"Biarkan saja, Bu Endah. Setelah pulih aku akan mengajukan cerai. Bagus kalau dia sudah menikah lagi, jadi akan mempercepat prosesnya."
"Kamu yakin nggak akan memberitahu keadaan kamu sekarang?" tanya Bu Endah.
"Nggak, Bu. Saya belum siap mendengar cacian dari Ibu lagi."
"Ya, sudah. Ibu gemas sama mulut mertuamu yang harusnya dikasih cabai mercon."
Aku tertawa mendengar ucapan Bu Endah. Wanita tua ini yang sering membela aku di depan ibu mertua. Kadang, Ibu langsung pulang karena malu dengan teriakan Bu Endah.
Salah aku kenapa harus mencari jodoh yang dekat rumah. Benar kata Mamaku dulu, kalau Ibunya Reno itu matre.
"Bukan Ibu aja, Nina juga." Kini Nina menimpali ucapan Bu Endah.
"Bener, Nin. Dia lupa kali kalau punya anak gadis. Dia pikir, anak malas dan manja kaya Rena bisa hidup enak gitu?"
"Biarin aja, Bu. Nanti si Rena dapat mertua yang mulutnya dobel mercon."
Kami tertawa mendengar ucapan Nina. Ada benar juga
Niat hati untuk memanjakan diri di salon, harus kandas saat sebuah telepon dari Bu Endang. Haduh, kenapa lagi sama mereka, sih? Bikin pusing aja.Nina sampai keheranan dengan aku yang tiba-tiba pamit pulang ke rumah. Rasanya ojek ini begitu lama berjalan, kalau punya pintu ajaib, sih, enak.Sesampai di rumah Pak RT aku langsung menghampiri Budhe. Aku terkesiap melihat keduanya berantakan. Wajah Budhe dan Ibu merah, sepertinya mereka main cakar.Pemandangan tidak enak juga aju dapatkan. Kedua pasangan menjijikkan datang menghampiri ibunya."Nih, calon menantu idaman saya. Nggak kaya ponakan situ, kere nggak bisa apa-apa pula," oceh ibu lagi."Idih, monggo kalau mau nikah lagi. Ponakan saya sudah cukup punya laki dan keluarganya yang parasit. Cuma numpang hidup. Idih, malu," timpal Budhe lagi."Sudah! Sudah Ibu-ibu, kalian tidak malu, belum kapok juga?" tanya Pak RT geram.Mulut ibunya Reno kayanya harus di cocol
Setelah membaca pesan masuk dari Pak Erlan, aku cepat-cepat membalasnya. Keadaan lagi genting, jika dia datang hanya akan memperkeruh suasana saja.Aku mengetik layar tipis itu dengan perasaan tidak enak. Akan tetapi, itu harus aku lakukan karena keadaan yang betul-betul membuat cemas.[Maaf, Pak. Tidak usah repot-repot, saya sudah sehat. Besok saja sudah masuk bekerja lagi.]Aku menggigit bibir saat tangan ini memencet kalimat sent di ponsel. Semoga Pak Erlan mengerti dengan keadaan ini. Tidak lama dia membalas, cepat aku membuka pesannya[Iya, oke selamat istirahat ]Aku menghela napas panjang. Entah apa yang akan terjadi jika Pak Erlan datang. Pasti akan mempersulit aku nanti.Jika Ibunya Mas Reno melihat, pasti semuanya akan runyam. Mereka akan berasumsi aku selingkuh dengan bos.Ah ... tambah mumet aja pikiran.Tidak lama ponselku bergetar, kulihat telepon masuk dari Nina. Segera kupencet tombol hijau pada laya
"Bawahan Bapak menyuruh saya mengambil minum. Memangnya saya OG? Saya datang ke sini untuk magang," ucap Rena dengan senyum kemenangan.Berani sekali dia bicara seperti itu. Gadis pemalas itu benar-benar tidak tahu diri. Dia pikir Pak Erlan akan membelanya? Lihat saja apa yang akan bosku katakan."Kalau kamu masih mau magang di sini, ikuti peraturan kami. Kalau tidak, silakan angkat kaki."Si pria kulkas. Itu julukan pantas untuk Pak Erlan. Lihat saja, berbicara tanpa ekspresi. Baru tahu, kan, kamu, Ren?"Iya," ucap Rena takut.Pak Erlan berlalu begitu saja. Sekarang wajah gadis pembangkang itu memerah. Entah, apa yang kini digumamkan dalam hati. Aku tidak peduli, yang jelas aku berhasil membuatnya tidak berkutik."Sudah sana, tunggu apa lagi?"Rena mengentakkan kaki, lalu berbalik badan meninggalkan aku. Begitu puas aku membuat anak itu kesal. Pastilah dia akan mengadu pada ibunya dan setelah itu akan terjadi perang dunia.
"Budhe jangan buat keributan di sini," ucap Mas Reno."Ibu kamu yang buat Budhe naik pitam. Dia bilang kehamilan Widya itu bohong, enak saja kalau bicara." Budhe tak mau kalah bicara."Bener itu, Bu?" tanya Reno pada ibunya."Widyanya aja yang baper. Kalau benar juga salah ibu bilang gitu?""Wid, bawa saja Budhe kamu pulang. Nanti makin panjang urusannya," ujar Mas Reno."Enak saja. Budhe mau selesaikan dulu, biar dia tidak menghina kamu terus. Sudah mau cerai sama anaknya, masih saja mencari-cari kesalahan Widya. Situ waras?""Enak saja mengatai aku gila!""Siapa yang bilang gitu? Kalau waras, mana ada orang tua yang bangga anaknya pisah dan membujuk menikahi janda?"Budhe semakin kalap, segera aku menarik Budhe untuk pulang. Kami sudah menjadi tontonan warga. Mau taruh di mana mukaku ini.Budhe masih saja kekeh bertahan. Sampai akhirnya pengurus RT sekitar datang. Pak Ramli ketua RT menggelengkan kepala mel
Sebulan sudah aku menempati rumah kontrakan baru ini. Semenjak pertengkaran Budhe dan ibu, aku cepat mengambil keputusan untuk segera pindah rumah.Rumah peninggalan orang tuaku sengaja aku kontrakan. Sekarang semua tinggal kenangan. Surat gugatan cerai pun sepertinya sudah sampai ke Mas Reno. Tinggal menunggu panggilan saja.Untuk beberapa waktu, Budhe memilih pulang ke kampung. Menurutnya, urusanku sudah selesai. Aku pun sudah tak berdekatan lagi dengan rumah mantan mertua. Itu sudah aman menurut Budhe Sri..Gosip beredar sangat santer di kalangan tetangga rumah dulu. Mas Reno sudah menikah dengan Ningrum. Padahal perceraianku belum selesai. Biarkan saja, itu keinginan mereka."Mikirin apa?" tanya Nina."Pikir kenapa bodoh banget aku dulu. Mau aja selama lima tahun jadi sapi perah."Nina tertawa lebar. "Baru sadar. Ke mana aja? Kebanyakan bucin si.""Yang penting sekarang sudah sadar."Aku dan Nina bergegas
Apa aku tidak salah dengar? Parasit ini meminta kembali padanya? Hah ... hanya wanita bodoh yang mau jatuh ke lubang yang sama. Bukan karena Pak Erlan, tapi memang murni keinginanku.Dengan percaya diri meminta aku kembali padanya, apa dia sehat? Lalu, Mas Reno berpoligami? Satu istri saja dia tidak bisa adil, ini malah dua. Ih, amit-amit deh. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran manusia satu ini."Dek, kamu mau, kan, kalau kita bersama lagi?""Aku tidak bisa kembali padamu, Mas. Kalau pun aku mau, banyak syarat yang akan aku ajukan. Contohnya, semua gaji kamu, berikan padaku. Anggaran untuk Ibu, aku yang mengatur. Untuk Rena, tidak ada uang foya-foya. Bekerja kalau mau, atau menikah saja dengan orang kaya."Mas Reno bergeming. Aku tahu dia tidak akan mau melakukan apa yang aku pinta. Tetap saja seperti Reno yang berada di bawah ketiak ibu."Ajukan syarat yang lain, Dek. Jangan seperti ini.""Sudahlah, Mas. Silakan pulang.""D
Setelah bertemu orang yang mengontrak rumah, aku merasa lega karena sudah mengurus masalah kebocoran rumah. Jangan sampai aku datang ke sini lagi, deh. Bukan hanya karena ibu saja. Namun banyak orang di sekeliling sini yang sangat ingin tahu kehidupanku.Seperti ibu Ayu tadi, kalau saja dia tidak memanggil mantan mertuaku, kejadian tidak akan terjadi. Rasanya ingin cepat selesai urusan perceraian kami.“Widya!”Suara itu mengingatkan aku pada beberapa bulan lalu. Saat masih menjadi istri Mas Reno.Akan tetapi, kenapa suara itu nyaring terdengar sangat dekat? Apa ini halusinasi? Ah, ternyata ini nyata saat melihat mantan ibu mertua berada di halaman rumah.Orang yang mengontrak rumah sampai kaget mendengar suara nyaring ibunya Reno.“Duh, Bu. Biar saya yang ke luar, ibu di sini saja.”“Iya, Neng.”Gegas aku menghampiri mantan mertuaku agar dia tidak semakin menjadi. Takut membuat t
Pov RenoSial sekali aku, kenapa Widya kekeh mau berpisah? Apa karena bosnya itu, dia tidak mau kembali padaku? Dengan cara apalagi membujuknya?Sore ini tidak biasanya ibu datang dan memarahiku. Topik yang dibahas adalah Widya. Kapan dia bertemu mantan istriku sampai dia emosi."Benar kamu minta rujuk sama Widya?" tanya ibu dengan emosi."Tahu dari mana ibu?""Ditanya malah balik bertanya. Jawab aja, benar apa nggak?"Mau jawab apa kalau ibu sudah emosi. Lebih baik aku berkelit saja, dari pada runyam. Sial sekali hidupku."Nggak mungkinlah. Besok Reno mau datang ke sidang perceraian," elakku.Ibu berhenti mengomel, tapi dia bergeming. Mungkin dia berpikir apa yang aku ucapkan benar apa tidak. Mumet urusannya."Awas, ya, kalau kamu sampai rujuk sama dia.""Iya."Untung saja ibu percaya. Melihat Widya dengan bosnya hati ini terasa panas. Sepenuhnya aku belum merelakan dia. Kenapa Widya dan ibu
Kenapa Budeh menangis, apa aku keguguran saat terjatuh tadi? segera aku mengusap perut ini, tetapi sama sekali aku tidak tahu, apa masih ada janin atau tidak di perut ini?aku kembali menatap raut wajah Budeh. lagi, ia memelukku dengan erat. air matanya tumpah membanjiri pipi. Budeh, apa yang sebenarnya terjadi?"Budeh, jangan menangis. Apa ini ada hubungannya dengan anakku?" tanyaku penasaran."Budeh menangis bahagia, akhirnya lengkap sudah kebahagiaan kamu. Untung Erlan cepat membawamu. Untung Allah masih melindungi kalian.”Kini aku yang menangis, karena kecerobohanku, hampir saja aku kehilangan janin ini. Namun, hati ini masih sakit jika mengingat semuanya. Aku benci mereka. Bodohnya aku, saat ia bilang mencintaiku. Diri ini juga terlalu terhanyut saat Mas Erlan ingin membahagiakanku. Aku pikir, diri ini paling beruntung memiliki suami seperti dia.nyatanya, aku harus menahan pedih di hati. Mas kenapa kamu tega! Kenapa dirinya harus datan
"Jangan mengungkit masa lalu. Aku pun tidak pernah usil dengan kamu Mba. Tolong, jangan buat keributan di rumahku." Ibu mertuaku merasa terganggu dengan perkataan Budhe Ratih.Memang, menurutku keterlaluan Budhe Ratih. Sudah ditolong, tapi dia malah berbuat tidak baik. Kulihat wajah Mama sampai memerah. Belum lagi Papa mertua yang menarik napas."Anakku, Erlan tidak seperti itu. Bagaimana bentuknya sang istri, itu sudah menjadi kodratnya. Makanya anakmu suruh nikah, jangan bisanya julid sama orang. Untung saja Erlan tidak tertarik dengan Gladis. Malu aku punya menantu dengan ucapan tidak baik,” ujar Mama.Aku terkesiap dengan penuturan Mama. Wanita tua itu bangkit, dan langsung meninggalkan meja makan. Tidak lama Papa juga ikut masuk ke kamar."Wid, kita makan di luar saja, yuk," ajak Mas Erlan."Iya, kamar"Kalian mau ke mana?" tanya Gladis."Bukan urusan kamu,” jawab Mas Erlan.Mas Erlan memberi kode agar ak
Terpaksa aku kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dihuni beberapa kepala. Demi suami, aku bertahan untuk menyenangkan ibu mertua.Cucu pertama dari keluarga ini sangat diharapkan. Anak perempuan mereka yang sudah beberapa lama menikah tak kunjung hamil. Sampai aku hamil, antusias mereka sangat besar."Kamu mau rujak, nggak, Wid?" tanya Ibu mertuaku."Nggak, Ma. Aku malah nggak mau asem-asem. Maunya yang pedas." Aku menjawab sambil duduk di kursi dapur."Makanan pedas gitu? Atau ikan, ayam atau apa gitu? Bilang aja sama Mama, nanti suruh Bibi masak. Jangan sungkan.""Iya, Ma. Apa aja, yang penting pedas.""Ya, sudah nanti ayam saja di cabeiin. Biar makan semua, enak juga kayanya."Akhirnya aku mendapat perhatian Ibu mertua. Kupikir ia sama seperti Ibunya Reno. Namun, ternyata Mama berbeda. Memang dia terlihat apa adanya.Gladis berlari masuk ke rumah. Aku lihat beberapa kali dia mengintip jendela rumah. Ada apa sebenarnya?
"Ancaman Apa?" tanyaku."Bukan ancaman apa-apa. Ya, tapi takutnya aja si Gladis melakukan hal macam-macam." Mba Erni menjelaskan padaku.Kenapa masih banyak orang seperti Gladis. Sudah jatuh miskin, masih saja bersikap seperti ratu dalam istana. Kenapa tidak sadar diri, jika dia sudah menjadi miskin."Biarkan, Mba.""Kamu terlalu lembek. Budhe Ratih itu cuman manfaatin Mama. Dia tinggal di rumah Mama itu bakal lama. Lihat aja kataku nanti."Mbak Erni ikut emosi jika mengingat kelakua kedua orang itu. Belum lagi, sikap Gladis yang tidak mengenakkan. Aku bisa frustrasi menghadapinya. Sekarang dia berani meminjam uang dua puluh juta. Besok-besok pasti akan lebih berani. Astaga, jauhkan aku dari orang seperti itu Ya Allah.Ponsel Mas Erlan berdering, ia mengambilnya dari nakas. Wajahnya mengerut seperti melihat sesuatu."Ada apa, tumben si Mba Nani telepon. Ada apa, ya?" tanya Mas Erlan."Angkat dulu aja," kataku.Mas
"Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya."Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya.Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya."Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber
Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng
"Sayang, aku mau ke luar kota seminggu, kamu di rumah Mama dulu, ya. Mama minta selama kamu hamil tinggal di sana, mau?"Aku berpikir ulang dengan permintaan Mas Erlan. Untuk seminggu tidak masalah, tapi kalau untuk waktu yang lama, aku belum tentu mau.Biasanya kata orang, deket itu bau, kalau jauh baru wangi. Aku takut, hubungan dengan Mama seperti hubunganku dengan Ibu yang selalu saja bertengkar."Di rumah Mama, semua sudah pembantu yang mengerjakan. Mama juga sama seperti kamu, tidak bisa masak."Mas Erlan seperti tahu keraguanku. Ia kembali menjelaskannya."Bukan itu, sih maksudku. Hanya takut seperti dulu, dekat dengan mertua dan selalu ribut."Semoga saja Mas Erlan mengerti apa yang aku maksud. Hmm ... aku pikir enak juga tinggal di sana. Dalam keadaan hamil seperti ini, setidaknya ada Mama dan banyak orang yang sigap jika terjadi sesuatu denganku."Iya, aku mengerti sayang, terserah kamu aja. Yang penting kamu nyaman.
Baskoro bersama Rena menunggu di bagian administrasi. Memang sengaja mereka menunggu kami datang. Saat aku sampai, kasihan sekali melihat Rena menangis tak henti.Mas Erlan segera menghampiri bagian administrasi bersama Baskoro. Sejenak mereka saling berbicara. Entah, apa yang mereka perbincangkan. "Ibu kenapa, Ren?" tanyaku. "Ibu jatuh saat sedang mencuci, Mba." "Mesin cuci rusak?" "Air di rumah masih kecil. Lama kalau nunggu masuk ke mesin. Adanya nanti rusak mesinnya." Rena menjelaskan padaku. Aku kembali teringat saat ibu datang menumpang mencuci. Datang dengan makian yang membuat Budhe Sri mengamuk. Setelah itu terjadi perang. Sudah lama sekali hal itu. Kupikir sudah tidak seperti itu lagi. Dari kejauhan Mas Reno datang tergopoh-gopoh. Bagaimana ini, tidak mungkin aku langsung menghindar, sedangkan di ujung sana, suamiku tak henti menatap ke arahku. "Ren, aku mau ke Mas Erlan dulu." "Iya, Mba
POV WidyaSudah dua bulan aku mengalami kelelahan. Badanku semua sakit, bahkan Indra penciumanku terasa sensitif. Mencium aroma yang menusuk, membuat aku memuntahkan kembali isi dalam perutku.Mba Erni datang berkunjung, wanita itu seperti biasa selalu bawel padaku. Dia datang membawa beberapa katalog untuk berlibur. Memang Mas Erlan menjanjikan kami liburan. Apalagi suamiku menjanjikan mengajak Mba Erni."Nih, Wid. Tinggal pilih, mau ke mana?" Aku menatap brosur dengan harga tiket dan penginapan yang begitu mahal. Sayang sekali biaya liburan mahal sekali."Nggak usah bingung, sih. Sekarang kamu istri Erlan, pengusaha muda dan kaya. Mau apa tinggal tunjuk,” tukas Kakak iparku."Bukan begitu, Mba. Aku kurang enak badan, lemas pula. Baru aja muntah. Bagaimana mau liburan?""Kamu udah menstruasi belum?" tanya Mbak Erni antusias.Aku berpikir, sepertinya aku terlalu bahagia dengan pernikahan ini sampai melupakan kalau aku sudah dua