Audy mencoba menguatkan dirinya, ia harus bangkit dari keterpurukan ini. Ia masih memiliki perusahaan yang harus ia pimpin, ia masih memiliki mimpi yang harus ia raih. "Aku bisa, aku harus bisa," gumam Audy dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah tegap menuju meja kerjanya. "Semua tentang Mas Yusuf sudah selesai, " ucapnya seraya duduk di kursi kebesarannya. Ia harus fokus pada pekerjaannya, ia harus membuktikan bahwa ia bisa memimpin perusahaan ini dengan baik, bahkan ia akan membuat perusahaan ini terbebas dari berat hutang yang sudah Yusuf lakukan diam-diam. Tanpa sepengetahuan Audy. Ia harus menunjukkan kepada Yusuf bahwa ia bukanlah wanita lemah yang mudah ditaklukkan. Audy membuka berkas-berkas yang tergeletak di mejanya. Ia mulai meneliti laporan keuangan, meninjau strategi pemasaran, dan merancang program pengembangan perusahaan. Ia bekerja dengan tekun, penuh semangat, dan dedikasi. Ia tak lagi memikirkan Yusuf, tak lagi terpuruk dalam kesedihan. Ia fok
Malam ini Audy kembali pulang ke rumahnya, rumah yang ia tinggali dengan Yusuf dulu. "Mas, awalnya aku pikir, menikahkan kamu dengan wanita itu akan menjadi jalan terbaik, sempat aku berfikir untuk menerima di poligami, tapi ternyata aku gak bisa melakukan hal besar itu. Hatiku belum seluas itu untuk menerima wanita lain di antara kita. Kau baik, kau telah membawaku ke jalan yang lebih baik, dan aku ucapkan terimakasih untuk semua itu, aku berharap kalian bahagia, terlepas dari semua kasus kita. Hatiku yang tak bisa menerima. Ya Allah.. Maafkan jika aku belum bisa menjadi seorang istri dan seorang hamba yang baik, " ucap Audy seraya menatap langit yang begitu gelap. Audy menutup kaca jendela kamarnya lalu mengistirahatkan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Waktu kian berganti, dan seperti biasa, Audy selalu menghindari pertemuan dengan Yusuf di kantor. "Audy, apakah besok kau akan datang? " tanya Yusuf membuat langkah Audy terhenti. "Tentu, Mas. Aku ingin semua ini cepat selesai,
Yusuf menghela napas berat, tangannya menggenggam erat setir mobil. "Apakah aku harus melakukan apa yang ibu katakan? Tapi memang gak ada jalan lain selain itu. Bismillah saja, aku hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan Audy, bukankah Allah tidak suka dengan perceraian, dan aku tidak ingin bercerai dengan Audy," gumamnya dalam hati. Rasa sesak di dadanya semakin terasa, beban berat yang harus dipikulnya seakan menghancurkan jiwanya.Akhirnya, mobil Yusuf berhenti di depan kediaman istri keduanya, Syifa. Ia turun dari mobil dan melangkah masuk, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Seperti biasa, Ibu Ami, ibu Syifa, menatap tajam ke arahnya, tatapan yang dulu penuh kekaguman kini berubah menjadi dingin dan menusuk. Rasa kagum Ibu Ami pada Yusuf seolah lenyap ditelan bumi, mungkin karena Yusuf sudah jarang memberikan uang bulanan yang besar seperti dulu. Ibu Ami juga jarang keluar rumah, karena sudah tidak ada yang bisa ia pamerkan pada tetangganya."Syifa kemana, Bu?" tanya Yusuf, suarany
"Audy, ini aku Rey, kamu baik-baik saja kan di dalam?" Suara Rey, yang ternyata adalah Rey, menggema di lorong, membuat Yusuf terkejut. Yusuf menoleh ke arah Audy, yang terus mencubit sebagian lengan dan tangannya. Bibirnya yang terluka membuat Audy semakin tersiksa, wajahnya pucat pasi. "Pergi!" teriak Audy, suaranya bergetar, penuh kepanikan, membuat rasa ketakutan semakin mencengkeram Yusuf.Mendengar teriakan Audy, Rey semakin cemas. Ia sudah mendengar dari satpam bahwa Yusuf berada di dalam. Berbagai pikiran buruk menghantuinya, membuat hatinya berdesir tak menentu.Dengan perasaan cemas yang menggerogoti hatinya, Rey berusaha mendobrak pintu kamar Audy. Namun, sebelum Rey berhasil, pintu itu sudah terbuka. Yusuf muncul dari balik pintu, wajahnya tegang dan matanya tajam. Yusuf hendak berlalu pergi, namun Rey dengan cepat menarik lengannya. "Apa yang kau lakukan pada Audy?" tanya Rey, suaranya dingin, tatapannya penuh ancaman."Itu tidak urusannya denganmu. Saat ini aku dan Audy
"Dia sudah sangat keterlaluan, Mbok. Dia sudah menggunakan cara kotor untuk mengelabui Audy!" ujar Rey, suaranya bergetar menahan amarah, setelah Mbok Darmi keluar dari kamar Audy."Aden, jangan berbuat sesuatu yang malah akan merugikan Nona Audy. Besok adalah sidang pertama Nona, sebaiknya Aden jaga Nona dengan baik. Meskipun Mbok tahu, Aden gak bisa hanya berdua dengan Nona Audy," ujar Mbok Darmi, suaranya lembut, penuh nasihat."Itu yang juga aku pikirkan, Mbok. Kalau aku tidak ingat kalau besok adalah sidang pertama Audy, maka aku sudah hancurkan wajahnya Yusuf!" ucap Rey geram, rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat."Apakah Tuan Andre sudah tahu, Den?" tanya Mbok Darmi, raut wajahnya penuh kekhawatiran."Iya, dia sudah ada dalam perjalanan menuju kemari. Sekarang Mbok istirahat saja, aku yang akan menunggu Andre di sini," ucap Rey, suaranya tenang, namun matanya memancarkan api amarah.Selang beberapa saat kemudian, Andre datang dengan wajah menahan amarah. "Audy kemana sek
"Kenapa kau malah milih bertahan kalau kau tahu dia kere, tinggalkan dia dan bersatulah denganku," ucap seseorang yang kini duduk di hadapan Syifa. "Tidak semudah itu, Mas. Kalau aku tahu mas Yusuf kere dan sudah punya istri, aku juga gak mau nikah sama dia, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah menikah siri dengannya, dan jika dia tidak menjatuhkan talaknya padaku, tetap saja aku akan menjadi istrinya. Benar sih, nyesel itu belakangan," ucap Syifa. " Sekarang, sidang pertamanya dengan Audi. Entahlah, aku bahagia apa tidak dengan hal ini, tapi... " "Mbak Syifa? " Seru seseorang yang langsung membuat Syifa melepaskan tangannya dari laki-laki yang ada di hadapannya. "Waw, keren sekali, Mbak iparku ini ya. Wanita yang di anggap sholehah oleh kakakku, wanita yang di sanjung-sanjung oleh kakakku, wanita yang sudah berhasil menjadi pelakor dalam rumah tangga kakakku, sekarang duduk berdua, berpegangan tangan dengan laki-laki bukan mahramnya. Wah... Hebat-hebat, " seru sosok itu yang ternya
"Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya ibu Audy."Putri Anda hanya kelelahan, mungkin karena banyak pikiran yang turut mempengaruhi kesehatannya. Sekarang dia sudah sadar, dan kalian boleh masuk," jawab dokter yang menangani Audy."Terima kasih, Dok," ucap ibu Audy. Ibu dan ayah Audy kemudian masuk, diikuti oleh kakaknya, Andre. Sementara itu, Rey tidak bisa menyusul ke rumah sakit karena tiba-tiba ada panggilan mendadak dari perusahaan.Di dalam kamar rumah sakit, Audy terlihat berbaring dengan wajah yang sedikit pucat, namun matanya sudah terbuka. Ibu Audy langsung mendekat dan menggenggam tangan putrinya dengan penuh kasih sayang."Audy, bagaimana perasaanmu sekarang, Nak?" tanya ibunya dengan lembut, suaranya dipenuhi kekhawatiran.Audy tersenyum tipis. "Aku sudah lebih baik, Ma. Hanya sedikit lelah," jawabnya pelan.Ayah Audy yang berdiri di samping tempat tidur, menepuk bahu putrinya dengan lembut. "Kamu harus lebih menjaga kesehatanmu, Audy. Jangan terlalu memaksakan diri."
Rey menatap Audy yang perlahan mulai terlelap di ranjang rumah sakit. Wajahnya terlihat begitu damai dalam tidur, tapi Rey tahu, di balik kedamaian itu, Audy menyimpan luka yang dalam. Hatinya terasa perih. Bagaimana ia bisa mengungkapkan perasaannya pada Audy, perasaan yang jauh lebih besar dari sekadar kasih sayang seorang kakak kepada adiknya? Ini pertama kalinya dalam hidup Rey merasa ketakutan. Bukan takut akan kegagalan, bukan takut akan karier atau tanggung jawab, melainkan takut kehilangan Audy—takut tidak pernah bisa mengutarakan perasaan yang selama ini ia pendam rapat-rapat.Rey teringat pada tembok besar yang memisahkan mereka: perbedaan keyakinan. Sesuatu yang selama ini menjadi penghalang tak terhindarkan, meskipun hatinya terus berkata lain.'Andaikan aku lebih cepat mengungkapkan perasaanku padamu, Audy. Mungkin aku bisa melindungimu. Mungkin aku tidak akan membiarkan Yusuf menyakitimu seperti ini. Aku tidak akan membiarkan setiap air matamu jatuh tanpa perlindungan. T
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Setelah perjalanan panjang dan penuh lika-liku, Audy berdiri di balik tirai kamar pengantin, mengenakan gaun putih yang sederhana namun begitu elegan. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, memantulkan kilau lembut dari gaun yang ia kenakan. Rambutnya yang tertutup hijab dengan sanggul rapi, dengan hiasan bunga melati yang memberikan aroma manis. Ia memandang cermin di depannya, menatap sosoknya yang hari ini akan menjadi seorang istri—istri dari Reyhan, pria yang telah berhasil menyembuhkan hatinya dan memberikan makna baru dalam hidupnya.Di ruangan yang berbeda, Reyhan berdiri tegap mengenakan jas hitam yang dipadukan dengan sarung sutra. Di sekelilingnya, beberapa kerabat dan teman dekat menemaninya, menunggu momen sakral yang sebentar lagi akan tiba. Wajahnya tampak tenang, namun matanya menyiratkan kebahagiaan yang luar biasa. Hari ini, ia akan mengucapkan ijab qobul, dan dengan itu, ia akan memulai babak baru bersama wanita yang ia cint
Audy melangkah mundur, menahan keinginannya untuk segera pergi dari ruangan itu. Kata-kata Yusuf membuatnya terhenti."Apakah kau melakukan semua ini untuk menghindariku?" tanya Yusuf, tatapannya penuh tanya dan rasa penasaran yang tampak jelas.Audy menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab. Kata-kata Yusuf membuatnya kembali menengok ke masa lalu yang berusaha ia tinggalkan. Ia mengarahkan pandangannya ke arah Yusuf yang masih terbaring lemah di ranjang."Tidak, Mas," jawab Audy, suaranya terdengar mantap. "Ini sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kita sudah berakhir hampir setahun yang lalu. Dan selama itu, aku sudah tidak lagi memiliki perasaan apa pun. Aku tidak mengatakan kalau aku sudah sepenuhnya melupakanmu, tapi..." Audy berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Jujur, rasa cinta yang dulu aku miliki telah terkikis oleh pengkhianatanmu."Yusuf tampak menelan ludah, seolah kata-kata Audy barusan menohok hatinya."Jadi, jika kau berpikir
Ibunya Yusuf Mendatangi Rumah Audy"Assalamu'alaikum," terdengar suara lembut namun tegas dari luar pintu. Itu suara ibunya Yusuf, yang datang ke kediaman Audy. Pelayan rumah Audy yang membuka pintu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Wanita yang berdiri di depan pintu adalah mantan ibu mertua majikannya, sosok yang sudah lama tak pernah datang ke rumah ini setelah perceraian Audy dengan Yusuf."Wa'alaikumsalam, Nyonya. Silakan masuk," ujar sang pelayan sambil menunduk hormat dan mempersilakan tamunya masuk ke ruang tamu.Ibunya Yusuf melangkah masuk dengan langkah pelan namun anggun. Duduk di ruang tamu yang dulu sering ia kunjungi saat Audy dan Yusuf masih bersama, wajahnya terlihat sendu, seolah menyimpan beban di hatinya.Pelayan rumah segera pergi memanggil Audy. "Nyonya, ibu dari Tuan Yusuf datang berkunjung," lapornya dengan hati-hati.Audy, yang sedang bersantai di kamar, segera bangkit. Ia meraih hijab instan yang tergantung di sisi ranjangnya, mengenakannya dengan cepat
Belum Audy memberikan jawaban, papanya Audy mendekat "Kau tahu, Dy," suara Papa memecah lamunannya, "Papa dan Mama sudah mengenal Rey cukup lama. Dia bukan hanya sahabat kakakmu, tapi juga bagian dari keluarga kita. Kalau kami boleh jujur, Rey adalah laki-laki yang tepat untukmu."Audy mengalihkan pandangannya, sedikit menunduk dengan arah pembicaraan ini. "Papa, Mama... aku tahu Kak Rey baik. Tapi, ini bukan masalah sederhana. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.""Sayang," Mama Audy menimpali dengan lembut, "kami tidak ingin memaksa. Kami hanya ingin kau tahu, setelah apa yang terjadi dengan Yusuf, kami khawatir kau tidak akan menemukan seseorang yang bisa mencintaimu seperti Rey. Dia sudah membuktikan keseriusannya, dan Mama yakin dia tidak akan mengecewakanmu."Audy terdiam. Perasaan hangat dan aman yang selalu Rey berikan memang tidak bisa disangkal, tapi luka dari pernikahan sebelumnya masih membekas dalam hatinya. Mencintai seseorang bukan hanya soal keseriusan, t
"Kenapa kau merahasiakan ini dariku, Rey?" tanya Andre dengan nada datar. Sorot matanya tajam, menyelidik.Rey terlihat gugup, menarik napas panjang. "Aku... kurang percaya diri, Ndre," jawabnya pelan. "Apalagi dengan perasaan yang kumiliki untuk Audy. Semakin lama kupendam, semakin aku merasa tertekan. Semakin aku ingin gila."Andre terdiam, mendengarkan dengan saksama. Tak pernah terlintas bahwa Rey, sahabatnya sejak mereka kuliah, bisa memiliki perasaan semacam itu pada adiknya, Audy."Aku mencoba menepisnya," lanjut Rey, suaranya bergetar. "Tapi perasaan ini justru semakin kuat. Aku akhirnya berdamai dengan diriku sendiri. Dan, Ndre, aku ingin menghalalkan adikmu. Aku ingin dia menjadi istriku."Andre diam sejenak, mencerna perkataan Rey. Sahabat terbaiknya, orang yang ia percayai selama ini, ingin menikahi Audy. Tapi masih ada sesuatu yang lebih penting untuk ditanyakan."Perasaanmu pada Audy... sebenarnya aku sudah mencurigainya," ucap Andre, memecah keheningan. "Tapi yang jadi
“Apa yang harus aku lakukan, Bu?” keluh Yusuf seraya menundukkan wajahnya di meja makan. Suaranya lirih, namun terbungkus kemarahan yang tak dapat disembunyikan. “Setiap hari hanya pertengkaran yang aku hadapi bersama Syifa. Rasanya kesabaranku sudah di ambang batas.”Ibunya Yusuf memandang Yusuf dengan tatapan iba, sementara Diana, adik perempuannya, yang duduk di ujung meja, malah menyeringai seolah menunggu saat ini tiba.“Kakak sendiri yang memilih dia,” sindir Diana tanpa belas kasihan. “Dan sekarang menyesal? Malah menghina Kak Audi dulu, padahal lihat sekarang, MasyaAllah... makin cantik dan anggun. Selama ini, apa pernah kita dengar Kak Audi marah atau ribut-ribut seperti ini?”Yusuf mendesah, berat, kepalanya terasa makin pusing. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Namanya akan selalu dibandingkan dengan Audi—mantan istrinya yang sempurna di mata keluarganya.“Diana, sudah. Jangan memperkeruh keadaan,” tegur sang ibu dengan suara tegas. “Kakakmu lagi pusing menghadapi masa
Melihat Yusuf sudah berlalu dengan langkah cepat, Syifa mengejar Yusuf. "Mas, kita masih harus bicara, Mas. Kau selalu begini jika bicara denganku. Apakah tidak bisa kau bersikap tidak egois? " ucap Syifa membuat langkah Yusuf berhenti. "Kau bilang aku egois? Apakah kau tidak salah? " Tanya Yusuf yang masih berusaha menahan emosinya. "Kau yang egois, Syifa. Kau sangat egois, " Syifa mendengus dengan nada sinis. "Kau yang egois, Mas. Kau nggak pernah benar-benar memikirkan perasaanku. Kau tahu aku terbiasa hidup dengan kemewahan, tapi kau malah menyuruhku untuk berhemat. Seharusnya kau bekerja lebih keras, cari pekerjaan yang lebih baik!"Yusuf menatap Syifa dengan mata penuh kekecewaan. "Aku bekerja setiap hari untukmu, untuk kita. Tapi sepertinya tidak ada yang cukup bagimu. Aku lelah, Syifa. Aku benar-benar lelah."Syifa hanya menatapnya dengan wajah keras. "Kalau begitu, biarkan aku yang urus semuanya. Cari jalan lain kalau kau tak mampu, atau... mungkin memang waktunya kita pik
Pembangunan di sekitar danau kini mulai menunjukkan hasil yang nyata. Area yang sebelumnya terbengkalai perlahan berubah menjadi ruang publik yang ramai dikunjungi warga. Tempat penjual kaki lima yang dulunya berjualan tanpa tempat teduh kini mendapatkan area baru yang dilengkapi atap untuk melindungi mereka dari hujan dan terik matahari. Banyak warga yang bersyukur pembangunan ini kembali dilanjutkan setelah tertunda sekian lama.Namun, yang paling mengejutkan adalah Reyhan, yang kini diam-diam memberikan bantuan untuk anak-anak asuhan Audy. Audy, yang sibuk dengan pekerjaannya, baru mengetahui ini ketika ia berkunjung ke panti asuhan.“Assalamu’alaikum, anak-anak,” sapa Audy ketika ia memasuki panti asuhan yang tampak cerah dan hangat.“Wa’alaikum salam, Kak Audy!” serempak anak-anak menjawab dengan ceria. Salah satu anak kemudian berkata, “Kak Reyhan baru saja pergi, Kak.”Audy tertegun, mendengar nama itu disebut. “Kak Reyhan? Reyhan sering ke sini?” tanyanya heran.“Iya, Kak. Kak
"Assalamu'alaikum, Audy..." ucap seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan kerja Audy dengan senyum lebar."Wa'alaikumsalam, Shireen..." jawab Audy, terlihat terkejut dengan kedatangan sahabat lamanya yang sudah sekian lama tak bertemu."Hai, bagaimana kabarmu? Selamat ya atas perceraiannya!" ucap Shireen sambil memeluk erat tubuh Audy."Alhamdulillah, aku sangat sehat. Tapi kau ke mana saja selama ini? Sudah lama sekali tidak bertemu," tanya Audy penasaran sambil melepas pelukan.Shireen tersenyum. "Ah, biasa... Kau tahu sendiri, kan, anak papa dan mama cuma aku satu-satunya. Jadi, mau tak mau, aku harus siap jadi kaki tangan mereka mengurus bisnis keluarga," jawabnya, sedikit berkelakar.Audy mengangguk, memahami betul posisi Shireen yang selalu disibukkan dengan tanggung jawab besar di keluarga. "Aku bisa membayangkan betapa sibuknya. Tapi tetap saja, aku tak menyangka kau bisa langsung datang ke sini tanpa kabar terlebih dahulu," ujar Audy sambil tertawa kecil."Aku memang se