"Sudah kuduga begini jadinya," batin Guntur.
Lelaki itu lalu mengelap keringat yang mulai bermunculan di sekitar dahinya, mendapati sang putri yang begitu murka kepadanya karena hal itu."Kenapa Papi lakuin itu sama Aldo!? Suamiku, Pi!" cecar Kinanti dengan suara meninggi, "Kenapa Papi tega banget sama menantu Papi sendiri!?"Kinanti benar-benar marah, ia rak habis pikir dengan apa yang dilakukan ayahnya di belakangnya selama ini. Bahkan wanita itu tak bisa mengendalikan amarahnya sendiri meski di tempat umum."Tenanglah, Kinanti. Papi lakuin itu demi menegakkan wibawa Papi di depan semua orang kantor, kamu pikir ini mudah buat Papi? Nggak, Nak!" sergah Guntur semnbari mengernyitkan dahinya, "Tolong kamu mengerti."Situasi terasa semakin mencekam, kekesalan Kinanti yang semakin menggunung, pun Guntur yang berusaha menenangkan dan mengendalikan situasipun tak ayal membuat Kinanti merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Alhasil? WaAldo yang berpapasan dengannya sampai tak sadar ternganga untuk sejenak. Tentu saja karena terbius oleh kecantikan mantan istrinya itu. Entah kenapa, pesona Citra berubah seratus delapan puluh derajat. Aldo seperti tak mengenali rupa wanita berkulit putih berbadan proporsional itu. Jika saja kecantikan Citra saat mereka masih menjadi sepasang suami istri seperti ini, mungkin Aldo tidak akan berpaling ke Kinanti. Pastilah Aldo akan setia sampai mati. Apalagi saat ia mengetahui bila mantan istrinya itu ternyata anak dari pengusaha kaya raya seperti Nugroho.Namun, sudah terlambat menyadari. Apalagi sekarang mereka berdua sudah resmi berpisah. Sepertinya ketok palu tak juga membuat Aldo sadar. Bahkan ia masih berusaha untuk mendapatkan Citra lagi entah bagaimana pun caranya. Obsesi gila itu meracuni pikiran Aldo sampai ia tak mengingat Kinanti yang kini tengah mengandung anaknya. Definisi sakit jiwa di usia muda. Aldo memang manusia yang tak pernah bersyukur. Maka dari itu se
Mendengar pernyataan dari Harto barusan, sukses membuat dahi Nugroho berkerut. Ia masih tak paham apa maksudnya. Perkataan pria yang menjabat sebagai ketua security itu sangat tersirat, sulit ditebak dengan akal sehatnya.“Bapak masih tak paham, ya?” tebak Harto dengan gelak kecil setelahnya.“Iya. Aku tak mengerti. Maksudmu bagaimana? Bisa kau jelaskan lebih rinci?” Jujur saja, Nugroho sangat penasaran. Mungkin saja karena banyak terbelenggu banyak pekerjaan yang harus diurus, membuat Nugroho kesulitan untuk mencerna ucapan lawan bicaranya. Bukankah hal itu biasa terjadi?“Sebenarnya, saya sudah lama menunggu momen ini, Pak. Karena menurut saya, orang tersohor seperti Anda tentu sangat membutuhkan seorang penjaga yang handal. Kini, masa itu tiba. Bahkan, Anda sendiri yang datang kemari,” tutur Harto menjelaskan maksud dari perkataannya barusan.Nugroho terdiam sejenak. Jemarinya mengusap-usap dagu, lalu mengangguk. “Iya kau benar. Aku sangat memb
Kinanti melongo tak percaya ketika mendapati sosok Citra yang kini sedang berada di perusahaan tempat papanya bekerja. Bahkan dia juga tidak begitu bodoh untuk mengetahui ruangan apa yang kini tengah wanita itu pijaki. Kening Kinanti jelas kian mengerut dalam. Namun dengan cepat wanita itu kembali mengarahkan pandangannya ke depan karena tak ingin Citra ikut mendapati sosok dirinya di sana.'Dia pasti sengaja tidak membiarkan pintu itu tertutup sempurna. Dasar tukang pamer!' Kinanti merutuk dalam hati. 'Tetapi, untuk apa dia di ruangan itu? Dan kenapa dia menduduki bagian kursi kerja?' Benak Kinanti masih diliputi tanya.Sementara itu, berbeda dengan pikirannya yang kian dilanda kalut. Langkah kaki Kinanti malah semakin terbuka lebar demi menutupi gengsinya atas pemandangan pagi yang begitu tak mengenakkan hati. Bahkan hal itu sampai membuat Kinanti tak sadar jika kini dia sudah mendahului langkah kaki papanya sendiri. Cukup cepat hingga membuat Guntur yang tadinya
"Augh!" pekik Kinanti saat bertabrakan dengan seseorang.Dia baru saja keluar dari ruangan Guntur dengan perasaan kacau. Lalu tanpa melihat apa yang terjadi di depannya, tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Sempat kaget atas apa yang terjadi, ia memegangi perutnya sendiri. Memastikan bahwa bayinya baik-baik saja.Setelah memastikan perutnya baik-baik saja, Kinanti segera meradangkan raut wajahnya saat ini. Tentu saja dia marah sekarang."Apa kau tidak punya mata, hah?!" Kinanti berteriak penuh amarah sembari melototi orang yang menabraknya itu.Tetapi seketika ia membeku di tempat. Matanya semakin membelalak saat tahu siapa yang menabraknya itu. "Aldo?" gumamnya lirih."Kinanti?" Pun Aldo yang tampak cukup terkejut, sama dengannya."Ah, maafkan aku, Sayang. Apakah kamu baik-baik saja?" Terdengar seperti kekhawatiran yang tak tulus, tetapi Kinanti hanya mendengus lirih akan itu."Tidak, aku tak apa!" jawabnya kesal. "Lalu
Wanita yang tengah hamil besar itu enggan menjawab pertanyaan yang di lontarkan papanya. Kinanti hanya diam membisu sembari melihat ke arah suaminya seakan-akan menyuruh sang suami yang menjawab pertanyaan sang ayah.“Ti-tidak ada masalah Pa,” jawab Aldo gelagapan. Dia melihat raut wajah sang mertua sedang tidak baik-baik saja, sehingga menghindar adalah hal pilihan terbaik saat ini.“Lalu ada keperluan apa kamu di sini?” tanya Guntur kepada Kinanti.“Ayo Mas, antar aku pulang, nanti aku pasti kena semprot kalau tidak pulang.” Bukannya menjawab pertanyaan sang ayah, Kinanti justru melengos sembari menarik tangan Aldo minta di antar pulang.Guntur hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah sang putri lalu kembali menuju kantornya. Sepanjang koridor yang dia lewati terdengar bisik-bisik dari mantan karyawannya, hanya saja Guntur sudah tidak memperdulikannya lagi. Lelaki itu merasa ingin cepat-cepat bebas. Guntur memikirkan gertakannya tadi, apakah resign menjadi alternatif yang per
Jantungnya berdegup kencang, saat seseorang ternyata datang secara tiba-tiba di belakangnya. Membuatnya nyaris mati berdiri karena kaget, tetapi yang membuatnya kini berteriak adalah suara keras itu yang membuatnya membeku di tempat.Pukulan keras dan suara jatuhnya tubuh seseorang membuat Citra kesulitan untuk bergerak. Kakinya seperti dipaku di tanah, dengan dengan mata yang membulat saat melihat sosok yang dikenalinya di bawah sana.Aldo!Laki-laki itu terkapar di bawah kakinya. Dengan seseorang yang menindih tubuh Aldo. Laki-laki lain dengan tubuh tinggi besar, bahkan sekilas saja sudah terlihat kalau Aldo tidak akan mampu mengimbangi kekuatan orang tersebut.Citra memicingkan matanya, merasa muak dengan tindakan Aldo yang terus mengusik kehidupannya. Entah apa yang diinginkan mantan suaminya itu. Citra hanya merasa lelah dan malas, ya dia malas mengimbangi jalan pikiran Aldo yang membuatnya lelah.Seperti tak kehabisan ide, ada saja tingkah Aldo yang terus membuatnya tidak nyaman
"Apa anda benar tidak apa-apa? Perlukah saya menangkapnya lagi?" tanya Ranger bersiap mengambil posisi.Tetapi Citra justru menggelengkan kepalanya dengan mantap, pun sembari menyipitkan kedua matanya, "Gak usah. Saya tidak apa-apa, lagian saya tidak mau lagi memperpanjang masalah dengan orang seperti dia," ungkapnya.Terdengar begitu yakin dan penuh percaya diri, Citra benar-benar sudah tidak ingin berurusan lagi dengan sosok lelaki seperti Aldo yang dengan sengaja meninggalkannya untuk wanita lain. Bahkan bertemu dengannya pun masih terasa mengesalkan baginya."Saya juga tidak apa-apa," ucapnya lagi seraya menampakkan seluruh tubuhnya yang tampak baik-baik saja.Ranger hanya mengangguk paham merasa lega, "Syukurlah.""Saya pergi dulu kalau begitu," ucap Citra hendak berpamitan, "Ah! Apa anda mau pergi bersama saja dengan saya?""Tidak usah, saya hanya mengawal anda dari jauh dan berusaha untuk tidak terlihat siapapun," balas Ranger penuh senyuman."Oh, baiklah kalau begitu saya perg
Seperti rutinitas yang kini menjadi kebiasaannya, setiap pagi saat Citra terbangun dari mimpinya, ia langsung mandi dan turun dari kamarnya. Bergabung dengan kedua orang tuanya di ruang makan.Jika dulu dia bangun pagi dan langsung dihadapi oleh segunung pekerjaan rumah namun mantan suaminya yang brengsek itu tak pernah membantu, tidak untuk saat ini. Ia seperti kembali menjadi seorang putri yang tak perlu mengerjakan pekerjaan kasarnya. Entah bangun pagi atau siang juga tak akan ada yang mengganggu pikiran tenangnya ataupun memarahinya.Sama seperti dulu sebelum ia menikah dan memilih hidup dengan pria brengsek, Citra selalu disapa oleh hari yang sangat indah dan tenang menurutnya.“Hai, Sweetheart, kamu sudah bangun?”Tepat saat Citra sudah sampai di ruang makan, sang mamanya yang masih begitu cantik dan sintal seperti umur awal tiga puluhan itu, pun menyapanya dengan senyuman yang merekah.“Morning, Ma!” sapa Citra juga dengan senyuman yang merekah.Citra juga mendekat ke arah Arum
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng