POV Alex.
"Bu … tolong lepaskan, aku! Biarkan aku pergi! Untuk menemui Silvi, Ibu jahat!" ucapku memberontak, tangan dan kakiku terikat, entah sejak kapan aku seperti ini.
"Lex, maafkan ibu, Nak. Sedikit pun, tak ada maksud jahat padamu, tapi, ibu tidak rela jika kamu menikahi jalang itu!" tukas ibu seraya duduk di tepi ranjang, tatapannya lurus ke arah dinding tembok, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan anaknya.
"Ibu, kenapa ibu berubah menjadi seperti, ini? Kau bukan ibuku yang aku kenal," teriakku, "Ibu benar-benar kejam, menyesal aku datang kesini, meminta restu ibu dan ayah untuk menikahi Silvi, jika kenyataannya akan begini, lebih baik aku menikah diam-diam,"
"Alex, maaf, jika ibu sudah berbuat kejam padamu! Tapi, Ibu tidak ikhlas kamu bersanding dengan wanita murahan seperti Silvi! Dan ibu juga sudah punya calon istri untukmu, dia putri dari sahabat ibu, dan ayah," ujar ibu seraya mengambil ponsel dari tas kecil yang berada di pangkuannya,
POV Silvi. Siapakah tamu yang datang, setelah Mas Alex memutuskan lamaran ini dengan seenaknya. Apa mungkin pelanggan warung ibu, mau belanja keperluan dapur? Tapi kan, hari ini warung ibu tidak buka, karena kami akan mengadakan acara penyambutan tamu, yaitu Mas Alex dan keluarganya. Namun, semuanya batal, beruntung ibu belum mengundang semua tetangga untuk menghadiri acara lamaranku. Entah bagaimana jadinya, jika para tetangga sudah datang dan berkumpul melihat aku yang dipermalukan oleh ibu Mas Alex. Semalaman ibu tidur hanya beberapa jam saja, beliau sibuk membuat kue-kue basah dan cemilan lainnya, untuk suguhan, di bantu Sandi dan Seno. Tapi, semuanya sia-sia, makanan yang sudah susah payah ibu buat, akhirnya dibagikan kepada tetangga. Aku beringsut menuju lemari dan mengambil baju, kemudian memakainya, long dress sedengkul warna biru muda lengan pendek, motif bunga mawar putih. Aku berdiri depan pintu kamar, menunggu ibu. "B
POV Alex. Betapa kesalnya aku pada ibu, ia menyekapku di dalam kamar seperti seorang tawanan, dan dijaga oleh dua orang berpenampilan seperti preman pasar. "Ah ... benar-benar menyebalkan." Gagal sudah impianku untuk melamar Silvi, dia pasti sangat kecewa terhadapku karena ingkar janji, seharusnya aku dan Silvi hari ini sudah menjadi pasangan yang halal. Aku ingin sekali membahagiakan gadis itu. Masih teringat pertemuan beberapa bulan lalu, awal kebahagiaanku bertemu lagi dengan Silvi. Berbulan-bulan aku mencari keberadaannya, dan hampir putus asa karena usahaku selalu berbuah nihil. Pagi hari aku baru pulang praktek dari rumah sakit tempatku tugas, entah kenapa aku ingin sekali melewati jalanan yang sepi itu, kanan kirinya terdapat pohon sawit dan pohon karet yang rimbun, tempatnya sepi dan sunyi. Aku menyusuri jalan itu dengan mengendarai sepeda motor sport kesayanganku. Pandanganku mengedar ke segala arah, melaju d
POV Silvi. Aku memberontak sekuat tenaga, saat jemari besar pak Reno mencekal pergelangan tanganku. "Pak, tolong lepaskan, saya! Saya tidak mau berurusan lagi dengan majikan, anda!" ucapku penuh tekanan seraya menatap wajahnya dengan geram. Lelaki tiga puluh lima tahun itu tersenyum tipis, menanggapi ucapanku, tanpa sedikit pun melepaskan tangannya, yang masih melingkar di pergelanganku. "Dengar, Nona! Tuan saya mengatakan bahwa, anda harus ikut, bersama saya sekarang juga! Beliau sudah menunggumu sejak tadi pagi!" "Untuk apa, kalian mengusik hidupku lagi? Belum puaskah Tuanmu itu merusak hidup, saya?!" "Nona, sebaiknya anda ikuti saja permintaan saya! Dan turuti keinginan Tuan Muda!" "Lepaskan saya! Kalau tidak, saya akan berteriak, agar pak Reno dihakimi warga!" "Saya, tidak takut dengan ancaman anda, Nona. Sebaiknya menurut saja, sebelum terjadi apa-apa pada ibu dan adikmu!" "Say
POV Alex. Setelah tenagaku terkumpul seluruhnya. Orang-orang suruhan ibu pun pergi entah kemana? Padahal aku ingin memberi mereka pelajaran terlebih dahulu, karena sudah menuruti keinginan gila, ibu. Duduk di tepi ranjang seraya merogoh saku celana dan mengambil ponsel, berniat untuk menghubungi Silviana, kekasihku yang sangat kucintai. Beberapa kali aku menghubungi dia, tak ada jawaban sama sekali, padahal tertera jelas di layar ponselku, bahwa handphone milik Silvi aktif dan berdering. "Silvi, angkat dong!" gumamku menengadah seraya memejamkan mata, dan menarik napas kecewa. "Aku akan menjemputmu sekarang, Silvi! Tunggu, Mas!" ucapku bangkit, sambil menggenggam erat ponsel yang kupegang. Rasa kesal dan marah pada ibu bercampur di dalam hatiku, kenapa ibu bisa setega ini padaku? Tak mencerminkan bahwa beliau adalah seorang bidan, selalu menolong banyak wanita, yang berjuang antara hidup dan mati, mempertaruhkan seluruh jiwa raga
POV Silvi. "Tuan, tolong turunkan aku, di sini! Aku gak mau ikut lagi," ucapku memohon seraya menangkupkan kedua telapak tangan. Air mataku jatuh deras dengan derasnya pipi. Namun, Devan tak memintaku, malah merangkulku begitu erat. "Dengar, Silvi. Aku tidak akan pernah pergi pergi lagi dari mimpi! Berbulan-bulan aku mencari keberadaanmu, dengan susah payah aku mengobati hatiku yang hancur karena kepergianmu, aku begitu kesepian. Aku selalu kesepian," ujar Devan, menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Tuan, apa kamu mau memperlakukanku seperti dulu? Aku tidak mau!" Aku menggo
POV Devan.Harapan dan impianku hanya satu memiliki Silvi seutuhnya, memiliki cintanya membina rumah tangga dengannya, membesarkan anak kami yang tak lama lagi akan segera lahir.Hatiku benar-benar merasa lega, dan bahagia yang tak terkira, kini Silvi kembali padaku, usahaku mencari keberadaannya selama ini tak sia-sia dan membuahkan hasil.Tak ada niatan untukku merusak dan menghancurkan hidupnya lagi. Aku membawanya kembali hanya ingin melindungi dia dan anakku saja. Aku tahu Silvi tak menginginkan anak itu, sejak ia diperiksa oleh dokter dulu di rumahku, dan dinyatakan hamil, dia selalu berusaha melenyapkan janinnya.Perasaanku terus dihantui rasa cemas. Entah kenapa semenjak kami berpisah, hatiku kian resah memikirkan janin yang dikandung Silvi takut ia melenyapkan bayi yang tak diharapkannya, jika aku membiarkan dia jauh dariku, tak menutup kemungkinan dia berbuat nekat. Aku berjanji akan senantiasa menjaga mereka berdua menjamin keselama
POV Silvi. Entah apa yang ada dalam pikiran Devan, dia selalu mengancam dan memaksakan kehendak. Saat perjalanan ke sini dia mengatakan agar aku ikut dengannya, dan hanya menginginkan anak ini saja. Tapi, kenapa sekarang dia memaksaku untuk menikah dengannya, aku tak mengerti kenapa Devan tak pernah tepati janjinya ucapannya selalu berbeda dengan apa yang dilakukannya. "Aku akan menikah denganmu, tapi ada satu syarat," ucapku saat dia hendak melangkah pergi dari kamar ini. "Apa syaratnya? Katakan!" Devan kembali menghampiriku. "Kau tak boleh menyentuhku! Dan selama aku masih mengandung, aku tidak mau melayanimu seperti halnya istri kepada suaminya, dan bebaskan aku setelah anak ini lahir seperti janjimu beberapa saat lalu," "Syarat yang pertama mudah, aku bisa menjalankannya, tak menyentuhmu selama kau masih mengandung. Tapi, aku takkan membiarkanmu pergi, apalagi membebaskanmu, dengan kata bercerai, aku menginginkan ke
POV Devan.Aku mengerti dengan perasaan Silvi, aku begitu paham kenapa dia terus menolak itikad baikku untuk menikahinya. Kuakui aku memang lelaki bodoh dan kasar, mengedepankan hawa nafsu hingga mengabaikan kewarasanku. Wajar Silvi begitu membenciku dan jijik terhadapku, tapi aku berjanji mulai saat ini aku akan berubah."Besok aku akan meminta pak Reno ke rumahmu! Untuk mengambil berkas-berkas yang kita butuhkan,""Apa saya boleh ikut?" tanya Silvi ragu-ragu."Tak usah! Hanya pak Reno sendiri yang akan ke sana. Aku pun tak ikut," jawabku seadanya."Kenapa kau melarangku, sekedar untuk menemui ibu?""Bukannya kau sudah diusir oleh warga di kampungmu? Kenapa kau ingin kembali ke sana?""Itu karena perbuatanmu, sehingga saya diusir dari kampung halaman sendiri. Dipermalukan didepan semua orang, ibu dihina habis-habisan hingga dia begitu terpukul." Silvi menyeka air matanya dengan cepat, menarik napas dalam-dalam
Tak ingin menanggapi ucapan Devan, yang selalu mengarah kedalam hubungan intim, aku menarik tangan dari genggamannya, berlalu meninggalkan dia yang masih berdiri di balkon, menuruni anak tangga menuju ruang makan karena perut mulai berbunyi minta diisi. "Selamat malam, Non." Bi Rika menyambutku, menggeser kursi untukku duduk, dia menyiapkan piring dan mengisi makan, semuanya nampak enak dan bergizi. Tentunya, Devan ingin yang terbaik untukku dan calon bayinya, seperti Mas Alex, dulu sewaktu aku tinggal bersamanya, dia selalu memberikan asupan makanan yang bergizi setiap hari, dia sering berkata sambil mengelus perutku. "Baby, kamu jangan nakal, ya! Mama jangan dibuat mual lagi, kasihan." Mas Alex memperhatikan perut buncitku sambil terus mengusapnya naik turun, "Semalam, baru saja mamamu bisa makan enak sudah di keluarkan lagi. Baby, kamu sedang apa, sayang? Pasti sedang bobo," ucapnya kala itu, wajahnya nampak bahagia seperti seorang ayah yang mencintai calon buah hatinya. "Papa
POV Silvi.Rasa bahagia menggelenyar dalam lubuk hatiku. Ya, awalnya, diri ini tak sama sekali menginginkan anak yang ada dalam kandunganku. Namun, setelah melihatnya tadi saat pemeriksaan ultrasonografi aku merasa terharu. Dulu, berbagai cara aku lakukan, untuk melenyapkan makhluk kecil yang bersemayam dalam rahimku, tapi usahaku selalu gagal. Dan, beberapa bulan lagi dia akan segera lahir ke dunia ini, aku akan menjadi seorang ibu."Nak, maafkan mama ya, mama pernah menginginkan kau tiada. Mama begitu kejam padamu." Kutatap perutku yang agak membuncit, ada pergerakan di dalam sana seolah anak itu tahu apa yang sedang aku katakan."Mama janji, mama akan mencintaimu. Memberikan seluruh kasih sayang untukmu, Nak."Air mataku meleleh. Andai semua ini bukan perbuatan Devan dan aku memiliki keluarga kecil, betapa bahagianya aku.Setelah pulang dari rumah sakit, seharian aku berada di dalam kamar benar-benar merasa bosan tinggal di kamar sendirian. Bukannya aku sombong dan tak ingin berbau
POV Devan.Harapan untuk membina rumah tangga dan membesarkan anakku bersama Silvi wanita yang begitu aku cintai, meskipun ia tak mencintaiku sama sekali. Namun, aku tak peduli dengan rasa ia terhadapku, semoga saja tak ada hambatan untuk dua hari kedepan sampai hari pernikahan kami tiba.__Siang ini kami ada janji dengan dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilan Silvi. Tak sabar ingin melihat calon buah hati kami, ya, bisa dikatakan buah hatiku, karena Silvi tak begitu menginginkannya."Bayinya sehat, pergerakannya juga mulai aktif. Denyut jantungnya juga normal, berat dan ukuran sesuai dengan usia janinnya," kata sang dokter menjelaskan sambil terus menggerakkan alat transducer di atas permukaan perut Silvi yang sedikit membuncit. Mataku nggan tuk berkedip menatap takjub ke layar monitor berwarna hitam dan putih yang bergerak-gerak."Anakku," kata Silvi lirih. Namun, masih bisa kudengar tatapan terfokus pada layar tersebut memperlihatkan pergerakan bayi yang kini masih bersemay
POV Silvi. Perhatian Devan begitu lembut dan hangat. Namun, tak sedikitpun membuat hatiku iba dan mau menerima dia begitu saja. "Silvi, kau jangan bicara seperti itu! Kau tahu, aku tak mau kehilanganmu, karena aku sangat mencintai dan menginginkanmu. Dua hari lagi hari pernikahan kita akan dilaksanakan, kuharap kau bersiap menerima segala kekurangan dan memaafkan segala dosa yang pernah kubuat. Aku akan mengikat janji suci didepan penghulu, kau akan menjadi permaisuri dalam hidupku untuk selamanya," ucap Devan sungguh-sungguh, tak ada kebohongan dari sorot matanya bahwa yang diucapkannya itu benar, kalau dia memang mencintaiku. "Kalau soal itu, aku pasti menepatinya. Aku akan menikah denganmu, demi anak ini. Tapi, aku tak bisa janji untuk menerimamu didalam hatiku." Aku menengadah seraya mengusap air mata yang tak kuminta untuk keluar. Ingatanku terpusat pada Mas Alex yang begitu baik. Hatiku sungguh pedih dengan kenyataan ini. Bagaimana hati ini tidak merasa pedih dan sakit? Yan
POV Devan.Aku tersenyum melihat ekspresi muka Silvi yang begitu ketakutan. Ia beringsut mundur, kedua tangannya mencengkram erat kerah bajunya menutup rapat dada hingga leher. "Mau apa, kau?" Silvi menatap waspada. Aku menggeleng dan tersenyum tipis, "Aku hanya mau mengajakmu, untuk …." Sengaja aku tak melanjutkan kalimat. Dengan tenang aku melipat lengan baju sampai bawah siku. Ku longgarkan dasi dan melepasnya kemudian membuka kancing baju paling atas. Silvi menatapku tajam dengan napas memburu penuh ketakutan. "Jangan mendekat!" bentak Silvi menunjuk jari telunjuknya ke arah wajahku. "Jangan marah-marah dulu! Aku takkan pernah menyakitimu, Silvi. Aku hanya ingin mengajakmu sejenak menghilangkan penat."Sengaja aku menggoda dia."Maksudmu apa?""Tak ada maksud apapun,""Katakan jangan membuatku takut, dan tambah membencimu!""Silvi, kamu pasti bosan terkurung di rumah ini. Makanya aku mau ajak kamu untuk jalan sore. Kamu pasti penat berada seharian di dalam kamar, jangan berbur
POV Silvi.Selepas makan siang dan minum susu, aku minum vitamin dari dokter yang sudah disediakan Devan diatas piring kecil. Pikiranku saat ini terfokus pada Mas Alex, entah mengapa hati ini begitu khawatir takut terjadi sesuatu padanya. Tuhan tolong lindungilah dia, lindungi dari orang-orang jahat dan jauhkanlah dia dari marabahaya. Hanya doa yang bisa kupanjatkan, semoga Mas Alex dalam keadaan baik-baik saja. Air mataku menetes kala teringat masa-masa indah bersamanya, walaupun kami tak saling mengungkapkan kata cinta, tapi rasa itu tumbuh begitu kuat dalam hati. Sebelum berpisah aku dan Mas Alex dulu bertemu di sebuah cafe ungkapan cintanya belum sempat kujawab hingga akhirnya kami dipertemukan kembali di tempat yang tak disangka-sangka.Mas Alex begitu mencintaiku, aku pun sama mencintainya. Ketulusan dan perhatiannya amat besar, membuatku luluh dan hanya dia yang ada dalam hatiku. Ia juga mau memberikan status untuk anakku nanti, dan rela bertanggung jawab meski bukan dia yang
POV Devan.Segala rasa rinduku padamu, dan rasa cintaku untukmu, akan kusimpan dalam hati. Biarlah waktu yang akan menjawab meski seribu tahun lamanya aku akan tetap menunggumu, menunggu kau membuka hatimu untukku.Kuberharap Silvi percaya dengan apa yang aku ucapkan, bahwa aku sungguh-sungguh akan berubah demi dia. Terutama demi anak yang dikandungnya."Besok, aku ingin mengajakmu ke rumah sakit."Silvi menatapku tak suka, "Untuk apa?" tanyanya datar."Aku hanya ingin memeriksakan kandunganmu saja,""Kan, tadi sudah diperiksa oleh dokter. Untuk apalagi?""Aku ingin tahu perkembangan janinnya, dan ingin melihat bayi di perutmu,""Aku tak ingin pergi ke mana-mana," tolak Silvi memalingkan wajahnya dari tatapanku."Sebentar saja. Sekalian kita jalan-jalan agar kau tidak merasa jenuh!""Aku lelah, dan ingin di kamar saja."Bibir ini kuusahakan untuk selalu tersen
POV Silvi.Andai aku bisa memenjarakan Devan, aku ingin memberi dia pelajaran, tapi apalah daya aku tak bisa. Dan hanya bisa menyerah dengan keadaan.Setengah hari tinggal di rumah Devan terasa satu tahun lamanya berada disini, aku ingin pulang bertemu ibu kembali. Menyesal tak mendengar perkataan ibu yang mengajakku pergi bersama-sama dari kampung itu."Silvi, aku masuk ya." Devan membuka pintu separuh tubuhnya melongok ke dalam. Aku mengangguk mempersilakan, tak ada alasan bagiku untuk melarangnya selama ia tak melakukan hal yang tidak aku inginkan."Ini sudah waktunya makan siang, aku lupa bahwa kamu belum makan apapun. Maaf aku terlalu memaksa dirimu, sehingga aku lupa dengan kondisimu." Devan meletakkan nampan berisi nasi dan sup jamur, ayam goreng juga segelas susu di atas nakas. Kemudian ia duduk di tepi ranjang."Setelah makan minum susunya, ya! Ini susu murni, aku belum sempat membeli susu hamil untukmu, nanti
POV Devan.Aku mengerti dengan perasaan Silvi, aku begitu paham kenapa dia terus menolak itikad baikku untuk menikahinya. Kuakui aku memang lelaki bodoh dan kasar, mengedepankan hawa nafsu hingga mengabaikan kewarasanku. Wajar Silvi begitu membenciku dan jijik terhadapku, tapi aku berjanji mulai saat ini aku akan berubah."Besok aku akan meminta pak Reno ke rumahmu! Untuk mengambil berkas-berkas yang kita butuhkan,""Apa saya boleh ikut?" tanya Silvi ragu-ragu."Tak usah! Hanya pak Reno sendiri yang akan ke sana. Aku pun tak ikut," jawabku seadanya."Kenapa kau melarangku, sekedar untuk menemui ibu?""Bukannya kau sudah diusir oleh warga di kampungmu? Kenapa kau ingin kembali ke sana?""Itu karena perbuatanmu, sehingga saya diusir dari kampung halaman sendiri. Dipermalukan didepan semua orang, ibu dihina habis-habisan hingga dia begitu terpukul." Silvi menyeka air matanya dengan cepat, menarik napas dalam-dalam