"Wasiat?" tanyaku pada diri sendiri. Heran membaca judul halaman yang ada di pertengahan. Ada tulisan namaku.[Mir, kamu pasti sedang membaca diary Mbak. Seganas apapun penyakit Mbak, Mbak menunggu untuk bertemu denganmu. Semoga, masih bisa. Mbak membujukmu berusaha pulang, tapi urusanmu di kota begitu memakan waktu. Maka, Mbak tak bisa memaksa. Namun, sebelum Mbak pergi, Mbak harap kamu membaca tulisan wasiat ini.][Mir, boleh tidak Mbak minta satu permintaan saja. Mbak Janji tidak akan meminta lagi. Hanya ini saja. Mbak sudah memikirkannya matang-matang.]Drat ... drat....Belum selesai membaca, ponselku berdering. Akhirnya, aku tutup buku, dan menggerakkan jari menekan tombol hijau. "Akhirnya lu angkat telepon gua, Mir. Ya Allah, gua khawatir. Lu susah banget dihubungin."“Maaf, Ra. Aku ….”"Iya-iya, gua paham. Lu harus kuat yah, Mir. Jangan lupa makan, dan tidur dulu. Gua yakin lu belum tidur."“Iya, Ra. Nggak usah khawatir.”"Ya, gua khawatirlah. Apalagi pacar lu. Dia nanyain te
"Mah, ini semua mimpi' kan?" tanyaku pada Mamah."Mir, tenang, Sayang." Mamah berusaha menenangkanku. Padahal, air matanya banjir membasahi pipi. Aku berusaha menguatkan telapak kaki untuk bangun. Menyeret kaki yang sangat berat ini, untuk mendekat. "Mah ....""Mir, tenanglah, Sayang.""Pasti ini semua hanya mimpi." Aku coba mencubit tanganku. Terasa sakit. Menandakan bahwa semua ini memang nyata. Menatap Mbak Rina dari jarak dekat. Wajahnya bercahaya. Bibir tampak melengkungkan senyum tipis. "Mbak, bangun... Mbak bohong. Katanya Mbak bakal seneng kalau Mira pulang ke rumah. Kenapa Mbak malah pergi?" tanyaku sambil mengelus lembut pipinya yang sudah mendingin. "Mbak ... bangun Mbak. Kita mau jalan-jalan sama Nayla dan Mas Hafidz. Mbak kenapa masih tidur?""Mir, istigfar, Nak. Kita harus kuat. Kasihan Nayla, dan Hafidz kalau kamu seperti ini.""Mah ... Mbak Rina Mah. Dia bohong sama Mira, Mah!" teriakku menangis histeris. Aku peluk Mamah. Merangkul Nayla yang ada dalam gendongannya
POV Hafidz"Buku itu ....""Apa ada padamu?" tanyaku penuh selidik. Sampai saat ini, aku belum tahu apa isi diary Rina. Sehari sebelum masuk rumah sakit, Rina pernah berpesan agar aku membaca buku diarynya yang ada di lemari. Saat itu, aku sedang sibuk. Rina memberi tahu hal tersebut di pagi hari. Niatnya, akan membaca buku itu sepulang dari pabrik. Qadarullah, takdir malah bicara lain. Sebelum menjelang petang, Rina dikabarkan tak sadar diri dan masuk rumah sakit. Dia dibawa ibu mertuaku, yang sedang berkunjung ke rumah. Sampai Rina belum ada, aku belum sempat membaca buku itu. Semalam, aku cari di lemari, bukunya tidak ada. "Apa Mas tahu isi buku itu?" tanya Mira."Tidak, Mir. Tapi, almarhum Mbakmu berpesan, agar Mas membacanya.""Tunggu sebentar."Mira melangkah ke kamarnya. Aku melanjutkan makan, dan segera menghabiskannya. Dari raut wajah Mira, tampaknya ada yang disembunyikan. Apa ada kaitannya dengan isi buku tersebut?"ini, Mas.""Mas bakal baca di rumah." Mira hanya menga
Pov Mira“Amanah apa maksudnya, Pak?” tanyaku pura-pura tidak tahu."Mbakmu Rina, sehari sebelum masuk rumah sakit, dia mendatangi Bapak. Kami sempat mengobrol. Mungkin, sudah ada firasat bahwa umurnya tidak panjang lagi."Bapak bicara dengan mata berkaca-kaca. Nafasnya seperti tercekat di tenggorokan. Tampak berat membicarakan topik kali ini. "Ada apa, Pak? apa ada sesuatu yang diinginkan Rina sebelum dia pergi?""Betul, Bu. Rina meminta wasiat yang berat.""Wasiat berat apa maksudnya, Pak?""Sebelum ibu mendatangi Rina di rumahnya, bapak datang duluan sebelum berangkat kerja. Saat itu, hafidz sudah berangkat ke pabrik. Bapak dan almarhum bicara singkat. Saat itu, Rina meminta bapak menemuinya, sikapnya juga aneh. Bapak heran, dan bertanya kenapa dia begitu."Bapak menjeda pembicaraannya. Dia tampak mengatur nafas untuk menahan tangis. "Dia bilang, rindu ingin memeluk bapak. Aneh. Bapak merasa ada hal janggal. Rina memberikan surat. Katanya, suruh bapak membaca kalau dia sudah perg
"Maaf, Tante, kami saling mencintai. Apa janda seperti saya sangat buruk di mata Tante?""Maaf, Nak Mira. Bukan begitu maksud Tante. Hanya saja, Bumi anak satu-satunya, dia juga pewaris tunggal. Tante ingin menantu yang terbaik untuknya. Sementara kamu, sudah pernah dimiliki orang lain. Bukan perawan lagi. Kasihan anak Tante."Pembawaan ibunya Bumi memang ramah. Namun, perkataannya sangat nyelekit. Bagai anak panah yang menancap dan merobek hati. "Baik, Tante. Saya akan membicarakannya sama Mas Bumi.""Tolong jangan bilang Tante ke sini. Dia bisa marah. Nanti kamu akan merasakan, dilema menjadi orang tua seperti Tante. Jadi, tolong permudah kemauan Tante, yah."Aku tersenyum kecut. Menahan kesal. Ingin melawan, tetapi tak mau menambah masalah. Apa mungkin ini jawaban atas kebingunganku terkait jodoh? apa aku harus mengabulkan wasiat Mbak Rina?"Tante pulang dulu, yah. Terima kasih sudah mau bekerja sama. Ini cek, kamu mau minta berapa pun, pasti Tante berikan. Tulis saja."Aku ambil
"Soal itu, bapak serahkan sama kamu, Fidz. Bicarakan dulu sama orang tua kamu. Kalau sudah yakin dan setuju, datanglah ke sini untuk melamar.""Baik, Pak."Percakapan mereka selesai. Mas Hafidz mau masuk ke ruang keluarga tempatku mengintip. Aku segera pergi ke kamar. Baru mau memejamkan mata, ponsel berdering. Tiara menelponku. Aku geser tombol hijau. "Akhirnya diangkat.""Kenapa, Ra?""Aduh, lu malah nanya kenapa. Lu tuh, yang kenapa? cerita, Mir. Kenapa putus. Kesian Bumi.""Orang tua Bumi tidak merestui, Ra.""Ya elah, masih bisa negosiasi kalau gitu. Lu ko, jadi lembek sih.""Aku sudah punya pria pilihanku, Ra.""Hah? ma-maksudnya.""Kamu bisa bantuin aku gak?""Bantuin apa?""Tolong bantu Bumi biar pergi jauh dari aku. Jangan sampai dia ke sini.""Emang kenapa sih, sumpah kepala gua pusing. Lu aneh banget. Demi Alex."Aku ceritakan semuanya. Tentang wasiat, perasaanku, keputusan dan pilihan yang sudah dipilih. Tiara mendengarkan dengan serius. Berkali-kali dia menyayangkan pil
"Apa kamu yakin, Mir?" tanya Mas Hafidz untuk sekian kalinya. Kami duduk berdua di ruang tamu. Sementara Om dan Ibu Mas Hafidz sudah pulang. Bapak dan Mamah di kamar. "Insyallah Mas Demi Nayla."Mas Hafidz hanya menampakan senyuman. Lalu, dia pamit pulang ke rumahnya. Sementara Nayla, tidur di kamarku. "Anak cantik," ujarku mengelus kepala Nayla yang sedang terlelap. Aku melihat wajahnya, seolah-olah sedang melihat Kak Rina. "Kak, Mira bakal jaga Nayla terus. Kakak jangan khawatir, yah."Air mata menetes. Meskipun Mbak Rina sudah pergi berbulan-bulan, kesedihan tetap tidak bisa menghilang. Sosok Mbak Rina selalu melekat diingatan. Sejak kecil, kami selalu melakukan apapun bersama. Layaknya anak kembar. Saat dipisahkan seperti ini, tentu sakitnya luar biasa. [Mir, Si Bumi mau ke tempat lu. Gimana dong.]Mataku melotot membaca pesan dari Bumi. Setelah hampir tiga bulan, Bumi tidak menghampiriku, kenapa dia mendadak mau ke sini?[Satu bulan lagi aku mau menikah dengan Mas Hafidz. Tol
Pov Bumi“Maaf, tidak bisa. Mira bukan muhrim kamu, sebagai suami, saya harus menjaga kehormatannya.”Perih. Hatiku bagaikan ditusuk belati. Tak menyangka hari paling meyedihkan ini terjadi. Kekasih yang dicinta malah jadi milik orang lain. Aku memang pria lemah. Tidak bisa memperjuangkan apa yang menjadi keinginanku.“Baiklah. Selamat untuk kalian. Semoga kalian bisa bahagia, walaupun menjalani pernikahan tanpa cinta,” ucapku dengan senyum miring.Mira hanya membisu. Begitu pula dengan suaminya. Mungkin mereka sadar atas uacapanku. Semuanya sudah menjadi bubur. Pernikahan di anatra Mira dan Hfidz sudah terlaksana. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Namun, niat buruk ingin memisahkan mereka tetap ada.“Bumi, lu harus sabar, yah,” ujar Tiara menghampiriku di luar.“Kenapa kamu tidak jujur soal semua ini, Ra? Kamu pasti tahu banyak tentang semua ini. Apa alasan Mira menikah dengan mantan kakak iparnya?”“Sudahlah, lu fokus aja sama masa depan lu. Gak usah kepo soal hidup Mira lagi
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih