Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku.
"Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran.
"Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat.
"Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!"
"Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!"
"Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata.
"Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang.
"Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan."
"Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor.
Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasil kerja keras selama ini. Dibeli secara cash, walaupun second. Daripada baru tapi kredit, aku lebih memilih cash, walaupun bekas. Alasannya karena malas mikirkan hutang. Kalau dikalikan, juga ruginya banyak. Udah kaya, makin kaya lah dealer motor di Indonesia ini. Sementara aku, semakin melarat mikirin kreditan.
"Perhitungan banget sih jadi orang! padahal, kan searah."
"Iya, arah kampungmu ke kiri, kampungku ke kanan!" gerutuku.
"Ya nggak apa lah! Hitung-hitung cari pahala. Sekalian nanti, aku kasih tau lelaki yang naksir sama kamu!"
"Ck! Itu lagi bahasanmu!"
"Siapa tau jodoh. Orangnya baik, kok. Pekerja keras juga."
"Kenapa nggak sama kamu aja!"
"Ck! Aku sih mau aja. Tapi dianya yang nggak mau sama aku. Bayangin aja, kalau ketemu di jalan, yang ditanyain kamu terus, sampe bosen dengernya. Gimana ada celah untuk kutikung hatinya coba?"
"Itu semua, karena dia cuma penasaran sama aku. Nanti kalau udah deket, pasti dia bosen dan cari yang baru."
"Makanya jangan lama-lama kenalan, langsung nikah!"
Enak aja dia kalau ngomong. Nggak tau kalau aku masih trauma dengan Bang Jali. Baru kenal dua minggu udah mau diajak tunangan. Ujung-ujungnya putus di tengah jalan.
"Kamu pikir, menikah segampang itu? Baru kenal langsung ngajak nikah. Kan belum tahu sifatnya. Kalau sama dengan yang udah-udah gimana?"
"Oalah, Ran! Yang namanya sifat asli, semua orang nggak akan pernah tau. Meskipun udah bertahun-tahun pacaran. Karena setiap orang, pasti nyembunyiin sifat aslinya sampai dia menikah. Kamu lihat kan, yang pacaran bertahun-tahun tapi usia pernikahannya cuma beberapa bulan. Itu semua karena sifat aslinya baru ketahuan pas udah jadi pasangan suami istri. Pacaran lama juga nggak menjamin kamu tau sifat asli lelaki. Yang ada cuma nambah dosa aja pacaran terlalu lama. Tiap jumpa pegangan tangan. Tiap jalan berhenti di gelap-gelapan ci*uman. Pikirkan udah berapa banyak dosa yang ditumpuk. Lagian, nggak ada manusia sempurna di muka bumi ini. Setiap kelebihan, pasti ada kekurangan. Termasuk diri kita sendiri. Nih, ya. Kalau aja ada yang mau langsung melamar aku. Pasti langsung kuterima. Asal sesuai dengan kriteria."
Bener juga yang dibilang Sinta. Meskipun ot*knya agak miring, kalau ngomong asal ceplos, tapi kadang pemikirannya ada benernya juga.
Banyak juga kok yang ta'aruf, tapi pernikahan mereka langgeng. Padahal, mereka tak saling kenal dan tau sifat masing-masing dari pasangannya. Sedangkan yang berpacaran lama, hanya beberapa bulan aja usia pernikahannya. Ya, walaupun nggak semuanya begitu.
"Kadang, ot*kmu bener juga, Sin. Aku sempet nyesel baru kenal langsung mau diajak tunangan loh. Karena kejadian ini."
"Ngapain disesali yang udah terjadi. Anggap aja itu sebagai perjalanan hidup."
"Iya, juga ya. Tapi, tetep aja. Aku kan belum ketemu dan kenalan sama orangnya. Ngapain berpikiran sejauh itu."
"Hmmm ... Orangnya ganteng, loh. Cuma agak hitam aja, terpanggang sinar matahari. Kalau dibandingkan sama Si Jali, jelas kalah telak dia gantengnya. Si PNS itu, kan cuma menang putih aja."
"Nggak usah sebut namanya lagi, bisa! Eneg aku dengarnya."
"Iya, nggak akan kusebut namanya lagi."
Lima belas menit sudah berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman Sinta.
"Sttt! Itu orangnya, Ran!" bisik Sinta, melirik ke jalan. Aku spontan mengikuti pandangannya.
Ternyata benar, ada seorang lelaki muda yang sedang melintas sambil memperhatikan kami. Dia tersenyum saat bertemu pandang denganku Tak ingin dikatakan sombong, aku pun ikut senyum sebagai balasannya.
Ternyata memang wajahnya cukup tampan. Seperti aktor twilight, yang jadi srigalanya itu. Si Jacob, kalau nggak salah. Tapi ini versi Indonesia. Jadi, nggak terlalu berotot.
Lelaki itu, terus saja melihat ke arahku, tanpa memperhatikan jalannya.
"Eh, Bang Juna! Awas, di depan ada parit!" teriak Sinta pada lelaki itu.
'GRASAK!'
Tak sempat menghindar, akhirnya dia nyungsruk ke parit.
"Tuh, kan! Makanya, kalau lagi jalan, yang dilihat jalannya Bang. Bukan malah jelalatan!" teriak Sinta lagi, tanpa berusaha menolongnya.
Mungkin karena malu, lelaki yang dipanggil Juna tersebut oleh Sinta, tak lagi melihat ke arah kami. Ia berusaha keluar dari parit dan pergi begitu saja.
Bukannya simpati, Sinta justru tertawa terbahak-bahak, sambil memegangi perutnya. Bahagia sekali dia melihat orang kesusahan.
"Heh, udah! Kasihan, tu orang malu, kamu ketawain."
"Habis lucu sih. Bisa-bisanya nyungsep di parit. Karena terpesona kecantikanmu!" Aku juga jadi ikut tersenyum mengingat kejadian yang barusan terjadi.
"Ehemm. Tuh, kan. Langsung kesemsem! Baru lihat orangnya, udah senyum-senyum sendiri,"
"Apaan sih. Itu tadi, karena dia duluan yang senyum. Makanya aku bales senyum. Nanti dikatain sombong pula!"
"Halah, alasan! Tapi ... Ganteng kan?"
"Lumayan," sahutku keceplosan.
"Cuiitt, cuiitt. Nggak butuh waktu lama untuk move on nih!"
"Apaan, sih! Udahlah, aku mau pulang dulu."
"Oke, makasih ya! Mau nitip salam nggak sama yang tadi? Salam tempel gitu misalnya!"
"Sak karepmu! Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan. Kalau jatuh, jangan lupa bangun!" teriak Sinta saat aku sudah melajukan sepeda motor.
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran
Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu
Pov Bang Jali.Gara-gara mahar lima milyar, yang diajukan oleh Rani, aku jadi gagal menikah. Bukan hanya gagal saja. Tapi malunya luar biasa.Setiap ada yang bertanya, kapan pernikahannya digelar, maka aku akan mengatakannya gagal. Mereka semua yang mendengar hanya tertawa. Tak ada yang simpati satu orang pun padaku. Aku sangat dendam pada Rani. Pokoknya, harus bisa mencari pengganti yang lebih dari dia. Emang dia pikir, dia siapa. Menolak secara halus Jali Si guru PNS, yang sudah terjamin masa depannya. Hanya buruh pabrik aja sombongnya luar biasa.Apa susahnya, sih menuruti apa kata suami jika sudah menikah nanti? Kan dia juga yang bakal untung karena nantinya akan masuk surga.Sekarang ini, banyak sekali wanita durhaka pada suaminya. Selalu aja membangkang dengan yang diperintahkan oleh suami."Memangnya, apa alasan Rani minta mahar sebesar itu?" tanya Pak Tanto, guru olahraga. Hari ini, jam istirahat sekolah. Dan kami sedang duduk santai di dalam kantor.Guru satu ini, juga sudah
Acara lamaran Putri pun tiba. Aku sudah dandan secetar mungkin. Biar nggak dikatain pucat karena menghadiri lamaran mantan. Maklum, di sana isinya banyak orang-orang julid. Jadi harus bisa terlihat wah. Biar mereka nggak bisa menghina. "Ayo kita berangkat, Ti," ajakku, pada Murti yang juga sudah siap. Semua gadis di desa ini diundang oleh Putri dan Bu Samini. Alasannya agar ada yang mendampingi Putri. Padahal kami tau, jika tujuan mereka hanya untuk pamer mantu."Walah, cantik banget toh, Ran! Nanti Bang PNS, malah gagal move on, dan pokusnya sama kamu lagi! Nggak fokus sama calonnya," goda Murti yang juga udah berdandan kayak bintang pantura."Ck! Biar mereka semua tau. Kalau aku itu, udah move on. Nanti kalau pucet, apa kata dunia? Udah yukk, jalan. Keburu ketinggalan."***Aku dan Murti duduk berdampingan dengan calon pengantin wanita. Ini semua adalah ide Bi Atun. Katanya, biar semakin tegar menghadapi kenyataan. Begini kalau ada manusia julid. Maunya menyiksa. Padahal aku biasa
"Makanya, udah tua jangan ngeyel. Itu lah suka mengambil hak orang. Jadi kena batunya kan! Pilih-pilih, akhirnya kepilih!" celetuk Murti masih tertawa.Semua orang yang melihat kami juga tertawa. Apalagi saat melihat, gigi ompong ibu Bang Jali."Kamu itu, ada orang tua kena musibah malah diketawain. Kuwalat, baru tahu rasa!" omel Ibu Bang Jali sambil memakai gigi palsunya kembali.Padahal, Putri juga ikut menertawakannya. Tapi hanya Murti yang kena tegur, karena psti dia tak menyukai kami."Makanya, Bu. Udah tua itu tobat! Jangan maunya menang sendiri. Ini loh, bukti kalau sampean langsung ditegur Tuhan karena udah semena-mena sama yang lebih muda. Nggak anak muda aja yang bisa kuwalat, wong tuo juga bisa," ucap Murti mengingatkan. Namanya juga orang tua, pasti nggak pernah mau mengalah dan merasa salah. Ya, orang tua selalu benar dan anak muda selalu salah. itu lah yang selalu terjadi."Nggak usah ceramah, anak kecil! Ini semua gara-gara kamu yang mau ngerjain aku, kan!" tuduhnya.U
"Kenapa sepeda motornya didorong, Nak? Itu, rok juga kenapa dicincing? Apa kebanjiran tadi di jalan?" tanya ibu yang sedang menungguku di teras.Murti udah pulang ke rumahnya, karena tadi dia ngompol di celana, saking takutnya."Tadi mati, pas di bambuan, Bu. Banjir dari mana. Nggak ada hujan nggak ada angin kok bisa banjir." jawabku megap-megap mengatur napas.Kalau aja tadi nggak jumpa hantu, mungkin setengah jam kami baru sampai rumah karena motor mogok ini. Karena hantu itu, secepat kilat, tiga menit kami langsung sampai."Siapa tau hujan dan banjir lokal, Nduk.""Masih satu kampung loh, Bu. Gimana ceritanya banjir lokal?""Ya, siapa tau kan, keajaiban Tuhan. Terus, kok bisa mati motormu itu? Apa nggak kamu kasih perawatan selama ini?" tanya ibu, melihat motor tak menyala."Dikasih kok, Bu. Kemarin aja baru kubelikan skincare biar glowing," jawabku langsung luruh ke tanah. Sekalian ngembali'in napas yang hampir hilang."Hm, pantes aja. Aturnya, kamu belikan skincare untuk ibu juga
"Abang lapar?" tanya Sinta, melihat tangan lelaki itu terus bergetar. "Eng-enggak, kok!" jawabnya terbatah. Tak. Tak. Tak. Tak.Getaran di tangan Bang Juna semakin parah. Teh yang berada di tangannya sampai tumpah-tumpah."Ah, kayaknya Nak Juna lapar. Mungkin dia belum makan. Kasihan sampai gemetaran begitu. Ayo, Nak. Kita makan dulu. Jangan sampai pingsan. Di sini nggak ada yang sanggup gendong kamu!"-Bukan cuma gemetaran aja. Bang Juna juga mengeluarkan keringat sebesar biji jagung. Ah jangan-jangan dia bukan lapar. Tapi lagi nahan kentut. "Sa-saya, sudah makan tadi, Bu," ucapnya masih terbata."Oh, mungkin Bang Juna ini herpes! Karena pertama kali jumpa sama kamu Ran, dan juga Ibu," celetuk Sinta. "Kok herpes?" tanyaku, memandangnya dengan penasaran."Iya. Itu loh. Kalau orang yang mau nampil ke panggung. Kadang tangannya dingin, kakinya dingin, kebelet pipis lah, eek lah," jawabnya, menjelaskan."Itu nervous, Sinta!" ucapku geram. Bisa-bisanya dia bilang herpes.Herpes itu k
"Kalau sudah menikah nanti, apa Rani masih harus bekerja?""Kalau bisa, di rumah aja, Bu. Karena tugas istri hanya di rumah. Saya masih sanggup kok memenuhi kebutuhannya.""Bagus, begitulah laki-laki yang bertanggung jawab. Kalau Ibu, terserah aja sama anaknya. Mau atau tidak itu keputusannya. Kalau pun dia mau, pesan ibu hanya satu. Jangan sia-siakan dia. Jika suatu saat sudah menikah dan menemukan sesuatu yang nggak cocok di hatimu, entah itu dari sifatnya, tingkah lakunya. Pulangkan saja dia pada ibu. Jangan pernah sakiti dia dengan main tangan."-"Iya, Bu. Saya akan mencoba menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan tak akan pernah main tangan pada istri saya nanti," jawabnya mantap.Sebelum menikah, semua laki-laki akan berjanji dengan sungguh-sungguh di depan orang tuanya. Tapi, setelah menjalani pernikahan, maka mereka akan bosan dan melupakan janjinya.Banyak sudah kejadian yang kulihat dengan mata kepala sendiri. Saat belum jadi, mereka mengejar setengah mati. Saat sudah j
Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk
Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar
"Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o
Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te
Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se
Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela
"Bang, antarkan aku kerja, yuk!" Aku mengguncang tubuh Bang Jali yang masih lelap tertidur. Sudah jam setengah tujuh pagi. Tapi dia belum juga bangun. Apakah hari ini dia tidak mengajar seperti biasanya?"Emmm ... " Bang Jali hanya bergumam tanpa mau membuka matanya."Bang, bangun, sudah siang. Tolong antarkan aku pergi bekerja dong!" pintaku lagi, sambil menepuk pipinya pelan. "Apaan sih! Bisa berangkat sendiri kan!" bentaknya lalu terduduk dan mengacak rambutnya kesal."Gimana mau berangkat sendiri? Sepeda motorku, kan sedang ditahan orang. Terus aku harus jalan kaki pergi bekerja gitu? Kapan sampainya? Bisa-bisa aku terlambat masuk," ucapku dengan nada merajuk.Muak sebenarnya terus berakting menjadi wanita lembut di hadapannya. Tapi mau bagaimana lagi, agar dia tidak curiga, aku harus tetap berpura-pura seperti ini sampai tujuanku tercapai."Arrgghhh." Bang Jali semakin kesal, dia mengangkat lalu membanting kakinya di kasur, seperti anak kecil yang sedang merajuk pada Ibunya. "
"Akh, benar-benar menyus-" Bang Jali menggantung kalimatnya saat mataku menatapnya serius. Yakin sekali aku, jika dia ingin mengataiku. Tapi urung dilakukan karena tujuan untuk mendapatkan harta warisan dari orang tuaku belum tercapai. Miris sekali pemikiran suamiku satu ini. Bisa-bisanya ingin mendapatkan harta secara instan. Sebelum kamu menggerogoti hartaku, maka aku lah yang akan terlebih dahulu melakukannya. Setelah ini, akan datang masalah lainnya yang sengaja aku buat, untuk keluarga parasit. Tunggu saja tanggal mainnya, suamiku tercinta. "Menyus apa Bang?" tanyaku pura-pura tidak tau. Aku memasang wajah bodoh agar dia berpikir jika aku memang wanita bodoh. "Akh, sudah lah. Tidak usah dibahas," tukasnya, lalu memejamkan mata. "Abang marah ya, sama aku?" tanyaku dengan manja.Aku sengaja bergelayut di lengannya. Meskipun dia tidak menyukaiku, tapi aku pura-pura saja tidak tahu."Enggak!" jawabnya singkat, masih dengan mata terpejam. "Terus, keputusannya gimana? Aku bawa
Mulai membodohi JaliPov Putri. "Kemana sepeda motor kamu. Kenapa pulang diantar orang?" tanya Bang Jali saat aku baru saja turun dari sepeda motor, diantar oleh tetangga samping rumah Ibu. Tidak menggunakan sepeda motorku, melainkan sepeda motor anak tetangga, karena agar Bang Jali dan keluarganya tidak curiga dengan rencana yang sudah kususun matang. Suamiku itu sedang duduk di teras. Seperti sedang menungguku pulang. Di hadapannya, juga terdapat secangkir kopi yang kuyakini sudah diminum. Aku sengaja minta diantar tetangga dan meninggalkan sepeda motorku di rumah, agar Ibu bisa mengantar pesanan kue. Meskipun Ibu tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi aku sudah berpesan pada David, anak tetangga samping rumah untuk mengantarkan Ibu atau pesanan kuenya kemana saja. Anak remaja itu setuju, asalkan diberikan upah tiap minggunya. "Ditahan sama orang Bang," jawabku berbohong. Hanya dengan cara ini, aku bisa membantu Ibu. Jika kukatakan padanya bila sepeda motor kutinggalkan d