julvri, pintunya tidak ditutup?” tanyanya sembari berusaha mengalihkan pembicaraan. “Ah, benar. Aku melupakannya,” ucap Julvri. Di celah pintu terbuka, Arum melihat sosok siluet familiar. Ia pun turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu dan membukanya.“Bibi Elli?” Rasanya tak pernah habis keterkejutan Arum dalam hidupnya. Ia dikagetkan oleh bibinya sendiri yang ternyata mengintip.“Ikut aku sebentar, rum.” Begitulah bibi memanggil, lalu Arum hanya mengi
Bibi Ella dan Elli adalah kembar seiras, yah, meskipun dari sifat mereka berbanding terbalik. Bibi Ella orang yang lembut sedangkan bibi Elli orangnya galak. Lalu sekarang bibi Elli berhadapan dengannya, dan entah kenapa seperti sedang marah. “Aku tidak berharap kamu mengerti ucapanku, Arum. Tapi kupikir sebaiknya ...,”“Bibi membicarakan apa?” Seolah tak ingin membahas sesuatu hal buruk itu, Arum kembali melanjutkan jahitannya yang belum selesai. Mulai dari pakaian hingga ke taplak meja, dengan sangat giat Arum mengerjakannya sepenuh hati hingga kembali sempurna seperti sedia kala. Sementara ia merasakan punggungnya dingin akibat tatapan tajam dari bibi Elli. “Aku belum selesai bicara,” katanya.Arum menelan ludah, bibir bawahnya sedikit tergigit. Setelah selesai menjahit, ia lantas menoleh ke belakang. Arum sangat terkejut akan tatapan yang dirasa semakin tajam dan menakutkan itu. “Iya, baiklah. Aku akan mendengarkannya tapi tentang apa? Bibi Elli selalu bicara setengah-setenga
Suasana di kampung halaman yang terasa lebih sejuk membuat Arum merasa rileks sejenak. Saat ini ia sedang membantu nenek menjahit pakaian yang sedikit rusak dengan cara manual. Nenek tampak sehat dengan kegesitan yang ia gunakan tuk menjahit. Sungguh hebat. “Arum, jujurlah pada nenekmu ini tentang satu hal.”Nenek memulai percakapan yang sejujurnya terdengar seolah Arum menyembunyikan sesuatu. Arum pun menghentikan gerakan tangannya terkejut. “Iya, nek. Kenapa?”“Ibumu sudah tiada dan aku ingin tahu bagaimana keadaan Ayahmu.” Rasa terkejut kembali bertambah, Arum sepenuhnya bungkam karena tak mengira bahwa nenek tidak mengetahui kabar tentang Ayahnya.“Ayahku ...,” Arum menggumam. Pikirannya mulai kalut dalam kebingungan, ia bimbang apakah perlu menceritakan yang sebenarnya atau tidak lantaran ibunya sendiri pun sengaja tidak memberitahukan hal tersebut. "Kenapa Ibu menyembunyikan hal ini? Kejadiannya sudah cukup lama. Apa aku perlu menceritakannya?" batin Arum yang memiliki bany
Arum mencercanya habis-habisan tanpa kenal takut, ia sudah tidak peduli bila suaminya akan marah karena hal ini sebab Arum pun merasa bahwa dirinya sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi. "Aku ingin merekam bagian ini tapi tak aku sangka aku kehabisan cara dan yang aku andalkan sekarang kata-kata meskipun tenggorokanku terasa kering sekarang," batin Arum. Rasa takut adalah hal wajar, ia berpikir sudah tak mungkin menyembunyikan kekesalannya lagi tapi di luar dugaan Julvri merespon seolah ini candaan. “Hahaha! Apa yang kamu bicarakan, Arum?” sahut Julvri yang juga tertawa bahak-bahak.“Sejak tadi kamu sepertinya berusaha membuatku marah ya? Tapi tidak masalah,” imbuhnya. “Kamu lah yang mempermainkan aku, membuatku marah dan jengkel karena terus memperlakukan aku seperti hewan ternak. Kalau kamu kesal seharusnya bunuh saja aku!” Senyum terukir semakin lebar di wajahnya yang tampan. Jemari yang besarnya dua kali lipat itu lantas kembali meraih dan membelai wajahnya dengan penuh
Dengan memanfaatkan paras tampannya, Julvri Vandam selalu mencari kesempatan untuk bermain dengan banyak wanita. Bohong kalau ia sungguhan mencintai mereka, sebab kenyatannya ia hanya mempermainkan para wanita saja. Ia bersenang-senang demi dirinya sendiri. Julvri adalah seorang lelaki tidak waras. “Hei, bagaimana kalau kita kencan besok?” Paras tampan, berduit dan memiliki hati yang baik. Itu semua terlihat di mata para wanita, ketika diajak kencan, siapa yang akan menolak? Tentu saja tidak akan ada kecuali orang buta.“B-boleh saja.” Wanita berambut pendek sebahu menjawab dengan gugup. Namun satu syarat mutlak bagi Julvri, ia memilih wanita yang sama sekali tidak berguna di kemasyarakatan. Julvri akan mengencani setiap wanita yang statusnya kadang tidak jelas, ada yang buron, setengah tidak waras, peminum dan masih banyak lagi. Rata-rata wanitanya tidak bisa dibilang wanita normal sehingga akan mudah bagi Julvri yang akan menghabisi mereka jika sudah bosan. “Julvri, hari ini kit
“Jangan kamu kira aku tidak tahu.”“Kenapa kamu berpikir begitu? Bisa saja bukan aku 'kan?” “Tapi kupikir begitu.”Semenjak perilaku Julvri yang sebenarnya terungkap jelas di depan mata, Arum dengannya selalu berdebat dan beradu kemampuan di samping ada rasa keinginan untuk melenyapkan. Kehidupan yang didambakan oleh Arum selama ini nyatanya takkan pernah terwujud karena orang yang sekarang berada di hadapannya. Apa yang Arum masukan ke dalam makanan Julvri adalah obat pencahar sementara Julvri memasukan obat pelemas otot sehingga dengan kondisi Arum saat ini akan cepat berefek, ia lemas dan sudah tak bertenaga lagi. “Taksi online pesanan kita sudah sampai. Ayo cepat pulang ke kampung halaman rumahmu, Arum.” Sambil tersenyum pria itu kembali menuntunnya masuk ke taksi online, Arum hanya bisa pasrah kala Julvri sepenuhnya mengendalikan dirinya seperti sekarang ini. “Ayo pak, jalan.”“Baik.” Perasaan mual kembali muncul setelah sekian lama, kehamilannya membuat keadaan Arum semaki