"Ohooo ... Menarik! Apa kau masih mengharapkan mantan suamimu itu atau dokter kesayanganmu? Aku bisa mendatangkan mereka berdua untuk jadi saksi pernikahan kita. Mungkin kau juga sudah tahu kan apa yang kuinginkan harus bisa kudapatkan? Kau dan juga tanah ini!" "Kau--" Aku benar-benar kesal dengan ucapan Fabian. Menyebalkan!"Arini, ada siapa? Kenapa ribut-ribut?" Tiba-tiba ibu muncul dari dalam. Kami berdua menoleh, Fabian tersenyum dan menghampiri ibu mertuaku."Assalamualaikum calon ibu mertua," sapanya membuat mataku membulat."Waalaikum salam. Kamu ini siapa, Nak?"Fabian langsung mengulurkan tangannya pada ibu."Kenalin Bu, calon mantu.""Fabian!" pekikku. Dia kenapa pede sekali.Ibu mertuaku justru tersenyum menanggapinya. "Sini-sini duduk dulu. Bicaranya jangan sambil berdiri."Fabian menoleh ke arahku dan mengerlingkan matanya menggoda. Fabian duduk di dekat ibu."Bu, putri ibu cantik, dia juga sangat manis. Tapi putri ibu itu sudah buat aku sakit," ujar Fabian dengan nada
Buuugght ... Buuugght ...Pukulan demi pukulan dilayangkan oleh Tiar pada Fabian. Mereka masih berkelahi."Hei, lepasin gue dodol! Tuh lihat Arini sama ibu dah masuk ke dalam, percuma juga berantem kayak gini gak ada yang lihat!" Fabian mengibaskan tangan Tiar di krah bajunya."Bilang aja lu kalah! Lu gak bakalan bisa ngelawan gue! Gue bisa bikin lu babak belur lagi, lebih dari ini."Fabian menyeringai menatap pria sok jagoan di hadapannya. "Hati-hati saja, Bung! Gue sudah pegang semua kartu lu! Kalau salah langkah saja, gue bisa menghancurkanmu!" Fabian menepuk-nepuk dada Tiar."Apa maksudmu brengsek?!""Yang brengsek itu elu bukan gue!!" Fabian berlalu menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Aaaarrrgghh! Tiar memukul tinjunya ke udara. Hari ini dia benar-benar kesal. Sangat kesal! "Bu ... Arini ... Buka pintunya, Bu!" teriak Tiar sembari menggedor-gedor pintu dengan kencang."Bu ... Arini ...! Tolong buka pintunya, Bu. Aku mau bicara, Bu. Maafkan aku!" teriaknya lagi.T
Setelah mengantongi kata maaf dari ibu, akhirnya bisa bernapas lega. Aku pulang ke hotel. Segera meraih ponsel dan menghubungi Elvina, dua hari tak bertemu dengannya saja, hatiku sungguh dihantui rindu."El, besok aku pulang.""Kamu sudah berhasil, Mas?" tanya Elvina penasaran."Belum, selangkah lagi, El. Yang penting aku sudah mendapatkan maaf dari ibu. Urusan selanjutnya mungkin akan lebih mudah.""Baiklah, aku tunggu kamu di rumah. Aku punya rencana lain untuk kita, Mas," sahut El lagi."Iya, sayang. Daah ..."***Delapan jam perjalanan kembali kutempuh untuk segera sampai di Jakarta. Meski letih di jalan, tapi aku harus tetap fokus. Ada banyak asa dan harapan terkumpul di sana."Mas?!" sambut Elvina, dia langsung memelukku dengan erat.Kubelai rambutnya dan mengecup puncak kepalanya pelan."Mas, aku punya dua kabar baik untukmu lho," ujar El sembari menggamit lenganku. Manja adalah kebiasaannya."Kabar baik apa?" tanyaku sembari menghempaskan tubuhku duduk."Yang pertama, aku deng
"Fabian, kamu serius ingin menikah? Wanita seperti apa yang ingin kau nikahi? Ayah dan ibu tidak ingin kamu salah pilih. Jangan bilang kamu ingin menikahi wanita yang berpakaian kurang bahan dan matre itu! Ayah tidak akan pernah setuju!"Fabian tersenyum. "Kalau ayah dan ibu ingin tahu seperti apa calon istriku, sebaiknya kita datang kesana dan lamarkan dia untukku, Yah!" tukas Fabian."Oke," sahut ayah. Ada rasa penasaran dalam hatinya. Pasalnya rumah Unggul Adiningrat yang tadinya hanya berpenghuni sang pelayanannya saja, kenapa tiba-tiba ada orang lain?Fabian mencari sarapan di luar kompleks perumahannya. Tak gengsi, dia hanya membeli makanan di gerobak pinggir jalan. Nasi uduk plus sate telur puyuh, serta tempe goreng mendoan menjadi pilihannya saat ini.Mereka bertiga menikmati makanan yang sederhana itu. Biarpun sudah menjadi orang kaya, tapi kebiasaan-kebiasaannya yang dulu tak mudah hilang begitu saja.Usai sarapan bersama, Fabian mengajak kedua orang tuanya bertandang ke rum
Part 38 spesial POV dokter Ardhy"Aku sangat merindukanmu, Arini. Apa kamu merasakan hal yang sama sepertiku?" "Eh?""Jawab aku Arini, agar aku bisa memutuskan semuanya."***"Bagaimana menurutmu dengan gadis ini? Cantik 'kan?" Tiba-tiba ibu menyodorkanku sebuah foto gadis berjilbab, entah siapa, tapi sekilas saja melihat foto itu, akupun mengakui kalau senyumannya memang manis.Aku yang tengah berjibaku di depan layar laptop langsung menoleh. Ibu tersenyum, lalu mengisik punggungku. "Ayah mau bicara padamu, Ardhy. Beliau menunggu di ruang keluarga," ujar ibu kembali."Iya, Bu. Tunggu sebentar aku matiin laptopku dulu.""Iya sayang."Sudah sejak lama ayah dan ibu menanyakanku perihal pernikahan. Apakah kali ini juga sama? Apa memang mereka tengah merencanakan sesuatu?Aku memang selalu menolak untuk menikah cepat karena aku masih menunggu Arini. Tapi kali ini dia makin jauh dariku. Hingga hatiku mulai meragu. Masih adakah kesempatanku untuk bersamanya, apalagi setelah ia jelas-jelas
Part 39*Note : Untuk part 37-39 ini part sebelum Tiar & El datang kembali ke Solo ya.*"Bian, ayo antar aku! Nih kunci mobilku, kau yang bawa!""Haish!"Aku berjalan mendahuluinya dengan gejolak hati yang tak menentu. Arini kembali menolakku dan dia ...***"Kau jatuh cinta sama Arini?" tanyaku saat kami sampai di Bandara. Kuberanikan diri untuk bertanya meski jawabannya nanti cukup menyakitkan.Fabian hanya nyengir. "Kenapa? Apa tak boleh? Memangnya hanya kamu yang boleh jatuh cinta sama dia? Mending kau urus om dan calon tunanganmu itu, okey! Arini biar sama aku," ucapnya sembari menepuk-nepuk pundakku. Dia berlalu begitu saja sambil bersiul riang."Tunggu, Bian!"Spontanitas dia berhenti. "Ada apa? Ardhy yang seorang penurut tidak mungkin jadi seorang pembangkang hanya gara-gara wanita kan?" "Bukankah kau tahu aku mencintai Arini, Bian, kenapa kau tega menusukku dari belakang?"Fabian kembali menghampiriku dan langkahnya mengelilingiku."Menusuk? Apa kau berdarah? Apa kau terluka
"Oh iya, Ardhy, Marina, ini Arini calonnya Fabian. Doakan saja mereka biar segera menyusul kalian."Deg! Aku terkejut mendengar ucapan Pak Harish, sedangkan anaknya hanya tersenyum. Aku hanya tertunduk, tak mampu melihat ekspresi Mas Ardhy. Meski dalam keadaan canggung, kami menikmati makan bersama. "Selamat ya atas pertunangan kalian," ucapku."Terima kasih ya, Mbak Arini," sahut Marina. Senyumannya memang sangat manis, pantas saja akhirnya Mas Ardhy menyetujui perjodohan itu. Mereka terlihat sangat serasi. "Sudah jangan terlalu dipikirkan lagi, doakan saja yang terbaik untuk Ardhy. Bukankah kita juga sudah menemukan jodoh masing-masing?" Deg! Aku menoleh melihat Fabian tiba-tiba berada di belakangku. Saat ini aku tengah mencuci tangan di westafel. Hanya helaan napasku yang terdengar. "Ardhy dan Marina, lalu kau dan aku. Bukankah kita cocok?" tanyanya lagi sambil menaik-turunkan alisnya. Dia memang semenyebalkan itu.Aku hendak kembali menemui ibu yang tengah berbincang dengan or
"Mas, perutku sakit banget ..." ucap Elvina."Sakit? Emangnya obat apa yang kamu masukkan ke makanan? Bukannya obat tidur?"Elvina menggeleng. "Obat buat bikin sakit perut dan diare, Mas.""Astaga. Kenapa?""Aku cuma ingin Arini yang disalahkan, eh malah aku yang kena sendiri.""Udah tau senjata makan tuan kenapa malah nekat makan makanan itu? Bukankah kamu tahu sendiri resikonya seperti apa?""Ya, tapi aku kan gak mungkin mengakui tuduhan Arini di depan ibu, Mas! Bisa gagal rencana kita.""Kita memang sudah gagal El, kamu sih gak hati-hati. Arini itu cerdas gak seperti cewek-cewek kampung lainnya.""Duh, gimana dong Mas, perutku sakit banget."Aku menghela nafas dalam-dalam. "Mau ke dokter?"Elvina menggeleng perlahan. "Nanti ketahuan sama Arini gimana?""Ah kamu ini gimana sih, El. Gak usah bilang-bilang mau ke dokter lah, bilang aja mau jalan-jalan.""Mas, carikan daun jambu biji aja, sama buatkan aku oralit. Nanti kalau sampai besok gak sembuh, baru deh ke dokter.""Ya sudah, kau
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park
Dering ponsel mengagetkan kami. Aku memandang ke arah Mas Bian yang sibuk menyantap makanan di hadapannya. “Mas, ponselmu bunyi terus tuh,” tukasku.Mas Bian melirikku sekilas. “Biar saja, kita lagi makan.”“Diangkat dulu. Siapa tahu emang penting. Mungkin panggilan dari ayah atau bunda.”Lelaki itu terdiam sejenak meneruskan mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu meneguk air di gelas dan segera bangkit, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kulkas.“Dari nomor tidak dikenal, Yang,” ujarnya. “Dia kirim pesan juga.”“Siapa, Mas?”“Dari Chandra ternyata.”“Chandra yang waktu itu datang sama Elvina?”Lelaki itu mengangguk. “Tumben, ada apa ya?” tanyaku. “Jangan-jangan dia mau berbuat jahat lagi, Mas?”“Tidak, dia minta kita menemuinya di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ngapain?”“Ada hal yang ingin dia bicarakan, penting katanya.”“Jangan mau, Mas. Bukannya dia jahat?”“Hmmm ya, kau benar. Biar sajalah. Aku gak punya urusan lagi dengannya.” Mas Bian kembali meletakkan handphonenya
"Gimana, El, apa kau sudah puas? " tanya lelaki itu sembari menyetir mobil. Elvina alias Elly, tersenyum puas. Ia memandang ke arah pria itu seraya membayangkan wajah Bachtiar yang shock. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas. Aku senang sekali akhirnya Mas Tiar bisa hancur juga, meski--""Apa aku perlu suruh orang untuk melenyapkannya?""Tidak perlu, Mas, aku hanya ingin melihat dia hancur perlahan-lahan hingga tak tahu gimana lagi rasanya bahagia," sahut Elvina yang menyimpan dendam begitu dalam. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam, matanya tampak berkaca-kaca, rasa sesak masih berjaga di dadanya."Dulu dia meninggalkanku tanpa hati dan perasaan. Menganggapku gila, meninggalkanku sendiri di tempat tetkutuk itu. Sekarang aku ingin dia terjatuh dan makin hancur. Biar dia merasakan gimana sakitnya dan pedihnya saat keadaan terpuruk, tak ada teman, tak ada keluarga, bahkan tak ada siapapun yang mendekatinya."Mereka tertawa bersama. "Kau benar-benar memendam dendam padanya ya.""Iya Mas,
Elvina menggeleng pelan, ia melepaskan cekalan tanganku dan berlalu pergi. Arrggh, sialan kau, El!“El, tunggu! Jangan pergi dulu, El! Aku belum selesai bicara!” teriakku lagi. Tapi sepertinya dia tak memedulikanku. Kukepalkan tangan seraya meninju udara. Kesal, tentu saja. “Aku dah berkorban untukmu, El, tapi kamu masih saja acuhkan aku,” gumamku sendiri. Aku segera pergi dari tempat ini, bergegas ke tempat tinggalku. Entah kenapa hati terasa begitu kosong. Ada gelisah yang makin menyeruak di hati. Ah tidak, aku harus berjuang lagi. Aku sudah bertindak sejauh ini. Aku tak ingin langkahku kali ini kembali gagal.Kulihat cek itu kembali, tertera 20 Milliar rupiah di sana. Rumah dan tanah itu tak boleh sia-sia. Apa aku kembalikan saja cek ini dan meminta sertifikatnya dikembalikan? Entah kenapa untuk sesaat, terbayang wajah ibu dengan mata berkaca-kaca. Ibu pasti sangat kecewa.Aku menuju counter HP terdekat dan membeli sebuah ponsel Android yang sederhana saja, dengan harga 2 jutaan.