Cincin yang pernah digunakan Jean untuk melamar Arum tapi ditolak secara halus. Meskipun Arum saat itu tidak mengatakan apa-apa, Jean sudah tahu bahwa itu adalah tanda penolakan.
Dengan kuat ia mengenggam kotak merah miliknya sembari berpikir dalam batin, "Tidak mungkin. Dia tidak memiliki rasa apa-apa padaku jadi buat apa dipaksa?"
Jean memutuskan untuk menyerah, ia berpikir dirinya tidak akan pernah diterima oleh Arum. Lantas pria itu pun segera pergi dari perpustakaan lalu menemui Eka yang kebetulan sedang senggang dan sendirian sekarang.
“Hei, Eka!” serunya memanggil.
Eka menoleh ke samping, sedikit terkejut karena Jean yang datang.
“Memanggilku begitu, apa ada masalah?” duga Eka sembari menatapnya serius.
“Tidak. Aku hanya ingin memintamu berkencan dengan Arum.”
Seketika Eka terdi
Ruang kelas yang sepi menjadi saksi bisu akan kedekatan mereka, terlebih Julvri yang ternyata memiliki sikap agresif. Arum tidak mampu berkata apa-apa selain diam dan memandang paras tampan itu dari dekat. “Arum?” Julvri memanggil sembari menepuk kedua pundaknya pelan, Arum tersentak kaget dan membuyarkan lamunannya. “Eh, iya. Maafkan aku. Bisakah aku tahu namamu?” tanya Arum malu-malu, ia memalingkan wajah agar bisa menjaga kewarasannya.Mengulas senyum kecil nan manis, pria itu justru sengaja menggodanya, ia mengangkat dagu Arum dengan jari telunjuk dan secara otomatis pandangan Arum terpaku padanya.“Jika benar-benar ingin berbicara sesuatu, maka biasakanlah untuk tetap menatap lawan bicaramu,” tutur Julvri. Arum menganggukkan kepala, Julvri pun menurunkan jarinya. Sejenak Arum berpikir tentang kalimat apa yang akan ia sampaikan tapi tetap saja ini sulit diputuskan. “Banyak orang yang suka padamu, tapi aku tidak pernah mendengar kamu berpacaran. Bisakah aku memastikan namamu it
Kelas mereka sudah selesai pada hari ini, Julvri pun kembali bertemu dengan sosok wanita yang telah mengungkapkan perasaannya sewaktu ruang kelas kosong melompong. “Maaf menunggu lama,” ucap Arum. Raut wajahnya tidak terlihat tenang, tergesa-gesa seolah diburu oleh waktu. “Tidak masalah.” Mereka belum memutuskan untuk pulang, hanya saja mereka berencana untuk berjalan-jalan sebentar di area luar dari gedung universitas. “Aku sebenarnya sangat bingung dan ragu tentang perasaanku. Julvri sendiri bagaimana? Kenapa saat itu menerimaku dan sekarang mengajakku berjalan-jalan?”Pertanyaan Arum terbilang cukup banyak lantaran keraguan akan perasannya sendiri sudah cukup mengagetkan Julvri yang saat itu sedang berjalan dengan tenang tanpa memikirkan apa pun lagi. Berkat pertanyaannya itu, Julvri kembali fokus. Ia menjawab sembari menolehkan kepalanya ke kiri, “Ragu atau tidak seharusnya kamu mulai merasakannya, Arum.”“Apa?”“Semua orang yang sedang jatuh cinta akan merasakan debaran jant
Pagi terasa begitu luar biasa setiap detiknya, belaian, bisikan dan wajah yang kerap kali ia sentuh membuat Arum semakin larut dalam permainannya. “Sudah aku putuskan,” kata Julvri. “Putuskan apa?”“Hei kalian berdua!” seru mereka berempat secara bersamaan, kedua sejoli yang asik bermesraan diam-diam itu lantas terkejut dan menoleh pada teman-temannya.“Lia, ini ... aku, sebenarnya—”“Iya, iya. Kami sudah sangat paham. Di saat kami bernyanyi bergantian, ternyata kalian malah bermesraan.”“Maaf jika menganggu,” ucap Julvri. Arum kembali duduk dengan wajah tertunduk dan tersipu malu. Julvri dan lainnya hanya bisa tersenyum sebab merasa ekspresinya itu lucu. Arum yang tidak tahu alasan mereka tertawa pun semakin tidak ingin menghadap mereka.“Jadi bagaimana? Apa kalian merasa cocok satu sama lain? Kalau begitu sekarang pacaran, nih?” tanya Lia beruntun. Pertanyaan itu seperti interogasi saja, sedikitn
Di tengah malam yang sepi itu, Arum menikmatinya dengan pelan. Setiap ujung bibir yang basah terasa melekat padanya hingga ia terbangun. Julvri membuka kedua matanya tapi tidak terlihat terkejut justru melanjutkan apa yang mereka lakukan saat ini. Dalam ketenangan, Julvri meraih pinggul dan mendekatkan tubuh mungil itu pada dirinya sendiri. Dekapannya yang hangat dan jari-jemari yang besar meraba bagian pinggul hingga ke atas. Sesekali mereka menarik diri tuk bernapas, keduanya saling bertukar tatap penuh tanda tanya.“Bangun-bangun sudah melakukan ini ... siapa yang mengajarimu?” Julvri menyindir. “Eh, bukankah itu kamu?” balas Arum sambil tersenyum. Pundak yang Arum sentuh juga besar, tangan mungilnya tidak sebanding bahkan sudah tak mungkin untuk melawan dirinya. Awal ia sangat ketakutan setengah mati karena ramalan kematiannya tapi sekarang dirinya sudah berpasrah diri. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Julvri sembari mengecup leherny
Kejadian saat di pantai hari itu, sudah cukup membuat hati Arum gelisah. Kekecewaan yang mendalam entah pada seseorang atau bahkan pada diri sendiri. Lalu kejadian buruk kembali terjadi, kali ini menimpa ibunya sendiri.“Aku berpikir dengan kepergianku, semua akan tenang tapi nyatanya malah ibu yang meninggalkanku.”Rasa sedih di hati yang amat mendalam, anehnya tak setetes air mata pun mengalir. Ekspresinya mungkin terlihat panik dan sedih tapi hanya itu saja.Lantas ia menjatuhkan kedua kakinya, lutut menghantam lantai. Terasa sedikit sakit. Perlahan jari-jemari Arum membelai wajah hingga rambutnya. Wajah pucat itu sudah tidak lagi bisa membuka mata apalagi tersenyum seperti biasa.“Tolong bersabarlah,” ucap salah satu tetangga seraya menepuk pundak Arum dari belakang.“Kami semua turut berduka atas kejadian ini, Arum.” Disusul ol
Wanita manapun mana mungkin selamanya mencintai seorang pembunuh, jika dipikir-pikir perkataan Julvri tidak salah justru itu masuk akal. Arum yang merupakan seorang wanita, bisa saja menuntut tindakan Julvri yang kejam dan dapat berpisah darinya. Namun ia tidak melakukannya.“Mustahil aku bisa melarikan diri darimu. Bayangkan saja, suamiku seorang pembunuh, orang yang aku cintai ternyata orang seperti ini. Di lain sisi aku merasa bisa menerima semuanya karena niat burukku dulu padamu.”“Karma?”“Entahlah, bisa saja begitu.”Takdir tidak bisa dibaca hanya mengandalkan garis tangan, bintang-bintang di langit berputar sesuai rotasi begitu pula bumi dan bulan. Adapun Arum merasa ia sudah tidak mungkin melarikan diri dan memilih untuk menerimanya selagi orang lain tidak dirugikan."Hanya aku yang tersisa. Dia takkan bisa menyentuh ibuku karena
Perawat datang untuk mengganti perbannya yang baru. Malam berlalu cukup cepat, fajar pun menyingsing. Seolah tirai besar terbuka lebar, menunjukkan betapa indahnya matahari terbit. Kedua mata Arum kembali terbuka, mendapati beberapa orang yang ada di sekitarnya.“Julvri, Ibu dan Ayah mertua,” sebut Arum satu persatu. Mereka berwajah cemas padahal kondisi Arum terbilang sudah membaik, lukanya sembuh dengan cepat. Beberapa hari lagi mungkin ia diperbolehkan untuk pulang. Arum mengubah posisinya menjadi duduk, sekali lagi ia memperhatikan tiga orang di sekitar satu persatu. Pertanyaan terbesit dalam benaknya tapi tak mampu terucap. “Arum, bagaimana keadaanmu? Apa masih ada yang sakit? Atau ada yang ingin kamu makan?” tanya ibu mertua dengan beruntun, wajahnya terlihat khawatir bukan main.Ayah mertua juga menunjukkan wajah yang sama lantas bertanya, “Berbaringlah saja, Arum. Baru sehari ini kamu dirawat, Julvri suamimu juga pasti cemas.”
Di suatu tempat lain, rumah Ayah dan Ibu Julvri.“Bagaimana keadaan anak itu? Apa Julvri sudah menghubungi?”“Tidak. Belum. Dia masih belum menghubungi kita. Sudah tenanglah, aku yakin dia baik-baik saja.”“Ya. Aku harap begitu.”Bagi orang tua Julvri Vandam, memiliki seorang cucu adalah harapan terbesar mereka. Selain mereka merasa sangat khawatir pada Arum yang tengah mengandung serta sedang terluka di bagian perut dekat dengan ginjal. Rasa bersyukur sedalam-dalamnya terucap di bibir mereka sepanjang waktu ketika tahu janin Arum masih terbilang sehat setelah Arum terluka hari itu.“Aku masih tidak menyangka. Fisik menantu kita ternyata kuat sekali, ya.”“Kita tidak pilih salah menantu atau mungkin ini takdirnya, anak yang ada di dalam kandungan masih hidup setelah sempat dinyatakan tidak ada detak