“Kak Audy sibuk, ya?” tanya salah satu anak dengan polos. Audy tersenyum pahit. “Iya, kakak sedang banyak urusan. Tapi jangan khawatir, kakak akan segera kembali seperti dulu dan akan sering menemani kalian lagi.” Rey melihat momen ini dengan hati yang tersentuh. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Audy berbicara dengan anak-anak ini. Keikhlasannya, kepeduliannya, begitu jelas terlihat. “Audy,” panggil Rey dengan lembut. “Apa yang kamu lakukan di sini luar biasa. Kau benar-benar menginspirasi.” Audy menatap Rey, sedikit terkejut dengan pujian tersebut. “Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan, Kak. Anak-anak ini sudah seperti keluargaku. Mereka pernah merasakan kerasnya hidup di jalanan, jadi aku ingin membantu mereka sebisaku.” Rey mengangguk, semakin kagum dengan Audy. “Aku akan membantumu. Kalau ada yang perlu, katakan saja. Apa yang kamu lakukan di sini adalah hal besar, dan aku ingin mendukungmu.” Audy tersenyum kecil. “Terima kasih, Kak Rey. Bantuan kakak tentu akan
Pagi yang cerah tak banyak memberikan ketenangan bagi Yusuf dan Syifa. Meskipun mereka berencana untuk liburan demi melepas stres, kenyataannya masalah di sekitar mereka tak mudah hilang. Baru saja mereka keluar dari gerbang rumah, tatapan sinis dari tetangga Syifa, Bu Nita, segera menyapa mereka, seakan menyindir kehidupan mereka yang penuh drama."Akhirnya resmi cerai juga ya, sama istri pertamanya?" ucap Bu Nita dengan nada penuh sindiran.Syifa, yang awalnya tersenyum, segera menjawab dengan senyum terpaksa, "Alhamdulillah, Bu. Besok kemungkinan akta cerainya keluar."Bu Nita tersenyum sinis. "Wah, kau terlihat bangga dan bahagia, Syifa. Hebat, pelakor tersukses tahun ini!" Kalimat itu seperti belati tajam yang menusuk langsung ke hati Syifa.Senyum di wajah Syifa langsung lenyap seketika. Perasaannya campur aduk antara marah, malu, dan frustasi. Belum sempat Syifa membalas, Bu Nita melanjutkan."Aku ikut bahagia untuk perceraian itu. Sayang sekali kalau wanita secantik istri pert
Untuk sementara, Rey memilih menyembunyikan keputusan besarnya dari orang-orang terdekatnya. Hanya anggota keluarganya yang tahu bahwa kini ia telah menjadi seorang muallaf. Bahkan, asistennya pun tidak menyadari perubahan besar dalam hidup tuannya.Waktu seolah berjalan sangat cepat. Hari ini, Audy datang untuk mengambil akta perceraiannya dengan Yusuf, yang juga hadir bersama Syifa. Ketika mereka bertemu, suasana terasa tegang. Tatapan mereka saling bersitatap, menyoroti emosi yang terpendam."Selamat, aku ucapkan selamat untuk perceraian kita, Mas," ucap Audy dengan senyum tipis, mengarahkan pandangannya pada Yusuf dan Syifa. "Dengan begini, kau dan Syifa bisa menikah secara hukum, bukan sebagai pasangan siri lagi."Syifa menanggapi dengan nada skeptis. "Aku tidak tahu, apakah ucapan selamat itu tulus atau sekadar ejekan, Audy. Terlihat jelas kau ingin uang itu segera dikembalikan, bukan?" ujarnya, tatapannya tajam menembus mata Audy.Audy menghela napas, berusaha tetap tenang. "As
Syifa berjalan dengan langkah cepat menuju kamarnya. Di kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk, terutama tentang kebohongan yang tadi dia katakan pada Yusuf. Begitu tangannya menyentuh gagang pintu, perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia ingat dengan jelas bahwa dia pernah mengatakan tidak memiliki tabungan sama sekali. Tapi, barusan ia dengan mudah mentransfer 20 juta untuk melunasi utang ibunya. Hatinya berdebar kencang, ia tahu Yusuf pasti akan mempertanyakan itu.Saat pintu kamar terbuka, Syifa menelan ludah. "Bagaimana kalau Mas Yusuf tidak percaya dengan alasanku? Bagaimana kalau dia menyadari kebohonganku?" pikirnya dengan cemas.Dia melihat Yusuf duduk di tepi ranjang dengan wajah penuh tanda tanya. Suasana kamar yang biasanya terasa nyaman kini penuh dengan ketegangan."Ada apa, Mas? Kenapa tadi Mas malah meninggalkan kami begitu saja?" Syifa mencoba memulai percakapan sambil meletakkan tas kecilnya di meja.Yusuf langsung berdiri, tubuhnya tegang. "Kau bilang tidak punya tabun
Waktu berlalu dengan cepat, dan Andre serta Rey telah berteman cukup lama. Andre bisa merasakan ada perubahan yang jelas pada diri Reyhan sejak terakhir kali mereka bertemu.“Hei, lama tak bertemu. Kau baik-baik saja, kan?” tanya Andre ketika ia berkunjung ke perusahaan Reyhan.“Hei juga, Dre. Ah, nggak, hanya sedikit sibuk. Bagaimana kabar di rumah?” tanya Rey sambil tersenyum tipis.“Baik, semua lancar. Aku dengar kau melanjutkan pembangunan Danau itu, benar? Kenapa, Rey?” Andre menatapnya penuh rasa ingin tahu.Rey tersenyum, lalu menjawab, “Hanya ingin menyelesaikan apa yang seharusnya kuselesaikan dari dulu. Selain itu, aku melihat banyak orang menggantungkan hidup mereka di sana, seperti pedagang kaki lima. Aku merasa bertanggung jawab.”Rey mengangkat telepon di mejanya dan memberi instruksi kepada asistennya, “Bawakan dua cangkir kopi hitam, satu jangan terlalu manis.”Andre memandang Rey sesaat, lalu berkata dengan nada sedikit menggoda, “Kau tidak ingin menanyakan soal Audy?
"Assalamu'alaikum, Audy..." ucap seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan kerja Audy dengan senyum lebar."Wa'alaikumsalam, Shireen..." jawab Audy, terlihat terkejut dengan kedatangan sahabat lamanya yang sudah sekian lama tak bertemu."Hai, bagaimana kabarmu? Selamat ya atas perceraiannya!" ucap Shireen sambil memeluk erat tubuh Audy."Alhamdulillah, aku sangat sehat. Tapi kau ke mana saja selama ini? Sudah lama sekali tidak bertemu," tanya Audy penasaran sambil melepas pelukan.Shireen tersenyum. "Ah, biasa... Kau tahu sendiri, kan, anak papa dan mama cuma aku satu-satunya. Jadi, mau tak mau, aku harus siap jadi kaki tangan mereka mengurus bisnis keluarga," jawabnya, sedikit berkelakar.Audy mengangguk, memahami betul posisi Shireen yang selalu disibukkan dengan tanggung jawab besar di keluarga. "Aku bisa membayangkan betapa sibuknya. Tapi tetap saja, aku tak menyangka kau bisa langsung datang ke sini tanpa kabar terlebih dahulu," ujar Audy sambil tertawa kecil."Aku memang se
Pembangunan di sekitar danau kini mulai menunjukkan hasil yang nyata. Area yang sebelumnya terbengkalai perlahan berubah menjadi ruang publik yang ramai dikunjungi warga. Tempat penjual kaki lima yang dulunya berjualan tanpa tempat teduh kini mendapatkan area baru yang dilengkapi atap untuk melindungi mereka dari hujan dan terik matahari. Banyak warga yang bersyukur pembangunan ini kembali dilanjutkan setelah tertunda sekian lama.Namun, yang paling mengejutkan adalah Reyhan, yang kini diam-diam memberikan bantuan untuk anak-anak asuhan Audy. Audy, yang sibuk dengan pekerjaannya, baru mengetahui ini ketika ia berkunjung ke panti asuhan.“Assalamu’alaikum, anak-anak,” sapa Audy ketika ia memasuki panti asuhan yang tampak cerah dan hangat.“Wa’alaikum salam, Kak Audy!” serempak anak-anak menjawab dengan ceria. Salah satu anak kemudian berkata, “Kak Reyhan baru saja pergi, Kak.”Audy tertegun, mendengar nama itu disebut. “Kak Reyhan? Reyhan sering ke sini?” tanyanya heran.“Iya, Kak. Kak
Melihat Yusuf sudah berlalu dengan langkah cepat, Syifa mengejar Yusuf. "Mas, kita masih harus bicara, Mas. Kau selalu begini jika bicara denganku. Apakah tidak bisa kau bersikap tidak egois? " ucap Syifa membuat langkah Yusuf berhenti. "Kau bilang aku egois? Apakah kau tidak salah? " Tanya Yusuf yang masih berusaha menahan emosinya. "Kau yang egois, Syifa. Kau sangat egois, " Syifa mendengus dengan nada sinis. "Kau yang egois, Mas. Kau nggak pernah benar-benar memikirkan perasaanku. Kau tahu aku terbiasa hidup dengan kemewahan, tapi kau malah menyuruhku untuk berhemat. Seharusnya kau bekerja lebih keras, cari pekerjaan yang lebih baik!"Yusuf menatap Syifa dengan mata penuh kekecewaan. "Aku bekerja setiap hari untukmu, untuk kita. Tapi sepertinya tidak ada yang cukup bagimu. Aku lelah, Syifa. Aku benar-benar lelah."Syifa hanya menatapnya dengan wajah keras. "Kalau begitu, biarkan aku yang urus semuanya. Cari jalan lain kalau kau tak mampu, atau... mungkin memang waktunya kita pik
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Setelah perjalanan panjang dan penuh lika-liku, Audy berdiri di balik tirai kamar pengantin, mengenakan gaun putih yang sederhana namun begitu elegan. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, memantulkan kilau lembut dari gaun yang ia kenakan. Rambutnya yang tertutup hijab dengan sanggul rapi, dengan hiasan bunga melati yang memberikan aroma manis. Ia memandang cermin di depannya, menatap sosoknya yang hari ini akan menjadi seorang istri—istri dari Reyhan, pria yang telah berhasil menyembuhkan hatinya dan memberikan makna baru dalam hidupnya.Di ruangan yang berbeda, Reyhan berdiri tegap mengenakan jas hitam yang dipadukan dengan sarung sutra. Di sekelilingnya, beberapa kerabat dan teman dekat menemaninya, menunggu momen sakral yang sebentar lagi akan tiba. Wajahnya tampak tenang, namun matanya menyiratkan kebahagiaan yang luar biasa. Hari ini, ia akan mengucapkan ijab qobul, dan dengan itu, ia akan memulai babak baru bersama wanita yang ia cint
Audy melangkah mundur, menahan keinginannya untuk segera pergi dari ruangan itu. Kata-kata Yusuf membuatnya terhenti."Apakah kau melakukan semua ini untuk menghindariku?" tanya Yusuf, tatapannya penuh tanya dan rasa penasaran yang tampak jelas.Audy menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab. Kata-kata Yusuf membuatnya kembali menengok ke masa lalu yang berusaha ia tinggalkan. Ia mengarahkan pandangannya ke arah Yusuf yang masih terbaring lemah di ranjang."Tidak, Mas," jawab Audy, suaranya terdengar mantap. "Ini sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kita sudah berakhir hampir setahun yang lalu. Dan selama itu, aku sudah tidak lagi memiliki perasaan apa pun. Aku tidak mengatakan kalau aku sudah sepenuhnya melupakanmu, tapi..." Audy berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Jujur, rasa cinta yang dulu aku miliki telah terkikis oleh pengkhianatanmu."Yusuf tampak menelan ludah, seolah kata-kata Audy barusan menohok hatinya."Jadi, jika kau berpikir
