Dani dan ibunya sudah melaporkan berita kehilangan Lily ke kantor polisi. Dengan penuh harap dan selalu dihantui dengan rasa cemas, mereka terus menunggu kabar mengenai kondisi Lily. Sekian lama mereka menanti, namun belum ada berita apapun. Lily seperti hilang ditelan bumi, tidak bisa ditemukan jejaknya. Sampai suatu siang, Ibu Dani menerima berita yang mengejutkan dari kantor polisi. Ia nyaris pingsan ketika pihak kepolisian menyampaikan bahwa ada jenazah seorang wanita yang diperkirakan seusia dengan Lily ditemukan di sebuah hutan yang agak jauh dari rumah penduduk. Saat itu, seorang warga sedang mencari kayu dan menemukan jenazah wanita itu. Namun tidak ditemukan identitas di tubuh wanita itu. Wajahnya sudah tidak dapat dikenali lagi. Polisi ingin melakukan tes DNA untuk memastikan apakah jenazah itu adalah Lily atau bukan. Ibu Dani meraung, menangis, dan berteriak, hingga beberapa tetangga berdatangan ke rumah. Melihat keadaannya yang menyedihkan dan sangat terguncang, akhirn
"Iya, mungkin dengan kita menemani ibu di sini, ia akan lebih terhibur. Ibu mungkin gak akan selalu teringat pada Lily dan larut dalam kesedihan. Kita juga bisa merawatnya dan memperhatikan kondisi kesehatannya. Aku yakin kehadiran Shafira dan Bagas juga akan membantu mengalihkan pikiran ibu dari masalah ini," kata Dani. Annisa menatap suaminya, ia mengerti kecemasan yang sedang melanda. Namun Annisa masih merasa berat hati untuk tinggal satu rumah bersama dengan mertuanya. Kenangan buruk di rumah ini masih melekat erat dalam benak Annisa. Bukan ia tidak mau melupakan peristiwa yang telah lampau atau mencoba memaafkan ibu mertuanya, tapi Annisa merasa lebih baik mencegah dan tidak membuka peluang sedikitpun, supaya hal buruk itu terulang kembali. Selama ini ibu mertuanya memang sudah banyak berubah, tidak pernah berkata buruk, atau melakukan hal yang negatif padanya. Namun dalamnya hati siapa yang tahu? "Aku tidak bisa, Mas," jawab Annisa. "Kenapa, Nis? Kamu tidak melihat kondisi
"Maaf karena aku memaksakan kehendak, dan tidak memahami perasaanmu, Nis," ujar Dani. Sebuah kalimat sederhana namun menyejukkan dan mampu menghilangkan segala gundah di hati Annisa. "Iya, Mas. Maafkan aku juga, karena telah membuatmu dalam posisi yang sulit, harus memilih antara aku dan ibu," kata Annisa. "Kamu tidak perlu minta maaf, Nis. Aku bisa memahami perasaanmu, dan aku menghargai keputusanmu. Peristiwa lampau telah mengajarkan aku, untuk menghargai dan lebih mengerti hatimu. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk bertengkar dan berjauhan denganmu lagi," ucap Dani tulus. Annisa tersenyum mendengar perkataan suaminya itu. Dani telah menjadi lebih dewasa dan bisa lebih mengerti dirinya. "Mas harus berangkat bekerja, kan?" tanya Annisa. "Ah, iya. Tapi aku risau, bagaimana dengan ibu?" gumam Dani."Ibu tidak apa-apa, Nak. Pergilah bekerja!" kata ibu sambil keluar dari kamarnya. "Bu, apa kita perlu ke dokter?" tanya Annisa sambil menggandeng tangan ibu dan mendudukkannya
Dani dan Annisa langsung menemui ibu dan menyampaikan kabar baik itu. Dani langsung menghambur memeluk ibu saat pintu rumah terbuka, "Bu," ucapnya di sela air mata yang tumpah. "Ada apa ini?" tanya ibu bingung. "Bu, ternyata jenazah itu bukan Lily. Itu artinya ada kemungkinan kalau Lily masih hidup," jawab Dani. Ibu menarik nafas lega, ia mengusap punggung Dani dan tersenyum. "Benar dugaan Ibu, Lily pasti masih hidup dan baik-baik saja," katanya. "Iya, Bu. Aku sangat lega dan bersyukur. Semoga Lily lekas kembali," ujar Dani. "Amin. Ayo masuk dan duduk dulu, Dan, Nis!" kata Ibu Dani mengajak masuk ke dalam rumahnya. Dani dan Annisa duduk di sofa dengan tenang. Tak lama kemudian ibu keluar dari dapur dan membawa nampan berisi tiga gelas minuman. Ibu meletakkan nampan itu di meja, dan duduk di hadapan Dani dan Annisa."Ada yang mau Ibu sampaikan pada kalian," kata Ibu serius. "Ada apa, Bu?" tanya Dani dengan penuh tanda tanya. Ibu menghela nafas panjang, lalu menatap Dani dan
Malam itu Dani dan Annisa tidak saling bicara lagi. Annisa langsung menyibukkan diri dengan menidurkan Bagas, lalu bermain sejenak bersama Shafira. "Mama dari mana? Kenapa papa dan mama lama sekali perginya? Fira bosan di rumah terus," keluh Shafira. Annisa tersenyum dan mengusap lembut kepala Shafira. "Maaf, Sayang. Tadi Papa dan Mama dari rumah nenek," jawab Annisa. Shafira mengerucutkan bibirnya, ia melipat kedua tangan mungilnya di depan dada. Jelas terlihat gadis kecil itu merasa kesal dan ingin protes. Ia berceloteh lucu, "Kenapa Mama dan Papa gak ajak Fira ke rumah nenek?"Annisa merasa gemas melihat tingkah Shafira, ia mencubit pipi Shafira dan berkata, "Iya, karena tadi ada urusan penting yang harus diselesaikan sama orang dewasa. Hari Minggu kita ke rumah nenek sama-sama, ya,""Fira juga sudah besar, Ma. Harusnya tadi Mama ajak Fira," katanya sambil membelakangi Annisa. Annisa menarik Shafira ke pangkuannya dan menciuminya dengan lembut. "Iya, maafkan Mama, ya. Besok k
"Iya, Mas. Aku mengalah untuk ibu, dan supaya kamu tidak bingung harus bersikap bagaimana," jawab Annisa. "Tapi uangku masih sedikit, dan itu akan kita pakai untuk membeli rumah," ujar Dani. Annisa menghela nafas panjang, lalu menatap Dani. "Sudahlah, Mas. Nanti juga ada rejeki lagi untuk kita. Sekarang kita prioritaskan dahulu kepentingan ibu. Jika nanti uang Mas kurang, aku akan membantu semampuku," kata Annisa. Dani mengerjapkan matanya tak percaya, namun senyum dan binar kebahagiaan terbit di wajahnya. "Kamu memang istri yang sangat baik dan pengertian, Sayang. Aku tidak pernah salah memilih kamu menjadi istriku. Ibu pasti sangat senang mendengar ini. Terimakasih, Istriku," ucap Dani. Malam itu juga, Dani menghubungi ibunya untuk menyampaikan berita itu. Sorak dan tawa riang terdengar di seberang telepon. Seperti seorang anak yang mendapatkan hadiah atau mainan yang ia impikan. Annisa berusaha ikhlas melakukan semuanya itu, agar sang mertua merasa bahagia. Annisa dan Dani b
"Tolong Ibu jangan egois seperti itu! Kami sudah berusaha menuruti kemauan Ibu, tapi tolong Ibu mengerti keadaan kami juga," ucapan Dani samar terdengar oleh Annisa. "Dan, Ibu tidak membeli tunai karena memang uangnya tidak ada. Ibu memilih mengambil kredit, supaya bisa lebih ringan membayar setiap bulan," jawab Ibu Dani santai. "Memangnya kredit itu tidak berbunga, Bu? Total harga yang harus Ibu bayar bisa dua kali lipat dari harga aslinya," sungut Dani. "Kalau begitu belikan perabot ini tunai untuk Ibu. Apa kamu sanggup?" bentak Ibu Dani. Shafira terlihat ketakutan mendengar suara keras papa dan neneknya. Ia enggan bermain lagi dan memilih menempel sambil memegang ujung blouse Annisa. Annisa mencoba tersenyum dan mengusap rambut Shafira. Sudah cukup lama putri kecilnya itu tidak mendengar pertengkaran seperti ini. Dahulu memang Shafira sering ketakutan setiap mendengar suara keras karena keributan yang terjadi di rumah ini. Sambil memeluk Bagas, Annisa menyandarkan tubuhnya di
"Jangan melimpahkan kesalahan pada orang lain yang gak tahu apa-apa, Mas! Kita sudah bermasalah sebelum Mas Surya datang kemari," tegas Annisa. "Kamu membela dia? Jadi maksudmu ibuku yang menyebabkan masalah dalam rumah tangga kita?" tanya Dani. "Menurutmu bagaimana, Mas? Rasanya kita sudah cukup dewasa dan dapat menilai semua situasi yang terjadi," ujar Annisa malas. Annisa kembali melangkah meninggalkan suaminya. Namun Dani menahan dan menarik Annisa ke hadapannya. "Tunggu! Mau kemana kamu?""Mas, aku lelah dan bosan. Aku tidak ingin bertengkar denganmu. Malu dilihat semua karyawan dan anak-anak," ujar Annisa sambil mengalihkan pandangannya dari Dani. "Kita selesaikan masalah ini sekarang! Dari semalam kamu hanya diam, tapi semua persoalan ini justru semakin menjadi," kata Dani. "Aku diam, agar aku gak mencampuri urusanmu dan ibumu. Aku gak ingin memperkeruh suasana. Jangan sampai ibumu menyangka, kamu marah dan menentang dia karena aku," jawab Annisa. "Tapi kita suami istri,
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W