Part 44Tiba-tiba Elvina menangis dan tertawa secara bersamaan, mirip orang dengan gangguan jiwa. Astaga, kenapa dia? "Kita gak jadi kaya. Hahaha." "El, kamu kenapa? El?!" Kutepuk pipinya tapi justru dia menangis. Astaga, kenapa dengan istriku? Kok tiba-tiba berubah begini?Aku jadi makin panik dengan tingkah, segitu terguncangnya kah dia sampai jadi seperti orang stress begini?"El, Sadarlah, El!""Mas, kapan kita kaya? Kamu sudah janji lho sama aku, mau bahagiakan aku! Hahahaha ... Kita kapan kaya, Mas?!" Kali ini dia tertawa lagi."Elvina!!" bentakku. Dia seolah tak peduli dengan bentakanku. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Aku jadi ngeri sendiri, jangan-jangan Elvina jadi stress dan depresi karena masalah ini? Masih kuperhatikan tingkahnya itu. Kadang tertawa dan juga menangis. "Mas, kita kaya kan? Kamu kan keturunan konglomerat! Kita gak boleh miskin!" pungkasnya lagi, nada suaranya persis seperti orang linglung.Astaghfirullah ... El, kamu kenapa? Segitu besarnya k
Part 45"Pergilah, dasar anak dan menantu durhaka!" teriak ibu penuh amarah.Aku segera merangkul ibu. Sementara dua orang tak tahu diri itu langsung pergi setelah apa yang diinginkannya sudah tercapai."Ibu, sabar ya, Bu."Ibu menangis usai keduanya meninggalkan rumah. Tangisannya tak bisa dibendung lagi. Tangis kecewa seorang ibu."Arini, ibu tidak tahu harus bagaimana. Elvina benar-benar memberikan pengaruh buruk pada Tiar. Lihat saja, dia akan mendapatkan ganjaran apa yang telah dia perbuat!" ujar ibu penuh penekanan, seolah tengah bersumpah serapah."Ibu sangat lelah, antar ibu istirahat, Nak.""Baik, Bu."Tubuh ibu masih terguncang, sesekali terdengar isaknya. Rasanya tidak ada yang memilukan selain dikhianati oleh anaknya sendiri.***Esok hari, ibu lebih banyak termenung. Mungkin masih kepikiran dengan sikap Mas Tiar juga El."Anak ibu sudah gak ada lagi, selain kamu, Nak. Tetap di sini ya, jangan pernah tinggalin ibu. Tolong temani ibu di masa tua ini," ucapnya dengan nada li
Wajahnya seketika berubah menegang melihat layar ponsel itu."Kenapa gak diangkat? Panggilan dari siapa?"Fabian menoleh ke arahku dan justru tersenyum nyengir, lalu menyerahkan ponsel itu padaku. "Tolong angkatin, please ..." ucapnya.Kupandangi layar ponsel itu. 'Bunda', deretan huruf yang terpampang di sana. Ibunya sendiri yang menelepon kenapa ekspresinya tegang begitu."Tolong angkat teleponnya Arini, please, biar Bundaku percaya kalau aku sedang sama kamu," lanjutnya memberi kejelasan. Pandangan matanya begitu memelas, dia habis melakukan kesalahan apa sih?Kugeser tombol berwarna hijau itu. "Hallo Bian, kamu ngelayab kemana sih? Mobil mau dipake ayahmu malah pergi gak pamit lagi! Tanganmu itu masih sakit kan, malah nekad nyetir sendiri, obat juga belum diminum! Astaga, punya anak satu-satunya malah bandel begini sifatnya!" Rentetan ucapan ibunda Bian terdengar begitu kesal."Hallo assalamualaikum, Bu?""Waalaikum salam. Lho ini siapa ini? Kok ponsel anakku ada sama kamu?" Ak
Part 47"Tidaaaakk .... Biaaaannn!"Dari kejauhan terdengar suara sirine mobil. "Ada yang datang, cepat kabur!" teriak salah seorang preman itu. Mereka lari kalang kabut, kabur ke balik semak-semak. Entah datang dari mana akupun tak tahu.Aku menghambur ke arah Bian, memeriksa napas dan denyut nadinya. Syukurlah masih ada embusan napas yang keluar dari hidung. Darah mulai mengalir bercampur dengan air hujan yang membasahi tubuh kami. "Bian, bertahanlah."Sesekali terdengar suaranya yang merintih. Gegas aku ke tengah jalan raya, berusaha menghentikan mobil yang lewat. "Pak, tolong kami, Pak!" teriakku lagi.Laju kendaraan itu berhenti, sebuah mobil polisi yang tengah berpatroli. Pria berseragam coklat itu keluar dari mobilnya dengan sebuah payung di tangan."Mbak, ada apa? Kenapa ada di tengah jalan?""Pak, tolong kami, Pak. Kami habis dirampok. Emmh dia ..." Aku menoleh ke tempat dimana Bian berada. "Calon suami saya kesakitan, Pak. Tadi dikeroyok sama preman-preman. Saya mohon to
Part 48Sudah beberapa hari terlewati tapi tingkah El tak berubah juga, dia semakin menjadi-jadi. Makan di kamar, sampah berserakan, baju kotor masih menumpuk di keranjang.Kuhela napas dalam-dalam, melihat Elvina sedang makan makanan yang ia pesan gofood di atas tempat tidur, lalu berjingkrak macam anak kecil. Aku tercengang dengan sikapnya, apa benar dia depresi?"Astaga, Elvina, kenapa kamu jadi seperti ini sih?! Sadar El, sadar. Jangan lompat-lompat seperti itu, kamu sedang hamil, kasihan bayinya, El!" tukasku cemas.Dia sudah tak mendengarkanku lagi. Entah hal apa yang membuatnya seperti ini. Apa hanya karena harta? Aku mengusap wajah dengan kasar. Aaaarrrgghh! Kenapa bisa jadi seperti ini sih! Aku berlalu ke belakang. Dalam keadaan terpaksa aku mencuci pakaian sendiri, untunglah masih ada mesin cuci. Saat mesin itu bekerja, gegas aku membersihkan lantai rumah yang sangat kotor. Merepotkan juga melakukan pekerjaan rumah sendiri, tak lupa mengepel dengan pewangi lantai agar tak
Aku memandang beberapa plastik bungkusan berupa makanan itu dengan nanar. Ya Allah ... Uangku ... Ingin menangis tapi rasanya malu dilihat ibu-ibu kompleks. Inilah yang disebut sakit tak berdarah. Ingin marah tapi marah ke siapa? El malah bakalan nangis-nangis tak jelas."Emangnya mau ada acara apaan, Mas? Pesan makanan segitu banyaknya? Buat syukuran ya?" tanya salah seorang ibu membuyarkan lamunanku."Kalau buat syukuran mah segitu gak cukup, kan penghuni rumah kompleks ini banyak," sahut yang lai .Aku tersenyum. Sudah tak mampu berpikir dengan jernih. Kuambil saja empat paket ayam geprek, empat cup strawberry milkshake dan empat kue pie susu dan kue browniesnya, sisanya kubagikan pada tetangga."Bu, ibu, ini sisanya buat kalian saja ya, dibagiin ke tetangga biar rata dan kebagian!" tukasku. Ibu-ibu tetangga langsung berkerumun."Beneran Mas, ini buat kami? Habis dapat bonus ya, Mas?""Iya, tapi bagi-bagi sama yang lainnya ya.""Beres Mas, terima kasih banyak ya. Sudah berbagi rez
"Maafkan aku El, aku terpaksa membawamu kesini, agar kamu bisa sembuh.""Tidak, Mas! Tidaaaakk! Aku gak gila, Mas!"Aku bergeming, rasanya tak tega juga melihatnya jadi seperti ini. Maafkan aku, El."Mas, aku gak gila! Bawa aku pulang, aku gak mau di sini, Mas. Aku mau pulang, aku mau pulang, Mas!" teriak Elvina sambil meronta. "Kamu baik-baik di sini ya, El. Aku janji akan selalu menjengukmu," sahutku."Mas, aku mau pulang! Aku mau pulang!" Petugas itu memeganginya dan akhirnya membawa Elvina ke kamar perawatannya. Setelah memastikannya berada di kamar akupun segera ke pusat informasi dan bagian administrasi. Kuembuskan napas kasar saat keluar dari Rumah Sakit ini. Ada rasa sesak di dalam dada. Tapi mau bagaimana lagi, takutnya Elvina bertambah depresi. Kalau di sini akan ada yang merawatnya. Cukup lama berada di dalam mobil. Sudah tepatkah keputusanku ini? Ya, tapi aku harus tega. Aku akan menjenguknya bila ada waktu.Untuk meredam segala kecamuk di dada, kuraih ponsel di saku
"Maaf Pak, uangnya belum terkumpul. Nih ikan-ikannya belum laku terjual," sahutku beralasan. Setidaknya agar mereka mengasihaniku agar dapat tambahan waktu."Kami gak mau tau ya Pak! Cepat bayar sekarang atau mobil anda kami sita!" Mereka menekanku tak ada habisnya."Tidak bisa, Pak! Saya berjanji akan membayarnya tapi tolong berikan kesempatan waktu," ucapku lagi dengan nada memohon."Aturan ditempat kami tidak mentolerir tunggakan pembayaran. Bayar sekarang atau mobil disita!" tegasnya lagi.Aaarrrggh! Benar-benar menjengkelkan sekali! Kupikir dengan melakukan usaha aku akan untung berlipat-lipat. Tapi nyatanya aku justru sial, rugi, apes. Haruskah kualami kebangkrutan lagi? Bangkrut yang kedua kali. Astaga!Kepala terasa pening luar biasa. Dalam keadaan genting seperti ini tak ada yang membantu. Semua menjauh, bahkan lalat sendiri pun enggan mendekat. Aku kembali masuk dalam jurang kehancuran.Setelah melakukan perdebatan yang cukup alot, apalagi mereka mengancam akan memasukkanku
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park
Dering ponsel mengagetkan kami. Aku memandang ke arah Mas Bian yang sibuk menyantap makanan di hadapannya. “Mas, ponselmu bunyi terus tuh,” tukasku.Mas Bian melirikku sekilas. “Biar saja, kita lagi makan.”“Diangkat dulu. Siapa tahu emang penting. Mungkin panggilan dari ayah atau bunda.”Lelaki itu terdiam sejenak meneruskan mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu meneguk air di gelas dan segera bangkit, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kulkas.“Dari nomor tidak dikenal, Yang,” ujarnya. “Dia kirim pesan juga.”“Siapa, Mas?”“Dari Chandra ternyata.”“Chandra yang waktu itu datang sama Elvina?”Lelaki itu mengangguk. “Tumben, ada apa ya?” tanyaku. “Jangan-jangan dia mau berbuat jahat lagi, Mas?”“Tidak, dia minta kita menemuinya di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ngapain?”“Ada hal yang ingin dia bicarakan, penting katanya.”“Jangan mau, Mas. Bukannya dia jahat?”“Hmmm ya, kau benar. Biar sajalah. Aku gak punya urusan lagi dengannya.” Mas Bian kembali meletakkan handphonenya
"Gimana, El, apa kau sudah puas? " tanya lelaki itu sembari menyetir mobil. Elvina alias Elly, tersenyum puas. Ia memandang ke arah pria itu seraya membayangkan wajah Bachtiar yang shock. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas. Aku senang sekali akhirnya Mas Tiar bisa hancur juga, meski--""Apa aku perlu suruh orang untuk melenyapkannya?""Tidak perlu, Mas, aku hanya ingin melihat dia hancur perlahan-lahan hingga tak tahu gimana lagi rasanya bahagia," sahut Elvina yang menyimpan dendam begitu dalam. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam, matanya tampak berkaca-kaca, rasa sesak masih berjaga di dadanya."Dulu dia meninggalkanku tanpa hati dan perasaan. Menganggapku gila, meninggalkanku sendiri di tempat tetkutuk itu. Sekarang aku ingin dia terjatuh dan makin hancur. Biar dia merasakan gimana sakitnya dan pedihnya saat keadaan terpuruk, tak ada teman, tak ada keluarga, bahkan tak ada siapapun yang mendekatinya."Mereka tertawa bersama. "Kau benar-benar memendam dendam padanya ya.""Iya Mas,
Elvina menggeleng pelan, ia melepaskan cekalan tanganku dan berlalu pergi. Arrggh, sialan kau, El!“El, tunggu! Jangan pergi dulu, El! Aku belum selesai bicara!” teriakku lagi. Tapi sepertinya dia tak memedulikanku. Kukepalkan tangan seraya meninju udara. Kesal, tentu saja. “Aku dah berkorban untukmu, El, tapi kamu masih saja acuhkan aku,” gumamku sendiri. Aku segera pergi dari tempat ini, bergegas ke tempat tinggalku. Entah kenapa hati terasa begitu kosong. Ada gelisah yang makin menyeruak di hati. Ah tidak, aku harus berjuang lagi. Aku sudah bertindak sejauh ini. Aku tak ingin langkahku kali ini kembali gagal.Kulihat cek itu kembali, tertera 20 Milliar rupiah di sana. Rumah dan tanah itu tak boleh sia-sia. Apa aku kembalikan saja cek ini dan meminta sertifikatnya dikembalikan? Entah kenapa untuk sesaat, terbayang wajah ibu dengan mata berkaca-kaca. Ibu pasti sangat kecewa.Aku menuju counter HP terdekat dan membeli sebuah ponsel Android yang sederhana saja, dengan harga 2 jutaan.