Ibunya Yusuf Mendatangi Rumah Audy"Assalamu'alaikum," terdengar suara lembut namun tegas dari luar pintu. Itu suara ibunya Yusuf, yang datang ke kediaman Audy. Pelayan rumah Audy yang membuka pintu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Wanita yang berdiri di depan pintu adalah mantan ibu mertua majikannya, sosok yang sudah lama tak pernah datang ke rumah ini setelah perceraian Audy dengan Yusuf."Wa'alaikumsalam, Nyonya. Silakan masuk," ujar sang pelayan sambil menunduk hormat dan mempersilakan tamunya masuk ke ruang tamu.Ibunya Yusuf melangkah masuk dengan langkah pelan namun anggun. Duduk di ruang tamu yang dulu sering ia kunjungi saat Audy dan Yusuf masih bersama, wajahnya terlihat sendu, seolah menyimpan beban di hatinya.Pelayan rumah segera pergi memanggil Audy. "Nyonya, ibu dari Tuan Yusuf datang berkunjung," lapornya dengan hati-hati.Audy, yang sedang bersantai di kamar, segera bangkit. Ia meraih hijab instan yang tergantung di sisi ranjangnya, mengenakannya dengan cepat
Belum Audy memberikan jawaban, papanya Audy mendekat "Kau tahu, Dy," suara Papa memecah lamunannya, "Papa dan Mama sudah mengenal Rey cukup lama. Dia bukan hanya sahabat kakakmu, tapi juga bagian dari keluarga kita. Kalau kami boleh jujur, Rey adalah laki-laki yang tepat untukmu."Audy mengalihkan pandangannya, sedikit menunduk dengan arah pembicaraan ini. "Papa, Mama... aku tahu Kak Rey baik. Tapi, ini bukan masalah sederhana. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.""Sayang," Mama Audy menimpali dengan lembut, "kami tidak ingin memaksa. Kami hanya ingin kau tahu, setelah apa yang terjadi dengan Yusuf, kami khawatir kau tidak akan menemukan seseorang yang bisa mencintaimu seperti Rey. Dia sudah membuktikan keseriusannya, dan Mama yakin dia tidak akan mengecewakanmu."Audy terdiam. Perasaan hangat dan aman yang selalu Rey berikan memang tidak bisa disangkal, tapi luka dari pernikahan sebelumnya masih membekas dalam hatinya. Mencintai seseorang bukan hanya soal keseriusan, t
"Kenapa kau merahasiakan ini dariku, Rey?" tanya Andre dengan nada datar. Sorot matanya tajam, menyelidik.Rey terlihat gugup, menarik napas panjang. "Aku... kurang percaya diri, Ndre," jawabnya pelan. "Apalagi dengan perasaan yang kumiliki untuk Audy. Semakin lama kupendam, semakin aku merasa tertekan. Semakin aku ingin gila."Andre terdiam, mendengarkan dengan saksama. Tak pernah terlintas bahwa Rey, sahabatnya sejak mereka kuliah, bisa memiliki perasaan semacam itu pada adiknya, Audy."Aku mencoba menepisnya," lanjut Rey, suaranya bergetar. "Tapi perasaan ini justru semakin kuat. Aku akhirnya berdamai dengan diriku sendiri. Dan, Ndre, aku ingin menghalalkan adikmu. Aku ingin dia menjadi istriku."Andre diam sejenak, mencerna perkataan Rey. Sahabat terbaiknya, orang yang ia percayai selama ini, ingin menikahi Audy. Tapi masih ada sesuatu yang lebih penting untuk ditanyakan."Perasaanmu pada Audy... sebenarnya aku sudah mencurigainya," ucap Andre, memecah keheningan. "Tapi yang jadi
“Apa yang harus aku lakukan, Bu?” keluh Yusuf seraya menundukkan wajahnya di meja makan. Suaranya lirih, namun terbungkus kemarahan yang tak dapat disembunyikan. “Setiap hari hanya pertengkaran yang aku hadapi bersama Syifa. Rasanya kesabaranku sudah di ambang batas.”Ibunya Yusuf memandang Yusuf dengan tatapan iba, sementara Diana, adik perempuannya, yang duduk di ujung meja, malah menyeringai seolah menunggu saat ini tiba.“Kakak sendiri yang memilih dia,” sindir Diana tanpa belas kasihan. “Dan sekarang menyesal? Malah menghina Kak Audi dulu, padahal lihat sekarang, MasyaAllah... makin cantik dan anggun. Selama ini, apa pernah kita dengar Kak Audi marah atau ribut-ribut seperti ini?”Yusuf mendesah, berat, kepalanya terasa makin pusing. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Namanya akan selalu dibandingkan dengan Audi—mantan istrinya yang sempurna di mata keluarganya.“Diana, sudah. Jangan memperkeruh keadaan,” tegur sang ibu dengan suara tegas. “Kakakmu lagi pusing menghadapi masa
Melihat Yusuf sudah berlalu dengan langkah cepat, Syifa mengejar Yusuf. "Mas, kita masih harus bicara, Mas. Kau selalu begini jika bicara denganku. Apakah tidak bisa kau bersikap tidak egois? " ucap Syifa membuat langkah Yusuf berhenti. "Kau bilang aku egois? Apakah kau tidak salah? " Tanya Yusuf yang masih berusaha menahan emosinya. "Kau yang egois, Syifa. Kau sangat egois, " Syifa mendengus dengan nada sinis. "Kau yang egois, Mas. Kau nggak pernah benar-benar memikirkan perasaanku. Kau tahu aku terbiasa hidup dengan kemewahan, tapi kau malah menyuruhku untuk berhemat. Seharusnya kau bekerja lebih keras, cari pekerjaan yang lebih baik!"Yusuf menatap Syifa dengan mata penuh kekecewaan. "Aku bekerja setiap hari untukmu, untuk kita. Tapi sepertinya tidak ada yang cukup bagimu. Aku lelah, Syifa. Aku benar-benar lelah."Syifa hanya menatapnya dengan wajah keras. "Kalau begitu, biarkan aku yang urus semuanya. Cari jalan lain kalau kau tak mampu, atau... mungkin memang waktunya kita pik
Pembangunan di sekitar danau kini mulai menunjukkan hasil yang nyata. Area yang sebelumnya terbengkalai perlahan berubah menjadi ruang publik yang ramai dikunjungi warga. Tempat penjual kaki lima yang dulunya berjualan tanpa tempat teduh kini mendapatkan area baru yang dilengkapi atap untuk melindungi mereka dari hujan dan terik matahari. Banyak warga yang bersyukur pembangunan ini kembali dilanjutkan setelah tertunda sekian lama.Namun, yang paling mengejutkan adalah Reyhan, yang kini diam-diam memberikan bantuan untuk anak-anak asuhan Audy. Audy, yang sibuk dengan pekerjaannya, baru mengetahui ini ketika ia berkunjung ke panti asuhan.“Assalamu’alaikum, anak-anak,” sapa Audy ketika ia memasuki panti asuhan yang tampak cerah dan hangat.“Wa’alaikum salam, Kak Audy!” serempak anak-anak menjawab dengan ceria. Salah satu anak kemudian berkata, “Kak Reyhan baru saja pergi, Kak.”Audy tertegun, mendengar nama itu disebut. “Kak Reyhan? Reyhan sering ke sini?” tanyanya heran.“Iya, Kak. Kak
"Assalamu'alaikum, Audy..." ucap seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan kerja Audy dengan senyum lebar."Wa'alaikumsalam, Shireen..." jawab Audy, terlihat terkejut dengan kedatangan sahabat lamanya yang sudah sekian lama tak bertemu."Hai, bagaimana kabarmu? Selamat ya atas perceraiannya!" ucap Shireen sambil memeluk erat tubuh Audy."Alhamdulillah, aku sangat sehat. Tapi kau ke mana saja selama ini? Sudah lama sekali tidak bertemu," tanya Audy penasaran sambil melepas pelukan.Shireen tersenyum. "Ah, biasa... Kau tahu sendiri, kan, anak papa dan mama cuma aku satu-satunya. Jadi, mau tak mau, aku harus siap jadi kaki tangan mereka mengurus bisnis keluarga," jawabnya, sedikit berkelakar.Audy mengangguk, memahami betul posisi Shireen yang selalu disibukkan dengan tanggung jawab besar di keluarga. "Aku bisa membayangkan betapa sibuknya. Tapi tetap saja, aku tak menyangka kau bisa langsung datang ke sini tanpa kabar terlebih dahulu," ujar Audy sambil tertawa kecil."Aku memang se