Part 48Sudah beberapa hari terlewati tapi tingkah El tak berubah juga, dia semakin menjadi-jadi. Makan di kamar, sampah berserakan, baju kotor masih menumpuk di keranjang.Kuhela napas dalam-dalam, melihat Elvina sedang makan makanan yang ia pesan gofood di atas tempat tidur, lalu berjingkrak macam anak kecil. Aku tercengang dengan sikapnya, apa benar dia depresi?"Astaga, Elvina, kenapa kamu jadi seperti ini sih?! Sadar El, sadar. Jangan lompat-lompat seperti itu, kamu sedang hamil, kasihan bayinya, El!" tukasku cemas.Dia sudah tak mendengarkanku lagi. Entah hal apa yang membuatnya seperti ini. Apa hanya karena harta? Aku mengusap wajah dengan kasar. Aaaarrrgghh! Kenapa bisa jadi seperti ini sih! Aku berlalu ke belakang. Dalam keadaan terpaksa aku mencuci pakaian sendiri, untunglah masih ada mesin cuci. Saat mesin itu bekerja, gegas aku membersihkan lantai rumah yang sangat kotor. Merepotkan juga melakukan pekerjaan rumah sendiri, tak lupa mengepel dengan pewangi lantai agar tak
Aku memandang beberapa plastik bungkusan berupa makanan itu dengan nanar. Ya Allah ... Uangku ... Ingin menangis tapi rasanya malu dilihat ibu-ibu kompleks. Inilah yang disebut sakit tak berdarah. Ingin marah tapi marah ke siapa? El malah bakalan nangis-nangis tak jelas."Emangnya mau ada acara apaan, Mas? Pesan makanan segitu banyaknya? Buat syukuran ya?" tanya salah seorang ibu membuyarkan lamunanku."Kalau buat syukuran mah segitu gak cukup, kan penghuni rumah kompleks ini banyak," sahut yang lai .Aku tersenyum. Sudah tak mampu berpikir dengan jernih. Kuambil saja empat paket ayam geprek, empat cup strawberry milkshake dan empat kue pie susu dan kue browniesnya, sisanya kubagikan pada tetangga."Bu, ibu, ini sisanya buat kalian saja ya, dibagiin ke tetangga biar rata dan kebagian!" tukasku. Ibu-ibu tetangga langsung berkerumun."Beneran Mas, ini buat kami? Habis dapat bonus ya, Mas?""Iya, tapi bagi-bagi sama yang lainnya ya.""Beres Mas, terima kasih banyak ya. Sudah berbagi rez
"Maafkan aku El, aku terpaksa membawamu kesini, agar kamu bisa sembuh.""Tidak, Mas! Tidaaaakk! Aku gak gila, Mas!"Aku bergeming, rasanya tak tega juga melihatnya jadi seperti ini. Maafkan aku, El."Mas, aku gak gila! Bawa aku pulang, aku gak mau di sini, Mas. Aku mau pulang, aku mau pulang, Mas!" teriak Elvina sambil meronta. "Kamu baik-baik di sini ya, El. Aku janji akan selalu menjengukmu," sahutku."Mas, aku mau pulang! Aku mau pulang!" Petugas itu memeganginya dan akhirnya membawa Elvina ke kamar perawatannya. Setelah memastikannya berada di kamar akupun segera ke pusat informasi dan bagian administrasi. Kuembuskan napas kasar saat keluar dari Rumah Sakit ini. Ada rasa sesak di dalam dada. Tapi mau bagaimana lagi, takutnya Elvina bertambah depresi. Kalau di sini akan ada yang merawatnya. Cukup lama berada di dalam mobil. Sudah tepatkah keputusanku ini? Ya, tapi aku harus tega. Aku akan menjenguknya bila ada waktu.Untuk meredam segala kecamuk di dada, kuraih ponsel di saku
"Maaf Pak, uangnya belum terkumpul. Nih ikan-ikannya belum laku terjual," sahutku beralasan. Setidaknya agar mereka mengasihaniku agar dapat tambahan waktu."Kami gak mau tau ya Pak! Cepat bayar sekarang atau mobil anda kami sita!" Mereka menekanku tak ada habisnya."Tidak bisa, Pak! Saya berjanji akan membayarnya tapi tolong berikan kesempatan waktu," ucapku lagi dengan nada memohon."Aturan ditempat kami tidak mentolerir tunggakan pembayaran. Bayar sekarang atau mobil disita!" tegasnya lagi.Aaarrrggh! Benar-benar menjengkelkan sekali! Kupikir dengan melakukan usaha aku akan untung berlipat-lipat. Tapi nyatanya aku justru sial, rugi, apes. Haruskah kualami kebangkrutan lagi? Bangkrut yang kedua kali. Astaga!Kepala terasa pening luar biasa. Dalam keadaan genting seperti ini tak ada yang membantu. Semua menjauh, bahkan lalat sendiri pun enggan mendekat. Aku kembali masuk dalam jurang kehancuran.Setelah melakukan perdebatan yang cukup alot, apalagi mereka mengancam akan memasukkanku
Apa ini karma yang harus kuterima? Lagi pikiranku berkata seperti itu.Aku berjalan lunglai di atas jembatan. Berdiri sebentar untuk meredakan lelah dan penat. Melihat ke bawah, banyak orang tengah memulung sampah. Ya jembatan ini memang dekat dengan tempat pembuangan sampah, hingga baunya terasa tak sedap. Apa yang mereka lakukan? "Aku orang kaya! Aku orang kaya! Uangku banyak! Ada dimana-mana?!" teriak seseorang. Jantungku berdebar tak beraturan. Pasalnya suara itu mirip sekali dengan suara Elvina. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak kutemui sosoknya."Aku orang kaya! Hahaha ..." teriaknya lagi dari arah bawah.Akhirnya, aku mendekat ke arah mereka yang seolah tengah berebut sampah-sampah plastik. Ternyata ini masuk ke area perkampungan kumuh, kenapa selama ini aku tak menyadari kalau ada tempat seperti ini di kota sebesar ini? Berbagai dimensi yang berbeda. Satu sisi orang berpenampilan mewah, di apartemen megah. Tapi di sisi yang lain ada yang bergelut dengan tumpukan sampah
"Jadi sekarang kamu mulai nerima aku nih?"Aku mengangguk samar."Serius, Rin?""Iya, aku menunggumu kembali."Kulihat ekspresinya terkejut mendengar jawabanku. "Hah? Benarkah? Aku gak sedang mimpi kan?"Entah kenapa setelah mengatakan hal itu aku jadi tersenyum sendiri. Jangan-jangan aku memang mulai jatuh cinta pada Fabian?***Keesokan harinya saat membuka pintu kulihat sosoknya tengah berdiri. Lelaki itu tersenyum sangat manis."Lho, kok ada di sini? Bukannya di Jakarta?" Aku menyambutnya dengan pertanyaan konyol."Demi masa depan," jawabnya santai."Eh? Maksudnya?""Kutinggalkan pesta pernikahan sepupu demi calon istriku."Aku tertawa geli mendengarnya. "Kayak judul sinetron aja!" celetukku..Dia tersenyum lebih lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Emang benar ternyata dia sedikit arogan tapi bisa bikin hati ini terhibur. Terhibur tingkah konyol dan ucapannya yang kadang garing."Ehem! Aku gak dipersilakan masuk dulu nih?!" "Oh i-iya, silakan duduk, Mm-mas ..." Sedi
"Terus kenapa kamu mencintaiku?" tanyaku lagi. Aneh saja sebenarnya dia yang terkenal playboy justru menyukaiku?"Entahlah, perasaan kan memang tak bisa dipaksakan. Aku jatuh cinta padamu karena karaktermu, entah kapan tepatnya akupun tak tahu. Yang jelas aku benar-benar jatuh cinta. Perasaan ini sungguh berbeda. Jantung yang selalu berdebar, hati yang selalu terbayang wajahmu, sampai-sampai gak bisa tidur karena terus memikirkan kamu," sahut Fabian lagi. Dia menatapku lekat, membuatku makin kikuk saja."Aku tahu itu, tapi kenapa kamu memilihku? Bukankah dari awal kamu tahu tentang aku? Aku bukan siapa-siapa, aku bukan yang terbaik bahkan aku hanya seorang yang pernah gagal dalam rumah tangga.""Aku tak peduli tentang masa lalumu, aku hanya ingin hidup denganmu saat ini dan juga di masa depan. Aku tidak mencari yang terbaik, tetapi aku hanya mencari yang bisa merubah aku menjadi lebih baik lagi. Akupun sama sepertimu, punya banyak kekurangan. Tapi kita bisa saling melengkapi satu sama
Hati yang hancurJantungku berdetak lebih cepat. Kenapa dada rasanya begitu sesak. Melihatnya bersanding dengan orang lain? Sakit, seolah ada ribuan duri yang menancap di hati ini."Maaf Mas, kenapa berdiri saja di situ? Ayo, silakan masuk ..." ajak penerima tamu itu saat tahu aku hanya berdiri di balik pagar. Aku terkesiap dan sadar dari lamunan.Meski ragu kaki ini untuk melangkah, akhirnya aku masuk juga. Aku memandangi mereka yang masih asyik berfoto mesra. Memang Arini dan Fabian tampak serasi sekali. Tapi aku sangat menyayangkan atas sikap Arini yang cepat sekali membuka hati untuk pria lain. Apa semudah itu dia jatuh cinta? Bukankah seperti yang kudengar dari Elvina, kalau Fabian itu suka dengan banyak perempuan? Aku hanya takut Arini kecewa karena dipermainkan oleh Fabian. Memang sih dia sangat kaya, tak seperti aku yang kini jadi gembel tak punya apapun. Bila seperti ini bukankah benar pandangan orang kalau Arini matre!Sesekali aku mencari sosok ibu yang tak kunjung kutemui
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park
Dering ponsel mengagetkan kami. Aku memandang ke arah Mas Bian yang sibuk menyantap makanan di hadapannya. “Mas, ponselmu bunyi terus tuh,” tukasku.Mas Bian melirikku sekilas. “Biar saja, kita lagi makan.”“Diangkat dulu. Siapa tahu emang penting. Mungkin panggilan dari ayah atau bunda.”Lelaki itu terdiam sejenak meneruskan mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu meneguk air di gelas dan segera bangkit, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kulkas.“Dari nomor tidak dikenal, Yang,” ujarnya. “Dia kirim pesan juga.”“Siapa, Mas?”“Dari Chandra ternyata.”“Chandra yang waktu itu datang sama Elvina?”Lelaki itu mengangguk. “Tumben, ada apa ya?” tanyaku. “Jangan-jangan dia mau berbuat jahat lagi, Mas?”“Tidak, dia minta kita menemuinya di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ngapain?”“Ada hal yang ingin dia bicarakan, penting katanya.”“Jangan mau, Mas. Bukannya dia jahat?”“Hmmm ya, kau benar. Biar sajalah. Aku gak punya urusan lagi dengannya.” Mas Bian kembali meletakkan handphonenya
"Gimana, El, apa kau sudah puas? " tanya lelaki itu sembari menyetir mobil. Elvina alias Elly, tersenyum puas. Ia memandang ke arah pria itu seraya membayangkan wajah Bachtiar yang shock. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas. Aku senang sekali akhirnya Mas Tiar bisa hancur juga, meski--""Apa aku perlu suruh orang untuk melenyapkannya?""Tidak perlu, Mas, aku hanya ingin melihat dia hancur perlahan-lahan hingga tak tahu gimana lagi rasanya bahagia," sahut Elvina yang menyimpan dendam begitu dalam. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam, matanya tampak berkaca-kaca, rasa sesak masih berjaga di dadanya."Dulu dia meninggalkanku tanpa hati dan perasaan. Menganggapku gila, meninggalkanku sendiri di tempat tetkutuk itu. Sekarang aku ingin dia terjatuh dan makin hancur. Biar dia merasakan gimana sakitnya dan pedihnya saat keadaan terpuruk, tak ada teman, tak ada keluarga, bahkan tak ada siapapun yang mendekatinya."Mereka tertawa bersama. "Kau benar-benar memendam dendam padanya ya.""Iya Mas,
Elvina menggeleng pelan, ia melepaskan cekalan tanganku dan berlalu pergi. Arrggh, sialan kau, El!“El, tunggu! Jangan pergi dulu, El! Aku belum selesai bicara!” teriakku lagi. Tapi sepertinya dia tak memedulikanku. Kukepalkan tangan seraya meninju udara. Kesal, tentu saja. “Aku dah berkorban untukmu, El, tapi kamu masih saja acuhkan aku,” gumamku sendiri. Aku segera pergi dari tempat ini, bergegas ke tempat tinggalku. Entah kenapa hati terasa begitu kosong. Ada gelisah yang makin menyeruak di hati. Ah tidak, aku harus berjuang lagi. Aku sudah bertindak sejauh ini. Aku tak ingin langkahku kali ini kembali gagal.Kulihat cek itu kembali, tertera 20 Milliar rupiah di sana. Rumah dan tanah itu tak boleh sia-sia. Apa aku kembalikan saja cek ini dan meminta sertifikatnya dikembalikan? Entah kenapa untuk sesaat, terbayang wajah ibu dengan mata berkaca-kaca. Ibu pasti sangat kecewa.Aku menuju counter HP terdekat dan membeli sebuah ponsel Android yang sederhana saja, dengan harga 2 jutaan.