"Aku ikut, Pa." Arumi terlihat marah juga dengan apa yang suaminya ceritakan.Akan tetapi, di sana Nugroho menggelengkan kepalanya dengan kuat. Dia tidak mau kalau Arumi sampai ikut ke kantor polisi. Bukan tanpa alasan, emosi perempuan akan sangat berbeda dengan laki-laki. Terlebih lagi, Citra harus ada yang menemani di rumah. "Citra lebih dekat sama kamu, Ma. Dia pasti butuh kamu di saat kayak gini. Jadi tolong diamlah di rumah dan percayakan semuanya sama Papa. Oke?"Di sana Arumi tidak punya pilihan lain selain mengiyakan permintaan suaminya dengan menganggukkan kepala. Nugroho meyakinkan istrinya, kalau dia pasti akan menghukum perlakukan Aldo pada Citra."Dia akan dapat balasannya.""Pa, hati-hati! Jangan emosi!" ucap Arumi mengingatkan.Sayangnya emosi Nugroho sejak tadi sudah memuncak. Bahkan siap meledak kalau-kalau matanya menemukan Aldo. Nugroho pun pergi, semengara Arumi hanya diam saja di kamarnya. Dia segan untuk datang pada Citra dan menenyakan keadaannya, dia sangat tah
Rasa kram di perut Kinanti perlahan melemah, saat dia sudah mulai tenang. Bahkan saat diperiksa pun dokter tidak menemukan sesuatu yang serius dan bermasalah. Kinanti hanya syok, yang membuat perutnya kram, dan mengalami kontraksi. "Jadi, ini aman dokter?""Setelah dilakukan pemeriksaan, memang tidak ada hal serius atau bermasalah pada kandungan Ibu Kinanti. Semuanya sehat, bayinya juga sehat, semoga selalu seperti ini sampai waktunya melahirkan nanti.""Sakit perut tadi? Bukan mau melahirkan?" tanya Miranti.Dokter menggeleng lalu menjawab, "Tidak Bu, untuk melahirkan masih lama. Ini saya buatkan resep, ya."Miranti menggenggam tangan Kinanti dan keduanya pun merasa lega. Mereka tadi terlalu panik soal Aldo, jadinya ikutan panik pada kehamilan Kinanti juga. Padahal kram di perut sesuatu yang normal terjadi."Jadi saya diperbolehkan pulang ya, Dokter?"Dokter menjawab sembari tersenyum, "Tentu saja doang. Banyakin istirahat ya, Bu. Jangan banyak pikiran. Orang hamil, hanya harus fokus
"Lepasin! Saya belum selesai dengan dia tolong lepasin!" teriak Kinanti berusaha melepaskan diri saat security menyeretnya keluar gedung.Tetapi baru saja mereka sampai di Lobi, tiba-tiba raut wajah Kinanty berubah beserta dengan rasa sakit yang menyerang tepat pada daerah perutnya. Ia pun berhenti dan meringis kesakitan."A-aw!! Stop!!" Kinanty melepas cengkraman pria kekar itu dan lantas memegangi area perutnya, "S-sakit ... "Mendengar dan melihat itu lantas membuat security terkejut dan segera menanyakan kondisi wanita itu, "Ada apa, Bu? Anda tidak apa-apa?""Ck! Gak apa-apa mata lu! Jelas-jelas gue lagi nahan sakit!" Kinanty tiba-tiba membentak Security tersebut karena rasa sakit yang membandel.Mendapati hal itu, security tersebut segera meminta pertolongan pada karyawan sekitar yang berlalu lalang, sementara dirinya cepat-cepat menuju meja resepsionis untuk memanggil Ambulance. Bahkan tepat saat Ambulance itu tiba Kinanty segera dibawa menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan,
Hari-hari berganti dan terasa lebih baik, begitu juga dengan hubungan di antara Alex dan Kinanty yang rupanya berjalan dengan lancar. Bahkan saat Alex mengetahui beberapa kenyataan hidup yang dialami oleh wanita itu. Alex juga mengetahui penyebab Kinanty dirawat di rumah sakit beberapa hari lalu karena suaminya yang ternyata mendekam di dalam jeruji besi.Seolah merasa iba Alex pun terus berada di sisi Kinanty, entah itu menenangkannya atau apapun agar membuat wanita itu merasa lebih baik. Seperti saat ini, mereka makan siang di sebuah restoran mewah dengan Alex yang membayarkannya."Kenapa kamu cantik sekali hari ini meski dengan perut buncitmu?" gumamnya dalam hati.Ya, sejak tadi Alex memang tak bisa berhenti memandangi paras cantik Kinanty di hadapannya, saat wanita itu tengah menyantap makanan dan menyedit minuman, entah mengapa hal itu terlihat begitu gemas di matanya.Tanpa disadari pula, Alex telah menyimpan benih-benih cinta untuk Kinanty, sosok wanita hamil yang masih menjad
"Mana Kinanty? Belum balik juga," gumam Alex dengan terus memandangi pintu masuk lapas.Di balik kemudinya, lelaki itu mulai tampak gelisah setelah beberapa jam berlalu menunggu Kinanty namun wanita itu tak kunjung muncul dari balik pintu tersebut, membuatnya sedikit merasa cemas.Beberapa kali pula Alex tampak menarik napas panjangnya seolah berusaha menguasai diri meski rasanya begitu sulit. Hingga pada akhirnya sosok wanita itu mulai muncul dan sukses melebur rasa khawatir yang mendera.Dengan senyuman lega Alex bergumam, "Akhirnya ... kupikir aku harus turun dan memastikan kalau laki-laki itu gak mengapa-apakan calon istriku."Kinanty melambaikan tangannya berjalan menuju tempat mobil itu terparkir lalu memasukinya. Wanita itu tak berhenti tersenyum seolah diliputi kebahagiaan."Gimana? Jangan cuma senyum-senyum terus diam aja," cetus Alex tak sabar."Emangnya gak cukup kalo lihat ekspresiku aja?" Kinanty menatap Alex dengan seringaian yang cukup dalam, "Bukan Kinanty kalo gak bis
Jika keluarga Aldo saat ini sedang mengalami keterpurukkan, lain halnya dengan keluarga mantan istrinya yaitu Citra. Karena tepat saat ini wanita itu dan keluarganya tengah menikmati hari-hari bahagia yang datang menghampiri.Ya! Tak perlu menghabiskan waktu yang lama karena mereka bisa membawa perusahaan mereka kembali ke puncak kejayaannya lagi dan itu semua bukan hanya kerja keras Citra seorang namun ada pihak lain yang tentu terlibat."Senang bekerja sama dengan anda, Pak Rahmat," ucap Citra kala ia menjabat tangan pria itu.Rahmat tentu mengangguk dengan oenuh kemenangan.Betul, siapa lagi kalau bukan Rahmat? Seorang sekertaris pribadi dari Guntur yang ternyata selama ini telah berkhianat kepada boss-nya sendiri. Hal itu Rahmat lakukan karena ia sudah tidak tahan atas perlakuan kasar Guntur padanya yang terkadang semena-mena dan tidak pernah menghargai pengabdiannya selama ini.Rahmat tak berhenti memancarkan senyuman itu dan merasa sangat puas karena pada akhirnya kekesalan yang
Jika keluarga Aldo saat ini sedang mengalami keterpurukkan, lain halnya dengan keluarga mantan istrinya yaitu Citra. Karena tepat saat ini wanita itu dan keluarganya tengah menikmati hari-hari bahagia yang datang menghampiri.Ya! Tak perlu menghabiskan waktu yang lama karena mereka bisa membawa perusahaan mereka kembali ke puncak kejayaannya lagi dan itu semua bukan hanya kerja keras Citra seorang namun ada pihak lain yang tentu terlibat."Senang bekerja sama dengan anda, Pak Rahmat," ucap Citra kala ia menjabat tangan pria itu.Rahmat tentu mengangguk dengan oenuh kemenangan.Betul, siapa lagi kalau bukan Rahmat? Seorang sekertaris pribadi dari Guntur yang ternyata selama ini telah berkhianat kepada boss-nya sendiri. Hal itu Rahmat lakukan karena ia sudah tidak tahan atas perlakuan kasar Guntur padanya yang terkadang semena-mena dan tidak pernah menghargai pengabdiannya selama ini.Rahmat tak berhenti memancarkan senyuman itu dan merasa sangat puas karena pada akhirnya kekesalan yang
“Heh, ibu siapa kok malah marah-marah di rumah saya? Pintu ini bisa jebol kalau digedor-gedor terus!” sungut Guntur yang tak terima karena orang asing itu membuat kegaduhan di tempat tinggalnya.“Masih nanya saya siapa? Tanya tuh sama si Raya. Ke mana wanita murahan itu, ha? Mau aku cakar-cakaran mukanya,” balas perempuan yang memakai perhiasan emas di leher juga pergelangan tangannya.“Emang ibu punya masalah apa sama Raya? Jangan ribut-ribut nggak jelas begini. Saya ikut emosi yang ada,” ujar Guntur berusaha untuk meredam emosi walaupun sangat kesulitan.“Dia itu pelakor! Tolong diajarin ya, jangan jadi wanita murahan sampai godain suami orang cuma untuk dapatin uang. Memangnya dia nggak bisa cari kerjaan yang halal? Huh, mana dia? Saya cuma mau ketemu sama wanita gila itu,” seru wanita tanpa identitas tersebut. Emosinya masih meledak-ledak, tak bisa ditahan.Guntur pun semakin bingung. Pasalnya, Raya tidak ada di rumah. Ingin menyuruh Miranti untuk menyelesaikan masalah ini, pasti
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng