WANITA YANG MEMBELI SUAMIKU
Bab 3 Ancaman Mertua "Dasar istri tidak perhatian. Aldo tidur di rumah Ibu dari semalam." "Oh, pantes gak kedengaran suara pintu kamar dibuka. Pasti dia kunci pintu depan dari luar. Dasar suami gak ada akhlak. Pulang ke rumah orang tua gak bilang-bilang," cerocosku dengan santai. Muka ibu mertua sudah memerah bagai tomat karena tingkahku. "Kamu udah gila, Citra?" "Gila kenapa, Bu? liat aja, aku masih waras. Meskipun punya suami agak gak waras," kekehku dengan senyum sinis. Raut Ibu mertua semakin merah padam. Emosinya bagaikan bom yang siap meledak. Dia pasti tidak terima anaknya aku jelek-jelekan. Ibu dan anak memang memiliki karakter yang sama. Sama-sama tidak tahu diri. Merasa paling benar. Tidak mau introspeksi. Seharusnya, sejak dulu aku mau melawan. Agar tidak semakin besar kepala suami dan mertuaku. "Cepat mandi. Ibu mau bicara penting sama kamu." "Bicara apa, Bu? tumben." "Cepat mandi dulu. Jangan banyak tanya." "Iya, Bu. Kalau bisa beliin aku makan, Bu. Pasti masih ada nasi uduk. Kelamaan kalau harus masak nasi dulu." "Kamu nyuruh ibu?" "Ya, iyalah, Bu. Masa nyuruh setan. Katanya Ibu mau bicara penting? Citra gak bakal fokus ngobrol, kalau perut kosong." "Dasar menantu kurang ajar." "Ya, terserah Ibu. Kalau gak mau beliin, biar Citra beli sendiri. Ngobrol pentingnya kita pending dulu." "Ya sudah, biar Ibu belikan. Mana duitnya?" "Pake duit Ibu dulu. Mas Aldo 'kan ke rumah Ibu, terus aku gak dikasih uang." "Citra, kamu benar-benar bikin emosi Ibu, yah." "Terserah Ibu. Kalau gak mau menurutiku, ya sudah aku lebih baik tidur untuk menahan lapar." "Ih, dasar perempuan tidak tahu diri. Ya sudah, cepat mandi! Bau badanmu itu! Biar Ibu belikan makan." "Ahsiyaaapp!"Kaki ibu dihentakkan karena kesal. Sengaja aku mengerjainya. Dia pasti mau membahas soal poligami suamiku. Aku harus memanfaatkan keadaan untuk memberi mereka pelajaran. Mulai sekarang, aku tidak akan diam saja diperlakukan semena-mena. Semua manusia punya hak untuk merasakan kedamaian hidup. Merdeka menjalani kehidupannya tanpa harus patuh seperti budak pada orang lain. Meskipun itu pada suami sendiri perempuan juga mempunyai kebebasan untuk merasakan kebahagian. Menikah untuk dihargai dan dicintai. Bukan untuk diperbudak suami yang tidak tahu diri. Satu istri saja tidak bisa dibahagiakan, malah bergaya ingin mempunyai dua istri. "Citra ... sudah belum mandinya. Sarapannya sudah Ibu beli. Cepat keluar dari kamar mandi." "Sebentar, Bu. Lagi sabunan!" teriakku berbohong dari dalam kamar mandi. Tuhan, maafkan hambamu ini. Aku sengaja melakukan ini untuk mengulur waktu. Aku baru masuk ke kamar mandi setelah ibu mertua terlihat kembali sesudah membeli sarapan. "Cepat! Dasar lelet! Kasihan sekali anakku punya istri tidak becus kaya kamu," gerutu ibu mertua dibalik pintu. Aku tidak peduli. Sudah kebal dengan mulut tajam mertuaku. "Sabar, Bu. Cepet tua kalau marah-marah terus!" teriakku lagi dari kamar mandi. Lalu menyalakan keran agar ocehan ibu mertua tidak terdengar lagi. Sekitar lima belas menit aku mandi. Suara ibu mertua tidak terdengar lagi. Mungkin, sudah lelah mengomel. Aku mengintip dari pintu kamar mandi tidak ada ibu mertua. Bergegas aku keluar, lalu mengunci pintu kamar untuk berganti pakaian. Setelahnya, aku langsung ke dapur untuk mencari makanan. "Udah, mandi sama makannya?" tanya ibu mertua tiba-tiba muncul begitu saja. Entah dari mana datangnya. Tahu saja kalau aku sudah selesai makan. "Langsung saja, Ibu mau bicara." "Iya, Bu. Bicara apa? kaya penting banget." "Tentu ini penting sekali. Ibu harap kamu menyetujui ide Aldo. Ikuti saja kemauannya. Toh, kamu masih bisa jadi istrinya. Walaupun Ibu lebih setuju kalian bercerai." "Sama, Bu. Aku juga mau bercerai saja. Siapa juga yang mau dipoligami. Tanya sama Raya anak perempuan ibu. Pasti ogah dipoligami." "Tidak usah bawa anak saya. Silahkan kalau kamu mau bercerai. Tapi, jangan minta uang sepeser pun pada calon menantu baruku." "Hahaha, tentu tidak bisa begitu, Bu. Enak saja kalian doang yang untung." "Jadi, kamu tetap mau menjual suamimu?" "Ibu juga sudah menjual anak Ibu 'kan? jadi, apa bedanya kita ini. Yang penting sama-sama untung." "Dasar menantu gila. Lihat saja, aku akan suruh Aldo menceraikanmu, dan kamu tidak akan mendapatkan seperak pun harta anakku dan calon istrinya." Ibu berdiri dengan raut tak suka. Dia memilih pergi dibandingkan melanjutkan perdebatan di antara kami. Aku pikir, mulutnya akan mengoceh terus bagaikan burung beo. Nyatanya, baru dilawan begitu saja sudah menyerah. Ini belum seberapa, ibu mertua. Perlahan aku akan membuatmu dan anakmu sadar. Tenang saja, hanya menunggu waktu, aku akan bercerai dengan anakmu. Siapa yang mau terus hidup bersama dengan pria yang tak punya tanggung jawab seperti Mas Aldo? Semua perempuan pasti muak dengan sikapnya yang merasa berkuasa sebagai kepala keluarga sampai mengabaikan perasaan istrinya. "Ya Tuhan, semoga pikiranku tetap waras menghadapi keluarga aneh ini," ujarku bicara sendiri sambil mengelus dada. Tak mau membuang waktu dengan hal yang tidak penting, aku memilih ke kamar untuk mengambil ponsel. Lalu, duduk di ruang depan sambil membuka pintu. Supaya udara pagi hari masuk ke rongga paru-paruku. Kemudian, membuka aplikasi word untuk menulis. Menulis adalah cara paling jitu untuk mencurahkan segala keluh kesah yang ada di hati. Melalui tulisan, aku bisa berekspresi dengan bebas. Seringnya, aku menceritakan kisah hidupku melalui para tokoh yang ditulis. Dari situ, aku merasa lega dan puas. Bagiku, menulis bukan cuman soal uang. Ada kenyamanan dan ketentraman ketika melakukannya. Hatiku seakan menemukan tempat yang pas untuk mengeluarkan sebagian beban. Menggoreskan pena, mengabadikan kekesalanku. Untuk dikenang dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Menjelang siang hari, mataku mendadak berat. Kadang efek terlalu banyak menulis membuatku ngantuk. Berjam-jam menulis, aku luangkan waktu untuk tidur dulu. Tak baik memforsir tenaga. Sebelum ke kamar, aku tutup dulu pintu. Masuk ke kamar. Merebahkan tubuh. Selain menulis, tidur juga bisa membuatku sedikit melupakan kecewa yang sedang menyerang hati. ***** "Citra, bangun ... Mas mau bicara!" Mas Aldo tiba-tiba membangunkanku. Dalam posisi baru bangun tidur dia langsung menyeretku ke ruang tengah. Aku yang masih setengah sadar, tak bisa melawan. Pasrah diperlakukan seenaknya oleh suamiku. "Duduk, Citra. Kamu sudah keterlaluan. Aku harus menegurmu dengan tegas!" ujar Mas Aldo menatap tajam ke arahku. "Apa sih, maksud kamu, Mas? Aku mau cuci muka dulu." "Duduk, aku tidak akan membiarkanmu menghindar," cegah Mas Aldo menarikku untuk duduk dengan kasar. Aku duduk berhadapan dengan suamiku, Kinanti, dan ibu mertua. Mereka semua menatapku dengan sorot kebencian kecuali, Kinanti. Perempuan itu hanya tersenyum puas memandangiku. Meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan melipat tangan di dada bergaya bagaikan ratu.WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBAB 4Negosiasi sengit "Mau kalian apa?" tanyaku berusaha tenang. Menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. "Tanda tangan ini sekarang juga." Aku bagaikan tersangka yang diinterogasi sengit oleh mereka. Pintar sekali mereka memanfaatkan keadaan. Mereka tahu aku sudah tertidur beberapa jam. Sengaja segera membangunkanku. Agar aku yang sedang setengah sadar segera menandatangani dokumen itu. Maaf, aku tidak bodoh. Efek bangun tidur hanya berjalan beberapa menit. Sesudahnya aku akan sadar sepenuhnya dan siap melawan para manusia tidak ada otak seperti mereka. "Bayar dulu satu milyar. Baru aku tanda tangan. Ditambah uang 500 juta buat ngurus perceraian." "Gak usah banyak ngatur. Jadi istri itu harus nurut. Cepat tanda tangan," desak ibu. "Gak!" sentakku. "Citra, kamu semakin berani saja, yah. Cepat tanda tangan. Atau aku paksa kamu!""Hahaha, mau maksa gimana, Mas? paksa ajah kalau bisa." "Cepat tanda tangan!" bentak ibu. Me
WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBab 5 Uang Untuk Bebas "Kenapa bisa ada polisi?" "...." "Tenanglah, Dek. Mas akan segera menghubungi Ibu di kantor polisi. Kamu tunggu saja di rumah. Semua akan baik-baik saja." Mas Aldo menutup sambungan telepon kemudian memandangku sengit. Aku malah tersenyum penuh kemenangan. Sayangnya, tak bisa mendengar suara adik iparku yang sombong. Pasti seru sekali mendengar kepanikannya. Mereka merasa paling hebat, akhirnya kalah juga. Itulah pentingnya jangan meremehkan orang lain. Aku tak mau jadi orang jahat, tapi harus tega menghadapi manusia jahat. Semoga saja, hati mereka tertampar. Sehingga, bisa menyadari kesalahan. Meskipun demikian, hal tersebut sulit terjadi. Manusia yang sudah dikuasai nafsu, akan sulit berkaca diri. Merasa paling benar. Selalu mendengar bisikan dalam dirinya. Menghalalkan segala cara supaya mendapatkan segalanya. Padahal, apa yang mereka inginkan secara mati-matian, belum tentu kebahagiaan dan kedamaian hidup. "Apa yang kam
Brak! Citra menancapkan pisau daging yang dia ambil dari dapur tadi ke atas meja di ruang tamu. Wajah Aldo seketika pucat melihat gerakan Citra kali ini. "Bagaimana? Masih berani padaku?""Cit, kamu jangan main-main ya. Itu pisau lho." Tampak sekali Aldo sangat ketakutan tapi ia berusaha membuat wajahnya terlihat biasa saja. "Yang bilang itu kuaci siapa? Pisau itu sangat tajam lho, Mas. Daging merah yang disiset lalu dipanggang dan dicelupkan bersama saus sambal itu nikmat lho, Mas. Apakah kamu mau mencobanya? Ah, gak perlu sampai nyawamu melayang. Cukup aku minta sedikit daging di tanganku yang suka menyakitiku itu saja aku sudah bahagia. Gimana? Boleh kan? Kesinikan tanganmu, Mas." Lagi-lagi Aldo menelan salivanya. Ia berjalan mundur menjauhi Citra yang juga berjalan maju mendekati dirinya. Semakin lama tubuh Aldo semakin menjauh dari Citra karena ia menghentikan langkahnya dan memandang Aldo tajam dengan senyuman yang menyeringai. "Dasar istri gila! Awas kamu Citra! Aku masih
"Kamu kayak gak tau Citra aja. Gak ada duit ya gak ada makanan. Ah, bahkan kalau ada duit pun seringnya juga gak ada makanan di meja.""Iyakah? Yaudah deh kamu mau pesan apa""Samakan saja dengan pesananmu. Mas makan gak pernah memilih kok." Setelah Kinanti memanggil pelayan dan kembali pesan menu yang sama seperti dirinya pesan tadi. Ia kembali mengobrol dengan Aldo. "Parah sekali istrimu itu, Mas. Tapi kenapa gak kamu ceraikan saja sih dia, Mas? Kamu menikah sama aku kan enak hanya aku satu-satunya di hidupmu.""Masalahnya aku kasihan sama dia, Sayang. Orang tuanya miskin. Kalau aku menceraikannya mau tinggal di mana dia. Lagian kalau dia tetap menjadi istriku setelah kita menikah lagi kan kamu bisa menyuruh-nyuruhnya yah anggap saja pembantu gratisan. Ya kan?""Hemm kamu benar juga, Mas. Tapi masalahnya dia kekeh minta uang satu milyar itu gimana dong, Mas?""Itu juga yang aku pusingkan. Meskipun orang tuamu kaya dan gak ada artinya kalau harus mengeluarkan uang segitu banyak tapi
"Kamu memang yang terbaik buatku, Sayang."***Keesokan harinya, Kinanti menepati janjinya untuk membebaskan Ibu Miranti. Kinanti pun membawa serta pengacara keluarganya untuk ikut membereskan semua permasalahan Bu Miranti. Kinanti dan juga Aldo telah membuat janji untuk bertemu di kantor polisi saja agar tidak memakan waktu. Aldo yang terlebih dahulu sampai di kantor polisi pun menunggu Kinanti yang masih dalam perjalanan menuju kantor polisi. Tidak berlama-lama Aldo menunggu, Kinanti pun sampai di kantor polisi di mana Bu Miranti, ibunya Aldo ditahan. "Hai, Mas. Sudah lama menunggu?"Kinanti berjalan menghampiri Aldo yang terlihat duduk di ruang tunggu. Ia menyapa Aldo yang terlihat celingukan mencari seseorang. "Akhirnya kamu datang juga, Sayang. Nggak kok, aku juga baru saja sampai." Aldo tersenyum saat melihat kedatangan Kinanti. "Kenalkan, Mas, ini Om Agus pengacara yang akan membantu Ibu keluar dari sini." Kinanti memperkenalkan Pak Agus kepada Aldo. Aldo mengulurkan ta
"Om, Kinanti mohon Om jangan cerita sama Papa ya. Ini biar jadi masalahnya Kinan saja. Jadi Papa nggak perlu tau," ucap Kinan memelas pada pengacara keluarga nya itu yang bernama Pak Agus. "Sebenarnya itu memang hak klien, Om memang tidak perlu untuk mengatakan hal apa pun kepada orang lain termasuk Papa kamu." Kinanti dapat bernapas lega karena ia sebenarnya juga takut kalau sang papa akan mengetahui semuanya. "Tapi Om sebagai pengacara Pak Anggoro cuma bisa mengingatkan saja. Lebih baik Kamu batalkan niat kamu untuk menikah dengan pria itu. Karena Om melihat lelaki itu cuma mau harta saja. Dia itu tidak bukan pria baik-baik. Apalagi Ibunya. Mereka itu matre. Dia tidak tulus mencintai kamu Kinanti," imbuh Pak Agus menasehati Kinanti panjang lebar agar Kinanti paham dengan apa yang diucapkan Pak Agus. Kinanti yang mendengar ucapan Pak Agus pun menepis semua omongan yang diucapkan Pak Agus barusan. "Itu cuma perasaan Om Agus saja. Mas Aldo nggak seperti itu kok, Om. Mas Aldo dan
"Iya Kinan, Ibu sama Aldo bisa naik taksi kok. Tapi … anu ….""Kenapa, Bu?""Ibu dan Aldo gak punya uang buat naij taksi. Emmm maaf kalau merepotkanmu, Nak, bisa gak kalau kita pinjam dulu uang buat naik taksi? Kamu kan tau kalau uang gaji Aldo itu dikuasai sama Citra sialan itu." Mimik wajah Bu Miranti dibuat sesedih mungkin agar Kinanti mempercayainya. "Oh, iya Ibu tenang saja. Ini Kinanti ada kok. Maaf ya hanya bisa kasih segini soalnya belum narik lagi uang di ATM." Kinanti menyerahkan sepuluh lembar uang berwarna merah pada Bu Miranti. Mendadak wajah tua yang tampak kuyu karena beberapa hari berada di dalam penjara itu seketika berbinar. "Ya ampun terimakasih ya, Kinanti. Kamu memang calon menantu yang terbaik buat Ibu. Memanglah si Aldo ini gak pernah salah pilih." Kinanti tersenyum mendengar ucapan Bu Miranti. Ia pun berpamitan sembari mencium takzim tangan calon mertuanya itu. "Yasudah kalau begitu aku pulang dulu ya., "Ya sudah hati-hati ya, Sayang. Ibu doakan semoga uru
"Nama kamu Citra kan? Ya jelas nyuruh kamu lah." "Aku? Ogah! Suruhlah sana calon menantumu yang katanya baik dan terhormat itu. Aku bukan babu kalian!"Citra pergi berlalu meninggalkan Bu Miranti dan juga Aldo. Citra memasuki kamarnya dan tidak lupa mengunci pintu kamar agar tidak diganggu oleh kedua orang yang sangat menyebalkan menurut Citra. Brak! CeklekCeklek"Lihat tuh, Do! Kelakuan istri kamu itu gak ada sopan-soapannya sama orang tua! Kerjanya memvangkang saja! Sudahlah lebih baik kamu ceraikan saja dia. Dasar istri gak berguna bisanya cuma nyusahin saja." "Ck, sudahlah, Bu, biarkan saja dulu. Ibu lapar kan? Yuk kita beli maka pakai uang yang dikasih Kinanti tadi. Masih ada kan?""Ya masih lah. Gila aja kalau sudah habis masa iya cuma buat bayar ongkos taksi aja langsung habis.""Ya kali kan biasanya juga begitu. dikasih uang langsung deh habis.""Jadi kamu mulai hitung-hitungan sama Ibu, Do?""Ya, ya enggak begitu maksud Aldo, Bu. Aldo cuma …." "Halah, dahlah, nih sana k
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng