Miley Cyrus - Flowers. Adalah lagu yang pagi ini menemani Citra di dalam perjalanan menuju ke kantor.Setelah sesi sarapan yang penuh khidmat dan sendu dan melihat kedua orang tuanya yang sangat mengkhawatirkan dirinya, hal itu justru membuat hati Citra menghangat.Yeah, meskipun hidupnya tak berjalan mulus tetapi ada kedua orang tuanya yang selalu mendukung Citra bagaimanapun keadaan dirinya saat ini maupun masa depan. Mengetahui bahwa ada orang yang mendukung dan memeluknya dengan hangat, membuat Citra sangat bersyukur.Citra pun bersenandung mengikuti iringan lagu di earphone miliknya. Memandang langit dengan senyuman yang tipis namun begitu tulus dan indah.Tak berselang lama, kini Citra sudah sampai di perusahaan tempatnya bekerja. Masih menggunakan earphone dengan lagu-lagu yang penuh semangat, Citra masuk ke dalam perusahaan.Tepat saat ia masuk hanya ada beberapa karyawan yang ada di lobi. Berpapasan dengannya dan saling menyapa. Tentu para karyawan itu tahu siapa Citra, sang
Perlahan handel pintu bergerak dan suara pintu pun berbunyi, menampilkan seseorang berparas tampan masuk ke ruangan Citra. Sosok itu langsung mendapati Aldo dan Citra yang terlihat begitu bermesraan. Kedatangannya juga cukup membuat Aldo terkejut, tetapi dia masih berada di posisinya sembari melemparkan tatapan tajam. Aldo tak suka dengan keberadaan laki-laki itu, yang mengganggu acaranya.Laki-laki itu juga terkejut, mendapati pemandangan yang tak seharusnya dia lihat. Pemandangan macam apa ini? Itu cukup mengganggu, apalagi apa yang dilihatnya merupakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di perusahaan besar seperti ini. Apalagi itu terjadi di ruangan pemilik perusahaan."Ah, maaf tadi ....""Kenapa sih, harus masuk di saat tidak tepat?" gerutu Aldo, yang saat itu langsung mendapatkan tatapan sinis dari Citra.Citra menyikut perut Aldo, sayangnya pelukan laki-laki itu masih cukup kuat yang membuat wanita cantik itu hanya tersenyum hambar. "Ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Pak
Aldo tidak bisa berbuat apapun, dia sudah mati kutu. Bukti-bukti perkelahiannya tentu dengan mudah di berikan oleh Citra kepada polisi, oleh karenanya dia hanya bisa terdiam selama perjalanan menuju ke mobil polisi dan selanjutnya di bawa ke kantor polisi.Bukannya Aldo tidak tahu kalau saat ini dirinya tengah menjadi tontonan seluruh karyawan di kantor Citra, tapi Aldo berusaha untuk tidak memperdulikan puluhan pasang mata yang mengawasinya selama perjalanannya di giring polisi tadi.“Sial, kenapa juga si kampret itu datang di saat yang tidak tepat,” umpat Aldo dalam hati.Dia merutuki kesialan nasibnya saat ini hingga dia di tangkap polisi, bukan dia takut dinginnya tembok dan lantai penjara tapi ketakutan terbesarnya adalah tidak bisa melihat Citra lagi.“Aaahhh aku pasti tidak bisa melihatnya lagi, kalaupun aku berhasil keluar dari tuntutan ini, keluarganya pasti tidak akan membiarkan aku bertemu dengan Citra lagi,” batin Aldo, dia mulai menyesali tindakan gegabahnya.“Cepat turun
Setelah berpisah dengan Abey, Citra mengendarai mobilnya dengan pelan menuju ke rumahnya. Citra mengendarai mobilnya dengan gelisah, perasaan tidak nyaman terus menghantui dirinya. Perlakuan Aldo kepadanya benar-benar keterlaluan. Mantan suaminya itu berani melecehkan dirinya di tempat bekerja.Sebagai mantan suami tidak seharusnya Aldo berbuat seperti itu, Citra merasa harga dirinya ternodai oleh perilaku Aldo. Citra menjadi sangat kesal dengan dirinya sendiri karena pernah mencintai lelaki brengsek seperti Aldo. Dia tidak bisa membayangkan seandainya tidak ada Abey yang datang ke kantornya, bisa jadi Aldo berani berbuat lebih jauh kepadanya.Citra berteriak untuk meluapkan hatinya hingga dia tidak sadar telah melajukan mobilnya yang awalnya pelan-pelan berakhir dengan kecepatan tinggi, menyadari tindakannya berbahaya, Citra buru-buru menepi, dia tidak sanggup melanjutkan kemudinya . Wanita cantik itu menundukkan kepalanya di roda kemudi dan terisak. Dia merasa jijik dengan nasib yg
Abey akhirnya memutuskan memesan es kopi untuk dia bawa pulang.“Ice Americano satu,” ucap Abey di hadapan pelayan.“Minum di sini atau take away Tuan?” tanya sang pelayan.“Take away saja.”Tidak butuh lama, Abey sudah menerima kopi pesananya dan segera membayarnya. Dia lalu berjalan menuju ke mobil yang dia parkir tidak jauh dari mobil Citra.Sambil menyesap kopinya, Abey merenungi peristiwa yang barusan terjadi di kantor Citra, dia berpikir jika sampai dia tidak datang, entah apa yang akan di alami oleh Citra. Abey bergidik ngeri sekaligus jijik terhadap perbuatan lelaki semacam Aldo.“Bisa-bisanya sudah menjadi mantan tapi masih ngebet dan nekat datang ke kantor pula , otaknya dia taruh di mana sih,” gumam Abey heran dengan orang yang menurutnya sangat tak tahu malu itu.Perlahan Aldo kemudian menjalankan mobilnya sambil terus memikirkan tentang Citra.“Beruntung aku datang tepat waktu, jika tidak aku yakin Citra pasti sangat trauma, apalagi yang menyakitinya adalah orang yang
“Ma.. ayo kita berangkat, nanti kita kesiangan lho, eh ada Bu Tina,” Abey menyela mamanya yang hendak menjawab perkataan Bu Tina.“Kamu ini bikin kaget Mama saja, taruh nasi kotaknya lebih dahulu di meja makan,” pinta Bu Sari.Abey memandang sang Mama sembari memberikan kode untuk membawa saja nasi kotaknya, Bu Sari yang mengerti kode dari sang putra akhirnya melanjutkan kata-katanya,” Oh iya, kita kan mau pergi, kita makan di jalan saja.”Hal itu di lakukan Bu Sari agar tidak menyinggung perasaan tetangga tersebut.“Apa kabarnya Bu?” sapa AbeyAbey dengan sopan menyapa wanita yang di panggil mamanya Jeng Tina tersebut. Abey sama sekali tidak menampakkan wajah marah, sebaliknya lelaki itu langsung memeluk bahu sang mama untuk memberikan kode kepada sang tetangga kalau mereka hendak pergi.“Ba-baik Nak Abey, jadi Jeng Sari mau pergi?” tanya Bu Tina memastikan.“Iya Bu, kebetulan ada keperluan di luar, di ajak Abey ini lho,” Bu Sari tersenyum.“Oh mau pergi ya Jeng Sari? Ini lho Bey, Ib
Abey bersama dengan sang mama berangkat menuju ke restoran sunda dengan suka cita. Mereka sangat senang dengan tempat makan tersebut karena resoran tersebut mempunyai banyak kenangan untuk keluarga mereka.“Senyum-senyum terus sih Ma,” celetuk Abey ketika melihat sang mama di sampingnya tak hentik menyunggingkan senyuman.“Ih kamu, ganggu aja sih, Mama lagi mengingat saat-saat kamu masih di usia PAUD, saat itu kami mengajakmu ke rumah makan ini, saat berangkat Mama sudah bertanya kepadamu, mau buang air kecil apa tidak, tapi kamu yang tidak sabaran langsung ngacir meninggalkan mama, akibatnya kamu ngompol deh di sana.”“Ha ha ha masa sih Ma, kok Mama tidak pernah bercerita, jangan-jangan Mama mengarang cerita,” ucap Abey menggoda sang Mama.“Yah buat apa Mama mengarang cerita, dan yang paling membuat geli adalah Mama tidak membawa baju ganti untuk sehingga Papa terpaksa membelikan popok dan celana ganti untukmu ha ha ha …” Sari tertawa terbahak-bahak sedangkan Abey memandang sang Mama
Tawa Nugroho yang tiada henti membuat Arumi semakin menekuk sebal bibirnya. Barulah Nugroho mau menghentikan tawa ketika mendapatkan teguran kecil dari Arumi.Bagaimana pun Arumi tidak ingin berakhir menjadi pusat perhatian para tamu di restoran itu hanya karena sikap ceroboh Nugroho yang tidak mengontrol diri."Sudah dong, Mas! Jangan ketawa terus! Bisa-bisa kamu diusir satpam karena bikin gaduh di sini!" omel Arumi masih dengan bersungut. Nugroho pun berusaha keras meredakan tawanya."Apa sih, Ma. Nggak mungkin lah papa diusir dari sini, tenang ..." jawab Nugroho sedikit bercongkak diri. Sementara Arumi memilih kembali diam dan memandangi juga sesekali membalik lebar buku menu di hadapan.Arumi tak ingin terlibat perdebatan lebih dengan sang suami yang nantinya malah akan membuat pelayan menunggu lebih lama lagi."Saya mau nasi timbel dua, pepes ayam, balado terong, sambal bawang, dan tumis labu siam. Sudah." Arumi mulai menyatakan pesanan."Baik, Bu. Minumnya apa?" tanya sang pelay
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng