Aku tertegun di ambang pintu kamar mandi. Mengenakan pakaian resmi khas istri di malam hari. Jantungku berdegup kencang mendengar perbincangkan laki-laki yang siang tadi baru saja mengucap ijab qobul di depan penghulu dengan seseorang di sebrang sana yang entah siapa. Namun, satu hal yang pasti. Aku yakin bahwa yang baru saja dihubunginya itu seorang perempuan.
Mas Rayan, yang baru menjadi lelaki halalku beberapa jam lalu sempat terlihat terkejut saat memandang ke arahku. Namun, sesaat kemudian, dia berusaha mengendalikan keadaan dengan berpura-pura tidak ada apa-apa.
"Sayang, sudah selesai mandinya?" tanyanya seraya berjalan hendak menghampiriku.
Aku menatapnya tajam. Debaran di dada masih begitu kuat hingga gemuruhnya seakan terdengar menembus kulit.
"Siapa dia Mas?" Aku memandangnya dengan tatapan menusuk.
"Ma-maksud kamu apa, Sayang?" tanyanya tergagap. Ketegangan tergambar jelas dari wajahnya.
"Siapa yang baru saja kamu telepon?" Aku kembali bertanya setenang mungkin. Berusaha mengendalikan emosi yang mulai membuncah.
"Ma-maksud kamu apa? Mungkin kamu salah dengar." Mas Rayan memegang kedua bahuku, mencoba meraih tubuhku dalam dekapannya.
Aku menghempaskan tangannya kasar. Pandangan sudah mulai buram karena tertutup kabut air mata yang hampir tumpah. Hanya saja, aku mencoba menahannya. Berharap dia akan mengatakan sesuatu yang tidak meremukkan hatiku.
"Sekali lagi aku bertanya. Siapa orang yang sudah kamu telepon dengan penuh perhatian tadi?" Kali ini nada bicaraku mulai meningkat. Aku terlanjur kesal menunggunya untuk menjawab.
"Baik. Baik, Sayang. Aku akan katakan. Kita duduk dulu!" pintanya sambil merangkul bahuku dan membantu aku berjalan. Kali ini aku membiarkannya memapahku, lalu duduk di pinggir ranjang.
Kami duduk saling berhadapan. Tangannya terulur mengusap lembut kedua pipiku yang sudah teraliri air mata.
"Maafkan, Mas. Maafkan, Mas!" ucapnya dengan bibir gemetar. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca yang siap pecah.
Jantungku semakin berdebar hebat kala kata maaf itu keluar dari bibirnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba meminta maaf jika tidak melakukan kesalahan fatal. Tapi apa? Hatiku terus menebak seraya menunggu lanjutan perkataannya.
Laki-laki berusia dua puluh enam tahun di hadapanku ini menunduk dalam. Seolah kesalahan besar memang telah ia lakukan. Bibirnya terkunci rapat seolah berat untuk mengatakannya.
"Minta maaf untuk apa, Mas?" tanyaku akhirnya karena terdorong rasa penasaran yang amat dalam. Emosi di dada sudah semakin menggelegak.
"Sebenarnya, orang yang tadi aku telepon itu Rumaisha," jawabnya pelan. Bahkan nyaris tak terdengar.
Keningku mengernyit. Berusaha mengingat-ingat nama yang baru saja terlontar dari mulut suamiku. Mungkin itu nama saudaranya, rekan kerjanya, atau temannya. Nihil, aku sama sekali tidak mengingatnya dan tidak mengenalnya sama sekali. Padahal, dua tahun jalinan asmara kami nyaris selalu dilandasi keterbukaan. Tentang apapun.
"Siapa Rumaisha, Mas? Kenapa di malam pertama kita, kamu malah menelpon wanita lain dan memberikan perhatian lebih padanya?" tanyaku dengan emosi yang mulai memuncak. Buliran bening tak hentinya bercucuran dari kedua kelopaknya.
"Dia ... dia istriku," jawabnya pelan tapi berhasil menusuk jantungku begitu dalam. Dua kata yang dia ucapkan, tak ubahnya petir di siang bolong. Hatiku perih luar biasa. Rasanya, bak ada ribuan jarum yang menancap secara bersamaan. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Istri?" Aku tertawa menyeringai sambil berderai air mata. Mencoba berdiri meski tungkai serasa tak bertulang. "Lalu aku apa?" teriakku sambil menunjuk dada sendiri. Pecah sudah segumpal daging yang di dalamnya. Berserakan.
Menjalin kasih selama dua tahun denganku, kenapa tiba-tiba dia sekarang bilang punya istri? Apa selama ini aku yang bodoh? Tidak mengetahui gerak-gerik mencurigakan darinya.
Mas Rayan ikut berdiri. Mendekat, mencoba meraih tubuhku untuk dipeluknya. Seketika aku mendorongnya sekuat mungkin.
"Jangan berani-berani menyentuhku!" Aku menyimpan telunjuk tepat di depan wajahnya.
"Lun, please jangan seperti ini! Tolong biarkan Mas jelaskan semuanya," pintanya seraya mencoba kembali mendekatiku.
"Stop di situ! Jangan mendekat!" Aku berteriak dengan dada yang naik turun. Emosiku benar-benar sudah naik ke ubun-ubun. Mataku yang memerah nyalang menatapnya.
Mas Rayan mengentikan langkahnya. Terpaku menatapku dengan tatapan sendu.
Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin. Tapi sadar bahwa kini aku sedang ada di hotel. Aku hanya bisa tergugu. Menangis sesenggukan tanpa sandaran. Hingga akhirnya aku merasa tubuhku tak lagi bertulang. Ambruk. Terduduk lesu di lantai.
Malam ini, malam pertama yang seharusnya kami habiskan dengan mereguk manisnya madu cinta, justru berakhir nestapa mendapati kenyataan bahwa madu cinta yang disuguhkan ternyata pahit melebihi empedu.
Bahkan, baju dinas malam yang baru saja aku kenakan, belum tersentuh tangannya sama sekali. Aku hancur di malam pertama kami. Aku hancur di hari pertama menjadi seorang istri.
"Sejak kapan, Mas? Kapan kalian menikah?" tanyaku setelah emosiku sedikit mereda. Wajah senduku terangkat menatapnya yang masih berdiri terpaku.
"Lima bulan yang lalu," jawabnya dipenuhi rasa bersalah. Matanya juga sudah basah dipenuhi lelehan air dari kedua sudut matanya.
Di sini, aku yang tersakiti. Kenapa justru dia ikut menangis?
Lagi aku tersenyum menyeringai. Merasa tertipu karena menikah dengan pria beristri. Padahal, aku lah kekasihnya selama dua tahun ini. Kenapa aku tidak pernah melihat gelagat anehnya selama ini? Dia benar-benar tidak pernah menunjukkan bahwa ia sudah memiliki seorang istri.
"Mas bisa jelaskan semuanya, Lun. Semua ini tidak seperti yang kamu bayangkan." Mas Rayan ikut duduk di lantai. Hingga posisi kami berhadapan dengan jarak cukup berjauhan.
"Percuma, Mas. Semuanya sudah terlanjur terjadi bukan? Aku tertipu. Aku sudah terlanjur menikah dengan pria beristri. Aku bukan pelakor, Mas. Aku tidak ingin disebut pelakor. Kembalilah pada istri pertamamu dan ceraikan aku!" Nada bicaraku mulai melemah. Seiring hati yang porak poranda dan tak berbentuk lagi.
"Tidak, Lun. Mas mohon jangan katakan itu. Pernikahan Mas dengan Rumaisha hanya terpaksa. Semua hanya karena tanggung jawab. Mas hanya mencintaimu. Hanya kamu seorang," lirihnya dengan air mata yang juga deras sama sepertiku.
"Jangan bicara cinta kalau di hari pertama pernikahan kita saja kamu sudah menyakitiku. Kamu sudah menipuku, Mas. Kamu membohongiku!" Aku kembali berteriak. Histeris. Tak kuat lagi rasanya menahan sayatan demi sayatan yang begitu mengoyak hati.
Dengan gontai aku berdiri. Mengusap air mata dengan kasar. Masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu sekencang mungkin. Kulepaskan baju lingerie berwarna merah muda hadiah dari suamiku sore tadi. Untuk menyambut malam pertama kami katanya. Menggantinya dengan kaos lengan panjang dan rok selutut.
Aku mematut diri di cermin. Mata yang sembab, hidung memerah, dan rambut acak-acakan. Terlihat sangat menyedihkan. Setelah membereskan rambutku seperlunya, aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Mas Rayan sudah duduk di bibir ranjang saat aku keluar dari kamar mandi. Tak kuhiraukan tatapannya yang terlihat nelangsa. Aku mengambil tas selempang dan gawai yang tersimpan di nakas.
"Kamu mau ke mana, Sayang?" Mas Rayan mencengkeram pergelangan tanganku. "Ini malam pertama kita."
"Tidak ada malam pertama, malam kedua ataupun seterusnya. Aku mau pergi. Ceraikan aku dan kembalilah pada istri pertamamu!"
Mas Rayan terlihat tersentak dengan kata-kataku. Tajam dan penuh penekanan. Bagiku, pernikahan yang diawali dengan kebohongan tidak akan berlangsung bahagia. Pernikahan itu suatu ikatan yang sakral dan suci. Dimulainya harus dengan kejujuran dan keterbukaan. "Mas mohon, Lun. Jangan tinggalkan, Mas. Mas benar-benar mencintaimu. Mas menikahinya hanya karena tanggung jawab. Demi Tuhan, Mas tidak pernah menyentuhnya!" Mas Rayan memandangku sendu. Mas Rayan tidak mau melepaskan tangannya dari tanganku. Aku sudah berusaha, tapi tenaganya jauh lebih besar. "Omong kosong. Mana ada udah nikah berbulan-bulan tapi tidak pernah disentuh. Kebohongan apalagi yang kamu buat, Mas? Drama apa lagi yang sedang kamu rencanakan?" Aku memandangnya dengan tatapan menghujam."Aku berani bersumpah. Aku masih suci dan belum pernah menyentuhnya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang kuinginkan. Bukan yang lain." Mas Rayan terus mengiba. Namun, hatiku terlanjur sakit dengan pengakuannya. Apa pun yang dikatakann
Aku menunduk. Menyembunyikan wajah yang pasti terlihat menyedihkan dan berantakan."Kamu kenapa? Bukannya ini malam pertama kamu?" tanya Mas Zidan dengan nada heran."Karina ada, Mas?" Aku malah balik bertanya. Tanpa sanggup mengangkat wajah."Ada. Dia ada di kamarnya. Yuk, masuk!" Mas Zidan memberikan jalan. Membiarkan aku masuk ke dalam rumahnya."Kamu duduk dulu, ya. Biar aku panggil dulu Karin-nya." Aku hanya mengangguk lalu duduk di atas sofa. Sementara Mas Zidan, naik tangga hendak memanggil Karin yang kamarnya memang di lantai dua.Karin adalah satu-satunya sahabatku. Kami bersahabat sejak masuk SMA kemudian kuliah di universitas yang sama. Sedangkan Mas Zidan adalah kakaknya. Yang juga bos di tempatku bekerja.Namaku Aluna. Usiaku baru dua puluh dua tahun. Setelah lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, aku langsung melamar pekerjaan ke perusahaan milik keluarga Karin. Kebetulan memang sedang ada lowongan sebagai staf akunting sesuai jurusan yang kuambil saat kuliah.Sementara
Mas Zidan menggeser tubuhnya. Membiarkan aku berhadapan langsung dengan suamiku itu.Mas Rayan melangkah. Matanya yang memerah menatap mataku lekat. Sepertinya pria di hadapanku itu tidak tidur semalaman. Atau mungkin ... menangis? Rasa iba seketika menggelayut di hati."Lun. Tolong ikut pulang sama Mas! Kita baru satu hari menikah. Masa sudah berjauhan seperti ini?" pintanya mengiba.Aku menghela napas berat. Sebenarnya malu harus berdebat di rumah orang seperti ini. Namun, apalah daya. Aku belum ingin ikut pulang bersamanya. Nyeri di dadaku masih begitu hebat. Rasa kecewaku masih membumbung tinggi."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Pulanglah. Gak perlu temui aku lagi," jawabku pelan."Gak bisa gitu dong, Lun. Kamu itu istri aku. Tanggung jawabku. Kenapa malah tinggal di rumah orang lain yang gak ada hubungan apa-apa sama kamu?" protes Mas Rayan melirik Mas Zidan yang berdiri tak jauh dariku.Memang benar apa yang dia katakan. Aku pun sebetulnya sungkan tinggal di sini lebih lama lagi."Ma
"Gak perlu dipikirkin. Mungkin aku yang salah lihat. Makanya aku gak cerita sama kamu." Karin kembali berkata.Mana mungkin Karin salah lihat. Sedangkan dia juga sudah kenal Mas Rayan cukup lama."Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karin."Entahlah, Rin. Aku gak mau punya suami yang juga suami orang. Sedikit pun aku tidak bermimpi untuk menjadi istri kedua. Sepertinya, aku akan meminta cerai saja." Aku menunduk. Menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri yang begitu menusuk hati. Tak sedikit pun terbersit di benakku dulu, harus menjadi janda di usia pernikahan yang bahkan baru hitungan jam."Jangan gegabah, Lun. Apalagi pernikahan kalian baru satu hari. Cari tau dulu apa yang sebenarnya terjadi. Aku kenal Mas Rayan. Dia benar. Dia gak mungkin menyakitimu dengan sengaja. Kamu pasti jauh lebih mengenal dia daripada aku. Mungkin ada suatu hal yang mendesak yang membuatnya melakukan semua itu. Saranku, lebih baik kalian duduk bertiga. Bicara dengan kepala dingin." Luna menaseh
Aku memandang wajah ibu yang sudah mulai terlihat kerutan di beberapa bagian. Tak tega rasanya menghancurkan perasaannya dengan masalah yang sedang menimpaku."Mas Rayan ...." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan. Hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan kebohongan.Tiba-tiba saja terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku menoleh. Mas Rayan. Kenapa dia tau kalau aku pulang ke sini? Apa Karin memberitahunya?"Itu suamimu, Lun," ucap ibu saat Mas Rayan turun dari mobilnya dan memamerkan senyum hangat.Mas Rayan berjalan mendekat. Mengulurkan tangannya pada ibu lalu mencium punggung tangan ibu."Mobil Rayan tadi pecah ban, Bu. Ditambal dulu sebentar. Jadi Luna minta jalan kaki duluan karena udah dekat. Iya kan, Sayang?" Mas Rayan merangkul bahuku mesra."I-iya, Bu," jawabku sedikit tergagap. Pintar sekali suamiku itu mencari alasan. Apalagi di dekat sini memang ada tukang tambal ban."Oh, gitu. Ya sudah. Ayo pada masuk!" Ibu menggeser tubuhnya. Memberi jalan padaku dan Mas Rayan u
Aku terbangun saat suara adzan subuh dari masjid terdekat berkumandang. Rupanya semalam aku langsung tertidur. Mungkin gara-gara kemarin malam aku kurang tidur, jadinya malam ini begitu nyenyak. Aku menoleh ke samping. Tempat Mas Rayan semalam membaringkan tubuhnya di sisiku. Sudah kosong. Itu artinya dia sudah bangun. Aku pun segera beranjak dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi."Sudah bangun, Lun?" tanya ibu yang baru keluar dari kamar mandi."Iya, Bu," jawabku. "Mas Rayan ke mana ya, Bu? Kok gak ada? Kirain di kamar mandi?" lanjutku."Oh. Nak Rayan pergi ke mesjid sama bapak. Mau solat subuh berjamaah katanya. Dia udah bangun dari jam tiga tadi. Solat tahajud sama tadarus. Kamu beruntung punya suami seperti dia. Sekarang sudah jarang banget laki-laki yang mau melaksanakan solat tahajud. Apalagi solat berjamaah di mesjid. Yang ada masih melingkar di kasur dibungkus selimut," tutur ibu panjang lebar.Aku mengernyitkan dahi. Benarkah itu semua? Atau hanya pencitraan agar di
"Luna di sini saja dulu, Pak. Dia juga masih cuti kerja kan. Nanti sore baru saya jemput ke sini," jawab Mas Rayan sambil memegangi kedua bahuku mesra."Oh. Gitu," timpal bapak.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk."Saya berangkat ya, Pak, Bu!" Mas Rayan mencium punggung tangan bapak dan ibu bergantian."Sayang, Mas berangkat ya," tuturnya sambil mengulurkan tangannya. Meski berat, akhirnya aku pun menyalami tangan Mas Rayan sambil menciumnya. Setelah itu, ia menciumi keningku lembut.Aku tidak bisa menolak karena ada ibu dan bapak yang memperhatikan kami."Kamu jaga diri baik-baik, ya. Assalamu'alaikum," ujarnya sambil berlalu keluar rumah."Wa'alaikum salam," jawabku sambil mengikuti langkahnya. Memperhatikan ia sampai duduk di balik kemudi. Dan mobilnya hilang membelah jalanan.Aku menghela napas lega. Syukurlah sekarang dia sudah pergi. Aku pun kembali masuk ke dalam. Menghampiri bapak dan ibu yang masih berada di ruang depan."Kamu kenapa, Lun? Baru nikah dua hari kok mal
Dering ponsel milik Mas Rayan tak kunjung berhenti. Aku menatapnya. Laki-laki dengan rahang kokoh itu seperti tak terganggu dengan nada yang mengalun dari ponsel pintarnya. Terus fokus mengemudi menatap jalanan."Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketus."Di jalan mana boleh menerima telepon, Sayang. Bahaya. Sepenting apapun itu, lebih penting lagi keselamatan jiwa. Apalagi ada orang yang kusayangi sedang bersamaku. Mana mungkin aku membiarkanmu celaka," jawab Mas Rayan tenang. Tatapannya tetap lurus ke depan.Aku tak menjawab lagi. Tak ingin berdebat dengan sesuatu yang memang hal itu benar. Namun, suara dering telepon untuk kesekian kalinya membuatku penasaran."Biar aku yang angkat," tuturku pada Mas Rayan sambil meraih benda pipih itu.Aku menatap layar ponsel Mas Rayan. Wajah cantik Bu Ida, mertuaku terpampang di sana. Ternyata kecurigaanku salah. Aku pun segera menggeser tombol hijau itu lalu mendekatkannya ke telinga."Assalamualaikum," sapa seseorang yang begitu kukenal suaranya
POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna
POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng
Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu
Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya
Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.
POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..
POV RayanAku sungguh tersentak dengan cerita ibu. Apalagi saat ibu menceritakan bahwa ibu sengaja dihasut Rumaisha agar membenci Aluna. Ibu menceritakan semua yang terjadi dulu. Tak terbayang bagaimana sakitnya Aluna mendengar kenyataan pahit itu langsung dengan telinganya sendiri. Setelah dikhianati olehku, suaminya sendiri, Aluna kembali dikhianati oleh Zidan. Laki-laki yang selama ini menunjukkan perhatiannya yang besar pada Aluna. Apalagi mereka sempat memutuskan untuk menikah. Ah, Aluna. Sungguh berat ujian hidup yang harus kamu hadapi. Sebagai seseorang yang pernah mencintaimu begitu dalam, aku hanya bisa mendoakan, semoga segala rasa sakit itu digantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara oleh yang Maha Kuasa. Sore ini, ibu berbicara banyak padaku. Perihal kejadian-kejadian yang terjadi selama aku tidak ada bersamanya. Tentang kesepiannya, tentang rasa rindunya, dan tentang rasa bersalahnya yang luar biasa. Namun, aku sedikit lega, karena ternyata Rumaisha menjaga dan merawat
POV RayanAku masih menundukkan kepalaku di hadapan Abi yang sepertinya masih mempertimbangkan semuanya setelah aku menceritakan semuanya. Hingga aku mendengar abi berdehem pelan."Nak Rayan. Nak Rayan di sini sudah genap dua tahun. Apa Nak Rayan sudah benar-benar mantap untuk kembali ke Jakarta?" tanya Abi.Aku mengangguk yakin. "Insyaallah, Abi. Saya rindu sekali pada ibu. Saya juga ingin kembali memimpin perusahaan yang dua tahun terakhir ini saya abaikan," jawabku. Terdengar helaan napas pelan dari mulut laki-laki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu. "Baiklah. Kalau begitu, Nak Rayan bisa temui dulu wanita pilihan Abi itu. Ta'aruf saja dulu sambil ceritakan semua masa lalu Nak Rayan. Jika memang kalian berjodoh, insyaallah Alloh akan memudahkan jalannya," tutur Abi bijak. Aku pun mengangguk mengerti. Besoknya, aku benar-benar meninggalkan pesantren yang telah kutempati selama dua tahun itu dengan perasaan haru. Sudah cukup banyak kenangan selama aku tinggal di sana.
POV RayanAku memang sempat terpuruk. Aku memang sempat begitu terjatuh. Di saat aku menerima kenyataan bahwa pernikahanku dengan wanita yang begitu kucinta kandas hanya dalam waktu hitungan bulan saja. Bahkan kami belum sempat mereguk manisnya madu pernikahan. Beruntung, saat aku terpuruk seperti itu, di saat hatiku diliputi kekosongan dan kehampaan, tak sekalipun aku mendatangi tempat-tempat hiburan yang justru akan membawa hidupku jatuh semakin dalam. Suara lantunan adzan yang menggema setiap hari sebanyak lima kali, selalu memberikan rasa tenang yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku pun mulai rutin mendatangi rumah Alloh tersebut untuk melaksanakan solat berjamaah lima waktu. Mesjid yang berada tak jauh dari rumahku yang kutempati saat itu. Rumah yang sengaja kubeli untuk Aluna sebagai hadiah pernikahan. Di sanalah aku biasanya menghabiskan waktu. Hingga aku memutuskan untuk memperdalam ilmu agamaku. Agar aku bisa belajar apa itu ilmu ikhlas. Agar aku bisa belajar apa itu qodo dan q