Kebaya putih melekat indah di tubuhku. Hari ini, kedua kalinya aku mendengar seorang pria akan mengucapkan ijab kabul untukku. Air mata ini tak henti membasahi pipi saat Pak Erlan mengucapkan janji suci itu.
"Sah."
Dada ini bergemuruh hebat. Akhirnya aku menjadi istri dari pengusaha kaya. Bersyukur setelah melewati cobaan terberat memiliki masa kelam yang membuatku lelah.
Aku mencium tangan Pak Erlan dengan takzim. Cincin emas pun sudah melingkar di jari manis ini. Acara akad nikah, tetapi sudah terlihat seperti acara resepsi.
Bahagia, itu yang kini aku rasakan. Kini, aku sudah menjadi istri dari bosku. Perjanjian pra rumah tangga, aku tidak boleh bekerja. Harus di rumah menunggunya.
"Kamu cantik," bisiknya pelan.
"Baru, tahu?"
"Hmm ... baru, sih."
Senyumnya itu membuat aku merasa nanti malam akan merasa sangat lelah. Belum lagi alis yang dia naik turunkan. Aduh, rasanya akan menghadapi singa lapar. Setelah aca
POV Outhor"Bu, apa kita keterlaluan sama Mbak Widya dulu?" tanya Rena pada Ibunya.Sejenak sang ibu menghentikan aktivitas mengaduk nasi dalam wadah. Mejicom rusak, jadi kembali mereka memasak melalui kompor. Sang ibu menyeka keringat yang mengalir di dahi. Seperti mendengar petir di siang bolong, ucapan Rena terus mengingatkan perlakuannya pada mantan menantunya."Nggak usah berpikir macam-macam,” ungkap sang ibu."Bu, tapi apa yang aku alami sama seperti Mbak Widya dulu. Dia bekerja sendirian, sedangkan gaji Mas Reno terus saja mengalir ke rekening Ibu." Lagi, Rena terus merasa bersalah."Ren, sudahlah. Semua ini nggak ada sangkut pautnya dengan Widya. Ini memang kita saja yang mendapat sial." Sang Ibu terus saja mengelak, padahal dirinya tahu, ini semua adalah karma dari perbuatan mereka pada Widya.Wanita tua itu terduduk lesu menghadap jendela rumah. Sedih, bercampur amarah saat menantu yang disayanginya malah me
POV Outhor"Bu, apa kita keterlaluan sama Mbak Widya dulu?" tanya Rena pada Ibunya.Sejenak sang ibu menghentikan aktivitas mengaduk nasi dalam wadah. Mejicom rusak, jadi kembali mereka memasak melalui kompor. Sang ibu menyeka keringat yang mengalir di dahi. Seperti mendengar petir di siang bolong, ucapan Rena terus mengingatkan perlakuannya pada mantan menantunya."Nggak usah berpikir macam-macam,” ungkap sang ibu."Bu, tapi apa yang aku alami sama seperti Mbak Widya dulu. Dia bekerja sendirian, sedangkan gaji Mas Reno terus saja mengalir ke rekening Ibu." Lagi, Rena terus merasa bersalah."Ren, sudahlah. Semua ini nggak ada sangkut pautnya dengan Widya. Ini memang kita saja yang mendapat sial." Sang Ibu terus saja mengelak, padahal dirinya tahu, ini semua adalah karma dari perbuatan mereka pada Widya.Wanita tua itu terduduk lesu menghadap jendela rumah. Sedih, bercampur amarah saat menantu yang disayanginya malah me
POV Ningrum"Pa, kenapa kartu kredit aku tidak bisa terpakai?" Aku bertanya pada Papa yang sibuk di depan layar ponsel."Mantan suami kamu menggadaikan surat perusahaan pada bank. Dari mana dia dapat surat ponselMas Pram? Surat perusahaan? Bagaimana bisa dia menggadaikannya. Ah, aku mengingatnya, saat itu dia meminjam untuk modal dengan menggadaikan surat perusahaan.Aku sama sekali tidak terpikir hal itu. Setelah bercerai dengannya, aku hanya berpikir ingin cepat lepas dari pria seperti itu.Tubuh ini lemas. Kenapa aku bodoh. Aku sudah kehilangan Mas Reno, sekarang kehilangan harta kekayaanku. Bagaimana hidupku nanti?"Jawab Ningrum?""A--aku tidak tahu kalau akan seperti ini. Maafkan aku Pa.""Semua salah kamu. Papa harus menjual semua saham ini pada Pa Erlan. Untung saja Pak Erlan baik, dia mau menebus surat ini di bank."Pak Erlan, suami Widya. Beruntung sekali wanita itu. Sudah mendapatkan cinta Mas
