"Tapi Sil, ibu tuh agak khawatir sama kamu, ibu tak salah lihat kan, tadi Nak Alex mengelus perutmu, jujur sama ibu Nak! Ibu takkan marah, ibu tau, kamu takkan berbuat sehina itu?" ucapan ibu seakan memancing diriku untuk berkata jujur, kemudian ia menggenggam tanganku begitu erat, seraya menatapku dengan tatapan yang amat dalam.
Kupalingkan wajahku dari tatapan ibu, menundukkan kepala sembari menggeleng pelan, dan sungguh, aku tak berani menatap mata wanita paruh baya yang duduk di sampingku ini, tatapannya begitu menusuk, membuatku sulit untuk berkilah.
"Gak Bu, aku gak hamil, aku bersumpah demi ibu, aku mohon, ibu percaya sama aku! Aku tak mungkin melakukan hal seperti itu," ujarku tanpa menatapnya, tak mampu kupungkiri, hati ini benar-benar tak bisa tenang karena aku menyimpan sejuta kebohongan dalam dada ini.
Terpaksa aku berbohong pada ibu, aku takut. Meskipun ibu mengatakan bahwa ia tak akan marah, tapi aku tahu, ia pasti akan sang
"Mas Alex, bagaimana ini? Aku takut, menghadapi Devan, jika tamu itu benar adalah dia?" gumamku sambil duduk di depan cermin merapikan rambut yang agak basah, lalu ku ikat simpul, tak lupa memoles wajah dengan bedak natural white dan lipstik warna alami, agar wajah dan mataku tak terlalu kentara karena aku habis menangis. Kutarik nafas dalam-dalam mempersiapkan diri untuk menemui tamu yang dikatakan oleh ibu. Entah siapakah dia? Aku hanya berharap, semoga saja bukan bajingan itu yang datang menemuiku. Batinku terus saja memohon dengan perasaan yang tak tenang. Dengan hati gundah, kubuka pintu kamar lalu menyibak gorden berwarna merah maroon penutup pintu. Dengan langkah pelan aku berjalan menuju ruang tamu. "Tak ada tamu, mana tamunya?" gumamku sambil mengedarkan pandangan. Apa tamunya tidak diajak masuk oleh ibu? Tapi, itu tidak mungkin, ibu orangnya sangat ramah tamah pada siapapun. Ah, mungkin saja orang itu lebih memilih menungguku di luar menikma
"Silvi, ibu sudah mendengar semuanya." Ibu menggeleng pelan sambil menangis terisak. "Ibu tidak menyangka, apa yang sudah kamu lakukan, ibu sakit hati mendengarnya, Nak ...." Ibu memukul-mukul dadanya yang mungkin terasa sesak setelah mengetahui kehamilanku. Ibu menjeda ucapnya, sambil menyeka air yang terus jatuh begitu deras di pipinya, aku hanya bisa diam dan ikut menangis melihat ibu yang sangat terpukul atas apa yang terjadi padaku, dan apa yang telah aku lakukan. "Bu ...." Aku mencoba menenangkan ibu dengan mengusap bahunya lembut. "Silvi, ibu didik kamu, sekuat tenaga, semampu ibu, menyekolahkanmu, agar kau menjadi orang yang berguna. Setidaknya kamu bisa menjaga kehormatanmu, sebagai seorang perempuan," ucap ibu meremas kerah bajunya, napasnya tersendat-sendat karena tangisnya yang semakin tumpah, tubuh ibu pun luruh terduduk di lantai. "Ibu, maafkan aku, Bu. Semuanya salah orang itu, aku tidak berdaya, Bu ...." Aku menoleh deng
Dengan langkah cepat aku berjalan menuju rumah, menundukkan wajah seraya meremas jemari. Tak enak hati melewati beberapa pasang mata ibu-ibu yang menatapku dengan sudut mata. Saling melempar senyum sinis dan tatapan tak suka.Mereka duduk di teras rumah bercat putih menghadap jalan besar, menatapku dengan tatapan mengintimidasi, mungkin kah mereka sudah tahu keadaanku yang sebenarnya, bahwa aku kini hamil tanpa suami."Pantesan ya. Baru kerja dua bulan saja sudah bisa merenovasi rumah, ternyata dia bekerja sebagai lonte!" ucap ibu bertubuh gemuk yang mengenakan daster batik warna hijau Salem. Tangannya lincah memilih dagangan Bu Tati si rentenir kejam, kini usahanya merambah menjadi penjual baju dengan sistem kredit harian."Iya, Bu-ibu … hutang ke saya aja langsung d
Aku menggeleng sambil memejamkan mata, "Ibu, semua gara-gara kakak. Maafkan kakakmu ini, Sandi. Seno," ucapku penuh sesal, menatap kedua adikku bergantian, "Kalau boleh tahu, ibu di mana? Tolong antarkan kakak!""Apa, yang sudah kakak lakukan pada ibu?" tanya Sandi di bocah berambut cepak berbadan tinggi."Kakak, gak melakukan apapun. Kalian percaya, kan!" jawabku menutupi kebenaran dari kedua adik laki-lakiku. Aku tidak mau, mereka sampai tahu, karena mereka masih terlalu cepat untuk mengetahui kondisiku saat ini."Kalau, kakak tidak melakukan apa-apa? Kenapa ibu bisa menangis?" Seno berucap kembali, menatapku mencari jawaban, tatapan ibanya yang tadi memenuhi ruang di matanya, kini berubah menjadi tatapan menelisik. 
Aku bersyukur, akhirnya ibu berkenan memaafkanku, dan memahami apa yang sudah terjadi padaku. Aku mengandung bukan karena inginku, juga bukan karena sengaja menjual tubuh pada pria hidung belang, seperti yang dilontarkan oleh ibu-ibu kampung. Aku ini hanyalah korban. Korban nafsu lelaki bejat yang tak punya perasaan, dan menganggap semua yang ada di Dunia ini bisa dibelinya dengan uang. Tapi, orang-orang tak pernah ada satupun yang mengerti dan yang memahaminya, kesalahan selalu di limpahkan kepada perempuan, meskipun itu korban pelecehan. Seolah sanksi sosial hanya berlaku untuk para kaum hawa. "Bu, selama aku disana, aku disekap oleh Devan, dia tak pernah memberiku kesempatan untuk pergi keluar. Berbulan-bulan aku dijadikan sebagai budaknya, Bu. Aku benar-benar tersiksa," ucapku dengan derai air mata. Kedua tangan ibu terulur dan merangkulku membawaku ke dalam dekapannya, ia mengusap punggungku dengan lembut. "Ya Tuhan … Silvi, maafkan ibu, na
"Tapi, Bu. Kalau boleh tahu, Mas Alex kemana, kenapa dia tidak datang menemui saya, jika memang akan seperti ini kejadiannya. Kenapa bukan Mas Alex sendiri, yang membatalkan lamaran ini?" tanyaku pada ibu Mas Alex, yang masih berdiri kokoh di teras rumah kami. "Bukan, urusanmu. Lupakan anak saya, dan jangan sekali-kali menghubungi dia! pelacur sepertimu, tidak pantas bersanding dengan anak saya!" tukasnya, Ibu Mas Alex menatapku dengan sudut mata, seraya tersenyum meremehkan. Kemudian, Ibu balas menatap tajam pada perempuan angkuh itu, dengan kedua tangan mengepal kuat, "Tutup, mulut anda!" hardik ibuku, menunjuk jarinya ke mulut ibu Mas Alex, "Tidak sepantasnya, orang berpendidikan tinggi seperti nyonya, berkata kasar dan menghina orang lain, setidaknya anda punya sedikit rasa hormat, sebagai tamu disini!" lanjut ibu dengan napas memburu, yang sudah diliputi amarah sejak tadi, karena penghinaan dari ibu Mas Alex. "Santai saja, Bu! Memang itu kenyataannya buk
POV Alex."Bu … tolong lepaskan, aku! Biarkan aku pergi! Untuk menemui Silvi, Ibu jahat!" ucapku memberontak, tangan dan kakiku terikat, entah sejak kapan aku seperti ini."Lex, maafkan ibu, Nak. Sedikit pun, tak ada maksud jahat padamu, tapi, ibu tidak rela jika kamu menikahi jalang itu!" tukas ibu seraya duduk di tepi ranjang, tatapannya lurus ke arah dinding tembok, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan anaknya."Ibu, kenapa ibu berubah menjadi seperti, ini? Kau bukan ibuku yang aku kenal," teriakku, "Ibu benar-benar kejam, menyesal aku datang kesini, meminta restu ibu dan ayah untuk menikahi Silvi, jika kenyataannya akan begini, lebih baik aku menikah diam-diam,""Alex, maaf, jika ibu sudah berbuat kejam padamu! Tapi, Ibu tidak ikhlas kamu bersanding dengan wanita murahan seperti Silvi! Dan ibu juga sudah punya calon istri untukmu, dia putri dari sahabat ibu, dan ayah," ujar ibu seraya mengambil ponsel dari tas kecil yang berada di pangkuannya,
POV Silvi. Siapakah tamu yang datang, setelah Mas Alex memutuskan lamaran ini dengan seenaknya. Apa mungkin pelanggan warung ibu, mau belanja keperluan dapur? Tapi kan, hari ini warung ibu tidak buka, karena kami akan mengadakan acara penyambutan tamu, yaitu Mas Alex dan keluarganya. Namun, semuanya batal, beruntung ibu belum mengundang semua tetangga untuk menghadiri acara lamaranku. Entah bagaimana jadinya, jika para tetangga sudah datang dan berkumpul melihat aku yang dipermalukan oleh ibu Mas Alex. Semalaman ibu tidur hanya beberapa jam saja, beliau sibuk membuat kue-kue basah dan cemilan lainnya, untuk suguhan, di bantu Sandi dan Seno. Tapi, semuanya sia-sia, makanan yang sudah susah payah ibu buat, akhirnya dibagikan kepada tetangga. Aku beringsut menuju lemari dan mengambil baju, kemudian memakainya, long dress sedengkul warna biru muda lengan pendek, motif bunga mawar putih. Aku berdiri depan pintu kamar, menunggu ibu. "B
Tak ingin menanggapi ucapan Devan, yang selalu mengarah kedalam hubungan intim, aku menarik tangan dari genggamannya, berlalu meninggalkan dia yang masih berdiri di balkon, menuruni anak tangga menuju ruang makan karena perut mulai berbunyi minta diisi. "Selamat malam, Non." Bi Rika menyambutku, menggeser kursi untukku duduk, dia menyiapkan piring dan mengisi makan, semuanya nampak enak dan bergizi. Tentunya, Devan ingin yang terbaik untukku dan calon bayinya, seperti Mas Alex, dulu sewaktu aku tinggal bersamanya, dia selalu memberikan asupan makanan yang bergizi setiap hari, dia sering berkata sambil mengelus perutku. "Baby, kamu jangan nakal, ya! Mama jangan dibuat mual lagi, kasihan." Mas Alex memperhatikan perut buncitku sambil terus mengusapnya naik turun, "Semalam, baru saja mamamu bisa makan enak sudah di keluarkan lagi. Baby, kamu sedang apa, sayang? Pasti sedang bobo," ucapnya kala itu, wajahnya nampak bahagia seperti seorang ayah yang mencintai calon buah hatinya. "Papa
POV Silvi.Rasa bahagia menggelenyar dalam lubuk hatiku. Ya, awalnya, diri ini tak sama sekali menginginkan anak yang ada dalam kandunganku. Namun, setelah melihatnya tadi saat pemeriksaan ultrasonografi aku merasa terharu. Dulu, berbagai cara aku lakukan, untuk melenyapkan makhluk kecil yang bersemayam dalam rahimku, tapi usahaku selalu gagal. Dan, beberapa bulan lagi dia akan segera lahir ke dunia ini, aku akan menjadi seorang ibu."Nak, maafkan mama ya, mama pernah menginginkan kau tiada. Mama begitu kejam padamu." Kutatap perutku yang agak membuncit, ada pergerakan di dalam sana seolah anak itu tahu apa yang sedang aku katakan."Mama janji, mama akan mencintaimu. Memberikan seluruh kasih sayang untukmu, Nak."Air mataku meleleh. Andai semua ini bukan perbuatan Devan dan aku memiliki keluarga kecil, betapa bahagianya aku.Setelah pulang dari rumah sakit, seharian aku berada di dalam kamar benar-benar merasa bosan tinggal di kamar sendirian. Bukannya aku sombong dan tak ingin berbau
POV Devan.Harapan untuk membina rumah tangga dan membesarkan anakku bersama Silvi wanita yang begitu aku cintai, meskipun ia tak mencintaiku sama sekali. Namun, aku tak peduli dengan rasa ia terhadapku, semoga saja tak ada hambatan untuk dua hari kedepan sampai hari pernikahan kami tiba.__Siang ini kami ada janji dengan dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilan Silvi. Tak sabar ingin melihat calon buah hati kami, ya, bisa dikatakan buah hatiku, karena Silvi tak begitu menginginkannya."Bayinya sehat, pergerakannya juga mulai aktif. Denyut jantungnya juga normal, berat dan ukuran sesuai dengan usia janinnya," kata sang dokter menjelaskan sambil terus menggerakkan alat transducer di atas permukaan perut Silvi yang sedikit membuncit. Mataku nggan tuk berkedip menatap takjub ke layar monitor berwarna hitam dan putih yang bergerak-gerak."Anakku," kata Silvi lirih. Namun, masih bisa kudengar tatapan terfokus pada layar tersebut memperlihatkan pergerakan bayi yang kini masih bersemay
POV Silvi. Perhatian Devan begitu lembut dan hangat. Namun, tak sedikitpun membuat hatiku iba dan mau menerima dia begitu saja. "Silvi, kau jangan bicara seperti itu! Kau tahu, aku tak mau kehilanganmu, karena aku sangat mencintai dan menginginkanmu. Dua hari lagi hari pernikahan kita akan dilaksanakan, kuharap kau bersiap menerima segala kekurangan dan memaafkan segala dosa yang pernah kubuat. Aku akan mengikat janji suci didepan penghulu, kau akan menjadi permaisuri dalam hidupku untuk selamanya," ucap Devan sungguh-sungguh, tak ada kebohongan dari sorot matanya bahwa yang diucapkannya itu benar, kalau dia memang mencintaiku. "Kalau soal itu, aku pasti menepatinya. Aku akan menikah denganmu, demi anak ini. Tapi, aku tak bisa janji untuk menerimamu didalam hatiku." Aku menengadah seraya mengusap air mata yang tak kuminta untuk keluar. Ingatanku terpusat pada Mas Alex yang begitu baik. Hatiku sungguh pedih dengan kenyataan ini. Bagaimana hati ini tidak merasa pedih dan sakit? Yan
POV Devan.Aku tersenyum melihat ekspresi muka Silvi yang begitu ketakutan. Ia beringsut mundur, kedua tangannya mencengkram erat kerah bajunya menutup rapat dada hingga leher. "Mau apa, kau?" Silvi menatap waspada. Aku menggeleng dan tersenyum tipis, "Aku hanya mau mengajakmu, untuk …." Sengaja aku tak melanjutkan kalimat. Dengan tenang aku melipat lengan baju sampai bawah siku. Ku longgarkan dasi dan melepasnya kemudian membuka kancing baju paling atas. Silvi menatapku tajam dengan napas memburu penuh ketakutan. "Jangan mendekat!" bentak Silvi menunjuk jari telunjuknya ke arah wajahku. "Jangan marah-marah dulu! Aku takkan pernah menyakitimu, Silvi. Aku hanya ingin mengajakmu sejenak menghilangkan penat."Sengaja aku menggoda dia."Maksudmu apa?""Tak ada maksud apapun,""Katakan jangan membuatku takut, dan tambah membencimu!""Silvi, kamu pasti bosan terkurung di rumah ini. Makanya aku mau ajak kamu untuk jalan sore. Kamu pasti penat berada seharian di dalam kamar, jangan berbur
POV Silvi.Selepas makan siang dan minum susu, aku minum vitamin dari dokter yang sudah disediakan Devan diatas piring kecil. Pikiranku saat ini terfokus pada Mas Alex, entah mengapa hati ini begitu khawatir takut terjadi sesuatu padanya. Tuhan tolong lindungilah dia, lindungi dari orang-orang jahat dan jauhkanlah dia dari marabahaya. Hanya doa yang bisa kupanjatkan, semoga Mas Alex dalam keadaan baik-baik saja. Air mataku menetes kala teringat masa-masa indah bersamanya, walaupun kami tak saling mengungkapkan kata cinta, tapi rasa itu tumbuh begitu kuat dalam hati. Sebelum berpisah aku dan Mas Alex dulu bertemu di sebuah cafe ungkapan cintanya belum sempat kujawab hingga akhirnya kami dipertemukan kembali di tempat yang tak disangka-sangka.Mas Alex begitu mencintaiku, aku pun sama mencintainya. Ketulusan dan perhatiannya amat besar, membuatku luluh dan hanya dia yang ada dalam hatiku. Ia juga mau memberikan status untuk anakku nanti, dan rela bertanggung jawab meski bukan dia yang
POV Devan.Segala rasa rinduku padamu, dan rasa cintaku untukmu, akan kusimpan dalam hati. Biarlah waktu yang akan menjawab meski seribu tahun lamanya aku akan tetap menunggumu, menunggu kau membuka hatimu untukku.Kuberharap Silvi percaya dengan apa yang aku ucapkan, bahwa aku sungguh-sungguh akan berubah demi dia. Terutama demi anak yang dikandungnya."Besok, aku ingin mengajakmu ke rumah sakit."Silvi menatapku tak suka, "Untuk apa?" tanyanya datar."Aku hanya ingin memeriksakan kandunganmu saja,""Kan, tadi sudah diperiksa oleh dokter. Untuk apalagi?""Aku ingin tahu perkembangan janinnya, dan ingin melihat bayi di perutmu,""Aku tak ingin pergi ke mana-mana," tolak Silvi memalingkan wajahnya dari tatapanku."Sebentar saja. Sekalian kita jalan-jalan agar kau tidak merasa jenuh!""Aku lelah, dan ingin di kamar saja."Bibir ini kuusahakan untuk selalu tersen
POV Silvi.Andai aku bisa memenjarakan Devan, aku ingin memberi dia pelajaran, tapi apalah daya aku tak bisa. Dan hanya bisa menyerah dengan keadaan.Setengah hari tinggal di rumah Devan terasa satu tahun lamanya berada disini, aku ingin pulang bertemu ibu kembali. Menyesal tak mendengar perkataan ibu yang mengajakku pergi bersama-sama dari kampung itu."Silvi, aku masuk ya." Devan membuka pintu separuh tubuhnya melongok ke dalam. Aku mengangguk mempersilakan, tak ada alasan bagiku untuk melarangnya selama ia tak melakukan hal yang tidak aku inginkan."Ini sudah waktunya makan siang, aku lupa bahwa kamu belum makan apapun. Maaf aku terlalu memaksa dirimu, sehingga aku lupa dengan kondisimu." Devan meletakkan nampan berisi nasi dan sup jamur, ayam goreng juga segelas susu di atas nakas. Kemudian ia duduk di tepi ranjang."Setelah makan minum susunya, ya! Ini susu murni, aku belum sempat membeli susu hamil untukmu, nanti
POV Devan.Aku mengerti dengan perasaan Silvi, aku begitu paham kenapa dia terus menolak itikad baikku untuk menikahinya. Kuakui aku memang lelaki bodoh dan kasar, mengedepankan hawa nafsu hingga mengabaikan kewarasanku. Wajar Silvi begitu membenciku dan jijik terhadapku, tapi aku berjanji mulai saat ini aku akan berubah."Besok aku akan meminta pak Reno ke rumahmu! Untuk mengambil berkas-berkas yang kita butuhkan,""Apa saya boleh ikut?" tanya Silvi ragu-ragu."Tak usah! Hanya pak Reno sendiri yang akan ke sana. Aku pun tak ikut," jawabku seadanya."Kenapa kau melarangku, sekedar untuk menemui ibu?""Bukannya kau sudah diusir oleh warga di kampungmu? Kenapa kau ingin kembali ke sana?""Itu karena perbuatanmu, sehingga saya diusir dari kampung halaman sendiri. Dipermalukan didepan semua orang, ibu dihina habis-habisan hingga dia begitu terpukul." Silvi menyeka air matanya dengan cepat, menarik napas dalam-dalam