Kulempar Kasar Kalender kecil itu ke kursi samping. Dan kulihat lagi note kecil yang ku ambil didekat tempat tidur Lia. Ada beberapa agenda bepergian tercatat.
Ah, kau licik sekali adikku. Kau biarkan kakak madumu ini mengurus sediri suami kita, dan kau sibuk liburan dengan banyak agenda. Jangan bermimpi....Aku buka satu demi satu agenda yang tertulis di note itu. Bahkan kutemukan nama mas Erlan. Lengkap dengan jadwalnya bepergian sejak dua tahun lalu. Dan tinta hitam melingkari foto suamiku itu. Yang jelas mengartikan bahwa lelakiku memanglah incaranmu Lia.Begini kamu bilang di jodohkan dengan terpaksa?Tertawa sudah aku dibuat kembali mengingat kalimat-kalimat manisnya dulu. Dua manusia yang menganggap dirinya pintar, ternyata hanyalah manusia-manusia bodoh...***Flash Back" Maafkan aku ya mbak." Kalimat itu keluar di sarapan pertama kami bersama."Maaf untuk apa sayang?" Mas Erlan begitu mesra membelai rambut madunya, menyelipkan rambut itu di belakang telinga Lia.Jangan tanyakan bagaimana rasanya hatiku yang memanas. Menikmati sarapan lengkap dengan telenovelanya. Menjijikan sekali. Namun semua rasa ini masih coba kutahan, karena aku masih memiliki tujuan lain."Maaf karena menikah denganmu mas. Maaf ya mbak, aku terpaksa menikah dengan mas Erlan." Ucapnya begitu manis.Aku diam, melihat senyum yang dibuatnya begitu memuakan. Namun tidak dengan mas Erlan. Dia justru tertawa renyah."Hahahaa. Untuk apa kamu meminta maaf dek?""Tak apa mas, Mbak Wita harus tau, jika aku ini bukan wanita perebut suami orang. Kita bertemu tanpa sengaja, dan ibu yang datang sendiri untuk melamarku" Dia menyibakkan rambutnya yang tergerai. Gelang marah mas Erlan terdengar gemerincing."Tak ada yang menyebutmu begitu dek. Memang ibu yang memilihmu untuk jadi ibu dari anak-anak mas. Biarkan saja kakak madumu itu, dia hanya belum bisa melunakkan sikapnya padamu." Dia mengusap pipi Lia."Tak apa mas, mbak Wita hanya butuh waktu untuk berbagi. Bukan begitu mbak?"Aku tersenyum, bagaimana bisa kunikmati sarapan pagi, bahkan potongan roti di mulut saja saat itu terasa sulit kutelan."Dengar Wita? Lia saja begitu tulus menerimamu. Bagaimana bisa kamu tak melihat itu?""Yaa.. yaa, aku bisa melihat tulusnya istri mudamu itu menikmati jadi nyonya baru di rumah ini. Bahkan membanting gelas subuh tadi, hanya karena bi Imah terlambat memberinya susu hangat." Sengaja kupertegas kalimat terakhir. Aku memang marah melihatnya memperlakukan bi Imah sesuka hati.Kalimat itu membuat wajah mas Erlan terdiam. "Bisa kau jaga sikapmu Wita? Lia masih baru dirumah ini, dan dia bilang gelas tadi tak sengaja terjatuh."Prang...Ku banting garpu keatas meja, lalu kuambil pisau roti dan menunjuk wajah dua manusia didepanku ini. "Bisakah juga kalian menjaga sikap di meja makan? Aku hanya ingin sarapan dengan tenang. Bukan melihat tangan dan kaki kalian saling meremas. Menjijikkan!" "Wita...!" Teriakan mas Erlan membuatku tersentak."Apa..! Jangan membentakku mas. Kau lupa apa janjimu padaku?" Dia melanggar ucapanya untuk tak berbuat kasar padaku. bahkan saat itu dia membentakku didepan wanita murahannya."Jika kalian masih ingin saling mengigit, meremas, bergulung bersama, jangan disini! Sana, lanjutkan kisah kalian lagi dikamar." Aku mengatur nafas berat. Muak rasanya melihat pemandangan mereka berdua.Aku berjalan mengambil bungkusan di lemari ruang tengah. "Ini obat kuat yang kau beli online kemarin Lia. Aku yang menerima paketan itu. Sudah kubayar lunas!" Aku lempar plastik itu di atas meja.Wajah Lia memerah karena malu, tangannya bergetar mengambil bungkusan itu dan memasukkannya kebawah meja. "Kufikir menjadi istri kedua, kau sudah bisa melayani suamimu dengan baik, ternyataa...." Ucapku remeh, lalu meninggalkan meja makan.Sempat kulihat wajah mereka memerah menahan malu. Tentu saja, aku mengatakan itu didepan beberapa pembantu yang tengah membersihkan rumah. Bersiaplah menjadi buah bibir di antara para pembantu satu kompleks.***Aku putuskan pulang kerumah. Mempersiapkan diri menjemput nyonya muda mas Erlan."Bi, siapkan koperku." Aku berjalan menuju lantai atas."Kamu mau pergi, ndok?""Iya, memberi pelajaran pada wanita siluman itu."Bi Imah mengikutiku kelantai dua. Wanita yang sejak kecil sudah mengasuhku itu terlihat penasaran. "Kemana ndok? Sendiri?" Suaranya terdengar khawatir.Setelah kepergian mama, memang Bi Imah lah yang selalu menjadi tempatku bersandar. Aku berhenti dan menatapnya. "Jangan khawatir bi, Wita bukanlah wanita yang lemah" aku mengusap tangannya yang mulai keriput."Lalu tuan Erlan dimana?""Pulang. Lebih tepatnya aku pulangkan kerumah ibunya. Minta Suci atau Watik menyiapkan barangku bi, aku buru-buru""Pergi jauh?""Iya... kali ini ke Bali. Wanita itu sedang di Bali. Di hotel berbintang lima disana. Bukankah sebagai kakak madu yang baik aku harus medidik bagaimana menjadi istri yang baik bi?"Bi Imah tersenyum. Aku tau dia khawatir akan keselamatanku. Tapi aku bukan wanita yang mudah jatuh dan terluka lagi. Sudah sangat cukup aku memilih suami yang salah, namun aku tak akan mau memilih jalan hidup yang menyulitkan hatiku.Aku masuk keruang baju pribadiku. Terdiam sebentar melihat deretan baju-baju dalam etalase. Kufikir aku harus memilih gaun terbaik. Bukankah acara yang ditulis Lia didalam Notesnya terdengar sangatSampai di bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Jeni asisten pribadiku sudah menyiapkan semuanya."Naik apa kita?" Aku berjalan keluar bandara. Suci ikut denganku. Membawa segala keperluan."Mobil jemputan Villa bu."Aku berhenti dan membuka sedikit kacamataku. "Villa?" Aku ulang lagi kalimatnya."Iya bu, Villa Sarika satu, di Sanur. Disana pemandangannya indah, dekat pantai, restoran seafood, Spa, area joging trek, Juga akses bepergian yang lebih mudah." Ucapnya menunjuklan bahwa dirinya sudah meng mastikan segala sesuatunya sebelum aku terbang."Jeni, aku sedang berburu mangsa. Bukan berlibur ala bule Eropa. Paham?""Maaf bu?" Sepertinya dia tak paham." Pesankan saja hotel yang ada pada wa ku Jeni!" Aku berjalan kearah mobil yang bertuliskan namaku disana."Sudah saya pesan bu. Hanya orang yang ibu cari sudah tak disana lagi"Aku berhenti dan melihat Jeni menunduk. Padahal aku tak pernah memarahinya, kenapa dia begitu takut. "Kemana dia? Ah sudah lah, akan aku cari tau sendiri. Kita ke
Pov Lia.Datang ke Club rahasia seperti ini tentu diimpikan banyak wanita kelas atas. Dan beruntungnya aku. Paul, tamuku dari inggris datang untuk mengikuti lelang itu. Dia punya jaringan yang kuat, terlebih usahanya dibidang berlian, membuatnya memang sangat sering datang ke lelang rahasia seperti ini." kamu cantik sekali sayang" Dia mendaratkan kecupan nakal di leherku."Terimakasih...." ucapku percaya diri. Dia menyebutku cantik. Tentu saja aku tau, memang tak banyak yang bisa menolak pesonaku.Paul sudah enam bulan di Bali. Bahasa indonesianya lumayan bagus. Meski begitu, dia masih membutuhkanku disini sebagai wanitanya, untuk mewakili melakukan lelang.Ya, begitulah peraturannya. Mereka yang ikut lelang dan berasal dari luar negeri, harus membawa penerjemah bahasa. Karena lelang ini tak pernah mau memakai bahasa asing. Jadilah Paul mengajakku menemaninya.Lelaki ini menurutku bisa jadi tempatku bergantung selama di Bali. Setelah lepas dari mas Erlan, aku tak memiliki lagi pend
Aku keluar dari pintu Lift Paradise dengan tenang, bayang wajah panik Lia membuat mood booster untuk hariku malam ini. Aku tersenyum melihat Jeni dan Suci masih menunggu di loby depan. Saat melihatku mereka berdiri dan saling melihat, aku tau siapa yang mereka cari."Dimana Nyonya sombong itu bu?" Suci bertanya tanpa basa-basi."Di dalam. Dia sedang beli berlian sembilan ratus juta" Bisikku membuat mata lugu Suci membelalak."Sem...sembilan ratus juta bu?" Dia mengulang kalimatku. Ekspresinya lucu sekali. "Kok kaya sekali itu orang bu. Jual ginjal mungkin ya..." Suci memang selalu berkata sesuka hatinya. Tapi justru itu yang membuatku selalu tertawa."Hahaha..." Tawaku meledak." Iya memang, Kaya raya sekali ya nyonya mudamu itu. Aku saja kalah saing" Ucapku lalu berjalan keluar Club."Idih nyonya mudaku. Amit-amit..." Katanya ikut berjalan mengikutiku dari belakang.Dibelakangku suara ramai terdengar. Mereka yang baru saja mengikuti lelang ternyata keluar juga dari pintu yang sama. B
Aku turun dari tangga darurat. Melihat mbak Wita duduk dengan santainya didalam mobil. Menyebalkan sekali. Mata kami sempat bertemu, tapi dia justru membuang wajahnya. Sial!"Hey....!"Panggilan itu membuatku berlari lebih cepat. Hah, kenapa sih mereka tak juga capek mengejar. Bahkan rasanya aku sudah tak kuat lagi berlari. Aku berbelok di gang kecil"Berhenti wanita penipu...! "Teriak mereka lagi.Penipu apanya? Aku yang sedang ditipu bodoh!Ingin sekali kalimat itu kuteriakkan pada mereka. Namun bagaimana bisa, aku sedang sibuk berlari. Mengatur nafas saja serasa kesulitan sekarang.Gang-gang kecil terus aku lewati. Lalu masuk ke pemukiman. Mungkin disini aku bisa mencari tempat untuk berlindung. aku masuk di antara gang sempit tapi mereka masih saja mengejar."Berhenti kau!" Teriak mereka lagi.Aku masuk kedalam gang yang lebih sempit, lalu menemukan jalan kecil. Aku bersembunyi di belakang rumah warga. Bau kemenyan menyeruak. Membuat jantungku berdebar hebat.Jangan sampai aku l
Aku berganti daster lagi, gagal sudah rencanaku untuk pergi arisan. Kuhubungi saja sahabatku untuk membayarkan arisanku dulu, Biarlah nanti aku transfer uangnya. Kini aku duduk diruang tengah bersama Erlan.Aku pandang Erlan yang duduk di atas kursi roda. Dia masih tampan, rapi, sedikit berisi, tapi air liurnya terus menetes. Seperti dia waktu bayi saat tumbuh gigi. Ya Tuhan, Anak lelakiku yang gagah dan tampan, kenapa jadi begini. Harusnya dia yang merawatku, bukan aku yang harus merawatnya lagi. Dua menantuku itu juga tak berguna, bukannya mengurus suaminya yang sakit. Mereka justeru pergi entah kemana. Wita terutama, jadi menantuku bertahun-tahun, tapi malah meninggalkan Erlan di rumah ini."Lan... Erlan mau apa, Wita sudah kasih makan Erlan belum?" Kutanya, dia diam tak ada jawaban. "Lan... Erlan marah sama ibu?" Dia masih terdiam.Kenapa juga aku harus bertanya pada orang yang tak bisa menjawab. Ya sudah, kudorong Erlan ke kamarnya. Baru beberapa langkah aku berjalan, serasa m
Setelah makan malam, aku kembali ke VillaSarika, sengajaku sewa satu Villa dengan beberapa kamar dan kolam renang pribadi.Sampai di kamar, aku berendam dalam bathup, menikmati sensasi relaks yang tercipta dari aroma terapi di ruangan ini, membuatku merasa lebih tenang dan damai.Setelahnya aku mengeringkan rambut dan teringat mas Erlanku di rumah ibunya. Apa kabar suamiku itu? Sejak kemarin puluhan panggilan dari ibu memang kuabaikan, sebagai menantu yang baik, aku kan juga ingin memberikan waktu bagi ibu mertua bersama anak lelakinya.Namun saat sekarang aku ingin menghubungi, Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, bukankah tak sopan rasanya menelpon hampir tengah malam begini. Mungkin saja suamiku sudah di ninabobokkan ibunyakan?Akhirnya kuputuskan tidur saja, aku juga butuh istirahat setelah lelah menertawakan adik maduku itu.Andai kau melihatnya mas, istri mu
Byuurrrr....Aku berenang di kolam, dinginnya air tak sebanding dengan dinginnya hatiku sekarang. Aku menyelam hingga kedasar. Duduk disana dan menghitung waktu.Satu... dua... tiga.......... dua pulih lima.Hahh.... aku kembali kepermukaan. Setiap kali menyelam, aku merasakan lagi rasa sakit yang sama. Sakit hati atas kejamnya perbuatan yang kalian semua lakukan.Yaa, aku adalah orang baik yang tersakiti. Aku tak berubah menjadi jahat, hanya menyesuaikan dengan cara kalian memperlakukanku...***(Flash Back )Hari itu, hari yang tak akan pernah aku lupa seumur hidupku. Hari dimana rasa benci yang kurasakan, tak hanya sekedar benci karena sebuah kata poligami. Namun juga karena kejahatan yang mereka lakukan. Bukan hanya pada diriku, tapi juga pada harapan dan mimpiku.Sudah berhari-hari aku kesakitan. Perutku kurasa sakit bercampur perih yang teramat."Bisa antar aku kedokter mas?"Kala itu aku meminta tolong. Bukan tanpa alasan. Aku yang sekalipun tak pernah mau tau lagi kehidupan me
Hari ini aku putuskan mengunjungi butikku di Kuta. Sambil menyelam minum air, aku bekerja dan juga menunggu laporan lain dari mereka yang bekerja untukku.Aku duduk memeriksa semua desain kiriman dari beberapa desainer rekananku. Memilih kain-kain yang akan kami pakai di musim depan dan memikirkan sentuhan apa yang menarik pasar baru."Ini laporan pemesanan kain broklat dari beberapa negara bu" Jeni memberiku buku tebal berisi laporan pengiriman dan contoh kainnya.Aku periksa semua dengan teliti dan mengakhirinya setelah kurasa tak ada masalah didalamnya. Aku putuskan menikmati pantai yang damai pagi ini. Duduk di belakang butik, menikmati pantai yang indah."Ibu ingin minum apa?" Jeni bertanya padaku."Kopi saja""Kopi bu? Kopi panas di cuaca Panas begini?" Suci kembali berkomentar."Kamu mau apa?" Jani bertanya."Gak usah mbak. Nanti saja, Suci beli sendiri"
Kami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off beberapa hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo iku
"Mungkin jika aku mati, tak ada lagi sebutan istri bagiku mas, namun kau masih punya istri yang lain""Tak ada!"Mas Erlan begitu cepat menyanggah kalimatku. Aku menatapnya dalam diam. Mungkinkah kini hanya aku satu-satunya istri dalam hidupnya?"Jangan bercanda mas, pernikahan bukanlah sebuah permainan! Kamu tak bisa sebentar menikahi wanita dan sebentar menceraikannya!""Aku tak bercanda. Aku sudah menceraikan Amelia. Hanya kau satu-satunya istriku sekarang."Kalimat itu membuat semakin banyak tanya berklebat dalam benakku. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Mas Erlan menjalankan kursinya kedepan, dia menatap kearah air terjun di depan kami. "Amelia adalah sebuah kesalahan Saswita. Aku minta maaf padamu atas kebodohan dan ketamakanku. Sebagai manusia aku merasa gagal mensyukuti nikmat Allah dalam hidupku..." Ucapnya lirih, membuat bulu kudukku meremang.Kalimat yang begitu kurindukan dulu, kini terdengar hanya bagai kalimat yang diucapkan karena tak ada pilihan."Untuk apa meminta
"Kita temui mereka Jeni. Aku ingin melihat apa yang akan di kalukan ibu dan anak itu"Aku dan Jeni masuk, melihat Mega sudah menata makanan di atas tikar. Kami saling pandang sebentar."Mbak Jeni sudah datang? Alhamdulillah, ayo makan bersama mbak, ada nasi jagung kesukaan mbak Jeni.""Em, nambah beberapa orang masih cukup tidak makanannya?"Mega terdiam sebentar. "Nambah siapa mbak?""Suami dan ibu mertuaku datang.""Dan dua pengawal" Tambah Jeni"Dua pengawal?" Aku dan Mega berucap hampir bersamaan. Ternyata mas Erlan tak datang sendiri, baguslah, pengawal itu bisa di minta mengangkat mas Erlan turu. Kemari."Cukup kok mbak makannya, nanti kalau habis Mega masak lagi. Sebelum Bapak pergi, Bapak pesan agar menjamu tamu dengan baik.""Memang Bapak Mega kemana?" Jeni bertanya penasaran."Kerja mbak, di tambang pasir. Soalnya ladangnya sudah selesai tanam, jadi Bapak balik ke tambang pasir. Tempatnya lumayan jauh, Bapak bisa pulang satu atau dua minggu sekali.""Yasudah, kami naik dulu