POV WidyaSudah dua bulan aku mengalami kelelahan. Badanku semua sakit, bahkan Indra penciumanku terasa sensitif. Mencium aroma yang menusuk, membuat aku memuntahkan kembali isi dalam perutku.Mba Erni datang berkunjung, wanita itu seperti biasa selalu bawel padaku. Dia datang membawa beberapa katalog untuk berlibur. Memang Mas Erlan menjanjikan kami liburan. Apalagi suamiku menjanjikan mengajak Mba Erni."Nih, Wid. Tinggal pilih, mau ke mana?" Aku menatap brosur dengan harga tiket dan penginapan yang begitu mahal. Sayang sekali biaya liburan mahal sekali."Nggak usah bingung, sih. Sekarang kamu istri Erlan, pengusaha muda dan kaya. Mau apa tinggal tunjuk,” tukas Kakak iparku."Bukan begitu, Mba. Aku kurang enak badan, lemas pula. Baru aja muntah. Bagaimana mau liburan?""Kamu udah menstruasi belum?" tanya Mbak Erni antusias.Aku berpikir, sepertinya aku terlalu bahagia dengan pernikahan ini sampai melupakan kalau aku sudah dua
Baskoro bersama Rena menunggu di bagian administrasi. Memang sengaja mereka menunggu kami datang. Saat aku sampai, kasihan sekali melihat Rena menangis tak henti.Mas Erlan segera menghampiri bagian administrasi bersama Baskoro. Sejenak mereka saling berbicara. Entah, apa yang mereka perbincangkan. "Ibu kenapa, Ren?" tanyaku. "Ibu jatuh saat sedang mencuci, Mba." "Mesin cuci rusak?" "Air di rumah masih kecil. Lama kalau nunggu masuk ke mesin. Adanya nanti rusak mesinnya." Rena menjelaskan padaku. Aku kembali teringat saat ibu datang menumpang mencuci. Datang dengan makian yang membuat Budhe Sri mengamuk. Setelah itu terjadi perang. Sudah lama sekali hal itu. Kupikir sudah tidak seperti itu lagi. Dari kejauhan Mas Reno datang tergopoh-gopoh. Bagaimana ini, tidak mungkin aku langsung menghindar, sedangkan di ujung sana, suamiku tak henti menatap ke arahku. "Ren, aku mau ke Mas Erlan dulu." "Iya, Mba
"Sayang, aku mau ke luar kota seminggu, kamu di rumah Mama dulu, ya. Mama minta selama kamu hamil tinggal di sana, mau?"Aku berpikir ulang dengan permintaan Mas Erlan. Untuk seminggu tidak masalah, tapi kalau untuk waktu yang lama, aku belum tentu mau.Biasanya kata orang, deket itu bau, kalau jauh baru wangi. Aku takut, hubungan dengan Mama seperti hubunganku dengan Ibu yang selalu saja bertengkar."Di rumah Mama, semua sudah pembantu yang mengerjakan. Mama juga sama seperti kamu, tidak bisa masak."Mas Erlan seperti tahu keraguanku. Ia kembali menjelaskannya."Bukan itu, sih maksudku. Hanya takut seperti dulu, dekat dengan mertua dan selalu ribut."Semoga saja Mas Erlan mengerti apa yang aku maksud. Hmm ... aku pikir enak juga tinggal di sana. Dalam keadaan hamil seperti ini, setidaknya ada Mama dan banyak orang yang sigap jika terjadi sesuatu denganku."Iya, aku mengerti sayang, terserah kamu aja. Yang penting kamu nyaman.
Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng
"Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya."Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya.Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya."Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber