Terjadi dalam satu malam, Julvri dapat mengendalikan perasaan Arum yang terkekang. Hanya satu patah kata ia dibuat tunduk tak berkutik, Arum sepenuhnya terperangkap dalam jaring laba-laba sama seperti seekor kupu-kupu.
Rembulan malam menampakkan dirinya di balik awan berkabut. Cuaca dingin menyeruak, tubuh Arum semakin bergidik terlebih setelah dibisiki olehnya.
“Mari kita pulang,” ucap Julvri sembari menarik tubuhnya berdiri.
Arum hanya bisa menurut dan masuk ke dalam mobil. Sekarang tidak lagi bernafsu untuk makan malam, bayangkan saja setelah melihat semua kejadian itu, bagaimana mungkin Arum bisa tahan? Bahkan sekarang saja Arum sedang menahan mual.
“Aku ingin duduk di belakang saja.”
Klap!
Pintu mobil tertutup, pendengaran Arum memudar begitu pula dengan penghilatannya. Sesaat ia berkedip lalu menundukkan kepala.
Sosok wanita berparas cantik terlihat bersenandung lagu dengan raut wajah bahagia seraya menjemur beberapa pakaian miliknya. Ibu dari wanita itu melihatnya dengan cemas seolah akan terjadi sesuatu pada satu-satunya putri kesayangan itu.“Nak, bukankah kamu terlalu terburu-buru untuk menikah?” pikirnya dengan kening mengerut, menatap punggung wanita itu.“Ibu, aku sudah bilang bahwa aku benar-benar jatuh cinta padanya. Jadi apa salahnya kalau aku menikah dengannya entah cepat atau lambat.”Sayang putrinya itu menanggapi biasa saja seolah pernikahan adalah hal lumrah yang terjadi namun apa yang dikhawatirkan oleh Ibu sungguh berbeda dengan perkiraannya.“Arum. Tidak peduli seberapa besar dia mencintaimu, ataukah dia kaya, penyayang dan lain sejenisnya secara positif. Tetaplah berhati-hati karena tidak semua pria akan selamanya bersikap baik.”
Tipikal Julvri, siapa yang lebih penting siapa akan diprioritaskan dan seseorang yang bukan siapa-siapa hanyalah sampah di matanya. Arum adalah satu-satunya bagi Julvri, bagai sebuah harta gemilang di bawah sinar mentari maupun rembulan, sosok cahaya yang selalu menyorot ke arahnya. Tak tergantikan.“Aku akan melakukan itu bila diperlukan,” ucap Julvri sembari meraih kedua pergelangan tangan Arum. Mereka berdua terjerembab ke kursi sofa dengan Julvri yang berada di atas dan menguasai dirinya.Arum menggigit bibir bawahnya lagi dengan mengepalkan kedua tangan yang saat ini digenggam erat oleh suami. Dirinya sendiri tidak pernah menyangka akan berhadapan dengan sosok Julvri yang berbeda jauh ini.Seringai kecil dengan sorot mata yang tajam dan dingin terasa begitu mengerikan hingga Arum bergetar menahan rada takut. Tak bisa ia mengatakan sepatah kata bahkan melawan kekuatan fisik seorang pria
Sebuah perasaan yang membuat jantung berdebar-debar, seringkali orang menyebutnya sebagai cinta. Tetapi apa yang membuat Arum jatuh cinta dalam kunkungan suaminya sendiri? Protektif, posesif, dan cemburuan. Sifat-sifat jelek Julvri yang awalnya terlihat biasa saja namun tidak untuk sekarang. Arum mendekap tubuhnya sendiri sembari duduk di dalam kamar dengan pintu tertutup rapat. Matanya melotot tajam tak menentu ke arah mana yang sedang ditatap, Arum pun membekap mulutnya sendiri seolah sedang menahan agar tak satupun kata terucap. "Ini kesempatanku untuk pergi tapi kakiku terasa lemas," batin Arum. Ketakutan yang menjalar hingga ke sumsum tulang, bergidik seolah kedinginan, sekujur tubuh Arum seolah terperangkap di hunian pada saat itu. Selang beberapa detik kemudian, ia kembali bangkit dengan susah payah. “Saat ini Julvri pasti sedang berada di dalam kamar mandi.”
Dering ponsel yang terus bergetar saat Jean berusaha menghubunginya kerap kali gagal dilakukan. Terhitung hingga sepuluh kali atau lebih panggilan itu tidak pernah dijawab oleh Arum. Desahan napas lelah mengurungkan niat Jean untuk tetap menunggu di dalam mobil yang sekarang terparkir di depan sebuah klub.“Arum, sebenarnya kamu berada di mana? Sudah pulang atau sesuatu terjadi padamu?”Jean meletakkan ponsel itu, sejenak ia menghela napas lagi sembari menyandarkan sedikit kepalanya ke stir mobil. Perasaannya sedikit kacau lantaran teman yang tadi menghubungi tiba-tiba hilang kontak lagi, tidak ada kabar setelah satu jam lama menunggu begitu pula dengan keberadaannya di tempat ini.“Katanya dia ada di tempat ini, dia bilang akan menunggu di depan tapi sekarang sudah tidak ada. Apa perlu aku masuk?” pikir Jean.Kecemasan yang ada pada diri Jean tidak pernah hi
Hujan lebat menyapu jalanan, tak banyak orang berpergian hari ini kecuali mereka para pekerja luar. Hawa dingin menusuk punggung, cuaca yang telah berubah ini membuat situasi canggung berlangsung lama. Setelah Arum keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa juga karena marah, Julvri mendapat telepon dari seseorang.“Ada apa?” tanya Julvri, yang menjawab panggilan dari sekretarisnya.Sekretaris laki-laki yang sekarang berada di kantor, tampak sedang kesal seraya menatap tajam ke arah kursi di mana atasannya seharusnya sudah duduk di sana.["Pak, bukankah Anda sudah berjanji akan datang setiap hari? Ingat bagaimana kejadian buruk berlangsung, meski baru sehari rumor sudah ditekan tapi kita tidak boleh lengah."]“Hah ... iya. Aku mengerti. Sangat mengerti akan kecemasanmu itu.” Julvri menghela napas bosan.Sesekali ia mengacak-acak rambutnya a
Sekecil apa pun harapan itu maka Arum takkan ragu menerimanya namun jika menoleh ke belakang dan mengingat akan resiko besar menanti maka seketika pikiran buruknya muncul dan emosi pun jadi sulit dikendalikan.“Tidak .... aku tidak mau mati! Aku takut ...,” Harapan langsung lenyap sekejap, dunia menjadi kelabu dan perlahan kehilangan cahayanya. Sinar mata yang redup mengungkapkan keputusasaan terdalam. Sosok lelaki yang berada di hadapannya seolah hilang entah kemana padahal sudah jelas ada di depan mata hanya saja Arum tidak bisa melihatnya.“Aku akan mati. Aku pasti akan mati kalau keluar dari rumah ini, Julvri akan langsung tahu,” ujar Arum sembari memeluk tubuhnya sendiri yang bergetar. Takut, cemas dan panik. Semua hal itu dirasakannya hanya karena satu kalimat Julvri yang terlintas dalam benak. Seolah-olah perkataannya adalah mutlak dan tidak terbantahkan. Melawannya saja sungguh mustahil.“Tenang, Arum!” Jean berusaha menenangkan. “Dia menyelipkan suatu benda yang membuatn
Umpan yang diberikan terpancing, Julvri mengira bahwa detektif yang datang adalah Jean namun kenyatannya bukan. Detektif Arya yang datang tuk membicarakan tentang tuduhan itu beserta dengan kasus Eka. Samar-samar Jean merasakan sebentar lagi akan mencapai ke jalan yang sesungguhnya. Di mana ia akan bisa mendapatkan bukti konkrit terkait pembunuhan itu. Walau hanya dugaan belaka namun dengan adanya Arum maka itu akan memperkuat dugaan tersebut.Di malam, melewati perbatasan kota pusat dan saat ini berada di kota lain. Jalan raya masih sangat ramai hingga saat ini, setelah beberapa lama Jean menunggu seraya memainkan jari di stir mobil, akhirnya kendaraan di depan sudah mulai bergerak.“Aku ingin bertanya karena kamu tidak mengatakan apa-apa sejak tadi. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu sampai disekap meski di dalam rumah sendiri?” tanya Jean.Tidak mendengar jawaban darinya, Jean lantas berpikir mungkin karena Arum masih enggan untuk bercerita. “Begitu ya. Ya sudah kalau kamu
Masalah hati tidak ada yang tahu. Terkadang merasa lega namun juga menyakitkan, perasaan yang seringkali berubah-ubah dan mustahil dikendalikan itu membuat Arum frustasi hingga tidak dapat tertidur kembali. Semalaman bergadang, waktunya dihabiskan hanya untuk memandang langit malam saja.Hingga fajar menyingsing, matahari telah terbit dari arah timur, langit mulai cerah dan para burung mulai beraktivitas begitu pula dengan manusia di sana. Dengan pakaian yang masih sama, Arum keluar dari kamar dan secara kebetulan Jean berada di depan.“Oh.”“Baru saja aku ingin mengetuk pintu,” ucap Jean lantas tersenyum. “Kita ke tempat kenalanku sebentar ya, bagaimana?” imbuhnya mengajak.Arum menganggukkan kepala. Perasaan bersalah masih melekat karena ia terlalu merepotkan bagi Jean, meski Jean berkata tidak tapi Arum tidak merasa begitu.