Arum Kusuma Pramesti, wanita muda yang menikah di usia dia puluhan. Wanita berambut hitam panjang dengan paras asia terbilang cantik. Hanya saja minus dari Arum adalah sikapnya yang kadang sombong. Tidak hanya itu sebenarnya ia orang yang sangat mencurigai sesuatu bila ada hal terasa janggal bahkan jika itu hanya perasaannya sendiri. Sama halnya seperti saat itu, berhadapan dengan Julvri bukanlah perkara mudah. Tapi setiap tindak-tanduknya mengingatkan akan peringatan nenek dukun yang dulu pernah berbicara dengannya.Hal itu tidak ada bedanya dengan kejadian yang pernah terjadi di dalam rumah Arum, sewaktu kecil dulu. Hidup sekeluarga dengan tentram pun takkan cukup kalau ternyata mereka menyembunyikan sebuah fakta. “Ibu, Ayah, semoga kedua orang tuaku bisa kembali akur dan saling berbicara lagi.” Anak perempuan berusia 5 tahun itu berdoa pada Yang Maha Kuasa agar pertengkaran kedua orang tuanya berhenti lebih cepat dan keadaan pun kembali seperti semula. Anak itu masih lah sangat
Begitu membuka kedua mata yang terasa berat, terlihat sosok pria maskulin yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Julvri menyambut paginya dengan damai serta tersenyum lembut. Hati sempat merasa gundah dan gelisah sebelumnya pun hilang dalam sekejap mata. Akan tetapi, ada kalanya mimpi buruk tidak pernah terlupakan. Sejujurnya Arum masih takut. “Tidurmu nyenyak?” tanya Julvri sembari membawakan semangkok berisi suatu makanan. Arum hanya menggelengkan kepala dan terlihat ingin menangis. Julvri lantas duduk di kursi dekatnya, sembari menepuk-nepuk ujung kepalanya agar Arum sedikit lebih tenang. “Bukankah kamu seharusnya bekerja?” “Tadinya begitu. Tapi karena kamu sedang sakit, jadi aku harus merawatmu,” jawab Julvri. “Biasanya orang-orang akan memanggil dokter atau pergi ke dokter, yang merawat pasien di rumah pun pasti hanya pembantu.” “Bicara apa kamu ini? Kita ini 'kan sepasang suami istri jadi sudah sewajarnya kita saling merawat satu sama lain,” tutur Julvri. Detak jantung t
Hari sudah berganti lebih cepat, awan bergumul padat di siang hari menandakan sebentar lagi akan ada perubahan cuaca. Di kediaman Vandam yang sepi, bertingkat dua dengan halaman luas di bagian depan dan belakang, rumah itu cukup mewah untuk ditinggali segelintir orang namun saat ini tak terlihat satupun anggota keluarga lainnya selain Arum sendiri. Ayah, Ibu mertua tidak ada. Begitu juga dengan Julvri, suaminya. Kecuali bibi yang merupakan pembantu di sini, ia masih menyibukkan diri dengan sisa pekerjaan rumah yang ada. Sinar mentari menyorot masuk melewati jendela, Arum yang merasa silau dan gerah itu lantas terbangun dengan lemah. "Ya ampun, aku tertidur sampai siang besoknya ya?" batin Arum.Ponsel di atas nakas bergetar, Arum segera mengambil dan mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa yang sedang menghubungi."Halo?"["ARGHHHH!"]Bukannya mendapat balasan salam sapa, ia justru dikejutkan dengan suara teriakan. Arum menarik ponsel itu dari daun telinga, melihat tidak ada na
Pandangan yang memburam dan gelap, sekujur tubuh yang terus bergetar. Rasa sakit ini tiba-tiba saja muncul tak terduga, terlebih suaranya menghilang seolah tak menginginkan Arum untuk meminta tolong. “Arum!” Suara seseorang memanggilnya, membuat ia terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Arum membuka kedua mata secara perlahan dan mendapati langit-langit berwarna putih serta aroma karbol pun tercium. “Ibu?” “Syukurlah!” Ibu kandung Arum menangis ketika mendapati putrinya akhirnya mulai bangun. Ia lantas memeluknya erat, membagi kehangatan yang dimiliki. Terasa nyaman berkat kehangatan Ibu namun di satu sisi juga terasa sesak karena dekapannya terlalu kuat. “I-Ibu ...,” Arum jelas kesakitan, sampai bicara saja sulit. “Ah, maafkan Ibu!” Segera Ibu sadar dan melepaskan pelukannya lalu membaringkan Arum kembali ke ranjang agar dapat beristirahat. “Sebenarnya apa yang kamu lakukan hah?! Kenapa bisa jatuh?!” Dalam sekejap rasa haru berubah menjadi amarah. Arum seketika terdiam dengan m
Lelaki yang biasanya rapi itu, kini terlihat sangat berantakan. Begitu datang ia langsung memeluk Arum dengan rasa cemas berlebihan. Terlihat wajahnya bagai benang kusut, Arum sendiri tidak akan mengira akan terjadi seperti ini padanya dan sang suami memperlihatkan kecemasan itu padanya langsung.“Aku benar-benar takut saat bibi bilang padaku bahwa kamu dibawa ke rumah sakit. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Arum?” tanya Julvri. “Julvri, sebenarnya aku—”“Hei, Arum sedang sakit! Tidak lihat kaki dan kepalanya itu? Jangan dipeluk-peluk begitu atau nanti dia malah tambah kesakitan!” pekik Ibu Arum yang merasa jengkel pada Julvri. Saat dipeluk erat begini oleh suaminya, Arum mencium aroma parfum yang sangat menyengat. Tidak biasanya Julvri mengenakan parfum dengan bau yang cukup menyengat ini tapi Arum yang memiliki penciuman tajam, merasa ada bau lain tersembunyi di balik bau parfumnya."Bau apa ini ya? Aku merasa ada sesuatu jika Julvri menggunakan parfum yang menyengat. Apakah te
Rumah yang didambakan oleh mereka berdua akhirnya terwujud, sebab alasan tertentu Julvri baru bisa memberikannya sebuah rumah. Tidak terlihat cukup mewah, sederhana namun elegan. Rumah ini terlihat membaur dengan rumah-rumah yang ada di sekitar. “Maaf tentang rumah ini baru kesampaian.”“Tidak apa. Lagi pula banyak kesibukan yang kamu lakukan semenjak perilisan game pertama. Itu sangat booming 'kan? Apalagi di kalangan anak muda,” tutur Arum sembari tersenyum.“Iya benar.”Tetapi, jujur saja Arum tidak akan menyangka mereka akan pindah ke rumah baru secepat ini.Kriet ...Dibukanya lah perlahan dia pintu pintu ke dalam, terpampang sebuah foto pernikahan mereka yang indah dan cantik di hadapan. Lalu beberapa foto mesra mereka yang berada di atas meja coklat. Kemudian terdapat ruangan keluarga di sebelah kiri, dan ruang tamu di sebelah kanan. “Caramu menata boleh juga.”“Sebagian memang aku yang melakukannya tapi ada beberapa yang dibantu sih.”Julvri menurunkan Arum di kursi sofa pan
Julvri dikenal sebagai pria ramah dan murah senyum kepada setiap orang. Begitulah yang dikenal oleh Arum, entah sebagai teman atau sebagai istrinya sendiri. Tetapi perlahan-lahan sosoknya yang telah lama dikenal mengabur atau lenyap karena beberapa hal. Termasuk saat ini, Julvri menatapnya tajam dan dingin. Sesaat tatapan matanya terlihat kosong namun dapat melihat jauh ke dalam lubuk hati Arum saat ini. Keduanya saling bertukar tatap dalam waktu yang cukup lama dengan Arum yang diam terpaku tak berdaya. "Lagi-lagi ekspresinya ...," batin Arum bergidik merinding.Sekujur tubuh yang seolah ditekan hingga hancur berkeping-keping. Arum yang memegang lehernya sendiri, seolah lehernya akan hancur di tangan pria yang ada di hadapannya. Bayangan kematian mulai terbayang-bayang di benaknya. “Ma-maaf.” Lalu satu patah kata dengan terbata-bata pun terucap di mulut Arum. Pita suaranya membuat tenggorokan yang dipegang bergetar, mata wanita itu pun tidak lagi berani menatap mata suaminya sendi
Sosok pria yang bermulut manis dengan parasnya yang tampan bak seorang pangeran di suatu kerajaan, tersenyum senang. Sudut bibir sedikit terangkat, tidak menunjukan satu buah gigi pun. Tetapi apa yang dipantulkan oleh kaca jendela di sampingnya sungguh berbanding terbalik. "Aku tidak berniat mencurigai apa pun mengenai suamiku sendiri. Tapi kenapa setiap kali aku menatap matanya mulai dari hari itu, aku merasa seolah hidupku juga tidak akan lama lagi?" Arum bertanya-tanya dalam batin yang terus bergejolak. Sangatlah gelisah wanita muda itu, tapi ia terus menatap Julvri seolah ingin mengabaikan semuanya. “Julvri,” panggil Arum dengan suaranya yang lirih.Julvri segera beranjak dari sana sesaat setelah mendengar panggilannya. “Kenapa kamu selalu mengatakan hal-hal yang ambigu?”Arum bertanya.“Apa yang menurutmu ambigu, Arum? Aku rasa semua yang aku katakan itu masuk akal,” pikirnya.“Aku tahu betul, setiap manusia pasti akan mati tapi kau mengatakan, "Selamanya hingga ajal menanti",